Michael melihat ke arah depan kapal. Matanya hanya melihat pemandangan padang pasir yang tidak ada batasnya. Matahari bersinar terik. “Mana kotanya?” tanya si trenggiling. Michael juga tidak melihat ada hal lain selain padang pasir. Pemandangan yang ada di depannya sama saja dengan yang kemarin. Bahkan bisa dikatakan Kapal Bunga seperti tidak berpindah tempat dari kemarin. Michael dan si trenggiling tidak bodoh, tapi itu faktanya.Tidak ada pemandangan kota. Bahkan tidak ada satu batu pun yang terlihat. Ini bukan lelucon, kan?Raut wajah orang-orang di sekeliling Michael terlihat beragam. Ada yang antusias, ada pula yang terlihat ragu-ragu. Sepertinya mereka tidak berpikiran hal yang sama dengan Michael. Bahkan Sari dan dan Jeny sudah menutupi wajah mereka dengan penutup wajah.“Sialan, kenapa mereka bisa melihatnya sementara kita tidak?” Si trenggiling mulai merasa cemas. Michael memicingkan matanya. Bahkan dia menggunakan Jimat Mata Ketiga. Tetap tidak ada apa-apa.
Michael melihat ke sumber suara. Sang jenderal kapal sedang meniup sesuatu seperti tanduk. Benda itu mengeluarkan suara yang melengking seperti seruling."Jangan gugup, Tuan. Itu adalah alat komunikasi. Tanduk itu berasal dari monster gurun. Begitu tanduk itu dibunyikan, Kota Huangmo akan membuka gerbangnya," ujar seseorang. Boom ... boom ... boom!Benar saja. Mereka melihat gerbang tembok kota itu terbuka perlahan-lahan. "Jika kamu ingin datang ke Kota Huangmo, kamu harus tahu caranya. Pertama, kamu harus menemukan jalur langit pada siang hari. Kedua kamu harus membuat pantulan cahaya matahari mengarah ke posisi tertentu. Ketiga, kamu harus membunyikan tanduk dari monster gurun. Jika kamu tidak tahu ketiga cara tersebut, kamu tidak bisa menemukan Kota Huangmo,” orang itu menjelaskan pada Michael. Michael mengangguk."Kita akan masuk ke dalam Kota Huangmo."Kapal Bunga perlahan-lahan bergerak menuju ke arah gerbang. Orang-orang semakin bergerak merapat. Bahkan Sari dan J
"Sari, lama tidak bertemu."Laki-laki tua itu menatap Sari dengan wajah bahagia. Dilihat sekilas, bisa terlihat betapa dekatnya hubungan Sari dengan Keluarga Fang. Laki-laki itu mendekati Sari dan menyambutnya dengan hangat."Benar. Aku sangat ingin bertemu denganmu, Kakek Wira," ujar Sari sambil membungkukkan badan."Jeny menyapa Kakek Wira," Jeny mengikut sikap nonanya. "Wah … wah … Ini benar-benar mengejutkan. Rasanya baru kemarin kita bertemu, tapi kamu tambah cantik saja. Kalau usiaku lebih muda ratusan tahun, sudah pasti aku akan mendekatimu. Hahaha …” ujar laki-laki itu.“Kakek Wira, kamu benar-benar tahu cara menggoda kami,” ujar Sari sambil tersenyum malu. "Hei, apa yang kubilang cantik itu benar adanya. Di Kota Huangmo saja, siapa yang tidak kenal perempuan-perempuan Keluarga Su,” laki-laki tua itu tersenyum, “Ngomong-ngomong, siapa mereka?" Laki-laki tua itu menatap Michael dan si trenggiling.Kota Huangmo dan padang pasir sekitarnya adalah daerah kekuasaan Wira.
Michael dan yang lainnya melewati pasar dan berhenti di sebuah rumah besar.Rumah itu penuh dengan bunga!"Sari, kota ini dibanjiri para tamu pernikahan. Penginapan yang ada sudah penuh oleh para tamu. Tadinya rumah ini tidak ada, tapi aku memerintahkan untuk membangun rumah di tempat yang dulunya adalah kebun bunga."“Kedua tamu yang kamu bawa bisa tinggal di sana,” ujar Wira sambil menunjuk ke suatu tempat. Di seberang pondok bunga, terlihat restoran yang sekarang penuh dengan orang-orang. Di atas restoran itu tampak plakat besar bertuliskan Restoran Meriah. Pondok bunga itu sepi sedangkan restoran itu sangat ramai. Benar-benar bertolak belakang. "Pondok ini tampak besar. Kenapa mereka tidak ikut di dalam saja bersamaku dan Jeny?" tanya Sari. "Nona, bagaimana mungkin Nona berpikir seperti itu? Kalau sampai orang-orang tahu, bagaimana nanti reputasimu?" Jeny menatap Michael dengan sorot mata kesal. "Nona Jeny benar. Kami akan tinggal di restoran," Michael mengangguk.Jen
Michael memasuki restoran. Restoran itu ramai sekali. Seorang pelayan bergegas menyambut Michael. Ketika dia melihat pelayan Keluarga Fang berdiri di depan Michael, perempuan itu mengangguk, "Selamat datang Tuan.""Siapkan dua kamar," utusan Keluarga Fang itu memberi perintah, "Mereka adalah tamu Keluarga Fang. Kamu tahu aturannya."Pelayan itu mengangguk lagi, "Jangan khawatir. Aku akan melayani mereka seperti di rumah sendiri.""Bagus," utusan itu membalikkan badan dan memberi salam pada Michael dan si trenggiling. Dia berkata, "Inilah tempat kalian menginap. Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan tanyakan pada pelayan ini. Jika ada masalah, silakan katakan saja padaku."Michael mengangguk, "Terima kasih atas kerja kerasmu.""Ini urusan kecil. Hari sudah siang. Aku akan kembali ke rumah Keluarga Fang," utusan itu membungkuk dan berjalan keluar restoran.Si pelayan itu segera mendekati Michael, "Silakan masuk Tuan."Semua tamu yang hadir dan pelayan restoran melihat kedatang
Mata raksasa itu pucat seperti warna awan. Tidak ada emosi yang terlihat dari sorot matanya. Ketika Michael menatapnya, mereka beradu pandang tanpa berkedip. Si pelayan mencoba berdiri. Tangannya memegang pipinya yang sakit. Michael membantu pelayan itu berdiri dan berkata, "Tidak apa-apa. Aku akan mengurusnya."Michael menyerahkan si pelayan pada si trenggiling. Kemudian dia melangkah maju. Raksasa itu menerima kedatangan Michael. Dia berkata, "Kenapa? Kamu ingin menghajarku supaya kamu bisa lewat?""Tuan!"Si pelayan melontarkan ucapan yang tidak sempat dia cegah. Raksasa itulah yang menghalangi jalan. Seharusnya dia yang minggir. Kenapa lalu dia menantang Michael? Si pelayan tahu raksasa itu punya niat tidak baik. Michael tersenyum, "Kalau begitu ayo turun dulu.""Sialan. Kenapa kita yang turun? Dia yang menghalangi jalan. Seharusnya dia yang menyingkir, bikan kita,“ ujar si trenggiling kesal. Raksasa itu menatap si trenggiling. Dia meremas-remas tangannya. Mel
Trenggiling ingin berdebat dengan si cebol, tapi si pelayan mendahuluinya, "Tuan, mereka ini memang tamu Keluarga Fang. Utusannya tadi yang mengantarkannya ke restoran ini. Bagaimana mungkin mereka tidak berhak menginap di sini?""Kata siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa tadi. Apa jangan-jangan kamu berhalusinasi?" Raksasa itu mencibir si pelayan.Si pelayan terdiam. "Hahaha …."Si cebol tertawa. Kemudian dia berkata, "Kupikir pelayan satu ini sudah lupa dengan peraturannya. Wajar saja. Dia hanya seorang pelayan.""Tamu yang diundang Keluarga Fang adalah keluarga-keluarga terhormat. Mereka pantas menginap di lantai tiga dan empat.""Apa maksud Tuan?" Si pelayan jadi bingung."Sedangkan tamu dari keluarga biasa .… "Si raksasa dan si cebol saling memandang dan tersenyum. “Tamu biasa tidak berhak menginap di lantai dua,” si raksasa melanjutkan ucapan si cebol. “Tapi di Restoran Meriah, tidak ada tempat untuk tidur selain lantai dua, tiga, dan empat,” si pelayan masih tidak
Otis dan anggota kelompoknya tersenyum mengejek ketika melihat si pelayan kembali masuk ke dalam restoran. Mereka pindah tempat duduk dan menunggu pelayan itu masuk kembali. Beberapa saat kemudian, si pelayan muncul membawa nampan berisikan makanan. Dia berjalan menuju gudang kayu. Si raksasa memukul meja. Dia berkata, "Hei Pelayan!"Salah satu pelayan yang ada di dekat si raksasa mengira dirinya dipanggil. Dia mendekati si raksasa. Namun si raksasa mendorong si pelayan itu hingga menabrak meja. Pelayan itu pingsan.“Aku memanggil pelayan yang itu!” tunjuk si raksasa. Pelayan yang lain saling memandang. Berbekal dari pengalaman mereka bekerja, mereka tahu gerak-gerik pelanggan yang ingin membuat masalah. Si pelayan menelan ludah. Cepat-cepat dia menghampiri meja si raksasa, "Tuan ingin memesan apa?”"Kenapa kamu lama sekali datang? Aku sampai lupa ingin memesan makan apa. Apa jangan-jangan tadi aku pesannya tisu toilet?"Anggota kelompok si raksasa tertawa mendengar ucapa