"Ibu pernah gak sih marah sama bapak tanpa sebab?" tanya Pak Karyo dengan telak. Ia sungguh heran dengan sikap ngeyel istrinya itu. Selalu cenderung menyalahkan orang lain dalam setiap kejadian. Apalagi pada Renata, pandangan pada menantunya itu sama sekali tak pernah ada benarnya.
Bu Tuti diam tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dia kesal dengan Pak Karyo yang seolah-olah malah membela menantunya itu.
"Kamu bikin masalah apa sama istrimu itu?" tanya Pak Karyo dengan tatapan mengintimidasi.
Doni hanya menunduk, karena sejak dulu dia memang sangat segan sama bapaknya itu. Lain hal dengan ibunya yang selalu memanjakannya, sekalipun dia berbuat salah pasti selalu dibela.
"Bapak! Apa-apaan sih?" bentak Bu Tuti."
"Lho, Bapak, hanya bertanya, Bu!" tegasnya pada wanita yang telah memberinya dua anak itu.
"Sudahlah, ayo! Makan dulu, N
Kakak-kakak jangan lupa kasih rate 5star ya🤭🙏 terimakasih.
Hatiku bukan hanya dilukai, tapi disayat-sayat sedemikian rupa hingga hancurnya tak bersisa. Hingga setiap bernafas pun, selalu terasa tercekat di tenggorokan. Tak ada lagi cinta yang tulus setelah kepergian Ayah dan Emak, bahkan kasih seorang Ibu kandung pun tak pernah kurasakan. Karena Tuhan lebih cepat memanggil beliau. Satu-satunya yang ku ingat dari Ibu, adalah pernah di ulang tahunku yang kelima, Ayah dan Ibu dengan bersamaan memberikan hadiah payung kecil, padahal mereka bekerja di tempat yang berbeda. Tapi entahlah hadiahnya bisa sama, namun karena aku memiliki dua payung, akhirnya kuberikan satu untuk sepupuku, payung yang Ibu berikan dengan motif bunga kecil-kecil, aku tak begitu menyukainya, aku memilih payung hadiah dari Bapak, dengan motif pelangi yang mencolok. Seandainya aku tahu itu adalah hadiah terakhirnya, aku tak mungkin memberikannya untuk adik sepupuku. Takdir terasa sungguh kejam memperlakukanku, setelah Ibu meninggal, aku juga mal
Dingin udara malam ini begitu menusuk ke tulang sumsumku, gelap pekat tanpa bulan atau bintang. Kususuri lorong rumah sakit ini,.untuk sekedar mencari kopi hangat yang mangkal di area depan rumah sakit. Malam ini aku tak bisa tidur, khawatir dengan kondisi ibuku yang masih terbaring lemah. Beliau terserang stroke tiba-tiba, sesaat setelah jatuh di kamar mandi, ibuku memang memiliki riwayat darah tinggi sejak dulu. Dan kabar inilah yang membuatku pulang dari luar negeri. Dan ku tekadkan untuk resign dari pekerjaan ku disana. Sebenarnya Ibu telah memintaku pulang sejak aku selesai kuliah, namun karena tawaran kerja dengan gaji menggiurkan, aku lebih memilih bertahan dan merayu Ibu untuk terus mendoakan kesuksesanku. Tanpa ku sadari sedewasa apapun aku, dimatanya, aku adalah anak lelaki yang selalu harus diingatkan dalam segala hal, hingga selama aku disana, ibuku tak pernah bosan mengirim vn lewat W* hingga 5-6 kali dalam sehari, dari mulai menyuru
Renata meng-klik profil yang mengirimkan DM itu, tapi nihil tak ada sedikitpun info siapa pemilik akunnya. Hanya saja yang memanggilnya chubby, cuma Bara, karena dia tahu, Renata paling marah kalau dikatakan seperti itu, apalagi kalau dikatakan gendutan, akan diajak duel pastinya. "Woy, ngelamun aja!" sentak Bianca yang tiba-tiba muncu "Astaghfirullah, kalau aku mati jantungan gimana?" ungkap Renat "Gak lah, gak mungkin! Wong, masih segar bugar begitu!" ejekny Renata memutar bola matanya dengan jengah, sedangkan Bianca hanya nyengir tanpa rasa bersala "Jadi ... kita akan kemana "Ke kantor pengacara," jawab Renata singka "Dah bulat? Siap berpisah?" ledek Bianc "Yup, makanya aku pake pengacara agak mahal dikit, biar dia yang urus jadi gak ada tahap mediasi-mediasi-an, dah malas aku ketemu manusia gak tah
