Pukul sembilan malam, para orangtua memilih undur diri dan memasuki kamar untuk beristirahat. Menyisakan yang muda, mereka berlima bekerja sama membersihkan alat makan dan membereskan semuanya. Setelahnya mereka menuju gazebo yang berada di dekat pintu teras. Tempatnya cukup luas bisa menampung sepuluh orang. Ian membawa sesuatu di tangannya. Itu adalah dus berisi mainan yang dibelinya minggu lalu. Setelah permainan uno kemarin Ian jadi tertarik menjajal permainan lain. Kali ini ia membeli permainan bernama jenga.Permainan ini cukup mudah. Ada lima puluh empat balok yang akan disusun menjadi menara. Permainan dimulai dengan salah satu pemain bergantian mengambil satu buah balok lalu meletakkan dan menyusunnya ke tempat teratas. Balok yang diambil tidak boleh dari tiga susun balok teratas. Ketika ada pemain yang bermain dan balok terjatuh, maka mereka dianggap kalah. Ian mengusulkan yang kalah meminum satu gelas ukuran sedang soda yang masih tersisa dari makan malam tadi. Bahkan masih
Maya terbangun ketika mendengar suara ketukan. Malam telah berganti menjadi pagi. Suara ketukan terdengar kembali kini diiringi dengan panggilan seseorang. Dari suaranya sepertinya itu maminya. Maya segera bangun dengan sisa kantuknya dan membuka pintu."Duh anak gadis jam segini baru bangun. Tidur jam berapa semalem?" Setelah membangunkan anaknya, Ratih segera menyuruh Maya mandi dan turun untuk sarapan. Pukul dua belas siang nanti mereka harus sudah check out. Saat ini jam menunjukkan pukul tujuh pagi.Setelah maminya pergi, Maya langsung mengambil peralatan mandi dan masuk ke kamar mandi. Fasilitas kamar mandi sangat bagus. Ada bath tub dan shower room yang terpisah. Sayang sekali dia tidak bisa mencoba berendam karena waktu. Ia takut kalau terlalu lama maminya akan kembali dan meneriakinya.Maya mengenakan dress selutut berwarna cream dengan pola bunga kecil yang tersebar. Model kemben dengan tali spageti yang ia rangkap dengan outer rajutan berwarna merah muda. Rambutnya ia biark
Maya memasuki kamarnya dengan berlari usai pulang dari sekolah. Hari ini ia pulang cukup terlambat membuat ia sangat terburu-buru mengganti pakaiannya. Biasanya dia akan sampai rumah pada pukul sepuluh pagi, namun sopir yang biasa menjemputnya sedang tidak masuk karena pulang kampung sehingga dirinya harus menunggu maminya datang untuk menjemputnya. Maminya yang bekerja terlambat datang karena menemui tamu dadakannya ditambah saat perjalanan pulang jalan arah menuju rumahnya malah terkena macet. Jadilah Maya sampai di rumah ketika jarum jam dinding menunjukan waktu pukul satu siang. Setelah berganti seragam sekolahnya ke pakaian rumah, ia meraih salah satu bukunya. Buku tersebut sedikit menyumbul karena ada sesuatu terselip di dalamnya. Terdapat lipatan selembar kertas dengan tulisan acaknya serta dua buah tanda tangan di bawahnya. Bibirnya tersenyum sumringah kala melihat namanya bersanding dengan nama laki-laki yang disukainya. Suara kekehan terdengar keluar dari mulutnya. Usai pu
Helaan napas lelah keluar dari mulut Dita. Ia hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan sikap sahabatnya ini. Maya mudah sekali terhasut oleh ajakan orang-orang membuat dirinya takut jika sahabatnya ini nanti tanpa sadar jatuh ke dalam lingkaran yang tidak baik. “Aku nggak mau ya kalo satu meja kayak kemaren. Nggak ada alasan malu atau apapun, harusnya lo tau konsekuensi mengiyakan seseorang. Biar lo berani untuk bertanggungjawab,” sahut Dita yang membuat Maya bungkam tak dapat membalas. Maya hanya bisa pasrah tidak bisa membantah perkataan temannya. Ia sadar jika Dita sudah kesal dengannya begitu juga pula dia pada dirinya sendiri. Maya menyalahkan dirinya yang suka gampang terjatuh oleh ajakan orang-orang. Berawal dari teman-teman sekitarnya yang sedang membicarakan topik aplikasi kencan hingga ada beberapa yang berhasil mendapatkan pasangan membuat dia jadi penasaran dan ingin mencoba. Maka dari itulah, ia memasang aplikasi ters
“Ayo kita pulang!” ajak Adip pada pacarnya. Pria itu bergegas mengambil barang bawaannya dan menggandeng tangan kekasihnya. Namun, baru saja Adip ingin melangkah suara seseorang menahannya. “Mau kabur ke mana?” Seorang pria dengan kaos polos berwarna putih dan bawahan celana berwarna beige melangkah mendekat. Ia berdiri di depan Maya menutupi gadis itu. “Anda siapa?” tanya Adip. “Saya kakaknya. Dari tadi saya mengawasi kalian berdua di sana, baru saja pergi sebentar sudah seperti ini.” Pria itu menoleh menatap pada pacar Adip. “Dia datang mengajak bertemu adik saya dan mengaku single. Kalian mengaku bertunangan, tapi saya nggak lihat cincin yang melingkar di jari laki-laki itu.” Perkataan pria tadi sontak membuat wanita itu menarik tangan Adip dengan keras untuk mengecek jarinya. Melihat tak ada cincin di sana ia bertanya dengan marah, “di mana cincinnya?” “Dia sengaja datan
Maya menatap pemandangan di luar dengan wajah cemberut. Sementara di sampingnya Zayyan mengemudikan mobilnya mengabaikan Maya. Ketika hari hampir petang Zayyan langsung menyuruhnya pulang. Meski Maya sudah menolak dan memberi alasan bahwa ia sudah besar, pria itu tetap kekeh dengan keputusannya. Bahkan saat Maya meminta bantuan pada Ian, laki-laki itu hanya mengendikkan bahu menolaknya. Dia malah asik menghabiskan camilan yang telah dipesan oleh Zayyan lagi. Dita yang belum mengenal dekat hanya bisa diam tak membantah jadi Maya tak mendapatkan dukungan dalam memprotes Zayyan. Baru saja mereka selesai mengantarkan Dita yang mana Zayyan mengikuti mobilnya dari belakang. Kemudian Maya berpindah ke mobil Zayyan untuk mengantarnya ke rumah. Tiba-tiba mobil berhenti. Mereka berhenti di minimart dan Maya melirik ke arah Zayyan yang turun dari mobil. Pria itu tak mengatakan apapun yang membuat Maya semakin sebal. Setelah sekian tahun tidak bertemu mengapa laki-laki yan
Semenjak kejadian kencannya terakhir kali Maya langsung menghapus aplikasi tersebut dari ponselnya. Ia trauma karena dituduh menjadi pelakor padahal dia ditipu saat itu. Dita pun juga mengomelinya habis-habisnya membuat telinga Maya panas mendengarnya. Tetapi, setidaknya dari kejadian itu dia bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Ian dan Zayyan yang sama-sama ia panggil Mas Yan. Ian sendiri adalah tetangganya dulu yang tiba-tiba pindah sedangkan Zayyan adalah teman sekolahnya yang sering datang untuk bermain atau mengerjakan tugas. Dulu kedua orangtua Maya sama-sama sibuk bekerja sehingga ia kadang dititipkan ke keluarga Ian. Maminya punya butik yang jaraknya hampir satu jam dari rumah sedangkan ayahnya adalah pengacara yang sangat jarang pulang. Kesibukan kedua orangtuanya membuat Maya sering datang ke rumah keluarga Ian untuk sekedar bermain hingga menunggu maminya pulang bekerja. Meski Maya merasa kesepiaan kala itu, namun kehadiran keluarga Ian serta
“May, serius lo dilamar?” Dita yang baru duduk langsung melempar pertanyaan pada Maya. Saat ini mereka berdua sedang berada di cafe. Kemarin adalah hari dimana ia dilamar oleh seorang pria. Dan pria tersebut adalah teman dari tetangga masa kecilnya. Orang yang tak pernah ia duga. Maya yang tadinya berusaha membujuk Zayyan untuk menarik lamarannya berakhir gagal. Pria itu benar-benar seperti gunung yang tak dapat digoyahkan. Lalu, Maya berencana untuk membicarakannya pada orangtuanya, namun melihat wajah sumringah di keduanya membuat ia jadi tak enak dan akhirnya memilih untuk pasrah saja. Usai kepulangan Zayyan dan keluarga, Maya langsung masuk ke kamar dan mengirim pesan pada Dita. Ia langsung mengirim ribuan pesan suara yang berisi kepanikannya akan kejadian hari itu. Dita yang kepo dan paham dengan kepanikan sahabatnya itu akhirnya langsung mengajak Maya untuk bertemu di cafe yang biasanya mereka datangi. “Gimana d