Ancaman untuk Rindi.
Rindi tersenyum setelah menyaksikan video call yang barusan ia lakukan. Wajahnya Sumringah menyaksikan Renata terpental dengan sekali tendangan dari anak buah Baron, dan tanpa jeda lama darah pun menggenang di trotoar, kepala wanita itu seketika bocor karena menghantam kerasnya jalan, karena tidak menggunakan helm.
———
Keesokan harinya.
Ia mematikan ponselnya lalu turun ke bawah setelah mendengar percakapan antara Ayah dan Kakaknya dimeja makan. "Mereka tidak ke kantor kah?" pikirnya.
Undakan demi undakan tangga ia langkahi dengan anggun, sebagai seorang putri pemilik perusahaan besar di Indonesia, aura nya begitu terlihat seperti bintang. Hanya sayang ia tumbuh dengan egois yang sangat tinggi.
"Papa sama Kakak belum ngantor?" tanyanya dengan mencomot sebuah anggur di meja makan. Ayah dan anak itu
"Ceritakan!" titahnya."Ceritakan, apa?" tanya Rindi dengan gemetaran, dia shock dengan amukan dari Bima, selama ini ia tak pernah dibentak oleh siapapun di rumahnya."Rindi, ceritakan!" ulang pak Usman dengan terus menatap tajam ke arah Rindi."Ceritakan atau aku laporkan ke polisi!" bentak Bima."Bima!" bentak Pak Usman, walau bagaimanapun ia tak rela Rindi dibentak oleh anak lelakinya. Meski ia tahu kesalahan Rindi sudah bukan main-main.Bima mengepalkan tangannya melihat pembelaan ayahnya, padahal dengan jelas adiknya itu sudah melakukan hal yang melanggar hukum. Ia akhirnya memilih duduk di kursi makan terhalang dua kursi dengan ayahnya. Ia menatap adiknya dengan nyalang."Ceritakanlah!" ucap pak Usman untuk ketiga kalinya. Akhirnya Rindi menyerah dan menceritakan segala alasan mencelakakan Renata. Pak Usman menarik nafasnya dengan kasar.
Tangisan Rindi."Aaaaaarght!?" teriaknya membuat para art-nya yang semula hendak menghampiri untuk membereskan pecahan piring yang berserakan, mereka mundur lagi, kecuali Mbok ijah, perempuan tua itu sudah bekerja dari awal Rindi belum lahir jadi ia hafal tabiat anak gadis majikannya itu.Mbok Ijah mengusap pundaknya dengan lembut, Rindi mengangkat wajahnya yang basah oleh airmata. "Mbok""Minum dulu," titah Mbok Ijah menyodorkan segelas air putih dari tangan kanannya. Rindi hanya meneguk saja air putihnya lalu meletakkannya di meja."Ayo kita ke ruangan tv, biar ruang makannya di bersihkan oleh Darmi sama Minah," ajaknya sambil menarik lengan Rindi, gadis itu hanya menurut pada asisten rumah tangga di rumahnya itu.Rindi mengelap air matanya oleh tissu yang disodorkan Mbok Ijah. Wanita tua itu menatapnya dengan penuh iba, ia mendengar percakapan keluarga Wisesa dirua
POV Bima.Sungguh kesal aku dibuatnya, tak pernah terlintas dalam benakku, Rindi akan senekat itu, aku menuruti semua inginnya ku kira hanya sebatas mencari informasi tentang lelaki itu. Selama hidup, meski aku terasing di asrama, namun aku tak kekurangan akhlak seperti Rindi yang mencoba menghalalkan segala cara demi keinginannya, liar sekali adik bungsuku itu.Kutatap tajam wajahnya yang menyiratkan ketakutan, akibat bentakanku aku sungguh tak bisa mengendalikan emosiku kali ini. Ini bukan tindakan biasa saja. Karirku yang sedang berada di puncaknya bisa hancur oleh masalah Rindi. Astaga, kuremas rambut kepalaku mencoba meredakan emosi yang rasanya ingin ku makan bulat-bulat adikku itu.Kudengar ajakan Papa untuk berangkat ke kantor, lelaki tua itu sama halnya denganku namun ia bisa meredam emosinya, beda sekali perlakuan Papa saat aku atau Kak Risa berbuat salah. Akh sudahlah, semoga dengan masalah ini, Papa jadi tahu
POV Renata.Genap sudah 7 hari aku dirawat, selama itu juga aku tak bisa bertemu dengan Annisa, gadis kecilku itu, meski asi tidak putus tapi aku tak bisa mencium aroma tubuhnya.Selama itu juga Bara selalu ada di rumah sakit, bergantian dengan Bianca, akh mereka sangat baik terhadapku hingga banyak yang mereka korbankan demi menungguiku dsini.Hari ini rencananya akan minta pulang pada dokter meski kepalaku masih sedikit sering sakit dan pusing. Tapi lukanya sudah kering, aku tak bisa terus-terusan ada disini, aku rindu anakku, rumahku juga yang lainnya."Hari ini kamu bisa pulang," ucap Bianca tiba-tiba nongol dari arah pintu, membuatku kaget saja."Kenapa? Kamu kaget?" tanyanya sambil memandangku dengan senyum mengejek."Siapa yang akan tidak kaget, kamu masuk tanpa ketok pintu, dorong lalu ngomong, ku kira setan," jawabku dengan mencebik