Bara melangkahkan kakinya kedalam kantor Ferry, teman semasa kuliahnya di luar negeri, setelah mobil merah yang membawa Renata menghilang dari pandangan. Dengan sejuta tanya dalam hatinya "Ada apakah gerangan, sampai-sampai Renata mengunjungi kantor Advokat sehebat Ferry." "Ferry, ada, Mbak?" tanya Bara pada Winda. "Ada, Pak, mari saya antar," tawar Winda. "Gak usah! Saya masuk sendiri saja, Makasih ya," ucap Bara kemudian menuju keruangan kerja temannya. "Assalamualaikum," ucap Bara sambil nyelonong masuk. "Waalaikumsalam, selamat datang, Bos!" ucap Ferry seraya bangkit dan menyambut Bara, teman seperjuangan dulu. "Seperti yang terlihat," jawab Bara, sambil merentangkan tangannya. "Mari, mari duduk lah," ucap Ferry. "Jadi bagaimana tawaranku, Bro?" "Bukan menolak, Fe
Bianca sangat cemas ketika mengetahui, pembukaan Renata begitu lambat, saat dia menanyakannya pada suster jaga yang tadi didalam memeriksa sahabatnya itu. "Tenang saja, Mbak, semua juga ada waktunya, sudah biasa begini mah," ungkap wanita berseragam putih itu dengan santai. "Tapi dia kesakitan loh, Sus!" tegas Bianca sudah tak tahan lagi melihat Renata mengerang kesakitan. "Renata juga, kenapa harus memilih rumah sakit ini sih, dia mampu membayar berapapun di rumah sakit sebelumnya, tapi pas mau lahiran malah memilih disini tempat yang tak pernah dikunjunginya," sungutnya. "Neng, apakah, sebaiknya kita memberitahu, Den Doni?" tanya Bik Sumi sambil mengelus tangan majikannya. "Engga … jangan, Bik, jangan sampai Doni tahu," tegas Renata. ”Bianca mana, Bik?" tanya Renata. "Barusan keluar, nyari suster kali," sahut Bik Sumi, hatinya mera
Di ruangan berdinding putih itu, Renata sedang berjuang antara hidup dan matinya. Menikmati setiap prosesnya untuk melahirkan anak pertamanya. "Dorong lagi, Bu, sedikit lagi, Ayo!" ucap dokter itu, dengan penuh semangat. "Tarik nafas, lalu buang." ucapnya. Renata berhenti mengejan, tubuhnya lemas terasa tak bertulang. "Ayo! Semangat! tinggal sedikit lagi! Tarik nafas, lalu buang, tarik nafas, lalu buang!" titah dokter perempuan itu. "Bun, cara tarik nafas, bagaimana? Rena lupa," lirihnya, sambil mendongak memandang wajah teduh Ibu sahabatnya. Bunda Hani hanya diam dan menatap lekat manik mata sayu, wanita muda dalam pelukannya. Sungguh dia shock berada dengan Renata saat ini, hingga bibirnya kelu, tak mampu menjawab pertanyaan wanita malang itu, namun demi kemanusiaan, dirinya nekat menemani sahabat putrinya itu. Renat
Hari ini Renata sudah diperbolehkan pulang, Bunda Hani mengajaknya untuk ikut ke Bogor, dengan banyak pertimbangan Renata pun menyetujuinya. Untuk tinggal sementara dengan keluarga sahabatnya itu. Mobil merah milik Bianca, melaju membelah jalanan. Hanya dengan waktu tempuh kurang dari tiga jam, mereka sudah sampai di kediaman pak Harun. "Ren, Namanya siapa bayi imut ini?" tanya Bianca, sambil jarinya tak henti mengelus pipi anak Renata. "Annisa Kania Putri, gimana?" tanya Renata sambil tak lepas matanya memandang bayi yang telah dilahirkannya dua hari lalu. "Waah, cantik namanya!" seru Bunda Hani yang tiba-tiba datang ke kamar tamu. "Gimana, Bun?" tanya Renata. "Bagus, Bunda suka! Sini, Nak, Oma gendong," ucap Bunda Hani seraya meraih bayi Annisa yang sedang dipangkuan Bianca. "Oma," panggil anak lelaki berkaos biru.
Orang-orang mulai berdatangan, anak yatim-piala juga sudah duduk berjejer. Baby Annisa begitu lucu dan menggemaskan dengan drees berwarna pink muda, membuat Renata terus saja menciuminya, Bunda Hani dan Pak Harun sudah nampak bagai couple yang tak terpisahkan, dengan busana bertema putih. Renata pun tampak cantik dan berkelas dengan gamis putih, model outer di bagian depan dilengkapi manik-manik warna abu dan Payet indah dibagian leher, pasmina putih yang dililitkan, menambah kesan elegan, penampilan Renata sore ini. Ela menatap tajam Renata yang sedang tersenyum bahagia menggendong anaknya, saat dilihat sekelilingnya sibuk, dia melangkah menuju kamar Renata yang terbuka lebar. "Kamu, jadikan pulang ke Tangerang hari ini?" tanyanya dengan ketus. "Besok pagi, Mbak," jawab Renata sambil menatap heran ke arah Ela. "Baguslah, biar Gias bisa main lagi sama Oma Opanya!" ujarnya sambil terseny
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla