"Kok di dalam perut Tante Vika, sih? Kalau adik Rey, kan ada di dalam perut Bunda, kalau belum lahir."
Ucapan Rey membuat Ayu, Bi Sari serta Lily saling berpandangan. Perih sekali rasanya hati Ayu mendengar kepolosan anaknya itu. Bi Sari dan Lily sudah tidak bisa lagi menahan air matanya. Ayu sungguh sangat kasihan kepada anaknya karena harus menerima nasib seperti itu. Kenyataan yang sungguh sangat menyakitkan. "Rey sayang sama Tante Vika, kan?" Tanya Bi Sari. "Iya, Rey sayang sama Tante Vika, sama Nenek, sama Tante Lily juga Rey sayang." Ucap Rey dengan polosnya. "Rey memang anak yang baik. Kalau Rey sayang sama Tante Vika, berarti Rey juga harus sayang sama adik bayi yang ada di dalam perut Tante Vika. Anggap adik bayinya kayak adik Rey sendiri." Ucap Bi Sari dengan mata berkaca-kaca. Rey memandang Bi Sari dengan heran. Rey menatap Ayu, lalu memeluknya. Rey juga merabah perut Ayu dan berkata, "Kalau adik bayi dalam perut Tante Vika lahir, Rey akan sayang sama adik bayinya Tante Vika. Nanti dalam perut Bunda aka ada adik bayinya. Rey akan lebih sayang lagi. Iya kan, Bun?" Ucapan Rey berhasil membukam mulut Ayu. Bagaimana bisa ia memiliki bayi lagi sedangkan dirinya telah bercerai dengan Anton. Ikhlas itu memang sesuatu yang sangat berat untuk di lakukan. 'Mengapa adik kandungku harus menjadi pelakor dalam rumah tanggaku? Bagaimana aku bisa ikhlas menerima kenyataan ini, ya Allah? Suamiku di rebut oleh adikku sendiri.' Batin Ayu. Saat Ayu sedang melamun memikirkan nasibnya juga nasib anaknya, tiba-tiba Rey bertanya membuyarkan lamunan Ayu. "Bunda, Ayah dimana? Kok Ayah nggak tidur sama kita?" Tanya Rey yang ternyata belum tidur. Ayu menarik napas dalam-dalam, dan berpikir keras dalam otaknya untuk menyusun kata-kata yang akan ia lontarkan kepada Rey, anaknya. "Rey sayang, tadi kan Nenek Sari sudah bilang, kalau Tante Vika sedang hamil, dan Ayah harus menjaganya. Karena itu sekarang kita tidur berdua, yah?" Ucap Ayu pada anaknya. "Nanti Ayah kesini atau tidak? Rey juga ingin ditemani Ayah." Rengek Rey. Hati Ayu semakin sakit mendengar permintaan anaknya. "Sayang, Rey kan sudah besar, terus Rey juga sudah ditemani Bunda. Kalau Tante Vika, kan nggak ada yang nemenin kalau Ayah kesini." "Tapi Rey juga ingin tidur sama Ayah, Bun." Celoteh Rey. Ayu bisa melihat kesedihan di mata anaknya. Rasa sesak itu kembali menjalar dalam benak Ayu. Mata Ayu sudah berembun, buru-buru Ayu mendongak agar air matanya tidak tumpah mengenai Rey. Ayu kembali menatap anaknya dengan tersenyum. "Sabar yah, sayang. Lain kali, Rey bisa tidur sama Ayah. Malam ini sama Bunda dulu yah?" Bujuk Ayu. Menjelaskan permasalahn dewasa kepada anak yang masih berusia 5 tahun memang sangat tidak muda. Namun Ayu mencoba menjelaskannya dengan kata-kata yang muda di mengerti oleh Rey. Ayu masih saja merasakan sesak dalam dadanya. Ini adalah malam pertama bagi Anton dan Vika. Meski ini bukan kali pertama mereka berhubungan. Hal yang membuat hati Ayu terasa sakit adalah kenyataan bahwa Ayu tidak bisa lagi memeluk Anton ketika tidur. Ayu tidak bisa lagi mencurahkan segala penatnya kepada laki-laki itu. Ayu juga tidak bisa lagi bersandar di bahu Anton ketika Ayu sedang merasa terpuruk. Ayu harus berusaha menerima kenyataan bahwa Anton bukan miliknya lagi. *** "Ayah... Ayah mana Bun? Ayah..." Rengek Rey dalam tidurnya. Sepertinya Rey sedang memimpikan ayahnya. Ayu jadi merasa tidak tega melihat anaknya mengigau memanggil-manggil ayahnya seperti itu. "Tenang yah, Nak. Bunda disini. Tidur yang lelap sayang, jangan panggil-panggil Ayahmu lagi. Biar Bunda yang menjaga kamu." Bisik Ayu tepat di telinga Rey, sembari memeluknya erat. •Flashback On• "Dasar anak dekil, nggak punya ibu. Kasian banget." Olok teman-teman Vika waktu kecil. "Jangan temenan sama dia, nanti ibu kita, bisa mati kayak ibunya. Dia kan anak pembawa sial." Ucap yang lainnya. Vika kecil hanya bisa menangis saat dirinya di kucilkan. Tak ada yang mau berteman dengan Vika. Berbeda dengan Ayu, dia mempunyai banyak teman dan tidak ada yang mengolok-olokan dia seperti teman-teman Vika yang selalu mengolok Vika. Vika kecil selalu merasa iri kepada kakaknya, Ayu. Karena orang-orang lebih memperhatikan Ayu dibanding dengan dirinya. Hal itu membuat Vika kecil membenci kakaknya sendiri, tapi Vika tidak bisa menunjukan kebenciannya kepada Ayu karena orang-orang akan lebih membela Ayu daripada dirinya. Vika semakin tidak menyukai Ayu, apalagi kehidupan sekolahnya selalu di atur oleh Ayu. Vika juga tidak terima saat Anton memilih menikahi Ayu, kakaknya. Vika sangat cemburu, karena Ayu mendapatkan laki-laki setampan dan sebaik Anton. Sejak pertama kali melihat Anton, ternyata Vika sudah menyukainya. Vika berusaha menarik perhatian Anton, tapi selalu gagal karena Anton hanya melihat Vika sebagai anak kecil bukan sebagai wanita seperti Ayu. "Kelak aku akan mendapatkanmu, Mas. Bagaimanapun caranya!" Vika tahu kalau Anton itu adalah suami dari kakaknya, tapi Vika tidak peduli. Demi mendapatkan hati Anton, Vika selalu berbuat baik dan penurut. *** "Mas Anton, aku sangat mencintaimu." Ucap Vika pada Anton. "Aku ini suami kakakmu, Vik. Kamu nggak boleh seperti itu!" Tolak Anton. "Kalau Mas Anton suami dari Kak Ayu, emangnya kenapa? Apa salah kalau aku juga mencintai Mas Anton? Perasaan ini muncul begitu saja, Mas. Lagian aku sudah mencintai Mas Anton sedari lama, cuma aku tidak berani mengungkapkannya saja. Mas Anton selalu saja menganggapku ini sebagai anak kecil, lihat Mas! Aku sudah dewasa sekarang." "Vika, kita ini...." "Apa? Saudara ipar? Kamu bisa menikahiku jika kamu mau, Mas!" *** Saat itu Ayu sedang berada di warung toko, dia belum pulang sedangkan Anton pulang ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal. Waktu itu, Vika baru saja selesai mandi, ia menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Awalnya Vika terkejut melihat kedatangan Anton, tapi sedetik kemudian ia tersenyum miring. Vika tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. "Mas Anton, sudah pulang? Kak Ayu mana?" Tanya Vika dengan bersikap manja untuk menggoda Anton. "Ayu.... masih ada di toko. Ada barang yang harus ku ambil, makanya aku pulang duluan." Kata Anton sembari menatap lekat-lekat keindahan tubuh Vika yang ada di depannya. Vika mendekati Anton, dan bergelayut manja di bahunya. Vika dengan sengaja membuka lilitan handuk yang membalut tubuhnya. "Vika, apa yang kamu lakukan?" Tanya Anton dengan gugup. Vika tersenyum, "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sejak dulu, Mas." Bisik Vika tepat di telinga Anton, sedetik kemudian dia beralih pada leher Anton dan mencium leher Anton dengan lembut. "Tapi, Vika...." "Tenang aja, Mas. Nggak akan ada yang tahu kok. Dirumah cuma ada kita berdua. Lagian Rey lagi main di rumah Bi Sari." Anton terdiam sejenak, susah payah Anton menelan salivanya saat melihat tubuh Vika yang nampak menggoda imannya. "Kita lakukan di kamarku saja, Mas." Ucap Vika sambil menuntun Anton menuju ke dalam kamarnya. •Flashback Off•Akhirnya apa yang Vika inginkan akhirnya terwujud. Cintanya pada Anton akhirnya terbalas saat mereka berdua telah melakukan hal itu. Sejak saat itu, Vika dan Anton selalu main diam-diam. Setiap ada kesempatan, pasti selalu mereka manfaatkan dengan baik. Tapi tentunya Vika tidak ingin jika dirinya terus-terusan menjadi wanita simpanan Anton. Tanpa diketahui oleh Anton, Vika dengan sengaja tidak lagi meminum pil Kb yang selalu diberikan oleh Anton. Tujuan Vika tentu saja agar dirinya hamil, dan bisa menuntut pertanggung jawaban dari Anton agar Anton bisa menikahinya. Akhirnya beberapa bulan kemudian, Vika hamil anak dari Anton. Tentu Vika sangat bahagia. Tinggal menunggu waktu yang tepat sampai akhirnya ia memberitahukannya kepada Anton. "Mas, aku hamil." "Apa? Kamu hamil?" Pekik Anton yang sangat terkejut dengan ucapan Vika. "Iya Mas, disini ada anak kita." Ucap Vika sembari mengambil tangan Anton, untuk mengelus perutnya yang masih rata. "Nggak Vik. Ini uda
Hari-hari yang Ayu jalani terasa sangat berat. Ayu menjalani kehidupannya seperti biasa walaupun bedanya ia sudah bukan lagi menjadi istri dari Anton. Ayu menjalani hari-harinya menjadi seorang ibu yang baik bagi Rey, pun menjadi seorang kakak yang bijaksana bagi Vika. Ayu selalu tampil sempurna di hadapan orang lain. Padahal kenyataannya, itu hanyalah topeng belaka. Di balik senyum yang selalu Ayu tampilkan, menyimpan duka yang Ayu pendam dalam-dalam. Ayu memaksa dirinya untuk tetap tegar. Ia berusaha untuk tidak marah atau menangis. Ayu menguatkan dirinya ketika ia melihat Anton dan Vika. Ayu berusaha bersikap normal. Awalnya memang sangat sulit bagi Ayu untuk menjalaninya. Namun semua yang Ayu lakukan hanya untuk putranya, Rey. Ayu akan berjuang dan bertahan. Bagi Ayu, Rey tidak boleh kehilangan sosok seorang ayah. Ia harus bisa mendapatkan kasih sayang dari orangtua yang lengkap. Walaupun sebenarnya sudah tidak utuh lagi. Ayu ingin putranya tetap merasa bahwa o
Rasanya begitu berat bagi Ayu, saat ia hendak mengambilkan makanan untuk Vika. Ayu sadar Vika adalah adiknya yang paling ia sayangi, namun disisi lain Vika jugalah perusak rumah tangganya. Rasa marah, benci, kecewa, semua tercampur aduk menjadi satu, sehingga tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Ayu menghela napas dalam-dalam ketika ia berdiri di depan pintu kamar Vika. Ayu mencoba menenangkan diri dan menekan emosinya. Setelah merasa siap, akhirnya Ayu mengetuk pintu kamar Vika. "Vik... ini aku." Ucap Ayu sembari membuka pintu, dan melangkah masuk. "Kak Ayu." Ayu bisa melihat dengan jelas saat ini Vika sedang terbaring lemas. Wajahnya juga terlihat pucat. "Kakak bawakan makanan untuk kamu. Makanlah!" "Aku nggak lapar, Kak." Sahut Vika yang terdengar lirih. Ayu meletakan nampan berisi makanan di atas nakas, lalu duduk disisi ranjang. Ayu membantu Vika untuk bersandar. "Kakak akan menyuapimu. Makanlah biar sedikit." Bujuk Ayu, lalu menyodorka
