Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Ayu benar-benar degdeg-an dengan alat itu, kalau dulu ia sangat berharap benda itu bergaris dua, kalau sekarang malah sebaliknya karena kondisinya yang sudah bukan lagi istri Anton. "Nggakpapa Yu. Bibi yang menyuruhnya, biar nanti k
Ada rasa malas yang menerjang Ayu untuk kembali ke rumah. Namun, apadaya itu adalah pilihannya sendiri untuk tetap bertahan dan Ayu juga harus menanggung konsekuensinya. Rumah yang dulunya tempat ternyaman bagi Ayu, namun kini semua telah berubah menjadi tempat yang menyimpan luka pada Ayu. "Ayu, tadi kata Lily kamu pergi ke dokter ditemani Bi Sari. Bagaimana hasilnya? Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Anton saat Ayu sampai dirumah. "Iya," jawab Ayu singkat. "Yu, aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucap Anton menghalangi jalan Ayu saat ingin masuk ke dalam kamar. Ayu menghembuskan napas kasarnya, "Tolong minggir, Mas. Aku capek. Aku mau istirahat." "Apa kamu tadi melakukan tes kehamilan?" Tanya Anton. "Aku rasa pertanyaan itu nggak perluh kamu tanyakan," jawab Ayu. "Rey, mau ikut Ayah?" Tanya Anton pada Rey. Ayu tahu Anton hanya memanfaatkan Rey sebagai alasan. Padahal dia ingin tahu apa yang Ayu lakukan. "Nggak usah," ucap Ayu menghalangi Anton. "R
"Sayang, dengarkan Bunda, Nak. Bunda mau ngomong sama Rey." "Rey maunya sama Ayah, Bun. Rey mau Ayah temani Rey bermain," rengkek Rey masih menangis. "Iya, nanti Rey bisa bermain sama Ayah. Sekarang Rey berhenti nangis dulu, ya?" Pintah Ayu. Ayu menatap Rey lekat-lekat. Ia sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk memberitahukan kepada Rey mengenai kondisi antara ia, Vika dan Anton. "Rey... Rey sayang nggak sama Bunda?" "Iya, Rey sayang Bunda, sayang Ayah juga," jawab Rey dengan tangis yang sedikit mereda. Dengan lembut Ayu menghapus sisa-sisa air mata Rey. Ia harus menyampaikan kenyataan yang terjadi di antara ia, Vika dan Anton. Sebenarnya, Ayu tidak tega, namun Ayu harus tetap menyampaikannya agar Rey sedikit mengerti. Ayu menarik napas dalam-dalam, dan berusaha untuk tetap tenang. "Rey sayang, Bunda sama Ayah itu udah nggak sama-sama lagi," ucap Ayu dengan hati-hati. Rey yang mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan merasa bingung. "K
Vika masih tidak mengerti, padahal segala cara sudah ia lakukan, tetapi tetap saja ia merasa jika Anton masih belum bisa mencintainya sepenuhnya. Anton masih saja memperhatikan Ayu dan juga Rey. Vika merasa bahwa Ayu sengaja mencari perhatian Anton dengan memanfaatkan Rey, putra mereka. Namun Vika tidak akan mudah menyerah. Ia sudah melangkah sangat jauh, dan sudah banyak yang sudah ia korbankan demi mendapatkan Anton. "Hanya aku yang boleh memiliki Mas Anton. Sudah cukup selama ini aku mengalah dan menurut padanya," gumam Vika yang sedang berada di dalam kamarnya. *** "Sayang, hari ini jadwal kita pergi ke dokter kandungan. Kamu ingat kan?" Tanya Vika pada Anton. "Iya, tentu saja aku mengingatnya." "Sudah empat bulan usia kandunganku, semoga anak kita tumbuh sehat." "Aminn." "Aku yakin anak yang sedang di kandungku pasti laki-laki, dan pastinya akan setampan kamu, Mas. Mas Anton pasti akan sangat sayang sama dia," ucap Vika sembari mengelus-elus pe
Ayu kini sedang berada di teras bersama dengan Rey, menemani putranya bermain. Terlihat juga Anton dan Vika yang baru saja pulang usai memeriksakan kandungan Vika dari dokter. Vika turun dari mobil sambil menangis sedangkan Anton berusaha menenangkannya. "Udahlah, Vik. Nggak boleh gitu. Syukuri saja apa yang sudah diberikan Tuhan. Mau anak laki-laki atau anak perempuan, itu sama saja," kata Anton menghibur. "Tapi Mas, aku maunya anak laki-laki," kata Vika dengan keras kepala. "Vik, itu sudah kehendak Allah, kita bisa apa?" Anton terlihat mulai emosi dan tak sabar menghadapi sikap Vika. "Tapi Mas—" "Vika! Kamu tadi dengar sendiri kan dokter bilang apa? Usia kandungan kamu baru menginjak 13 minggu. Masih terlalu dini juga untuk mengetahui jenis kelamin berdasarkan USG secara akurat. Mungkin saja terjadi kesalahan. Lagipula, dokter juga menyarankan untuk tes ulang bulan depan, bukan? Jadi kamu nggak perluh pesimis begitu. Dan satu lagi, anak perempuan atau ana
Hari menjelang sore, Anton, Vika serta Rey baru pulang. Ayu sempat khawatir, karena mereka tak kunjung pulang. Namun niatnya ia urungkan karena ia malas kalau nanti Vika yang mengangkat teleponnya. Ayu tidak mau Vika salah paham dan menuduhnya ingin mendekati Anton lagi. Ayu sampai terkejut dengan barang-barang yang mereka bawa. Vika benar-benar membeli barang-barang untuk bayinya. Anton sampai harus bolak-balik menurunkan barang dari dalam mobil, kemudian membawa masuk ke dalam rumah. "Bunda... lihat ini, Rey punya mainan baru," celoteh Rey dengan gembira. "Wah, bagus banget. Rey beli apa aja?" Tanya Ayu. "Pesawat terbang. Bagus kan, Bun?" Pamer Rey. "Iya sayang. Ini bagus sekali," puji Ayu. "Rey juga dibelikan mobil robot sama lego yang banyak," ucap Rey lagi. "Kak Ayu, kasih tahu Rey dong! Dia itu mainannya udah banyak. Itu mobil-mobilan dan robot, ngapain beli lagi? Mau bikin toko mainan?" Sindir Vika. Ayu tak menanggapi ucapan Vika. Ia malas se
"Apa yang terjadi? Kenapa Rey terjatuh, Mas?" Ayu mulai mengintrogasi Anton. "Tadi aku dikamar mandi, Yu. Vika yang menemani Rey bermain. Vika bilang, Rey tidak hati-hati dan terpeleset pada saat naik-turun tangga," terang Anton. Ayu tak percaya jika Rey terpeleset karena kurang hati-hati, pasti ada sesuatu yang sampai membuatnya terjatuh. "Kenapa kamu biarin Rey sendirian? Bagaimana kalau terjadi hal yang lebih buruk? Kamu ceroboh, Mas!" "Aku tidak meninggalkan Rey sendirian, Yu. Ada Vika disana," elak Anton. "Terus kamu percaya sama istri kamu itu? Mana bisa kamu meninggalkan Rey sama dia? Kamu tahu kalau Vika nggak suka sama Rey," ucap Ayu. "Terus aku harus gimana? Apa aku harus membawa Rey ikut ke kamar mandi juga?" Tanya Anton yang jadi serba salah. "Sudah, sudah! Ini di tempat umum. Apa kalian tidak malu dilihat orang-orang?" Bi Sari melerai. "Anton, lebih baik kamu segera membayar administrasinya dan segera mengambil obat. Kita segera pulang."
Malam ini, Ayu, Vika, Anton dan juga Bi Sari tengah duduk bersama untuk berbicara dari hati ke hati menuruti saran dari Bi Sari. Sementara Rey, sudah Ayu titipkan kepada Lily dirumah Bi Sari. Suasana tegang mulai menyelimuti. Tidak seperti dulu saat mereka berkumpul bersama ada kehangatan dan juga suasana bahagia. Tapi sekarang mereka hanya saling menatap dengan tatapan dingin. "Kalian pasti tahu, apa alasan kita berkumpul malam ini. Bibi sebenarnya sedih, dulu kalau kita berkumpul selalu dengan suasana bahagia. Tapi malam ini, ada hal yang harus diluruskan. Bibi bukan bermaksud untuk ikut campur, tetapi sebagai pengganti orangtua kalian, Bibi hanya ingin jadi penengah," kata Bi Sari membuka pembicaraan. Ayu, Vika dan Anton masih diam membisu. Belum ada yang mau angkat bicara. Vika juga menatap Ayu dengan nyalang, sementara Anton hanya bisa menunduk lesu. "Siapa yang ingin berbicara duluan di antara kalian? Jangan menyela, dengarkan baik-baik saat orang bicara. Dan
Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
"Memangnya Bibi mau aku kenalan dengan siapa?" tanya Ayu penasaran. Sebenarnya Ayu masih tidak ingin untuk mengenal orang baru, tapi karena ia melihat kesungguhan di wajah Bi Sari, ia jadi tidak enak kalau menolak. "Kamu kenal dengan Pak Ramzi yang tinggal di kampung sebelah itu kan, Nak?" Ayu mengerutkan dahi, ia tahu orang yang dimaksud oleh Bi Sari. Pak Ramzi adalah seorang duda yang terkenal baik dan dermawan. Tapi, apa iya Bi Sari akan menjodohkan Ayu dengannya? Usia Pak Ramzi saja sama dengan usia ayah Ayu jika saja ayahnya masih hidup. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Bi Sari yang melihat Ayu nampak kebingungan. "I–iya, aku tahu Pak Ramzi yang dari kampung sebelah. Dia yang juragan lele itu, kan?" tanya Ayu memastikan. "Iya, dia maksud Bibi." "Jadi Bibi mau menjodohkanku dengan Pak Ramzi?" sahut Ayu dengan cepat. Ia langsung panik. Mengapa Bi Sari ingin mengenalkan dirinya dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahnya? Bi Sari tertawa mendengar
"Kamu harusnya bisa bersikap tegas pada istrimu, ketika apa yang dia lakukan salah. Aku nggak akan meminta kamu memberi yang lebih, cukup luangkan waktumu untuk Rey. Temani dia dan berikan kasih sayangmu. Kamu harus adil, Mas. Anak kamu bukan cuma Inara. Rey juga anakmu. Kamu juga tahu sendiri kan, bagaimana Rey sangat sayang dan mengidolakan kamu sebagai ayahnya," omel Ayu. Anton menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku bingung, Yu. Vika selalu menakutiku dengan banyak hal. Aku juga takut, kalau aku nggak menuruti keinginannya, dia akan kembali mencampakan Inara. Aku nggak tega dengan bayi kecilku," ucap Anton. "Jadi kamu nggak tega sama Inara, tapi kamu tega sama Rey? Iya?" Sungguh ucapan Anton benar-benar membuat Ayu semakin kecewa. "Bukan begitu, Ayu. Tolong kamu mengerti dengan kondisiku," ucap Anton dengan memelas. "Kalau aku berusaha mengerti kondisimu, apa kamu bisa mengerti keinginan Rey? Dia juga ingin di antar ke s
Ayu melangkah mendekati kamar Vika dan Anton, dan kini matanya tertuju pada bayi sedang berada di gendongan Anton. "Dia menangis terus dari tadi. Dikasih minum juga sulit." Anton sudah terlihat frustasi. Diberikannya bayi mungil yang sedang ia gendong. Ayu menerimanya bayi itu dan kini bayi Vika berada dalam gendongannya. Ia tidak langsung memberikan susu kepada bayi itu, tapi ia membaringkan bayi itu di ranjang dan mengecek kondisinya. Ayu merasa ada sesuatu yang membuat bayi itu merasa tidak nyaman. Ayu rasa mungkin ada yang kurang pas dengan bedongannya. Ia pun membuka kain yang melilit bayi mungil itu, kemudian membenarkan posisinya. Ia membedongnya lagi dengan rapat sehingga bayi itu bisa merasa hangat. "Sudah ya, sayang. Jangan menangis. Haus, ya?" tanya Ayu pada bayi mungil itu. "Sini sayang, minum dulu." Ayu memberikan sebotol susu pada bayi itu, dan bayi itu segera mengesap dengan kuat, dan tangisnya perlahan berhenti. Inara, nama bayi itu. Kini i
Vika semakin histeris dan memberontak. Ia tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia ketahui. "Kalian pembohong! Dimana anak laki-lakiku? Aku ingin anak laki-lakiku," teriak Vika semakin memberontak. "Vika, tenang. Istighfar!" Bi Sari membujuk Vika dan ikut memegangi Vika. "Tenangkan dirimu. Jangan seperti ini!" Anton berusaha memeluk Vika. "Kalian pasti berbohong! Anakku pasti laki-laki. Dimana dia? Aku ingin melihatnya!" Vika berusaha melepaskan diri dari pegangan Bi Sari dan Anton. Ia yang tadinya terlihat lemah, tiba-tiba memiliki banyak tenaga untuk memberontak. Sedangkan Ayu hanya terpaku di tempatnya berdiri. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi ia kasihan melihat Vika yang seperti itu, tapi disisi lain, ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Perasaan Ayu tidak enak. Jika ia ikut campur, Vika bisa saja menyalahkan dirinya dan Rey. Vika juga bisa saja menjadikan ia dan Rey pelampiasan atas apa yang tidak bisa dicapainya. Plaaakk! "Tenang,
Pintu ruang operasi telah dibuka, dan mereka bisa mendengar suara tangisan dari bayi. Mereka pun buru-buru menghampiri dokter yang sedang berdiri di ambang pintu. "Bagaimana anak dan istri saya, Dok?" tanya Anton dengan tidak sabar. "Ibu dan bayinya selamat. Tapi karena bayinya lahir prematur, harus kami rawat di inkubator," kata sang dokter. "Apa jenis kelamin anak saya, Dok?" tanya Anton lagi dengan ragu. "Selamat, anak Bapak perempuan. Untuk ibunya, saat ini masih dalam masa pemulihan. Sebentar lagi akan di pindahkan ke ruang perawatan," jawab sang dokter. Anton terpaku. Jujur ia bingung karena anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan Vika. "Terimakasih, Dok," kata Bi Sari mewakili Anton yang masih membeku. "Sama-sama. Bapak bisa melihat bayinya, tapi yang lain menunggu diluar," kata dokter. "Iya, Dok." Lagi-lagi Bi Sari yang menjawab. "Anton," panggil Bi Sari yang langsung menyadarkan Anton dari lamunannya. "Adzani dulu anakmu," k