"Aku mencintaimu, Maxim. Aku menyadarinya sekarang …." Jenner berkata lirih, menatap sendu dan juga sayup ke arah Rafael -- berharap jika cintanya kali ini mendapat balasan. Tapi, Maxim mencintainya dan sudah lama suka padanya bukan? Jadi harusnya ini mudah bagi Jenner. "Mudah sekali perasaanmu beralih." Maxim menyunggingkan seringai tipis, memilih melanjutkan kembali pekerjaannya dan sedikit acuh pada seorang perempuan di depannya. "Bukan mudah, Max." Jenner kembali mengeluarkan suara lembutnya yang lirih. "Aku hanya baru menyadarinya. Dan beberapa hari ini aku tertampar oleh satu kalimat yang kutemui di sebuah buku. Katanya daripada memilih orang yang kita cintai lebih baik kita memilih orang yang mencintai kita.""Silahkan." Maxim berucap cepat dan singkat. Jenner tersenyum penuh kemenangan, dia bahagia dan merasa jika rencana kali ini akan berhasil. Jika dia menikah dengan Maxim dia akan tinggal di mansion itu, dan suatu saat dia akan bersama Rafael lagi. Tidak! Dia tidak aka
"Terus kenapa kamu nggak bisa, El?" "Apa?!" Rafael menoleh cepat dan tajam ke arah Serena. Ini sedikit menyinggung dan sensitif. "Kamu bisa buat cendol, dan untuk pemula ini sangat sempurna. Rasanya enak dan pas. Tapi-- ngucapin cendol kamu nggak bisa. Hehehe ….""Aku bisa." Rafael berucap cepat dan penuh keyakinan, langsung menyerong tubuhnya untuk menghadap sepenuhnya ke arah Serena yang sebenarnya duduk di sebelahnya. "Coba." Rafael melirik ragu dan tak yakin ke arah istrinya. "Cen--" ucapnya dengan kembali melirik Serena gugup. "Cen?" Serena membeo, menaikkan alis dan menunggu Rafael untuk melanjutkan perkataannya. "Cen-- dol." Rafael menyelesaikan ucapannya. Lalu dia tersenyum bangga, merasa lega juga karena dia bisa mengatakannya walau hanya sepenggal-sepenggal. Dia lalu menyenderkan punggungnya ke sofa, benar-benar puas dan lega. "Jangan sepenggal-sepenggal. Coba ngomong langsung, bilang cendol. Ayo, El." "Cik, cendrol," ucap Rafael cepat, berhasil mengundang tawa Seren
"Kita kabur saja. Si pemiliknya tak akan tahu," usul perempuan satunya lagi, yang rambutnya dikucir kuda dan memaki poni pada bagian depan. "Ada cctv, Aayara!" Jenny menepuk jidat dan berjongkok. "Ini mobil mahal, yang punya pasti orang kaya. Harusnya dia nggak masalah lah, hanya goresan sikit saja. Kecuali ini mobil pinjaman atau mobil yang belum lunas cicilannya," ucap gadis bernama Aayara tersebut dengan nada mencerocos dan cempreng. "Iya, tapi kita tetap harus bertanggung jawab, Yara." "Begini, Teman. Jika memang ini mobil milik orang kaya, yang benar-benar kaya, goresan kecil begini mah nggak bakalan di permasalahin. Tapi kalau mobil ini punya orang yang masih nyicil, mending kita kabur, Jen. Soalnya kita bisa di polisiin, masalah kecil ini bisa dia perpanjang. Dan parahnya kita disuruh tanggung jawab yang tak sesuai logika, aturan kita ganti rugi sejuta dua juta nanti malah disuruh ganti rugi sebesar cicilan mobilnya sampe lunas. Jadi mending kita kabur," cerocos Aayara lagi
"Rafael!" Serena memekik, berusaha menyingkirkan tubuh raksasa tersebut dari atas tubuhnya sendiri. Rafael menindihnya di sofa, di mana rambut Serena masih basah dan bahkan dia masih mengenakan handuk kimono. Dia dan pria ini baru saja selesai mandi. "Apa?" Rafael menaikkan sebelah alis, menatap Serena dalam dan juga sayup; penuh ledakan gairah dan hasrat yang tinggi. "Kau ingin punya anak bukan?!" ucap Rafael kemudian dengan serak, membelai pinggiran wajah Serena dengan lembut namun terkesan erotis. "Tapi bukan begini juga, El. Kita baru sampai di sini, dan ...-""Proses pembuatan anak yang lucu seperti kemauanmu itu butuh pembuatan ekstra dan lebih sering," jawab Rafael, menyunggingkan smirk yang sialnya malah semakin membuat Rafael tampan di mata Serena. "Lagipula kita harus memanfaatkan waktu bulan madu ini, Darling.""Definisi bulan madu nggak seperti ini juga, Rafael." Serena memekik kesal, menahan wajah Rafael yang berniat menyosor. "Ya kali kita hanya di kamar, begituan ha
"Rafael sudah pulang, Paman?" tanya Maxim, sembari celingak-celinguk mencari keberadaan sepupunya. "Duduk dulu, Sayang. Sini," ucap Sati, mengisyaratkan agar Maxim duduk lebih dahulu. Maxim menurut dan duduk di sofa kosong. Tentu saja dia memilih sofa kosong dibandingkan duduk di sebelah Auntynya walau sofa disebelah Sati masih kosong. Ayolah, laki-laki yang duduk di sebelah Auntynya itu -- yang merangkul possessive auntynya -- bisa marah dan kebakaran jenggot sendiri jika ada yang mendekati Sati. Memang mengerikan! Dan Maxim merasa itu berlebihan. Namun, kelakuan Daddynya juga begitu, tak ada yang boleh menempeli sang Mommy, hanya Daddynya yang boleh. Sebenarnya hampir semua pria Azam begitu. Rafael juga begitu, tapi mungkin Maxim bukan tipe berlebihan yang sangat over protektif pada pasangannya. Cih, lihat saja. Maxim bisa pastikan! "Kau bersemangat sekali, Max. Kenapa?" "Rafael dan Serena akan pulang." Maxim menatap ke arah pamannya. Melihat pamannya menaikkan sebelah alis d
"Siapa yang membawa kucing kemari?!" Gabriel berdiri dari sofa, suaranya mengalun dengan nada tinggi, penuh kemarahan dan kemurkahan. Semua orang ikut berdiri, panik karena Gabriel terlihat marah dan juga khawatir sendiri. Siapapun tahu jika Gabriel sangat mengerikan saat marah. "A--aku, Daddy." Suara getir, lirih dan gemetar mengalun. Mereka semua mengalihkan atensi ke ambang pintu, menatap Serena yang sudah ada di sana. Lalu tak lama muncul Rafael -- berjalan dengan langkah panjang ke arah Daddynya. "Dad, biarkan Serena memelihara kucing itu." Rafael berucap datar, namun matanya memohon dan penuh harap. "Apa-apaan kau?!" Gabriel mengatupkan rahang, menatap marah dan emosi kepada Rafael. Tangannya mengepal kuat dan sorotnya begitu tajam serta gelap. Di sisi lain, Serena sudah menangkap kucing orange tersebut, memeluknya dengan menatap khawatir pada Daddy mertuanya dan suaminya. Dia takut jika Rafael dipukul oleh Daddynya. 'Ini salahku!' batin Serena, sudah gemetaran dan berka
Sampainya di dapur, Aayara, Yusuf dan Jenny langsung mengambil tas mereka dan buru-buru pergi dari sana. Namun tiba-tiba saja, staf yang sering memarahi mereka muncul -- menghalangi mereka sembari menatap marah pada ketiganya. "Kenapa kalian di sini? Saya suruh kalian di depan bukan? Tolong, jangan membuat malu acara ini dengan kalian berkeliaran kesana kemari. Saya suruh kalian di depan yah kalian di depan, jaga dan pastikan tamu yang datang." "Pak, kami diperintahkan pulang olah …-" Perkataan Yusuf tersebut langsung dipotong oleh pria berkacama tersebut. "Siapa yang menyuruh kalian pulang? Di sini saya yang menggoordinasi, jadi kalian hanya harus mendengarkan perintah saya. Berani-beraninya dia menyuruh kalian pulang tanpa memberitahu saya, memangnya siapa dia? Cepat katakan siapa nama orang itu agar saya lapor ke HRD, agar dia dipecat!" "Kak--Kak Serena, Pak," jawab Yusuf. Mereka bertiga menundukkan kepala dan sama-sama memasang wajah takut serta pucat. Setelah lelah seharia
"To--toloooooong!" pekik dan jerit Aayara, saat tubuhnya dibanting ke ranjang empuk dengan kuat. Pria yang membekap mulutnya tersebut membawanya ke sebuah kamar lalu membantingnya ke atas ranjang dengan kasar. Walau ranjangnya empuk tetapi rasanya sakit! Pria itu melepas tuxedo yang membungkus tubuhnya dengan cepat, melemparnya asalan. Melihat kelinci kecilnya berniat kabur, dia langsung menahan kakinya -- menyentaknya dengan kuat, berhasil membuat Aayara kembali terhempas dan berbaring di ranjang. "Aaaa … leppas-- le--leppas! Toloooong …," jerit Aayara lagi sudah menangis sesenggukan, pipinya sudah basah oleh air matanya. Dia ketakutan! Demi Tuhan, ini lebih buruk dari mimpi buruk yang pernah Aayara rasakan. Dari tatapan lapar dan buas pria ini padanya, Aayara tahu apa yang pria ini akan lakukan padanya. Tidak! Aayara tidak mau. Siapapun tolong Aayara …!Dia lalu naik ke atas tubuh perempuan tersebut, membuka dasi di kerah kemeja kemudian mengingatkannya melingkar di bagian mul