Bab 22. A
"Apa kamu bilang? mau ngurus Nasya?" mataku membulat dengan pandangan meremehkan.
Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan ia hanya akhir-akhir ini merasa peduli, tak dapat dipungkiri segala prasangka buruk mulai membayang di kepala, apalagi sejak dulu mereka berdua sudah kukenal licik dan cerdik apalagi menyangkut uang.
"Iya, aku ayahnya apa itu salah?" tanya Mas Heri tanpa beban.
"Aku cuma ga mau anakku terlantar, Mir, jangan egois."
"Terus, kenapa kamu buat anak yang masih dalam kandungan ini terlantar? mana tanggung jawabmu sebagai ayah? anak belum brojol aja udah kamu tinggalkan gimana yang udah besar, gini-gini juga aku tahu ya cara didik anak," sergahku merasa tak terima.
Mas Heri nampak kelabakan mempersiapkan jawaban, aku faham itu bukanlah suatu bentuk kasih sayangnya melainkan sebagai usaha untuk memeras uangku habis-habisan melalui tan
Bab 22B.Mas Heri diam tanpa kata, sudah kubaca ia sangat keberatan dan tak terima, pasti maunya aku yang mengirimkan uang dan membiayai hidup Nasya, sementara dirinya hanya memberikan naungan berupa tempat tinggal, sungguh fikiran yang picik."Enak aja, sekarang dia itu suamiku dan aku berhak mengatur keuangannya bukan kamu!" sahut Tania keberatan."Tuh dengar sendiri 'kan apa jawaban mantumu?" tanyaku sambil memandang Mas Heri dan ibu bergantian."Ayo pergi, Nas. Mulai sekarang lebih baik ga usah ke sini lagi."Aku pergi membawa kemenangan, biarlah kami hidup berdua tanpa kepedulian dari mereka, untuk apa menghargai dia yang hanya memanfaatkan uangku saja.*Hari ini jadwal kontrol kandungan, seperti biasa aku kemari ditemani Sela dan duduk di bangku antrian seorang diri, karena gadis itu enggan masuk ke dalam lebih as
Kedua manusia sombong dan tak tahu malu itu masih menganga, melihat mobil new Toyota Agya berwarna putih yang kutumpangi, bibir ini menyeringai saat mobil hendak berlalu, dan sepanjang jalan Sela terbahak tiada henti.Aku tak pernah berniat untuk sombong, karena membeli mobil ini tujuannya yaitu, untuk memudahkan perjalanan saat proses melahirkan nanti menuju klinik.Yang kedua aku ingin saat kami hendak pulang ke kampung halaman, ibu dan bapak tak perlu lagi naik angkutan umum, selain panas di sana juga rawan kejahatan, dan tentu sangat melelahkan karena kami harus turun dan naik bis berkali-kali."Bener-bener lucu tuh manusia, harusnya tadi pas ngaku-ngaku sambil siaran langsung kaya mertua Mbak waktu itu," celetuk Sela masih menertawakan mereka.Bibirku pun ikut menyeringai saat ingat k
Tubuhku mematung karena bingung harus melakukan apa, melihat tangisan Nasya aku jadi tak tega mengajaknya pulang."Kenapa perempuan itu nyakitin Papa?" tanya Nasya disertai isakan."Lebih baik kamu pulang dulu ya sama Mamamu," bujuk Mas Heri.Aku menganggukkan kepala setuju dengan ucapannya, tapi wajah Nasya memancarkan sinar yang berbeda, ia seperti ingin lebih lama dengan ayahnya, seolah Mas Heri seseorang yang butuh perlindungannya, padahal dulu lelaki yang ia sayang itu sudah ....Ah, terlalu pahit mengenang masa lalu, di sini hanya aku yang masih terjebak di dalamnya, sedangkan Mas Heri sudah mulai berbenah, pun dengan Nasya yang memiliki hati selembut kapas tak pernah membenci ayahnya.Bagaimana lagi kenangan itu terlalu saki
