Pov Bianca
Kulajukan mobil dengan santai, aku sedikit ingin menikmati hariku. Selepas melihat Renata baikan, hatiku lebih tenang. Apalagi melihat pertumbuhan baby Annisa yang sehat dan aktif. Ditambah ada Bara juga yang mendukung psikologis Renata juga anaknya.
Gerimis mulai turun di sore yang indah ini, rumah Renata yang baru cukup lumayan jauh jaraknya dibanding dengan rumah yang dulu, dan kenapa jalanan sore ini lenggang sekali? Padahal ini hari terakhir kerja. Jam menunjukan pukul 17:45 sore.
Aku berhenti disalah satu supermarket untuk membeli buah dan cemilan, aku malas sekali masak, seandainya ingin makan rumahan yang enak, aku tinggal menelpon Renata dan pergi kesana untuk menikmatinya. Sesimple itu hidupku.
Hanya butuh lima belas menit untukku belanja, mengambil apa yang ingin ku beli, tidak pakai drama memutar-mutar seperti Renata dan Emak-Emak Indonesia lainnya.
"Btw kenapa kamu menendang-nendang mobil?" tanyanya. "Kepo," ketusku sambil mendelik. "Oh .. ya sudah kalau tidak mau dibantu," ucapnya lalu berbalik hendak pergi. "E—eh tunggu!" teriakku, sumpah takut banget di basement sendirian. "Apa?" "Tolong liatin mesin mobil gue, hehee," ucapku sambil nyengir. Tanpa berkata dia mendekatiku dan aku bergeser sedikit memberi jalan, di menggulung tangannya bajunya hingga kesikut. "akh, ya ... Tuhanku, ganteng banget!" jerit hatiku. Pria itu mulai memperhatikan dalam kap mobilku dia mencolek dan menggoyangkan beberapa kabel. Dah kayak apaan, sudah tau mobilnya mati malah cuma di goyang-goyang kabelnya, dikira penyanyi dangdut apa. Aku mendengus kesal melihatnya. Ini orang pasti lagi nyari perhatianku, kamu salah orang, Bro. Hatiku terus saja berisik dengan berbagai penilaian pada pria dihadapanku ini. "Sana starter mobilnya," perintahnya membuyarkan semua obrolan hatiku. Suaranya yang serak-serak basah membuat a
"Eh, kita belum kenalan," ucap bianca setelah ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria dihadapannya bukan orang jahat."Sampai lupa," sahut Bima sambil terkekeh."Bianca,""Bima!" Mereka berjabat tangan sambil tersenyum."Sebentar, aku seperti tak asing ya, melihatmu!" tegas Bima sambil memandang wajah Bianca."Eh, serius aku pun merasa familiar denganmu, tapi dimana gitu," sahutnya sambil tersenyum ke arah Bima."Entahlah," ucap Bima sambil mengedikan bahunya."Mungkin kita pernah ketemu di masa kecil atau dalam mimpi," sahut Bianca berkelakar dan disambut tawa oleh Bima.Mereka akhirnya saling memperkenalkan diri ini dengan banyak cerita kisah masa sekolah dari yang konyol hingga yang memalukan. Hujan diluar semakin besar, kilat dan petir seperti berlomba saling bersahutan."Waah ... sudah
"Yeee, malah begitu," sungut Bima, Padahal besok ia ada jadwal meeting pada jam sepuluh pagi. Maka dari itu ia memaksa Bianca untuk cepat mengambil keputusan untuknya malam ini."jadi gimana ini?" tanya Bima lagi.Bianca memutar isi otaknya, jika ia meng-iyakan, siapa yang akan menjamin dirinya akan baik-baik saja bersama lelaki asing. Jika tidak, itu artinya ia menahan kepergian Bima lebih lama lagi. Dan bagaimana kalau Bima sudah punya istri? Lalu dia dianggap selingkuhannya. Ya … Tuhan, situasi apa ini.Bima terus memandang wajah Bianca, untuk memastikan jawaban apa yang akan gadis itu ucapkan. Satu menit, dua menit, tiga menit masih saja diam."Atau kau mau ikut ke rumahku?" tanya Bima menawarinya pilihan lain.Mata Bianca terbelalak mendengar apa yang diucapkan oleh Bima."Kenapa melolot begitu?" tanya Bima.
POV Bianca.Saat mataku hendak kubuka, silau tiada terkira, hari sudah siang rupanya kulihat dari celah hordeng yang tidak tertutup rapat. Seketika aku terduduk, baru ingat semalam aku menginap di apartemen milik Bima, karena hujan semalam malah makin deras. Bima menyeretku kesini meski aku minta diantar ke rumah Renata atau Hotel saja. Namun pria pemaksa itu tak mau mendengarnya dengan alasan dia harus segera pulang karena ada jadwal meeting pagi besok.Kuraih ponsel dari atas nakas, dan melihatbeberapa notip pesan di aplikasi Hijau, bahkan Renata meneleponku +99 kali. Gak ada kerjaan sekali Mamak anak satu itu.Akhirnya aku duluan menelpon Renata, bisa repot kalau tak segera dihubungi. Terdengar nada sambung lagunya Richard Marx yang berjudul Right here waiting for you, hah, sejak kapan dia jadi alay. Dan makna lagu ini adalah tentang sebuah hubungan yang LDR, apakah Renata sedang menjalin s
Oh my God, aku lupa aku hanya memakai kemeja kebesaran miliknya, dengan posisi duduk aku yang melipat satu kakiku, tentu saja, paha putihku kemana-mana. "Mak anakmu ternoda Mak,""Eeh, iya, hehe.""Ini bajumu sudah di cuci," ucapnya sambil menyodorkan paper bag warna coklat bertuliskan Binatu express. Semalam Bima membawa bajuku setelah aku berganti baju oleh kemejanya."Baiklah, aku mandi dulu," ucapku langsung bangkit, sebenarnya sangat malu bertemu dengan pria tampan dalam keadaan gosok gigi juga belum."Kamu belum mandi juga sudah cantik!" Terdengar teriakannya saat aku mulai masuk ke kamar."Mana ada, yang belum mandi itu selain kumal, ya bau!" ucapku sambil menutup pintu. Dan pria itu terkekeh sendirian.———Terdengar suara ketukan di pintu kamar, akh iya … sepertinya aku kelamaan berendam
Bara melirik ke arah Renata yang menggerutu sendirian. Bahkan beberapa kali menempelkan ponsel ke telinganya.Kebetulan hari ini Bara tak ada jadwal sidang, jam sebelas siang setelah senggang ia langsung meluncur ke rumah Renata. Jarak tempuh satu jam diperjalanan bukan lagi halangan bagi Bara. Karena aroma wangi baby Annisa adalah candu baginya, apalagi bertemu Ibu anak tersebut. Membuat dirinya sendiri geli dengan pemikiran itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia memang mengharapkan bisa merajut Kembali kisah cintanya yang dulu. Bahkan pikirannya jauh menerawang ke masa depan yang indah bersama wanita yang dicintainya sejak dulu.Selesai makan siang pria jangkung itu kembali bermain dengan anak Renata. Meski sudah waktunya jam tidur, namun ia memohon untuk menggendongnya hingga anak itu lelap. Jadilah sekarang dia mengayun-ayun bayi sembilan bulan itu yang matanya sudah mulai meredup karena ngantuk juga sudah waktunya bayi itu tidur siang.
Bara mengusap-ngusap pundak kanan Renata dan berkata, "Seharusnya kamu mikirin kita kedepannya, bukan Bianca!" ucapnya sambil menatap wajah cantik di sampingnya. Renata yang mendengar itu tubuhnya sedikit bergerak dengan kaget dan ia menoleh pada pria disampingnya.Pandangan mereka beradu tepat di manik matanya, tak ada yang bersuara, hanya deru nafas yang seakan saling menghembuskan di jarak wajah yang dekat itu."Huh." Bara meniup wajah Renata yang sedang menatap lekat ke arahnya. Seandainya saja nyalinya tinggi, sudah pasti diraupnya wajah tersebut dan menghujaninya dengan ciuman, akh pikiran setan ini, gumamnya dalam hati dengan menggelengkan kepalanya."Kamu kenapa?" tanya Renata yang melihat Bara menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali saat tatapan mereka beradu."E—nggak," ucap Bara tergagap, merasa konyol dengan pikirannya yang jorok itu. Seumur hidupnya, dia ba
Kedatangan Doni.Prok … prok … prok ….Suara tepuk tangan bergema di ruang tengah rumah Renata, dua orang berdiri disana dengan tatapan sinis sekali membuat keduanya terkejut dengan mimik muka kaget dan mata yang melotot."Mas Doni!" cicit Renata, tak menyangka mantan suaminya itu akan datang ke rumahnya. Padahal ia tak pernah memberikan alamat rumah barunya pada Doni."Pantas saja kamu tidak mau memperbaiki hubungan kita, ternyata kamu sudah ada yang baru dan telah berbuat mesum.""Jaga ucapanmu, Mas? Kamu melihat kami mesum?" bantah Renata, sementara Bara memandangnya dengan tatapan tajam hendak menerkam pada teman masa sekolahnya itu."Tentu saja belum, karena kami keburu datang!" ucap Bu Tuti dengan tatapan merendahkan. Membuat Renata mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih."Anda jangan se
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla