"Aku cuma ingin berterimakasih sama kamu, Aayara," ucap Serena tersenyum tipis ke arah Aayara yang saat ini terlihat gugup. "Mungkin keadaan Kakak bisa lebih buruk jika kamu tidak datang menyelamatkan Kakak," tambah Serena. Dia ingat sekali kejadian itu, di mana dia terjatuh dan berguling hingga ke tengah tangga eskalator yang terus berjalan. Semua orang kaget dan terlhat ketakutan, termasuk Aesya yang mematung karena syok. Serena kesakitan, darah mengalir dari bawah sana, dan tangga terus berjalan. Serena sudah pasrah jika hal buruk lainnya menimpa dirinya. Namun, saat perasaan putus asah dalam dirinya menyelimuti dan sudah pasrah jika mungkin tubuhnya terjepit dipangkal eskalator yang semakin dekat, tiba-tiba saja Aayara muncul–berlari secepat mungkin ke arahnya dan menolongnya. Aesya juga datang, eskalator mati, lalu disusul oleh orang-orang yang ikut membantunya. Aayara sangat berani, tak mengenal yang namanya resiko dan bahaya. "Sama-sama, Kak." Aayara menganggukkan kepala s
"Rumah kita," jawab Maxim–mengejutkan Aayara, "kita akan tinggal di sini setelah kau menyelesaikan pendidikanmu. Dengan begitu kau hanya menjadi milikku seutuhnya dan bisa fokus untuk mencintaiku saja.""Hah?" Aayara menampilkan air muka kaget dan mulut terbuka sedikit, cengang mendengarkan perkataan Maxim. Kenapa Maxim membahas masalah cinta, dan … memiliki Aayara seutuhnya? Bukannya sekarang sudah? "Ada apa?" tanya Maxim datar, memeluk pinggang Aayara sembari menatap tajam dan penuh peringatan pada perempuan ini. "Bukannya aku sudah menjadi istri Pak Maxim, mi--milik Pak Maxim. Jadi apa hubungannya memilikiku seutuhnya dan pindah kemari?"Satu alis Maxim naik sebelah. "Kau tidak sadar jika selama di mansion kau lebih sering menghabiskan waktu dengan mereka dibandingkan denganku?"Aayara mengerjab beberapa kali saat mendengar jawaban Maxim. Dia juga meringis dan gugup. Benar juga! Tapi …- "Kita akan tinggal be--berdua di sini?""Kenapa? Kau tidak ingin tinggal bersamaku di sini?"
"Hanya ada kau dan aku," lanjutnya setengah berbisik, nadanya pelan dan serak. Terdengar menggoda sekaligus mengerikan, membuat Aayara merinding disko mendengarnya. Maxim tiba-tiba saja menggendong tubuh Aayara, mengangkatnya di depan dan layaknya dia tengah menggendong anak kecil. Hal tersebut membuat Aayara sontak memegang pundak Maxim, menatap suaminya dengan air muka kaget dan mulut mengerucut menentukan huruf o'. Maxim berjalan ke arah ranjang, membawa Aayara yang ada di gendongannya. Aayara semakin kaget dan panik saat Maxim berjalan membawanya ke atas ranjang. Alarm bahaya dalam kepalanya seketika berbunyi. Aayara menatap kasur dengan air muka panik, kemudian menatap Maxim dengan ekspresi cengang. Ketika sudah dekat dengan ranjang, Aayara dengan cepat menutup mata Maxim menggunakan tangannya– supaya Maxim tidak melihat jalan dan berhenti membawanya ke sana. Namun, Maxim tetap melangkah dan ketika sudah sampai tepat sebelah ranjang, Maxim dengan hati-hati dan pelan meletakka
"Ternyata kau, Bocah," dengkus Kevin sembari memberikan kantong belanjaan berisi makanan untuk adiknya. "Pantas saja Tuan memesan makanan berminyak, ternyata untukmu," ucap Kevin lagi, menyentil pelan kening Aayara, menyelonong masuk dalam rumah Tuannya tersebut dan meninggalkan Aayara yang memilih diam di depan pintu sembari memeriksa isi kantong belanjaan tersebut. 'Ada ayam, sambel ijo, mentimun, tomat dan … kerupuk. Oke! Lengkap.' batin Aayara saat memesiksa isi dari kotak makanan dalam kantong belanjaan tersebut. Sebenarnya saat Maxim bertanya ingin makan apa, Aayara spontan mengatakan ayam goreng. Hanya saja dia tak mengatakan deretan teman-temannya, padahal itu point penting bagi Aayara. Untungnya ayam yang Kakaknya bawakan ini paket komplit. Ada tahu goreng dan teman-temannya juga. Tuk'Aayara mengunci pintu kemudian berjalan cepat dari sana. Tiba-tiba dia reflek mengatakan ayam goreng! Mungkin jiwa anak kosnya sudah mendarah daging dalam diri Aayara. ***'Ouh, jadi Kak Kev
"Kamu nggak apa-apa kan, Yara?" tanya Jenny, berjalan di koridor rumah sakit dan berniat untuk pulang. "Enggak. Mungkin anemiaku lagi kambuh karena kebanyakan minum kopi," tutur Aayara dengan tersenyum tipis ke arah Jenny, "tapi … aku enggak pernah minum kopi deh perasaan," ucapnya lagi saat mengingat jika dirinya tak pernah mengonsumsi kopi di waktu dekat ini. Tak mungkin dia mengonsumsi kopi karena Maxim sangat over protektif padanya. Walau kadang membandel tetapi Aayara tetap merasa takut pada suaminya tersebut. Maxim mengerikan jika marah. "Ah, kita kan habis magang trus yang buat laporan akhir itu kamu. Jadi anemia kamu kambuh mungkin gara-gara begadang kali, Yara." Yara langsung menepuk jidat. Cik, bisa-bisanya dia lupa jika dia minggu ini disibukkan oleh laporan akhir magang mereka. Pantas saja! "Ehehehe … aku lupa," cengir-nya dengan raut muka pucat dan tegang. ***Beberapa hari kemudian. Maxim berdecak marah di ruang kerjanya. Wajahnya terlihat tak bersahabat serta aura
"Kau buang kemana mayatnya?" hanya Maxim setelah mereka pulang ke mansion, berjalan beriringan dengan Rafael. Rafael mengacungkan pundak. "Aku menyerahkannya pada Paman Exel. Jadi aku tidak tahu Paman akan mengolah wanita menjijikkan itu jadi apa.""Mungkin makanan kucing Javier." Maxim berucap acuh tak acuh. Rafael mengedikkan pundak."Yah, mungkin."Tiba-tiba saja saat mereka akan memasuki ruang kerja mereka di mansion itu, Gabriel tiba-tiba saja memanggil Maxim. "Maxim." "Ya, Paman?" tanya Maxim, memilih berhenti melangkah dan mengurungkan diri untuk tak masuk ke dalam. "Ini sudah satu bulan. Kau sungguh tidak mau menemui Aayara?" tanya Gabriel meyakinkan.Maxim menggelengkan kepala. "Tidak, Paman. Biarkan saja dia di sana," ucapnya terdengar acuh tak acuh. Setelahnya bergegas buru-buru masuk dalam ruang kerjanya. Cik, dia tak ingin membahas Aayara! "Anak ini!" dengkus Gabriel sembari menghela napas. "Jangan salahkan Paman kelak kalau kau terlambat tahu!" ucap Gabriel sedikit
"Bagaimana ini?" gumam Serena secara pelan, menampilkan raut wajah gunda serta gelisah. Dia terus bermondar-mandir di dapan kaca wastafel, tubuhnya bergetar dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. "Serena." Terdengar panggilan dari luar kamar mandi, itu berhasil membuat jantung Serena semakin berdebar dengan kencang. "Kau di dalam?" Suara itu kembali memanggil. "I--iya." Serena buru-buru membuka pintu kamar mandi, langsung memasang senyuman manis ke arah Rafael, "ada apa, Mas Rafael?" tanya Serena dengan nada lembut, walau terkesan gugup dan takut-takut."Adik kesayanganmu telah pulang. Kenapa kau tidak turun melihatnya?" tanya Rafael, bersedekap dan diam-diam menatap curiga ke arah istrinya. "O--oh, Aayara sudah pulang yah? Baiklah, aku akan menemuinya dan …-" Serena bergegas dan berniat beranjak. Namun, tiba-tiba saja Rafael menahan lengannya. Pria ini mencekal dan mencengkeram lengan Serena, membuat Serena menghentikan langkah dan menatap gugup ke arah Rafael. "Kenapa?"
"Kau bisa istirahat di sini," ucap Kevin, mendorong Jenny untuk duduk di atas ranjang miliknya. Arfita dan Dimas sudah pindah tadi siang, jadi Kevin merasa jika dia aman untuk membawa Jenny tinggal dengannya. "Pak Kevin, aku … a--aku tidak bisa tinggal di sini dengan Pak Kevin. Aku …-""Syuut!" Kevin meletakkan jemari telunjuk di bibir Jenny, isyarat agar perempuan tersebut diam. "Jangan banyak bicara dan beristirahat lah."Jenny menggelengkan kepala, wajahnya terlihat pucat dan jantungnya berdebar kencang. Semalam dia berhasil kabur dari rumah ini, tetapi sekarang dia kembali dibawa oleh Kevin kemari. "Pak, aku tidak ingin tinggal …-" "Jangan membantahku, Jenny, atau kau akan mendapat akibatnya!" Kevin mengintimidasi dan menekan kata-kata, memperingati Jenny untuk tak macam-macam dengannya. "Mulai sekarang kau tinggal denganku, selamanya! Karena kau--" Kevin mencengkeram pipi Jenny, memaksa perempuan itu untuk mendongak ke arahnya. "Kau milikku!"Jenny meremang takut, tubuhnya ber