Hari-hari yang Ayu jalani terasa sangat berat. Ayu menjalani kehidupannya seperti biasa walaupun bedanya ia sudah bukan lagi menjadi istri dari Anton. Ayu menjalani hari-harinya menjadi seorang ibu yang baik bagi Rey, pun menjadi seorang kakak yang bijaksana bagi Vika.
Ayu selalu tampil sempurna di hadapan orang lain. Padahal kenyataannya, itu hanyalah topeng belaka. Di balik senyum yang selalu Ayu tampilkan, menyimpan duka yang Ayu pendam dalam-dalam. Ayu memaksa dirinya untuk tetap tegar. Ia berusaha untuk tidak marah atau menangis. Ayu menguatkan dirinya ketika ia melihat Anton dan Vika. Ayu berusaha bersikap normal. Awalnya memang sangat sulit bagi Ayu untuk menjalaninya. Namun semua yang Ayu lakukan hanya untuk putranya, Rey. Ayu akan berjuang dan bertahan. Bagi Ayu, Rey tidak boleh kehilangan sosok seorang ayah. Ia harus bisa mendapatkan kasih sayang dari orangtua yang lengkap. Walaupun sebenarnya sudah tidak utuh lagi. Ayu ingin putranya tetap merasa bahwa orangtuanya baik-baik saja. Disisi lain, sebagai kakak, Ayu juga ingin mendampingi Vika dan memberi motivasi untuknya. Kondisi Vika cukup payah untuk kehamilan tri semester pertamanya. Vika cukup lemah, karena jarang mau makan. Vika selalu muntah saat mencium bau makanan. Untung saja, Vika masih mau makan buah-buahan. Selebihnya hanya susu untuk ibu hamil atau bubur. Vika sangat pemilih makanan. Sikapnya juga berubah. Vika menjadi sangat manja. Ayu berusaha memahami hal itu karena mungkin itu adalah bawaan bayi. Anton juga sering kewalahan menghadapi sikap Vika, namun dia enggan meminta tolong kepada Ayu. Ayu memang sering menghindari pembicaraan dengan Anton, walaupun mereka tinggal satu atap. Ayu dan Anton hanya bicaraa saat terdesak, seperti Rey yang menginginkan sesuatu dari ayahnya, dan Ayu akan berkomunikasi secara baik-baik dengan Anton. "Jauhkan makanan itu dariku, Mas! Aku pengen muntah, aku nggak tahan sama baunya." Rengek Vika yang sempat Ayu dengar. Ayu juga mendengar Anton yang terus menerus membujuk Vika untuk makan, namun itu tidak berhasil. Hingga akhirnya Anton menyerah. Anton memilih pergi ke dapur dan menyimpan kembali makanan yang ia bawa untuk Vika. Disitu, Ayu dan Anton bertemu. Saat itu Ayu sedang membuat telur ceplok untuk Rey. "Ayu.." panggil Anton lirih. Namun Ayu tidak menyahut. Ayu berpura-pura tidak mendengar dan terus melanjutkan aktifitasnya. "Ayu, kamu lagi masak apa?" Tanya Anton lagi. Kali ini Anton lebih mendekat kepada Ayu. Sontak saja Ayu merasa tidak nyaman dan tidak bisa mengabaikan Anton. Ayu terpaksa menoleh ke arah Anton. Ekpresi Ayu sangat ketus kepada Anton. Karena sampai saat ini Ayu masih belum bisa memaafkan Anton. "Kamu udah liat sendiri kan apa yang sedang aku masak, nggak usah banyak tanya!" Sewot Ayu. Ayu langsung mematikan kompor dan mengangkat telur ceplok yang ia buat ke atas piring. "Apa kamu nggak bisa memaafkanku, Yu? Aku ingin kita hidup normal seperti dulu. Nggak kayak sekarang, kita kayak orang asing yang tinggal satu atap." Anton membututi Ayu yang sedang mengambil nasi, namun Ayu masih tetap saja mengabaikannya. "Ayu, dengarkan aku! Aku ini suamimu!" Ucap Anton keceplosan. "Maksudku.... aku ini Ayah Rey, anak kita." Ralat Anton. Ayu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Anton dengan tajam. "Iya, kamu memang Ayah dari anakku, tapi kamu hanyalah orang asing bagiku. Jadi aku minta jangan memaksaku untuk mendengarkanmu!" Hardik Ayu. "Ayu, kau..." Anton nampak marah. Ia memelototi Ayu. Tangan kanannya juga terangkat ke atas. Ia ingin menampar Ayu, namun di urungkan. Ayu mendengus kasar lalu membuang pandangan. Sejenak kemudian Ayu meninggalkan Anton yang masih mematung. "Vika nggak mau makan. Aku nggak bisa membujuk dia." Ucap Anton cukup keras, dan membuat Ayu kembali menghentikan langkahnya. "Dia hamil muda, harusnya kamu lebih sabar menghadapinya." Balas Ayu. "Aku tahu, tapi dia sangat berbeda dengan kamu waktu hamil dulu. Kamu tidak merepotkan seperti—" "Cukup, Mas! Rey udah lapar, aku mau menyuapinya dulu." Ayu memotong ucapan Anton. Ayu tidak suka mendengar ucapan Anton yang membandingkan kehamilan Ayu dulu dan kehamilan Vika sekarang. Ayu bersyukur, waktu ia hamil dulu ia bisa melakukan aktifitasnya dengan normal dan tidak merepotkan siapapun. *** "Rey sayang... makan dulu yah. Ini telur kesukaan Rey, udah Bunda buatin, loh." "Suapin yah Bun." Ucap Rey. "Iya, tapi Rey berdoa dulu dong." "Siap Bunda. Rey kan udah hafal kalau doa mau makan." Ucap Rey dengan bangganya kemudian mengangkat tangannya dan mengucapkan doa makan. Ayu merasa bahagia melihat Rey. Dia seperti menjadi obat di saat luka yang Anton dan Vika torehkan untuknya. "Sekarang, buka mulutnya." Rey pun dengan patuh membuka mulutnya ketika Ayu menyuapi makanan. "Rey, mau makan sama Ayah?" Anton tiba-tiba datang, dan hal itu membuat Ayu terkejut. "Ayah, temani Rey main mobil-mobilan. Kita balapan, yah." Ucap Rey dengan girang. Ayu menatap Anton dengan tatapan tak suka. Suasan yang membuat Ayu sangat tidak nyaman. Ayu tahu, Anton ini adalah waktunya dengan Rey, namun Ayu masih saja merasa risih dengan kehadiran Anton. "Iya, nanti kita balapan mobil. Tapi Rey makan dulu yah, Ayah yang suapin." Rey tak menimpali ucapan Anton, karena anak itu sedang asik bermain mobil-mobilan. "Sini, biar aku yang menyuapi Rey." Pintah Anton sambil meminta piring yang ada di tangan Ayu. "Nggak perluh, ini udah jadi tugas aku sebagai ibunya." Tolak Ayu. "Sini Rey, buka lagi mulutnya!" Ayu kembali memasukan satu sendok makanan ke dalam mulut Rey. "Tolong bujuk Vika! Dia pasti nurut kalau sama kamu. Rey biar aku yang temenin makan dan bermain." Akhirnya Anton mengutarakan maksudnya yang sebenarnya. Ia menghampiri Ayu, bukan demi Rey, melainkan demi Vika dan bayi yang sedang di kandungnya. Hati Ayu terasa sakit mendengar ucapan Anton. Walaupun Vika adalah adiknya, tapi tetap saja. Ayu hanyalah wanita biasa yang bisa merasakan sakit dan kecewa. "Ayu, aku mohon. Vika itu adikmu, kasihan dia. Kata dokter, jika dia terus-terusan nggak mau makan, itu bisa berakibat buruk pada kandungannya." Ucap Anton yang terlihat putus asa. Ayu tidak tega dengan Vika. Ayu tahu wulan masih sangat muda, dan sebenarnya masih belum siap untuk hamil. Psikologisnya pasti terguncang dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Ayu tidak bisa berkata-kata lagi. Ayu hanya menyerahkan piring berisi makanan Rey yang belum habis ke tangan Anton. Setelah itu, Ayu beranjak pergi menuju ke kamar Vika. Karena sebagai seorang kakak, Ayu tidak bisa melihat adiknya menderita. "Trimakasih, Ayu." Ucap Anton sebelum Ayu meninggalkan kamarnya untuk menemui Vika.Rasanya begitu berat bagi Ayu, saat ia hendak mengambilkan makanan untuk Vika. Ayu sadar Vika adalah adiknya yang paling ia sayangi, namun disisi lain Vika jugalah perusak rumah tangganya. Rasa marah, benci, kecewa, semua tercampur aduk menjadi satu, sehingga tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Ayu menghela napas dalam-dalam ketika ia berdiri di depan pintu kamar Vika. Ayu mencoba menenangkan diri dan menekan emosinya. Setelah merasa siap, akhirnya Ayu mengetuk pintu kamar Vika. "Vik... ini aku." Ucap Ayu sembari membuka pintu, dan melangkah masuk. "Kak Ayu." Ayu bisa melihat dengan jelas saat ini Vika sedang terbaring lemas. Wajahnya juga terlihat pucat. "Kakak bawakan makanan untuk kamu. Makanlah!" "Aku nggak lapar, Kak." Sahut Vika yang terdengar lirih. Ayu meletakan nampan berisi makanan di atas nakas, lalu duduk disisi ranjang. Ayu membantu Vika untuk bersandar. "Kakak akan menyuapimu. Makanlah biar sedikit." Bujuk Ayu, lalu menyodorka
"Mas, suapin Vika." Rengek Vika pada Anton, suaminya. Pasangan suami-istri itu sedang berada di meja makan untuk sarapan. Sementara Ayu melewati mereka untuk ke dapur dan membuatkan sarapan untuk Rey, karena Rey ingin dibuatkan nasi goreng dengan telur ceplok. "Sayang... pengen telur ceplok." Ayu mendengar dengan jelas rengekan Vika. Entah mengapa firasat Ayu mengatakan bahwa saat ini, Vika sengaja membuatnya cemburu dan ingin memanas-manasi Ayu. "Vik, kamu kan nggak suka telur ceplok. Biasanya kan kamu nggak mau." Ucap Anton yang juga bisa di dengar oleh Ayu. "Iya, tapi aku kan lagi hamil, Mas. Biasanya ibu hamil suka yang aneh-aneh, kan? Anakmu yang minta loh, Mas. Kamu mau anak kamu nanti ileran kalau nggak di turuti? Buatin aku telur ceplok, aku maunya itu! Nggak mau yang lain!" Entah mengapa kini Ayu merasa jengkel dan benci mendengar rengekan Vika kepada Anton. Apakah Ayu cemburu? Sebenarnya, Ayu sangat ingin meninggalkan rumah itu tempat dimana V
Seperti yang sudah Ayu rencanakan kemarin, hari ini Ayu akan pergi ke makam orantuanya, dan setelahnya jalan-jalan sebentar. "Rey, udah siap?" Tanya Lily yang datang menjemput Ayu dan Rey. "Siap Tante." Jawab Rey dengan antusias. "Nanti Rey pengen beli es krim, yah." Ucap Rey yang sudah berada di pangkuan Lily. Sementara Ayu sendiri tengah sibuk memakai kerudungnya. "Iya, nanti Tante belikan." "Hore... Rey suka es krim cokelat sama Vanilla." Ucap Rey. "Tapi Rey nggak boleh makan es krim terlalu banyak, yah?" Ucap Ayu mengingatkan, karena Rey sangat muda terkena flu jika makan makanan yang dingin-dingin. "Iya Bunda. Rey ingat, biar nggak sakit, kan?" Tanya Rey dengan polos. "Iya sayang. Sini pake sepatu dulu." "Biar aku aja yang pakaikan, kak." Ucap Lily dan segera mengambil sepatu Rey. "Terimakasih ya, Ly." Ayu tersenyum kecil lalu mengemasi dompet dan ponsel, lalu memasukannya ke dalam tas. "Sama-sama, kak." Ucap Lily membalas senyu
Pagi ini Ayu terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pusing sekali rasanya. Ayu juga merasa mual dan ingin muntah. Ayu mengoleskan ke perut dan ke sekitar hidungnya. Ia berharap itu dapat membuatnya merasa lebih nyaman. Ayu tidak beranjak dari ranjang, hingga tiba-tiba Rey terbangun dan ikut membangunkan Ayu. "Bunda..." panggil Rey. Ayu hendak bangun, namun tubuhnya terasa sangat lemas. "Bunda kenapa?" Tanya Rey yang menatap Ayu dengan lekat. "Maafin Bunda sayang, Bunda lagi nggak enak badan," tutur Ayu. "Bunda sakit apa?" Tanya Rey khawatir. "Nggakpapa sayang, sepertinya Bunda cuma kecapean dan masuk angin. Kemarin kita kan habis jalan-jalan." Rey memeluk Ayu dengan erat, "Bunda cepat sembuh, ya." "Iya sayang." "Ayu, Rey.. kalian di dalam?" Panggil Anton sembari mengetuk pintu kamar. "Ayah..." teriak Rey yang langsung berlari ke arah pintu dan membukanya. "Rey baik-baik saja?" Tanya Anton begitu Rey membukakan pintu. "Iya, Re
Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Ayu benar-benar degdeg-an dengan alat itu, kalau dulu ia sangat berharap benda itu bergaris dua, kalau sekarang malah sebaliknya karena kondisinya yang sudah bukan lagi istri Anton. "Nggakpapa Yu. Bibi yang menyuruhnya, biar nanti k
Ada rasa malas yang menerjang Ayu untuk kembali ke rumah. Namun, apadaya itu adalah pilihannya sendiri untuk tetap bertahan dan Ayu juga harus menanggung konsekuensinya. Rumah yang dulunya tempat ternyaman bagi Ayu, namun kini semua telah berubah menjadi tempat yang menyimpan luka pada Ayu. "Ayu, tadi kata Lily kamu pergi ke dokter ditemani Bi Sari. Bagaimana hasilnya? Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Anton saat Ayu sampai dirumah. "Iya," jawab Ayu singkat. "Yu, aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucap Anton menghalangi jalan Ayu saat ingin masuk ke dalam kamar. Ayu menghembuskan napas kasarnya, "Tolong minggir, Mas. Aku capek. Aku mau istirahat." "Apa kamu tadi melakukan tes kehamilan?" Tanya Anton. "Aku rasa pertanyaan itu nggak perluh kamu tanyakan," jawab Ayu. "Rey, mau ikut Ayah?" Tanya Anton pada Rey. Ayu tahu Anton hanya memanfaatkan Rey sebagai alasan. Padahal dia ingin tahu apa yang Ayu lakukan. "Nggak usah," ucap Ayu menghalangi Anton. "R
"Sayang, dengarkan Bunda, Nak. Bunda mau ngomong sama Rey." "Rey maunya sama Ayah, Bun. Rey mau Ayah temani Rey bermain," rengkek Rey masih menangis. "Iya, nanti Rey bisa bermain sama Ayah. Sekarang Rey berhenti nangis dulu, ya?" Pintah Ayu. Ayu menatap Rey lekat-lekat. Ia sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk memberitahukan kepada Rey mengenai kondisi antara ia, Vika dan Anton. "Rey... Rey sayang nggak sama Bunda?" "Iya, Rey sayang Bunda, sayang Ayah juga," jawab Rey dengan tangis yang sedikit mereda. Dengan lembut Ayu menghapus sisa-sisa air mata Rey. Ia harus menyampaikan kenyataan yang terjadi di antara ia, Vika dan Anton. Sebenarnya, Ayu tidak tega, namun Ayu harus tetap menyampaikannya agar Rey sedikit mengerti. Ayu menarik napas dalam-dalam, dan berusaha untuk tetap tenang. "Rey sayang, Bunda sama Ayah itu udah nggak sama-sama lagi," ucap Ayu dengan hati-hati. Rey yang mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan merasa bingung. "K
Vika masih tidak mengerti, padahal segala cara sudah ia lakukan, tetapi tetap saja ia merasa jika Anton masih belum bisa mencintainya sepenuhnya. Anton masih saja memperhatikan Ayu dan juga Rey. Vika merasa bahwa Ayu sengaja mencari perhatian Anton dengan memanfaatkan Rey, putra mereka. Namun Vika tidak akan mudah menyerah. Ia sudah melangkah sangat jauh, dan sudah banyak yang sudah ia korbankan demi mendapatkan Anton. "Hanya aku yang boleh memiliki Mas Anton. Sudah cukup selama ini aku mengalah dan menurut padanya," gumam Vika yang sedang berada di dalam kamarnya. *** "Sayang, hari ini jadwal kita pergi ke dokter kandungan. Kamu ingat kan?" Tanya Vika pada Anton. "Iya, tentu saja aku mengingatnya." "Sudah empat bulan usia kandunganku, semoga anak kita tumbuh sehat." "Aminn." "Aku yakin anak yang sedang di kandungku pasti laki-laki, dan pastinya akan setampan kamu, Mas. Mas Anton pasti akan sangat sayang sama dia," ucap Vika sembari mengelus-elus pe
Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
"Memangnya Bibi mau aku kenalan dengan siapa?" tanya Ayu penasaran. Sebenarnya Ayu masih tidak ingin untuk mengenal orang baru, tapi karena ia melihat kesungguhan di wajah Bi Sari, ia jadi tidak enak kalau menolak. "Kamu kenal dengan Pak Ramzi yang tinggal di kampung sebelah itu kan, Nak?" Ayu mengerutkan dahi, ia tahu orang yang dimaksud oleh Bi Sari. Pak Ramzi adalah seorang duda yang terkenal baik dan dermawan. Tapi, apa iya Bi Sari akan menjodohkan Ayu dengannya? Usia Pak Ramzi saja sama dengan usia ayah Ayu jika saja ayahnya masih hidup. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Bi Sari yang melihat Ayu nampak kebingungan. "I–iya, aku tahu Pak Ramzi yang dari kampung sebelah. Dia yang juragan lele itu, kan?" tanya Ayu memastikan. "Iya, dia maksud Bibi." "Jadi Bibi mau menjodohkanku dengan Pak Ramzi?" sahut Ayu dengan cepat. Ia langsung panik. Mengapa Bi Sari ingin mengenalkan dirinya dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahnya? Bi Sari tertawa mendengar
"Kamu harusnya bisa bersikap tegas pada istrimu, ketika apa yang dia lakukan salah. Aku nggak akan meminta kamu memberi yang lebih, cukup luangkan waktumu untuk Rey. Temani dia dan berikan kasih sayangmu. Kamu harus adil, Mas. Anak kamu bukan cuma Inara. Rey juga anakmu. Kamu juga tahu sendiri kan, bagaimana Rey sangat sayang dan mengidolakan kamu sebagai ayahnya," omel Ayu. Anton menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku bingung, Yu. Vika selalu menakutiku dengan banyak hal. Aku juga takut, kalau aku nggak menuruti keinginannya, dia akan kembali mencampakan Inara. Aku nggak tega dengan bayi kecilku," ucap Anton. "Jadi kamu nggak tega sama Inara, tapi kamu tega sama Rey? Iya?" Sungguh ucapan Anton benar-benar membuat Ayu semakin kecewa. "Bukan begitu, Ayu. Tolong kamu mengerti dengan kondisiku," ucap Anton dengan memelas. "Kalau aku berusaha mengerti kondisimu, apa kamu bisa mengerti keinginan Rey? Dia juga ingin di antar ke s