"Cepat sembuh, ya!" ucapnya sambil menyodorkan bunga ditangan kanannya, aku yang diperlakukan seperti itu sedikit malu dan gemetar, serasa jaman dulu sering dikasih kejutan olehnya, karena Bara tipe lelaki yang romantis membuat aku terus jatuh cinta di setiap waktunya."Cieeee, ya … Tuhan, gak adakah penutup mata disini!" sinis Bianca sambil mencebik. Kami langsung tertawa melihat kekesalan Bianca."Sudah siap pulang?" tanya Bara, aku mengangguk dengan pasti."Semua sudah kelar, Bi?" tanyanya pada Bianca."Sudah dong, ayo!" ajaknya, sambil mendorong kursi roda kedekatku.Ngilu di bagian paha hingga lengan kiri masih terasa kalau di gerakan, mungkin memar akibat terjatuh sangat keras, orang itu gak berperasaan, menendangku dengan sangat keras. Awas aja! Akan kucari meski ke ujung dunia.Salahku apa coba? perasaan aku tak punya musuh atau pernah berselis
Pov BiancaKulajukan mobil dengan santai, aku sedikit ingin menikmati hariku. Selepas melihat Renata baikan, hatiku lebih tenang. Apalagi melihat pertumbuhan baby Annisa yang sehat dan aktif. Ditambah ada Bara juga yang mendukung psikologis Renata juga anaknya.Gerimis mulai turun di sore yang indah ini, rumah Renata yang baru cukup lumayan jauh jaraknya dibanding dengan rumah yang dulu, dan kenapa jalanan sore ini lenggang sekali? Padahal ini hari terakhir kerja. Jam menunjukan pukul 17:45 sore.Aku berhenti disalah satu supermarket untuk membeli buah dan cemilan, aku malas sekali masak, seandainya ingin makan rumahan yang enak, aku tinggal menelpon Renata dan pergi kesana untuk menikmatinya. Sesimple itu hidupku.Hanya butuh lima belas menit untukku belanja, mengambil apa yang ingin ku beli, tidak pakai drama memutar-mutar seperti Renata dan Emak-Emak Indonesia lainnya.
"Btw kenapa kamu menendang-nendang mobil?" tanyanya. "Kepo," ketusku sambil mendelik. "Oh .. ya sudah kalau tidak mau dibantu," ucapnya lalu berbalik hendak pergi. "E—eh tunggu!" teriakku, sumpah takut banget di basement sendirian. "Apa?" "Tolong liatin mesin mobil gue, hehee," ucapku sambil nyengir. Tanpa berkata dia mendekatiku dan aku bergeser sedikit memberi jalan, di menggulung tangannya bajunya hingga kesikut. "akh, ya ... Tuhanku, ganteng banget!" jerit hatiku. Pria itu mulai memperhatikan dalam kap mobilku dia mencolek dan menggoyangkan beberapa kabel. Dah kayak apaan, sudah tau mobilnya mati malah cuma di goyang-goyang kabelnya, dikira penyanyi dangdut apa. Aku mendengus kesal melihatnya. Ini orang pasti lagi nyari perhatianku, kamu salah orang, Bro. Hatiku terus saja berisik dengan berbagai penilaian pada pria dihadapanku ini. "Sana starter mobilnya," perintahnya membuyarkan semua obrolan hatiku. Suaranya yang serak-serak basah membuat a
"Eh, kita belum kenalan," ucap bianca setelah ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria dihadapannya bukan orang jahat."Sampai lupa," sahut Bima sambil terkekeh."Bianca,""Bima!" Mereka berjabat tangan sambil tersenyum."Sebentar, aku seperti tak asing ya, melihatmu!" tegas Bima sambil memandang wajah Bianca."Eh, serius aku pun merasa familiar denganmu, tapi dimana gitu," sahutnya sambil tersenyum ke arah Bima."Entahlah," ucap Bima sambil mengedikan bahunya."Mungkin kita pernah ketemu di masa kecil atau dalam mimpi," sahut Bianca berkelakar dan disambut tawa oleh Bima.Mereka akhirnya saling memperkenalkan diri ini dengan banyak cerita kisah masa sekolah dari yang konyol hingga yang memalukan. Hujan diluar semakin besar, kilat dan petir seperti berlomba saling bersahutan."Waah ... sudah
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla