Bab 19.A
"Mir, ada undangan buatmu." Ibu menyodorkan satu buah kertas berukuran persegi empat, warna dan bentuknya begitu indah, sepertinya itu undangan dari orang berada.Tanganku mulai meraih benda itu dan membukanya tanpa kata dan membaca, saat sudah sempurna terbuka barulah tahu siapa dua nama yang tertera di dalamnya.Tania dan Heri yang sedang berbahagia akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi dua hari lagi, mengapa ia setega itu bahkan perutku belum terlihat membukit ia sudah merajut cinta yang baru.Surat cerai kami sudah keluar dari pengadilan agama, mereka mengatakan jika masa iddahku sampai hari melahirkan tiba, tapi dia yang sudah menanam benih ini akan bersanding dengan wanita lain disaat benihnya belum tumbuh sempurna."Kamu sedih, Mir?" tanya ibu yang berwajah sendu.Aku menggelengkan kepala, entah rasanya sedih atau kecewa yang jelas keadaan yang kualami tak berpi19. BAku tercenung memikirkan usul itu, di satu sisi aku ingin membuktikan bahwa hidupku baik-baik saja setelah disakiti, tapi di sisi lain aku merasa tak enak masih dalam masa Iddah tapi sudah pergi bersama lelaki."Pergi dan pulangnya masing-masing, kita cuma sama-sama di acaranya aja gitu," ujar Pak Satria seolah membaca kebimbanganku."Oh boleh tuh idenya." Senyumku mengembang lagi."Kalau gitu minta no WA Mbak ya, biar nanti bisa kontekan acaranya 'kan dua hari lagi."Dengan sukarela aku menyebut digit demi digit angka dan pria itu mencatat di ponselnya, hingga sebuah telpon masuk pertanda jika Pak Satria pun menyuruhku untuk menyimpan nomornya.Datangnya segerombolan para remaja membuat jarak antara aku dan Pak Satria, celoteh mereka yang asyik memintaku untuk cepat melayani apa maunya.Tak terasa waktu cepat berlalu hingga hari bahagia Mas Heri dan Tania telah tiba, aku memilih gamis b
Bab 20. ATiga bulan sudah berlalu sejak kejadian di pernikahan itu, aku dan dirinya tak pernah lagi bertukar kabar. Namun, atas cerita ibu lelaki tinggi nan kurus itu sering datang ke rumah menemui putri pertamanya, Nasya.Mas Heri pun sering menitipkan uang untuk putrinya itu, sekaligus untukku kontrol ke dokter kandungan perbulannya, walau hanya dua ratus ribu tapi aku bersyukur ia tetap bertanggung jawab pada benih yang tak diinginkannya ini.Sedangkan Pak Satria seperti biasa selalu berkunjung di akhir pekan atau hari libur saat menjelang sore hari, bisa dibilang aku dan dirinya mulai berteman akrab.Kini, rumah ibuku sudah berdiri kokoh dan sedikit megah, hampir sama dengan deretan rumah yang ada di perumahan ternama di kota ini."Ma, besok 'kan hari Minggu, Papa chat aku katanya suruh nginep," ujar putriku saat diri ini hendak mengistirahatkan badan.Aku diam tercenung, beginilah resiko perceraian harus m
Bab 20. BBenar ternyata mas Heri berdusta, dari dulu lelaki tak pernah berubah pandai berdusta dan bersandiwara, apa maksudnya coba?"Biasalah, buat bayar hutang. Bu Ninik 'kan banyak hutangnya dari mulai ke bank Emok, bank konvensional hingga Si Wati lintah darat itu."Bu Tika nyerocos tanpa diminta membuat rasa penasaranku kian meronta, sekalian saja mengeruk banyak informasi darinya."Kok banyak banget." Dahiku mengerenyit."Awalnya sih buat biaya renovasi dapur yang kebakaran itu, terus buat biaya pernikahan Heri kemarin, kalau menurut saya ngapain juga Bu Ninik menggelar pesta resepsi mewah kalau hasil ngutang, mendingan sederhana aja dari pada terlilit hutang, iya 'kan," jawab Bu Tika dengan delikkan mata khasnya.Bukannya berduka batinku malah ingin tertawa dengan kelakuan wanita tua itu, demi gengsi ia menghalalkan segala cara, mana waktu itu ia begitu bangga dengan menantu barunya yang katanya ka
