Kemarahan Bu tuti.
Renata melihat kedatangan mertuanya dengan raut muka penuh amarah, namun dia harus tetap tenang. Ia sudah memperkirakan ini akan terjadi, dari saat tadi, Dina pergi setelah di usirnya.
"Bu," sapanya, sambil hendak meraih tangan Ibu mertuanya.
Namun Bu Tuti malah menepis tangan Renata dengan tatapan yang seakan ingin memakan menantunya itu.
"Sok banget kamu ya, Rena! Baru punya toko baju beginian juga sudah semena-mena sama anakku!" ucapnya dengan nafas terengah-engah.
"Maksud Ibu?" ucap Renata dengan pura-pura tidak mengerti.
"Jangan pura-pura kamu, Rena! Sok pasang muka polos padahal kamu jahat. Sama adik ipar sendiri sampai tega mengusirnya, hanya gara-gara mengambil beberapa barang murahanmu!" ucapnya sambil mendengus sinis.
"Lantas, Ibu maunya bagaimana?" tanya Renata pada mertuanya.
Semburat jingga nampak indah terlihat di ufuk barat, perlahan tapi pasti dia akan tenggelam dan berganti hitam pekat gelapnya malam. Begitulah sang waktu bergulir tanpa bisa dicegah atau dihentikan semau kita. Karena setiap yang terjadi adalah takdir ketentuan dari sang Ilahi. Renata membuka matanya dan melihat sosok Doni, duduk di tepian tempat tidurnya, ternyata ia tertidur cukup lama sepulang dari butik tadi. "Mas, sudah pulang?" "Iya, kamu sakit, Ren?" ucap suaminya saat melihat wajah Renata yang pucat. "Nggak, Mas, mungkin karena aku bangun tidur," sahutnya "Syukurlah." Doni urung untuk menanyakan perihal aduan ibunya, melihat keadaan Renata yang sebegitu membuatnya iba. Ya … hanya iba yang tersisa dibenaknya, karena Renata kini bukan lagi prioritas baginya. Apakah masih ada cinta tersisa di hatinya? Tentu saja, t
Bianca baru saja turun dari pesawat, dia melangkah anggun dengan setelan baju kerjanya sebagai pramugari, tubuh tinggi yang langsing, ditunjang dengan wajah yang khas orang Indonesia dengan potongan hidung yang sedikit mancung tak mempengaruhi kecantikan wajahnya. Dia menarik kopernya sambil bersenda gurau dengan beberapa teman seprofesinya. Gadis-gadis Indonesia yang sangat mengagumkan, memanjakan para mata yang memandang, keindahan yang Tuhan berikan pada sebagian orang yang beruntung memiliki wajah yang rupawan dari sejak lahir. "Bi, kamu dijemput?" tanya Marsha teman seprofesinya. Saat dia melihat Bianca masih berdiri di pinggir jalan. "Nggak, naik taksi aja," jawabnya. "Bareng gue aja," tawarnya. "Rumah kita gak searah loh," ucap Bianca. "Akh elah, santai aja kali, gue dijemput Abang gue nih," ujar Marsha. "Bayar gak?" tanya Bi
Lia masuk kedalam bank, tempat dimana Doni bekerja, dia sudah tidak bisa lagi menunggu untuk mengetahui bagaimana kabarnya Doni, karena Lia belum bisa membeli handphone, akhirnya dia memberanikan diri untuk mendatangi tempat kerja lelaki tampan yang selama ini menghuni pikiran dan hatinya. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" ucap Satpam ketika melihat kedatangan Lia. Lia pun tersenyum melihat Pak satpam dan bilang dia ingin bertemu dengan Doni, Pak Satpam pun bertanya lagi "Apakah sudah ada janji?" "Belum, pak," jawabnya, karena memang dia belum menghubungi Doni. "Tapi tolong ya, Pak, bilangin saya Lia Apriliani pengen ketemu sama beliau, ada hal sangat penting yang harus dibicarakan," tuturnya. "Baik, Mbak, tunggu disini sebentar ya, Saya akan masuk dan mengabarkannya pada Pak Doni," ucap Pak Satpam. Dia mengangguk dan mempersilahkan Pak satp
Laki-laki berkacamata hitam itu menepuk pundak Doni yang sedang berbicara dengan Lia. "Bara? Ya, kamu Bara-kan?" tanya Doni antusias. Mereka berpelukan. "Kemana aja lu, Bro?" tanya Doni. "Aku baru pulang, Don, Biasa orang susah cari sesuap nasi," ucapnya berkelakar. "Mana no W*, lu?" tanya Doni. Mereka bertukar nomor telepon. "Ini siapa? Bini, Lo?" tanya Bara. "Kenalkan, ini Lia, temen gue," ucap Doni. "Temen apa demen?" tanya Bara dengan menyelidik dan tatapan tak percaya. Sedangkan Lia hanya menunduk tak berani menatap kearah Bara. Doni hanya tertawa, lalu mereka berpisah dan berjanji akan ngopi bareng pada minggu depan. Bara memperhatikan Doni dan Lia, sungguh jomplang, pikirnya, dia menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya body shaming pada perempuan yang di bawa