"Mas, suapin Vika." Rengek Vika pada Anton, suaminya. Pasangan suami-istri itu sedang berada di meja makan untuk sarapan. Sementara Ayu melewati mereka untuk ke dapur dan membuatkan sarapan untuk Rey, karena Rey ingin dibuatkan nasi goreng dengan telur ceplok. "Sayang... pengen telur ceplok." Ayu mendengar dengan jelas rengekan Vika. Entah mengapa firasat Ayu mengatakan bahwa saat ini, Vika sengaja membuatnya cemburu dan ingin memanas-manasi Ayu. "Vik, kamu kan nggak suka telur ceplok. Biasanya kan kamu nggak mau." Ucap Anton yang juga bisa di dengar oleh Ayu. "Iya, tapi aku kan lagi hamil, Mas. Biasanya ibu hamil suka yang aneh-aneh, kan? Anakmu yang minta loh, Mas. Kamu mau anak kamu nanti ileran kalau nggak di turuti? Buatin aku telur ceplok, aku maunya itu! Nggak mau yang lain!" Entah mengapa kini Ayu merasa jengkel dan benci mendengar rengekan Vika kepada Anton. Apakah Ayu cemburu? Sebenarnya, Ayu sangat ingin meninggalkan rumah itu tempat dimana V
Seperti yang sudah Ayu rencanakan kemarin, hari ini Ayu akan pergi ke makam orantuanya, dan setelahnya jalan-jalan sebentar. "Rey, udah siap?" Tanya Lily yang datang menjemput Ayu dan Rey. "Siap Tante." Jawab Rey dengan antusias. "Nanti Rey pengen beli es krim, yah." Ucap Rey yang sudah berada di pangkuan Lily. Sementara Ayu sendiri tengah sibuk memakai kerudungnya. "Iya, nanti Tante belikan." "Hore... Rey suka es krim cokelat sama Vanilla." Ucap Rey. "Tapi Rey nggak boleh makan es krim terlalu banyak, yah?" Ucap Ayu mengingatkan, karena Rey sangat muda terkena flu jika makan makanan yang dingin-dingin. "Iya Bunda. Rey ingat, biar nggak sakit, kan?" Tanya Rey dengan polos. "Iya sayang. Sini pake sepatu dulu." "Biar aku aja yang pakaikan, kak." Ucap Lily dan segera mengambil sepatu Rey. "Terimakasih ya, Ly." Ayu tersenyum kecil lalu mengemasi dompet dan ponsel, lalu memasukannya ke dalam tas. "Sama-sama, kak." Ucap Lily membalas senyu
Pagi ini Ayu terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pusing sekali rasanya. Ayu juga merasa mual dan ingin muntah. Ayu mengoleskan ke perut dan ke sekitar hidungnya. Ia berharap itu dapat membuatnya merasa lebih nyaman. Ayu tidak beranjak dari ranjang, hingga tiba-tiba Rey terbangun dan ikut membangunkan Ayu. "Bunda..." panggil Rey. Ayu hendak bangun, namun tubuhnya terasa sangat lemas. "Bunda kenapa?" Tanya Rey yang menatap Ayu dengan lekat. "Maafin Bunda sayang, Bunda lagi nggak enak badan," tutur Ayu. "Bunda sakit apa?" Tanya Rey khawatir. "Nggakpapa sayang, sepertinya Bunda cuma kecapean dan masuk angin. Kemarin kita kan habis jalan-jalan." Rey memeluk Ayu dengan erat, "Bunda cepat sembuh, ya." "Iya sayang." "Ayu, Rey.. kalian di dalam?" Panggil Anton sembari mengetuk pintu kamar. "Ayah..." teriak Rey yang langsung berlari ke arah pintu dan membukanya. "Rey baik-baik saja?" Tanya Anton begitu Rey membukakan pintu. "Iya, Re
Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Lily disuruh oleh Bi Sari untuk pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Jarak apotek dari rumah mereka memang sangat dekat, dan tidak butuh waktu lama bagi Lily untuk membeli alat tes kehamilan itu. "Ini Mbak tespacknya." Lily memberikan dua alat tes kehamilan kepada Ayu. "Kenapa beli dua tespack, Ly?" Tanya Ayu dengan tangan gemetar memegang dua benda itu. Ayu benar-benar degdeg-an dengan alat itu, kalau dulu ia sangat berharap benda itu bergaris dua, kalau sekarang malah sebaliknya karena kondisinya yang sudah bukan lagi istri Anton. "Nggakpapa Yu. Bibi yang menyuruhnya, biar nanti k
Ada rasa malas yang menerjang Ayu untuk kembali ke rumah. Namun, apadaya itu adalah pilihannya sendiri untuk tetap bertahan dan Ayu juga harus menanggung konsekuensinya. Rumah yang dulunya tempat ternyaman bagi Ayu, namun kini semua telah berubah menjadi tempat yang menyimpan luka pada Ayu. "Ayu, tadi kata Lily kamu pergi ke dokter ditemani Bi Sari. Bagaimana hasilnya? Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Anton saat Ayu sampai dirumah. "Iya," jawab Ayu singkat. "Yu, aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucap Anton menghalangi jalan Ayu saat ingin masuk ke dalam kamar. Ayu menghembuskan napas kasarnya, "Tolong minggir, Mas. Aku capek. Aku mau istirahat." "Apa kamu tadi melakukan tes kehamilan?" Tanya Anton. "Aku rasa pertanyaan itu nggak perluh kamu tanyakan," jawab Ayu. "Rey, mau ikut Ayah?" Tanya Anton pada Rey. Ayu tahu Anton hanya memanfaatkan Rey sebagai alasan. Padahal dia ingin tahu apa yang Ayu lakukan. "Nggak usah," ucap Ayu menghalangi Anton. "R
Sikap Anton menjadi berubah semenjak ia mengetahui Ayu berkenalan dengan Adam. Anton menjadi sangat perhatian kepada Rey. Sudah beberapa hari ini dia memaksa untuk mengantar Rey ke sekolah.Rey tentunya senang dengan perhatian ayannya. Dibalik semua itu, Ayu harus menghadapi kecemburuan Vika yang sudah kelewatan. Bahkan adiknya itu mengucapkan kata-kata yang semakin pedas untuknya."Kamu jangan gunakan Rey buat cari perhatian Mas Anton dong, Kak. Kamu nggak kasihan sama Inara? Inara masih kecil dan butuh perhatian lebih dari ayahnya!"Vika datang pagi-pagi sembari menggendong bayinya yang sedang menangis, untuk melabrak Ayu dirumah Bi Sari, tepat setelah Anton berangkat mengantar Rey ke sekolah."Kamu kalau bicara jangan sembarangan ya, Vik. Bukan aku yang minta suami kamu buat antar-jemput Rey. Dia sendiri yang maksa buat melakukan itu!""Kamu nggak usah ngelak, Kak! Akui aja kalau memang kamu masih mengharapkan Mas Anton, tapi nggak kayak gini caranya, Kak Ayu!" Suara Vika semakin k
Rey langsung berlari menghampiri Anton, "Ayah... Lihat, Rey dapat mainan baru. Bagus kan?" Anton menggendong Rey lalu mencium pipi putranya. Sedetik kemudian, ia menatap Bi Sari dan Ayu. Ayu bisa melihat dari raut wajah mantan suaminya itu, ada terbesit tanda tanya. "Iya, bagus sekali pesawatnya. Apa Bunda yang belikan?" tanya Anton. "Bukan Ayah, ini hadiah dari Om." Rwy begitu jujur. "Om? Om siapa?" Anton menurunkan Rey dari gendongannya. Matanya tertuju pada Ayu seolah ingin diberi penjelasan. "Ooh, Adam. Itu yang barusan pergi dari sini. Nanti Om Adam juga mau ngajak Rey sama Bunda jalan-jalan," ucap Rey pada sang ayah. Anton semakin penasaran setelah mendengar cerita Rey. Ia lalu mendekati Bi Sari yang masih duduk sedari tadi. "Siapa Adam?" Anton meminta penjelasan. Ayu lebih memilih diam. Ia tidak ingin mengatakan apapun pada mantan suaminya itu. "Dia putranya Pak Ramzi," jawab Bi Sari. "Pak Ramzi yang di kampung sebelah?" "Iya
Tidak bisa di pungkiri Ayu terkejut dengan perkataan Adam. Laki-laki itu seolah sudah mengenal Ayu dengan baik. Tentang pernyataannya yang akan menerima Rey sebagai anaknya. Semua itu menimbulkan banyak tanya dalam benak Ayu. Apakah Bi Sari yang sudah memberi tahu Adam banyak hal tentangnya? Tapi Ayu rasa tidak mungkin Bi Sari seperti itu. "Bunda, Rey lapar," rengek Rey. Ayu tersadar dari lamunannya. Bi Sari dan Adam juga menatapnya, dan hal itu membuat Ayu jadi salah tingkah. "I–iya sayang. Kita makan, ya?" ucap Ayu pada Rey. "Mari, Mas. Sambil makan dulu, Mas." Ayu mempersilahkan untuk mengambil makan siang yang sudah dihidangkan. "Nggak perluh sungkan, Nak. Ambil dan nikmati, tapi adanya ya seperti ini," ucap Bi Sari sambil mengambil makanan. "Makanannya sangat banyak, Bi. Sampai bingung mau pilih yang mana." Adam pun mulai mengambil makanannya, hal itu tak luput dari pandangan Ayu. Ayu tersenyum tipis saat ia melihat Adam yang terlihat lahap
Ayu memikirkan dengan matang-matang mengenai tawaran Bi Sari untuk berkenalan dengan Adam, anak dari Pak Ramzi. Setelah tiga hari Ayu mempertimbangkan semua itu, akhirnya ia mau menerima tawaran itu. "Kamu sudah siap, Yu?" tanya Bi Sari. "Iya, Bi. Ini aku tinggal pake kerudung saja," jawab Ayu. Ayu memang tidak akan bertemu dengan Adam sendirian. Bi Sari dan Rey tentu saja akan ikut. Sedangkan Adam akan datang sendirian, karena ayahnya Pak Ramzi ada urusan mendadak keluar kota. *** Awalnya Pak Ramzi menawarkan bertemu di rumah Bi Sari, tapi Adam bilang kalau dia ingin bertemu di rumah makan milik Ayu saja. Selain memiliki toko, Ayu juga memiliki rumah makan, yang jarang ia kunjungi. Walaupun begitu, Ayu sudah mempunyai orang kepercayaannya yang bisa mengurus rumah makan miliknya, jika ia tidak bisa datang untuk berkunjung. Ayu dan Bi Sari berangkat saat siang, karena mereka akan menunggu Rey pulang sekolah dulu, baru bisa pergi ke rumah makan. "
"Memangnya Bibi mau aku kenalan dengan siapa?" tanya Ayu penasaran. Sebenarnya Ayu masih tidak ingin untuk mengenal orang baru, tapi karena ia melihat kesungguhan di wajah Bi Sari, ia jadi tidak enak kalau menolak. "Kamu kenal dengan Pak Ramzi yang tinggal di kampung sebelah itu kan, Nak?" Ayu mengerutkan dahi, ia tahu orang yang dimaksud oleh Bi Sari. Pak Ramzi adalah seorang duda yang terkenal baik dan dermawan. Tapi, apa iya Bi Sari akan menjodohkan Ayu dengannya? Usia Pak Ramzi saja sama dengan usia ayah Ayu jika saja ayahnya masih hidup. "Kamu kenapa, Yu?" tanya Bi Sari yang melihat Ayu nampak kebingungan. "I–iya, aku tahu Pak Ramzi yang dari kampung sebelah. Dia yang juragan lele itu, kan?" tanya Ayu memastikan. "Iya, dia maksud Bibi." "Jadi Bibi mau menjodohkanku dengan Pak Ramzi?" sahut Ayu dengan cepat. Ia langsung panik. Mengapa Bi Sari ingin mengenalkan dirinya dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahnya? Bi Sari tertawa mendengar
"Kamu harusnya bisa bersikap tegas pada istrimu, ketika apa yang dia lakukan salah. Aku nggak akan meminta kamu memberi yang lebih, cukup luangkan waktumu untuk Rey. Temani dia dan berikan kasih sayangmu. Kamu harus adil, Mas. Anak kamu bukan cuma Inara. Rey juga anakmu. Kamu juga tahu sendiri kan, bagaimana Rey sangat sayang dan mengidolakan kamu sebagai ayahnya," omel Ayu. Anton menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku bingung, Yu. Vika selalu menakutiku dengan banyak hal. Aku juga takut, kalau aku nggak menuruti keinginannya, dia akan kembali mencampakan Inara. Aku nggak tega dengan bayi kecilku," ucap Anton. "Jadi kamu nggak tega sama Inara, tapi kamu tega sama Rey? Iya?" Sungguh ucapan Anton benar-benar membuat Ayu semakin kecewa. "Bukan begitu, Ayu. Tolong kamu mengerti dengan kondisiku," ucap Anton dengan memelas. "Kalau aku berusaha mengerti kondisimu, apa kamu bisa mengerti keinginan Rey? Dia juga ingin di antar ke s
Ayu melangkah mendekati kamar Vika dan Anton, dan kini matanya tertuju pada bayi sedang berada di gendongan Anton. "Dia menangis terus dari tadi. Dikasih minum juga sulit." Anton sudah terlihat frustasi. Diberikannya bayi mungil yang sedang ia gendong. Ayu menerimanya bayi itu dan kini bayi Vika berada dalam gendongannya. Ia tidak langsung memberikan susu kepada bayi itu, tapi ia membaringkan bayi itu di ranjang dan mengecek kondisinya. Ayu merasa ada sesuatu yang membuat bayi itu merasa tidak nyaman. Ayu rasa mungkin ada yang kurang pas dengan bedongannya. Ia pun membuka kain yang melilit bayi mungil itu, kemudian membenarkan posisinya. Ia membedongnya lagi dengan rapat sehingga bayi itu bisa merasa hangat. "Sudah ya, sayang. Jangan menangis. Haus, ya?" tanya Ayu pada bayi mungil itu. "Sini sayang, minum dulu." Ayu memberikan sebotol susu pada bayi itu, dan bayi itu segera mengesap dengan kuat, dan tangisnya perlahan berhenti. Inara, nama bayi itu. Kini i
Vika semakin histeris dan memberontak. Ia tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia ketahui. "Kalian pembohong! Dimana anak laki-lakiku? Aku ingin anak laki-lakiku," teriak Vika semakin memberontak. "Vika, tenang. Istighfar!" Bi Sari membujuk Vika dan ikut memegangi Vika. "Tenangkan dirimu. Jangan seperti ini!" Anton berusaha memeluk Vika. "Kalian pasti berbohong! Anakku pasti laki-laki. Dimana dia? Aku ingin melihatnya!" Vika berusaha melepaskan diri dari pegangan Bi Sari dan Anton. Ia yang tadinya terlihat lemah, tiba-tiba memiliki banyak tenaga untuk memberontak. Sedangkan Ayu hanya terpaku di tempatnya berdiri. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi ia kasihan melihat Vika yang seperti itu, tapi disisi lain, ia tidak ingin memperkeruh keadaan. Perasaan Ayu tidak enak. Jika ia ikut campur, Vika bisa saja menyalahkan dirinya dan Rey. Vika juga bisa saja menjadikan ia dan Rey pelampiasan atas apa yang tidak bisa dicapainya. Plaaakk! "Tenang,
Pintu ruang operasi telah dibuka, dan mereka bisa mendengar suara tangisan dari bayi. Mereka pun buru-buru menghampiri dokter yang sedang berdiri di ambang pintu. "Bagaimana anak dan istri saya, Dok?" tanya Anton dengan tidak sabar. "Ibu dan bayinya selamat. Tapi karena bayinya lahir prematur, harus kami rawat di inkubator," kata sang dokter. "Apa jenis kelamin anak saya, Dok?" tanya Anton lagi dengan ragu. "Selamat, anak Bapak perempuan. Untuk ibunya, saat ini masih dalam masa pemulihan. Sebentar lagi akan di pindahkan ke ruang perawatan," jawab sang dokter. Anton terpaku. Jujur ia bingung karena anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan Vika. "Terimakasih, Dok," kata Bi Sari mewakili Anton yang masih membeku. "Sama-sama. Bapak bisa melihat bayinya, tapi yang lain menunggu diluar," kata dokter. "Iya, Dok." Lagi-lagi Bi Sari yang menjawab. "Anton," panggil Bi Sari yang langsung menyadarkan Anton dari lamunannya. "Adzani dulu anakmu," k