Ayu melangkah mendekati kamar Vika dan Anton, dan kini matanya tertuju pada bayi sedang berada di gendongan Anton. "Dia menangis terus dari tadi. Dikasih minum juga sulit." Anton sudah terlihat frustasi. Diberikannya bayi mungil yang sedang ia gendong. Ayu menerimanya bayi itu dan kini bayi Vika berada dalam gendongannya. Ia tidak langsung memberikan susu kepada bayi itu, tapi ia membaringkan bayi itu di ranjang dan mengecek kondisinya. Ayu merasa ada sesuatu yang membuat bayi itu merasa tidak nyaman. Ayu rasa mungkin ada yang kurang pas dengan bedongannya. Ia pun membuka kain yang melilit bayi mungil itu, kemudian membenarkan posisinya. Ia membedongnya lagi dengan rapat sehingga bayi itu bisa merasa hangat. "Sudah ya, sayang. Jangan menangis. Haus, ya?" tanya Ayu pada bayi mungil itu. "Sini sayang, minum dulu." Ayu memberikan sebotol susu pada bayi itu, dan bayi itu segera mengesap dengan kuat, dan tangisnya perlahan berhenti. Inara, nama bayi itu. Kini i
Vika semakin histeris dan memberontak. Ia tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia ketahui. "Kalian pembohong! Dimana anak laki-lakiku? Aku ingin anak laki-lakiku," teriak Vika semakin memberontak. "Vika, tenang. Istighfar!" Bi Sari membujuk Vika dan ikut memegangi Vika. "Tenangkan dirimu. Jangan seperti ini!" Anton berusaha memeluk Vika. "Kalian pasti berbohong! Anakku pasti laki-laki. Dimana dia? Aku ingin melihatnya!" Vika berusaha melepaskan diri dari pegangan Bi Sari dan Anton. Ia yang tadinya terlihat lemah, tiba-tiba memiliki banyak tenaga untuk memberontak. Sedangkan Ayu hanya terpaku di tempatnya berdiri. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi ia kasihan melihat Vika yang seperti itu, tapi disisi lain, ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Perasaan Ayu tidak enak. Jika ia ikut campur, Vika bisa saja menyalahkan dirinya dan Rey. Vika juga bisa saja menjadikan ia dan Rey pelampiasan atas apa yang tidak bisa dicapainya. Plaaakk! "Tenang,
Pintu ruang operasi telah dibuka, dan mereka bisa mendengar suara tangisan dari bayi. Mereka pun buru-buru menghampiri dokter yang sedang berdiri di ambang pintu. "Bagaimana anak dan istri saya, Dok?" tanya Anton dengan tidak sabar. "Ibu dan bayinya selamat. Tapi karena bayinya lahir prematur, harus kami rawat di inkubator," kata sang dokter. "Apa jenis kelamin anak saya, Dok?" tanya Anton lagi dengan ragu. "Selamat, anak Bapak perempuan. Untuk ibunya, saat ini masih dalam masa pemulihan. Sebentar lagi akan di pindahkan ke ruang perawatan," jawab sang dokter. Anton terpaku. Jujur ia bingung karena anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan Vika. "Terimakasih, Dok," kata Bi Sari mewakili Anton yang masih membeku. "Sama-sama. Bapak bisa melihat bayinya, tapi yang lain menunggu diluar," kata dokter. "Iya, Dok." Lagi-lagi Bi Sari yang menjawab. "Anton," panggil Bi Sari yang langsung menyadarkan Anton dari lamunannya. "Adzani dulu anakmu," k