Sepulang mengantar Renata, Bianca melajukan mobilnya kearah pom bensin. Penuh dan antri, andai saja ada celah untuknya mundur, pasti Bianca akan putar balik, namun dia sudah masuk dan terhalang mobil di belakangnya. Antrian yang membentuk setengah lingkaran membuat penglihatannya sedikit samar, saat dia melihat mobil Doni di antrian depan, dengan kaca yang terbuka. "Ya … itu Doni, namun dia kok, asik ngobrol? Bianca semakin menyipitkan matanya agar bisa lebih jelas dengan apa yang dilihatnya itu. Tidak salah lagi, itu Doni tapi dengan siapa? Hati Bianca riuh mempertanyakan itu. Tiba-tiba Bianca mengingat apa yang dilihatnya sebulan lalu di cafe. "Hari ini kamu gak akan lolos Don! akan ku buat perhitungan denganmu," geramnya. Bianca, tidak jadi mengisi bensin, dia langsung tancap gas mengejar mobil Doni yang terlihat berhenti di lampu merah. Bi
Sepulang makan siang di mall tadi, pikiranku terus saja dihuni oleh Bara. Lelaki yang delapan tahun silam membuatku patah hati dan hampir depresi. Bagaimana tidak! Saat aku menjadikannya sebagai duniaku, dengan tanpa dosa dia pergi tiba-tiba. Bahkan butuh waktu bertahun-tahun untukku memulihkan hati ini, tapi hari ini, luka yang telah lama aku kubur, seakan muncul kembali dan kian menyegar. Bara … kenapa kita harus bertemu lagi? Kenapa aku masih saja menyimpanmu di lubuk hatiku yang terdalam, tanpa aku menyadarinya. Dreeet … dreeet … dreeet Lampu hijau diponselku menyala berkedip-kedip. Dan saat kubuka ternyata pesan Whatswebnya Mas Doni. Seketika amarah dan sakit hati datang bersamaan. Melihat bagaimana intimnya chat antara Lia dan Mas Doni. Ku kira, suamiku telah memutuskan wanita itu, sebulan ini sikapnya manis dan hangat padaku, hingga desakan Bianca pun mampu
Doni geram sekali pada Bianca, karena telah menyerang dan menghinanya di kantor, sudah tentu karyawan lain mendengar apa yang Bianca ucapkan. "Huft … dia menarik nafas panjang, mencoba menetralkan kekesalannya." Jam menunjukkan pukul 16.00 wib. Sudah waktunya dia pulang, lelaki berkemeja warna putih itu, tergesa-gesa membereskan barang-barangnya. Lalu keluar dengan memberi tahu Santi, bahwa dia pulang cepat karena gak enak badan, padahal pekerjaannya belum semua selesai. Doni memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, pesan di notifikasi ponselnya sudah beruntun, Lia membombardirnya dengan chat W*, karena sejak tadi Doni mengabaikannya. Dia menekan klakson beberapa kali, Mang Ujang yang sedang sholat Ashar pun, dengan terpaksa membatalkannya. Lelaki paruh baya itu berlari sambil masih mengenakan sarung dan peci. Dia membuka gerbang rumah Renata. "Maaf, Pak, saya sedang sholat," uc
"Ibu pernah gak sih marah sama bapak tanpa sebab?" tanya Pak Karyo dengan telak. Ia sungguh heran dengan sikap ngeyel istrinya itu. Selalu cenderung menyalahkan orang lain dalam setiap kejadian. Apalagi pada Renata, pandangan pada menantunya itu sama sekali tak pernah ada benarnya. Bu Tuti diam tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dia kesal dengan Pak Karyo yang seolah-olah malah membela menantunya itu. "Kamu bikin masalah apa sama istrimu itu?" tanya Pak Karyo dengan tatapan mengintimidasi. Doni hanya menunduk, karena sejak dulu dia memang sangat segan sama bapaknya itu. Lain hal dengan ibunya yang selalu memanjakannya, sekalipun dia berbuat salah pasti selalu dibela. "Bapak! Apa-apaan sih?" bentak Bu Tuti." "Lho, Bapak, hanya bertanya, Bu!" tegasnya pada wanita yang telah memberinya dua anak itu. "Sudahlah, ayo! Makan dulu, N
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla