“Benar, Mbak. Saya tadi sengaja menghubungi deretan nama dari daftar panggilan paling atas untuk memberikan kabar,” jelas laki-laki di ujung telepon. Yang tak lain orang yang menjadi saksi atas kecelakaan yang dialami Mita.“Iya, tapi Anda ini siapa?” tanya Bella penasaran.“Saya tadi kebetulan lewat di jalan A, Mbak. Lalu saya lihat Ibu Anda kecelakaan. Kemudian Ibu, Anda menyuruh saya menghubungi Anda sebelum beliau pingsan,” jawab lelaki di ujung telepon.“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, Pak karena sudah menolong Ibu saya. Tapi Ibu saya akan dibawa ke rumah sakit mana ya, Pak?” tanya Bella yang berusaha tenang. Padahal aslinya panik. Jemari tangannya kini terasa dingin seperti mayat.“Sama-sama, Mbak. Ibu, Anda akan dibawa ke rumah sakit Harapan, Mbak,” jawab laki-laki itu.“Baiklah kalau begitu saya tunggu di UGD, karena kebetulan saya juga ada di rumah sakit yang sama,” ucap Bella.“Baik, Mbak,” sahut lelaki di ujung telepon tersebut.Setelah itu sambungan telepon mereka be
Lebih tepatnya Jona saat ini sedang menghubungi Rendy. Yang tak lain adalah ayahnya Bella. Sambungan telepon dapat terhubung setelah Jona mencoba menghubungi Rendy 3 kali.“Maaf baru angkat telepon dari kamu. Soalnya Ayah baru aja selesai meeting sama klien,” ucap Rendy di ujung telepon.“Iya, Ayah. Tidak apa-apa. Jona bisa mengerti,” sahut Jona.“Kamu hubungi, Ayah sampai berkali-kali. Ada apa memangnya?” tanya Rendy penasaran.“Ibu kecelakaan, Yah,” jawab Jona langsung ke pokok masalah.Rendy sontak shock. “Apa?!” “Kecelakaan di mana. Dengan apa. Lalu sekarang Ibumu dibawa ke mana?” Rendy memberondong Jona dengan pertanyaan. Sampai lelaki itu bingung bagaimana harus menjawabnya.“Ibu sekarang ada di rumah sakit Harapan, Ayah.” Hanya jawaban itu yang dapat diberikan oleh Jona. Karena selebihnya dia lupa dengan banyaknya pertanyaan yang mertuanya ajukan. “Ayah di mana sekarang? Maaf, Ayah lebih baik segera ke sini saja,” lanjutnya.“Kamu benar. Ya sudah. Ayah akan menyusul kamu sekar
“Ya sudah. Nggak apa-apa yang penting Ibumu cepat sembuh,” jawab Rendy.“Mari ya. Kita temui, Ibu,” ajak Jona.Rendy mengangguk. Kemudian Jona dan Bella menuntun Rendy menuju ke ruang pemeriksaan. Sesampainya di sana seorang perawat menghampiri mereka bertiga dengan membawa peralatan medis.“Bapak dan Ibu, ini keluarga dari Ibu Mita?” tanya perawat yang hendak masuk ke ruangan Mita.“Iya benar, Suster. Saya suaminya,” jawab Rendy.“Mohon maaf. Perlu saya sampaikan bahwa saat ini, Ibu Mita akan dijahit lukanya. Jadi Bapak dan Ibu mohon tunggu di luar,” ucap perawat.“Baik, Suster. Saya mengerti,” sahut Rendy. Ia berusaha tenang. Meskipun sebenarnya cemas memikirkan istrinya yang ada di dalam. Membayangkan betapa sakitnya saat kulitnya ditembus oleh jarum jahit medis. Namun tak ada jalan lain selain hal tersebut. Daripada istrinya akan terus menerus menderita.Kemudian perawat masuk ke dalam ruangan. Saat itulah Rendy tak dapat menyembunyikan lagi kecemasannya. Bella yang mengetahui hal
Mata ketiganya membelalak. Kemudian mereka menoleh ke arah Mita. Wanita itu kaget tiba-tiba semua barang dan wajahnya merasa nyeri. “Apa yang terjadi padaku?” tanya Mita. Namun dengan kondisi bibirnya yang sedikit dijahit, tak ada yang mengerti maksudnya.“Ibu mau bilang apa?” tanya Bella tak mengerti.Mita mengulangi kalimatnya, namun Bella dan ayahnya tetap tak paham. Sementara itu Jona memerhatikan dengan saksama. Agaknya dia sedikit paham.“Sepertinya, Ibu menanyakan apa yang terjadi pada dirinya,” beber Jona yang masih menatap ke arah Mita dengan serius.Rendy memiringkan kepalanya. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa menantunya tersebut benar-benar mengerti apa yang istrinya katakan. “Benarkah?”“Jona rasa begitu,” sahut Jona. Sementara Bella hanya terdiam.Dan ternyata benar apa yang dikatakan oleh Jona. Mita memberi respon dengan mengangguk, sebagai pertanda benar. Bella terkejut sampai lupa mengatupkan mulutnya sesaat. “Benar, Yah. Ibu mengangguk,” ucap Bella.Rendy menggaruk
Mendengar teriakan dari Jona membuat mata Bella langsung membelalak. Dia pun juga hampir jatuh tersungkur dibuatnya. Lalu ia memukul kursi bagian belakang kemudi yang Jona tempati.“Kamu kenapa sih ngerem mendadak gitu? Apa kamu mau membunuhku?!” geram Bella.“Sorry Bel, sorry. Aku nggak sadar ada gerobak lewat di depan aku,” ucap Jona dengan ekspresi wajah takut.Mita tak kalah kaget. Ia yang tak berdaya hanya bisa menangis. Bella kemudian menoleh ke arah ibunya dan berusaha menenangkan.“Astaga, Ibu. Nggak apa-apa kan, Bu?” tanya bella dengan ekspresi wajah cemas.“Ibu tenang, ya, Bu ya,” lanjut Bella.Mita menjawabnya dengan anggukan. Jona ikut menoleh. Perasaannya semakin bersalah pada wanita setengah baya tersebut. Terlebih Mita juga sudah sangat baik padanya.“Ibu, sungguh Jona minta maaf, Ibu. Jona tak sengaja melakukannya. Ibu percaya kan kalau Jona tidak akan membahayakan keselamatan Ibu?” tanya Jona dengan nada cemas.Mita menggelengkan kepalanya. Lalu mengayunkan tangannya.
Jona terkejut. Ia tersadar dari lamunannya. Lalu menoleh ke arah Dila. “Nggak, nggak. Aku nggak kenapa-kenapa,” jawab Jona. Ia masih asyik memerhatikan Bella.Makanan yang dipesan oleh Bella belum jadi. Masih ada 1 antrian lagi. Akan tetapi dengan konyolnya Jona malah mengajak Bella untuk pergi meninggalkan tempat penjual bubur itu.“Udahlah. Nggak usah beli bubur. Kita cari makanan lain aja,” ucap Jona.Bella menghentikan sejenak aktivitasnya. Lalu menatap ke arah Jona. Ia memiringkan kepalanya menatap Jona, tak mengerti mengapa tiba-tiba Jona bersikap demikian.“Apa maksudmu. Kita tinggal nunggu satu antrian lagi lho. Nggak sabaran banget jadi orang,” omel Bella.“Udah, ayo!” paksa Jona sambil menarik pergelangan tangan Bella.“Eh, eh. Kok ditarik-tarik segala sih?” protes Bella.Bella yang merasa tak enak hati kepada Dila kemudian tertawa canggung. Lalu berpamitan pergi. “Dila. Maaf ya. Aku pergi duluan. Nggak tau nih kenapa Jona jadi aneh gini.”Dila hanya bisa memaksakan senyumny
Jona dengan sigap pasang badan menutupi badan Bella. Dan akhirnya dia yang terkena cipratan air yang berasal dari genangan di jalan. Bella membelakakan matanya atas aksi yang Jona lakukan untuknya. Sementara Jona memejamkan matanya.Suasana sempat hening sesaat. Sampai suara Ibu yang menjual sarapan membuyarkan lamunan mereka. “Gimana sih itu mobil?! Hati-hati dong, ngenain orang nih!” omelnya. Akan tetapi pemilik mobilnya mana dengar. Karena sudah terlanjur melaju dan tak memedulikan kekacauan yang dibuatnya.“Astaga Jona. Baju kamu kotor dan basah,” ucap Bella sambil memegangi lengan dan punggung Jona yang basah secara bergantian.Jona menghindar. Karena tak ingin Bella ikut kotor dan basah. “Udah, udah. Jangan pegang nanti kamu ikutan kotor. Aku nggak apa-apa kok.” Jona berbohong.“Nggak apa-apa gimana. Baju kamu basah kayak gini,” sahut Bella dengan nada cemas.“Kita kan mau pulang. Jadi nggak masalah nanti sekalian mandi,” kilah Jona.“Okey,” sahut Bella berusaha mengikuti kemaua
“Aku juga nggak tau dari siapa. Nomornya nggak tertera di kontak ku,” jawab Bella.Jona hanya manggut-manggut mengerti. Sementara Bella yang hampir menggeser tombol hijau pada layar, memutuskan untuk menundanya. “Lagian kenapa kamu tiba-tiba jadi penasaran gitu sih sama urusanku?” tanya Bella yang baru menyadari rasa penasarannya.“Ya. Aku cuma penasaran aja. Kenapa emangnya nggak boleh?” Jona bertanya balik.Bella diam. Bukan karena tidak tahu jawabannya. Akan tetapi karena ingin mengangkat telepon.“Halo. Selamat pagi. Dengan siapa saya bicara?” tanya Bella saat sambungan teleponnya sudah terhubung.Seperti biasanya, ternyata yang menghubungi Bella adalah calon klien dari Laura. Orang tersebut ingin menawarkan kerjasama dengan Laura.“Perkenalkan saya dari Stasiun Televisi A. Saya ingin menawarkan kerjasama. Apakah Anda bisa ke tempat kami pagi ini?” jawab seseorang dari pihak stasiun televisi.“Maaf, perlu saya informasikan sebelumnya bahwa saat ini artis kami, yaitu Bu Laura sedan