Bab 21Wanita yang rambutnya digelung tinggi itu melirik dengan panik, kedua tangannya bergetar menatap wajahku yang dipenuhi api, tanpa kata ia pasti sudah tahu apa maksud kemarahanku ini.Segera aku meraih ponsel hitam yang tergeletak di meja kaca, ia sempat merebutnya walau tak berhasil."Anakku barusan nelpon katanya hape-nya hilang, terus kenapa bisa sama Ibu di sini? Ibu mau jual hape cucu sendiri?!" Nada suaraku meninggi.Beruntung konter ini masih sepi, hanya ada dua orang pegawai laki-laki yang menyaksikan ketegangan ini, mereka berdua diam dan bungkam bak sebuah kamera yang sibuk merekam."I-itu hape-ku, balikin!" teriaknya tak tahu malu.Aku menyeringai sambil geleng-geleng kepala, bahkan aku tidak buta dan buta warna, aku sendiri yang membeli benda ini atas kemauan Nasya."Oh ya ini hape Ibu, sekarang mari kita buktikan!"Segera kutekan tombol on off untuk menghidupkan, bebe
Bab 22. A"Apa kamu bilang? mau ngurus Nasya?" mataku membulat dengan pandangan meremehkan.Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan ia hanya akhir-akhir ini merasa peduli, tak dapat dipungkiri segala prasangka buruk mulai membayang di kepala, apalagi sejak dulu mereka berdua sudah kukenal licik dan cerdik apalagi menyangkut uang."Iya, aku ayahnya apa itu salah?" tanya Mas Heri tanpa beban."Aku cuma ga mau anakku terlantar, Mir, jangan egois.""Terus, kenapa kamu buat anak yang masih dalam kandungan ini terlantar? mana tanggung jawabmu sebagai ayah? anak belum brojol aja udah kamu tinggalkan gimana yang udah besar, gini-gini juga aku tahu ya cara didik anak," sergahku merasa tak terima.Mas Heri nampak kelabakan mempersiapkan jawaban, aku faham itu bukanlah suatu bentuk kasih sayangnya melainkan sebagai usaha untuk memeras uangku habis-habisan melalui tan
Bab 22B.Mas Heri diam tanpa kata, sudah kubaca ia sangat keberatan dan tak terima, pasti maunya aku yang mengirimkan uang dan membiayai hidup Nasya, sementara dirinya hanya memberikan naungan berupa tempat tinggal, sungguh fikiran yang picik."Enak aja, sekarang dia itu suamiku dan aku berhak mengatur keuangannya bukan kamu!" sahut Tania keberatan."Tuh dengar sendiri 'kan apa jawaban mantumu?" tanyaku sambil memandang Mas Heri dan ibu bergantian."Ayo pergi, Nas. Mulai sekarang lebih baik ga usah ke sini lagi."Aku pergi membawa kemenangan, biarlah kami hidup berdua tanpa kepedulian dari mereka, untuk apa menghargai dia yang hanya memanfaatkan uangku saja.*Hari ini jadwal kontrol kandungan, seperti biasa aku kemari ditemani Sela dan duduk di bangku antrian seorang diri, karena gadis itu enggan masuk ke dalam lebih as
Kedua manusia sombong dan tak tahu malu itu masih menganga, melihat mobil new Toyota Agya berwarna putih yang kutumpangi, bibir ini menyeringai saat mobil hendak berlalu, dan sepanjang jalan Sela terbahak tiada henti.Aku tak pernah berniat untuk sombong, karena membeli mobil ini tujuannya yaitu, untuk memudahkan perjalanan saat proses melahirkan nanti menuju klinik.Yang kedua aku ingin saat kami hendak pulang ke kampung halaman, ibu dan bapak tak perlu lagi naik angkutan umum, selain panas di sana juga rawan kejahatan, dan tentu sangat melelahkan karena kami harus turun dan naik bis berkali-kali."Bener-bener lucu tuh manusia, harusnya tadi pas ngaku-ngaku sambil siaran langsung kaya mertua Mbak waktu itu," celetuk Sela masih menertawakan mereka.Bibirku pun ikut menyeringai saat ingat k
Tubuhku mematung karena bingung harus melakukan apa, melihat tangisan Nasya aku jadi tak tega mengajaknya pulang."Kenapa perempuan itu nyakitin Papa?" tanya Nasya disertai isakan."Lebih baik kamu pulang dulu ya sama Mamamu," bujuk Mas Heri.Aku menganggukkan kepala setuju dengan ucapannya, tapi wajah Nasya memancarkan sinar yang berbeda, ia seperti ingin lebih lama dengan ayahnya, seolah Mas Heri seseorang yang butuh perlindungannya, padahal dulu lelaki yang ia sayang itu sudah ....Ah, terlalu pahit mengenang masa lalu, di sini hanya aku yang masih terjebak di dalamnya, sedangkan Mas Heri sudah mulai berbenah, pun dengan Nasya yang memiliki hati selembut kapas tak pernah membenci ayahnya.Bagaimana lagi kenangan itu terlalu saki
"Aku selalu menelponmu tapi percuma jarang diangkat, sekali pun diangkat cuma sebentar padahal banyak yang ingin aku ceritakan soal Ibu, cerita juga mending kalau kamunya percaya, ya sudah sejak itu aku tak ingin lagi berhubungan denganmu," lanjut Ardan mengungkapkan kekecewaannya.Aku terduduk di bangku plastik miliknya, raga ini lemas mendengar semua kenyataan yang sebenarnya."Aku minta maaf, Ardan. Harus gimana supaya kamu memaafkan," ucapku dengan pasrah.Ia diam sibuk dengan pekerjaannya, haruskah aku berlutut di kakinya?"Ini ada uang buat modal tambahan usahamu, pakailah tadinya uang itu untuk pegangan beberapa bulan ke depan." Aku menyerahkan ATM sekaligus password-nya."Aku ga butuh, lagi pula sekarang bisa cari uang sendiri berikan saja uang itu untuk istrimu," jawab Ardan dengan culas."Ambil aja itu untuk pengobatan ibu kalau kamu ga mau, maafkan aku Ardan, sedikit pun aku ga pernah niat menelantarkanmu dan Ibu, ini semua karena Tania pandai memutar balikkan fakta, dan b*
(POV HERI)Satu tahun lamanya aku tak pulang ke kampung halaman, sebenarnya enam bulan yang lalu aku hendak pulang, tetapi keadaan tak memungkinkan dan banyak pula hambatan.Sengaja tak memberikan kabar kepulangan ini pada Tania ataupun Ardan, entah kenapa anak itu kini nomornya sudah tak aktif lagi, aku pun bertanya pada Tania katanya Ardan baik-baik saja dan ia sibuk bekerja.Aku turut bersuka cita atas perubahan anak itu, yang dulu ia manja dan lalai terhadap tanggung jawab, kini bisa mandiri dan mencari uang sendiri.Pesawat tiba di Jakarta tepat pukul sembilan pagi, untuk menuju kota kelahiranku dibutuhkan waktu sekitar dua jam lagi.Usai adzan Dzuhur berkumandang, akhirnya aku tiba di halaman rumah Tania, semuanya masih sama hanya warna cat rumah yang memudar.Aku melangkah masuk ke dalam pagar, memencet bel berkali-kali hingga pintu itu terbuka, nampaklah Tania yang berpenampilan berbeda.Rambutnya dipotong sebahu, wajahnya terlihat makin cerah dengan polesan make-up seperti bi