Bab 25. A"Pak Satria."Sontak bibirku berkata, dada ini bergemuruh bergulung dalam kecemasan menanti bukti apa yang ia punya. Lelaki itu jalan mendekat sambil melirik kiri kanan, mungkin tak ingin kejadian memalukan ini jadi pusat perhatian.Ia mengangkat ponselnya setinggi wajah, seolah mengatakan jika bukti itu ada di dalamnya, sementara wajah ibu kulihat berubah sepucat kapas."Siapa kamu?! Jangan ikut campur!" tegas ibu dengan wajah bengis, meski begitu ketakutan di wajahnya tetaplah tak bisa disembunyikan."Maaf, Bu, saya tadinya ga mau ikut campur, tapi setelah melihat Amira, terpaksa saya ikut campur," jelas Pak Satria."Bukti apa sih, Pak? perlihatkan aja sekarang biar masalah ini semakin jelas," ujarku merasa tak sabar."Ok bentar."Jemarinya bergulir menyentuh ponsel itu."Nih, aku punya vidio-nya kalau Ibu ini memasukkan kotoran itu dengan sengaja," ujar Pak Sat
Bab 25.BTak terasa waktu bergulir dengan cepatnya, kini bayi Rista dan juga Ardan sudah berusia 40 hari, satu Minggu yang lalu Ardan mengabarkan menyuruhku datang ke acara aqiqah putri pertamanya.Seperti biasa aku berangkat dan diantar oleh sela, gadis itu tak pernah lelah mengantarkanku ke mana saja sesuai perintah.Rumah Rista dihias dengan indahnya, saat turun dari mobil diriku sempat menjadi pusat perhatian orang-orang, di sana juga ada ibu yang berdiri menatapku dengan pandangan sinis.Entah hal apa yang pernah kuperbuat, hingga rasa benci itu sangatlah kuat, tapi seingatku diri ini tak pernah menggoreskan luka yang menyakitkan."Waah mobil baru ya, Mbak," ujar salah seorang wanita, ia salah satu pelangganku."Alhamdulillah, Mbak." Aku tersenyum ramahLain lagi dengan wajah ibu yang makin terlihat masam, mulutnya nampak mengerucut, jelas saja ia paling tak suka mendengar orang-orang mem
Bab 26.A(POV Ibu Ninik)"Celaka!""Bagaimana ini? runtuh sudah harga diri yang selama ini kujaga di hadapan orang tua Rista! Kenapa aku harus jatuh?!""Ugh si*al! Harus kupalingkan ke mana wajah ini sementara orang-orang menghujaniku dengan tatapan remeh dan hina? kuharap saat ini pingsan saja."Tania sudah dibawa paksa oleh pihak polisi, tak mungkin ia penjahat! Ia menantu yang kupilih khusus untuk Heri agar ia nampak bergengsi.Sedangkan anak sulungku itu entah di mana? mungkinkah ia memilih menyusul istrinya dan mengabaikanku, ah Ardan kau juga di mana?Di sana mungkin Amira juga sedang terbahak menertawakan ket*lolan dan kebod*hanku, bagaimana ini? sudah pasti Rista dan keluarganya semakin membenciku."Huuhh dasar! Aji mumpung!" teriak seseorang entah siapa."Nuduh orang aji mumpung tahunya dia sendiri yang lakuin, kenapa ga bawa tas besar a
Bab 26. BDengan wajah kaku kutemui keluarga Rista hendak berpamitan pulang, di sana juga ada Amira meluap sudah rasa benciku padanya."Oh mau pulang ya? ya sudah, Bu, pulang aja ga apa-apa," jawab Bu Tamara dengan wajah datar.Jangankan membekaliku dengan aneka makanan yang ada, menyunggingkan senyumannya saja tidak, dasar keluarga rese! Lihat saja nanti akan kubuat anakmu bertekuk lutut lagi di hadapanku seperti dulu."Nanti aja, Bu, pulangnya 'kan pengajiannya baru mulai, nanti aku antarkan sampai rumah," sahut Amira.Cih!Ingin sekali meludahi wajahnya, ia pasti ingin memamerkan mobil barunya yang murahan itu, tak Sudi! lebih baik aku jalan kaki."Ga usah saya bisa naik taxi, permisi."Aku pergi tanpa membawa sesuatu dari rumah itu, hanya hinaan dan rasa malu. Dada ini sakit saat melihat Rista mengobrol begitu renyahnya dengan seorang lelaki.Kalau tak salah nama
Bab 27. A(POV Bu Ninik)"Tania kenapa, Heri? jangan diem aja dong!"Kupandangi wajahnya yang kusut dengan tajam, otakku hampir meledak memikirkan Ardan, sekarang bisa meledak sungguhan karena terlalu memikirkan Tania.Apa kata orang-orang jika menantu yang selalu kubanggakan jadi narapidana? dan Amira yang so kaya itu akan terus tertawa melihat hancurnya keluargaku ini."Exploitasi anak, selama ini orang tua Tania mempekerjakan anak-anak gelandangan di bawah umur dengan cara menjadi pengemis boneka Mampang, dan memberikan upah yang rendah.""Bahkan, mereka sampai menyiapkan fasilitas tempat tinggal untuk anak-anak yang ga punya rumah sama sekali dengan fasilitas yang buruk, juga memperlakukan mereka layaknya binatang, yang penting bisa menghasilkan uang, begitu kata polisi."Akhirnya anak itu membeberkan semuanya membuat jantung ini hampir lepas dari tempatnya.Aku mematung sambi
"Aku selalu menelponmu tapi percuma jarang diangkat, sekali pun diangkat cuma sebentar padahal banyak yang ingin aku ceritakan soal Ibu, cerita juga mending kalau kamunya percaya, ya sudah sejak itu aku tak ingin lagi berhubungan denganmu," lanjut Ardan mengungkapkan kekecewaannya.Aku terduduk di bangku plastik miliknya, raga ini lemas mendengar semua kenyataan yang sebenarnya."Aku minta maaf, Ardan. Harus gimana supaya kamu memaafkan," ucapku dengan pasrah.Ia diam sibuk dengan pekerjaannya, haruskah aku berlutut di kakinya?"Ini ada uang buat modal tambahan usahamu, pakailah tadinya uang itu untuk pegangan beberapa bulan ke depan." Aku menyerahkan ATM sekaligus password-nya."Aku ga butuh, lagi pula sekarang bisa cari uang sendiri berikan saja uang itu untuk istrimu," jawab Ardan dengan culas."Ambil aja itu untuk pengobatan ibu kalau kamu ga mau, maafkan aku Ardan, sedikit pun aku ga pernah niat menelantarkanmu dan Ibu, ini semua karena Tania pandai memutar balikkan fakta, dan b*
(POV HERI)Satu tahun lamanya aku tak pulang ke kampung halaman, sebenarnya enam bulan yang lalu aku hendak pulang, tetapi keadaan tak memungkinkan dan banyak pula hambatan.Sengaja tak memberikan kabar kepulangan ini pada Tania ataupun Ardan, entah kenapa anak itu kini nomornya sudah tak aktif lagi, aku pun bertanya pada Tania katanya Ardan baik-baik saja dan ia sibuk bekerja.Aku turut bersuka cita atas perubahan anak itu, yang dulu ia manja dan lalai terhadap tanggung jawab, kini bisa mandiri dan mencari uang sendiri.Pesawat tiba di Jakarta tepat pukul sembilan pagi, untuk menuju kota kelahiranku dibutuhkan waktu sekitar dua jam lagi.Usai adzan Dzuhur berkumandang, akhirnya aku tiba di halaman rumah Tania, semuanya masih sama hanya warna cat rumah yang memudar.Aku melangkah masuk ke dalam pagar, memencet bel berkali-kali hingga pintu itu terbuka, nampaklah Tania yang berpenampilan berbeda.Rambutnya dipotong sebahu, wajahnya terlihat makin cerah dengan polesan make-up seperti bi
"Mbak Naya, bisa berhenti di depan?" tanyaku pada supir baru, Mas Satria sengaja memilih seorang wanita agar tidak ada ikhtilat diantara kami berdua saat bersama."Bisa, Bu," sebentar ya." Ia menuruti perintahku."Tolong jagain Hanan sebentar ya, saya mau nemuin orang itu.""Oh iya, Bu, sini Dedek Hanannya."Kuserahkan Hanan yang tertidur lelap ke pangkuan Naya, beruntung anak itu tak menangis.Aku segera berlari menembus kemacetan hingga akhirnya tubuhku sudah ada di hadapan ibu."Bu, kenapa di sini?" tanyaku sedikit berteriak."Ibuu!" teriakku sekali lagi, karena ia tak merespon panggilanku."Ibu, ngapain di sini?" Aku menyentuh pundaknya.Ia menepis dengan kasar lalu memandangku dengan berang."Diam! Aku lagi nunggu mantuku, Amira, dia janji mau ngajak shoping hari ini," jawabnya ngelantur.Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Mas Satria yang menelpon, karena takut ia marah aku segera menjawabnya."Sayang kamu di mana? kok belum nyampe juga?""Iya sebentar lagi nyampe kok, ini se
(POV AMIRA)Rumah seluas lima belas meter kali kali sepuluh meter menjadi hunian baru untukku dan anak-anak, Mas Satria membelikan hadiah ini sebagai hadiah pernikahan.Ia mengatakan jika rumah ini kurang besar dan mewah maka ia akan merenovasinya, tentu saja menurutku hal itu terlalu berlebihan, karena rumah ini seluas lapangan bola, mungkin jika orang tuaku tinggal di sini rumah ini pun takkan kesempitan.Tak sampai di situ Mas Satria pun mempekerjakan asisten rumah tangga dan seorang supir wanita khusus untuk mengantarku ke mana-mana, ah betapa bahagianya diperlakukan layaknya nyonya.Hari ini ia mulai bekerja setelah satu Minggu lebih menghabiskan masa cuti pernikahan di rumah, sengaja kami tak liburan ke mana-mana karena diluar pandemi masih melanda."Aku pergi dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecup kening.Jika di hadapan anak-anak ia akan memanggil 'mama' tapi jika tak ada siapa-siapa, kata sayang adalah panggilan untuk kami berdua.Sungguh romantis dan harmonis."Hati-hati
.Sedangkan Tania dan Tante Eva terlihat santai tak terpancing dengan omongan ibu. Akan tetapi, tetap saja mereka berdua membalas ucapan ibu dengan pedasnya membuat ibu makin emosi dan tak bisa mengontrol diri.Kepala ini pusing pasalnya jika pulang ke rumah selalu saja melihat keributan antara ibu dan Tania, mereka tak ada yang mengalah saling mempertahankan egonya."Ayo kita ke kamar, Bu. Aku beliin makanan," ujarku sambil merangkul pundak ibu."Makanan apa? itu dikasih Amira ya? dia emang menantu baik dan pengertian ga kaya kamu!" Ibu menunjuk wajah Tania.Aku kesal melihat tingkahnya, bagaimana jika Tania tak tahan dengan ibu lalu mengusir kita, akan tinggal di mana kami berdua."Sudah, ayo kita masuk kamar." Aku merangkul paksa dan membawanya menuju kamar."Ardan kamu harus usir Tania dari rumah ini dan bawa Amira kembali ya, Ibu itu cuma pengen punya menantu yang kaya ga kaya Tania bisanya ngabisin uang saja," cerocos ibu tak bisa diam."Sekarang Ibu makan dulu ya." Aku menyuapi
(POV Ardan)Nasib Bu Ninik.Sudah satu bulan lebih kakakku Heri berada di perantauan, ia mengatakan setiap tanggal satu akan mengirimkan transferan.Sedangkan kondisi ibu semakin hari kian memperhatikan, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena jika berpapasan dengan Tania bawaannya terlihat emosi, tak jarang ia marah-marah tanpa alasan."Mbak, Heri udah kirim uang?" tanyaku pada kakak ipar yang sedang menggunting kukunya.Ia malah menatapku sinis, seolah aku ini seorang pengemis."Mau apa emang?!" tanyanya sedikit membentak.Apa ia lupa? atau pura-pura lupa jika dalam uang itu ada hak mertua juga adik iparnya, dasar serakah! Entah apa yang dipikirkan kakakku hingga menggantikan Amira dengan wanita macam dia."Ya mau minta bagian, Heri 'kan janji kalau udah gajian mau bawa ibu ke psikiater," balasku tak kalah sinis.Untuk makan sehari-hari kami berdua terpaksa aku yang kerja, beruntung bengkel milik Adi setiap hari selalu ramai banyak kendaraann yang berdatangan, sehingga aku t
"Ok bagus." Tante Tamara melanjutkan langkahnya dengan wajah masam.Sedangkan Rista bersalaman dengan kami tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku penuh kebencian, bagiku tak masalah toh tak meminta uang padanya.Pesta hampir usai, tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan pulang, mama memintaku untuk bersiap berganti pakaian, ibu bilang malam ini Hanan biar tidur dengannya saja agar aku bisa menikmati malam pertama bersama Satria.Diperlakukan seperti itu aku jadi malu sendiri, padahal Satria tak keberatan jika Hanan tidur dengan kami, baik itu di malam pertama atau di malam-malam selanjutnya, karena anakku telah menjadi anak Satria juga, begitu katanya."Jangan bantah, malam ini Ibu mau tidur sama Hanan, udah sana ganti pakaian, besok Ibu akan antarkan Hanan ke rumah mertuamu," ucap ibu sedikit memaksa.Kulihat bayi mungil itu terlelap di pangkuannya."Kalau Hanan rewel telpon aja ya, Bu," ujarku sebelum pergi.Saat melangkah ada Rista berdiri menghalangi, tatapannya penuh
(POV Amira)Di sebuah gedung pernikahanku dan Satria dilaksanakan, sebenarnya aku malu menyelenggarakan pesta. Namun, apalah daya keluarga besar Satria yang menginginkannya.Acara akad sekaligus resepsi hari ini memang tergolong sederhana, tapi tetap saja aku tak nyaman harus bersanding di pelaminan, sementara anak-anakku takut tak diperhatikan.Ijab kabul dimulai ada perasaan haru dan tegang mendominasi, ibu dan juga kedua anak-anakku tak pernah jauh mereka selalu ada di sisi.Kebaya warna putih dengan jilbab senanda dipadukan dengan rok batik berwarna coklat membalut tubuhku dengan indahnya, aku tersenyum melihat pantulan diri di cermin, rasa bahagia terlukis sempurna di wajah ini."Sah."Akhirnya kata itu terucap di bibir orang-orang banyak, akhirnya aku resmi jadi nyonya Satria Bagaskara, kami menandatangani bekas-bekas dari KUA, lalu penghulu memberikan sepasang surat nikah.Ciuman pertama sungguh terasa menggetarkan jiwa, terlebih saat aku mencium takzim punggung tangannya, sudu
Aku masih diam menatapnya dalam sambil mendengarkan penjelasan pekerjaan apa yang akan kulakukan di sebrang pulau sana."Emang sih kerjanya capek, tapi 'kan duitnya gede." Tania masih membujuk, memang yang ada dalam otak wanita ini hanyalah uang, tak masalah walaupun harus jauh dari suami.Ah menyebalkan!"Terus ibuku gimana? tar kamu jadikan pembantu lagi di sini," jawabku ketus."Iya aku ga bakalan jadikan ibumu pembantu, lagi pula 'kan ada Ardan biarin aja dia yang ngurus ibumu, aku ga mau ikut campur," jawab Tania tak kalah ketus."Nanti aku fikirkan." Aku beranjak pergi karena berada di dekatnya tak menemukan kenyamanan yang ada ia terus memberikan tuntutan.Sempat terdengar ia mengoceh dan menghina. Namun, untuk kesekian kalinya aku bungkam karena malas dengan pertengkaran, lama-lama aku pun jadi terbiasa atas semua ocehan dan hinaan Tania.Cukup lama nongkrong di warung kopi memikirkan tawaran Tania diterima atau tidak, aku pun sudah meminta pendapat teman-teman dan mereka meng