"Mbak Naya, bisa berhenti di depan?" tanyaku pada supir baru, Mas Satria sengaja memilih seorang wanita agar tidak ada ikhtilat diantara kami berdua saat bersama."Bisa, Bu," sebentar ya." Ia menuruti perintahku."Tolong jagain Hanan sebentar ya, saya mau nemuin orang itu.""Oh iya, Bu, sini Dedek Hanannya."Kuserahkan Hanan yang tertidur lelap ke pangkuan Naya, beruntung anak itu tak menangis.Aku segera berlari menembus kemacetan hingga akhirnya tubuhku sudah ada di hadapan ibu."Bu, kenapa di sini?" tanyaku sedikit berteriak."Ibuu!" teriakku sekali lagi, karena ia tak merespon panggilanku."Ibu, ngapain di sini?" Aku menyentuh pundaknya.Ia menepis dengan kasar lalu memandangku dengan berang."Diam! Aku lagi nunggu mantuku, Amira, dia janji mau ngajak shoping hari ini," jawabnya ngelantur.Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Mas Satria yang menelpon, karena takut ia marah aku segera menjawabnya."Sayang kamu di mana? kok belum nyampe juga?""Iya sebentar lagi nyampe kok, ini se
(POV AMIRA)Rumah seluas lima belas meter kali kali sepuluh meter menjadi hunian baru untukku dan anak-anak, Mas Satria membelikan hadiah ini sebagai hadiah pernikahan.Ia mengatakan jika rumah ini kurang besar dan mewah maka ia akan merenovasinya, tentu saja menurutku hal itu terlalu berlebihan, karena rumah ini seluas lapangan bola, mungkin jika orang tuaku tinggal di sini rumah ini pun takkan kesempitan.Tak sampai di situ Mas Satria pun mempekerjakan asisten rumah tangga dan seorang supir wanita khusus untuk mengantarku ke mana-mana, ah betapa bahagianya diperlakukan layaknya nyonya.Hari ini ia mulai bekerja setelah satu Minggu lebih menghabiskan masa cuti pernikahan di rumah, sengaja kami tak liburan ke mana-mana karena diluar pandemi masih melanda."Aku pergi dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecup kening.Jika di hadapan anak-anak ia akan memanggil 'mama' tapi jika tak ada siapa-siapa, kata sayang adalah panggilan untuk kami berdua.Sungguh romantis dan harmonis."Hati-hati
.Sedangkan Tania dan Tante Eva terlihat santai tak terpancing dengan omongan ibu. Akan tetapi, tetap saja mereka berdua membalas ucapan ibu dengan pedasnya membuat ibu makin emosi dan tak bisa mengontrol diri.Kepala ini pusing pasalnya jika pulang ke rumah selalu saja melihat keributan antara ibu dan Tania, mereka tak ada yang mengalah saling mempertahankan egonya."Ayo kita ke kamar, Bu. Aku beliin makanan," ujarku sambil merangkul pundak ibu."Makanan apa? itu dikasih Amira ya? dia emang menantu baik dan pengertian ga kaya kamu!" Ibu menunjuk wajah Tania.Aku kesal melihat tingkahnya, bagaimana jika Tania tak tahan dengan ibu lalu mengusir kita, akan tinggal di mana kami berdua."Sudah, ayo kita masuk kamar." Aku merangkul paksa dan membawanya menuju kamar."Ardan kamu harus usir Tania dari rumah ini dan bawa Amira kembali ya, Ibu itu cuma pengen punya menantu yang kaya ga kaya Tania bisanya ngabisin uang saja," cerocos ibu tak bisa diam."Sekarang Ibu makan dulu ya." Aku menyuapi
(POV Ardan)Nasib Bu Ninik.Sudah satu bulan lebih kakakku Heri berada di perantauan, ia mengatakan setiap tanggal satu akan mengirimkan transferan.Sedangkan kondisi ibu semakin hari kian memperhatikan, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena jika berpapasan dengan Tania bawaannya terlihat emosi, tak jarang ia marah-marah tanpa alasan."Mbak, Heri udah kirim uang?" tanyaku pada kakak ipar yang sedang menggunting kukunya.Ia malah menatapku sinis, seolah aku ini seorang pengemis."Mau apa emang?!" tanyanya sedikit membentak.Apa ia lupa? atau pura-pura lupa jika dalam uang itu ada hak mertua juga adik iparnya, dasar serakah! Entah apa yang dipikirkan kakakku hingga menggantikan Amira dengan wanita macam dia."Ya mau minta bagian, Heri 'kan janji kalau udah gajian mau bawa ibu ke psikiater," balasku tak kalah sinis.Untuk makan sehari-hari kami berdua terpaksa aku yang kerja, beruntung bengkel milik Adi setiap hari selalu ramai banyak kendaraann yang berdatangan, sehingga aku t
"Ok bagus." Tante Tamara melanjutkan langkahnya dengan wajah masam.Sedangkan Rista bersalaman dengan kami tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku penuh kebencian, bagiku tak masalah toh tak meminta uang padanya.Pesta hampir usai, tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan pulang, mama memintaku untuk bersiap berganti pakaian, ibu bilang malam ini Hanan biar tidur dengannya saja agar aku bisa menikmati malam pertama bersama Satria.Diperlakukan seperti itu aku jadi malu sendiri, padahal Satria tak keberatan jika Hanan tidur dengan kami, baik itu di malam pertama atau di malam-malam selanjutnya, karena anakku telah menjadi anak Satria juga, begitu katanya."Jangan bantah, malam ini Ibu mau tidur sama Hanan, udah sana ganti pakaian, besok Ibu akan antarkan Hanan ke rumah mertuamu," ucap ibu sedikit memaksa.Kulihat bayi mungil itu terlelap di pangkuannya."Kalau Hanan rewel telpon aja ya, Bu," ujarku sebelum pergi.Saat melangkah ada Rista berdiri menghalangi, tatapannya penuh
(POV Amira)Di sebuah gedung pernikahanku dan Satria dilaksanakan, sebenarnya aku malu menyelenggarakan pesta. Namun, apalah daya keluarga besar Satria yang menginginkannya.Acara akad sekaligus resepsi hari ini memang tergolong sederhana, tapi tetap saja aku tak nyaman harus bersanding di pelaminan, sementara anak-anakku takut tak diperhatikan.Ijab kabul dimulai ada perasaan haru dan tegang mendominasi, ibu dan juga kedua anak-anakku tak pernah jauh mereka selalu ada di sisi.Kebaya warna putih dengan jilbab senanda dipadukan dengan rok batik berwarna coklat membalut tubuhku dengan indahnya, aku tersenyum melihat pantulan diri di cermin, rasa bahagia terlukis sempurna di wajah ini."Sah."Akhirnya kata itu terucap di bibir orang-orang banyak, akhirnya aku resmi jadi nyonya Satria Bagaskara, kami menandatangani bekas-bekas dari KUA, lalu penghulu memberikan sepasang surat nikah.Ciuman pertama sungguh terasa menggetarkan jiwa, terlebih saat aku mencium takzim punggung tangannya, sudu
Aku masih diam menatapnya dalam sambil mendengarkan penjelasan pekerjaan apa yang akan kulakukan di sebrang pulau sana."Emang sih kerjanya capek, tapi 'kan duitnya gede." Tania masih membujuk, memang yang ada dalam otak wanita ini hanyalah uang, tak masalah walaupun harus jauh dari suami.Ah menyebalkan!"Terus ibuku gimana? tar kamu jadikan pembantu lagi di sini," jawabku ketus."Iya aku ga bakalan jadikan ibumu pembantu, lagi pula 'kan ada Ardan biarin aja dia yang ngurus ibumu, aku ga mau ikut campur," jawab Tania tak kalah ketus."Nanti aku fikirkan." Aku beranjak pergi karena berada di dekatnya tak menemukan kenyamanan yang ada ia terus memberikan tuntutan.Sempat terdengar ia mengoceh dan menghina. Namun, untuk kesekian kalinya aku bungkam karena malas dengan pertengkaran, lama-lama aku pun jadi terbiasa atas semua ocehan dan hinaan Tania.Cukup lama nongkrong di warung kopi memikirkan tawaran Tania diterima atau tidak, aku pun sudah meminta pendapat teman-teman dan mereka meng