Dengan bermodalkan pura-pura tidur, Aayara hanya diam sepanjang Maxim menggendongnya menuju rumah Kakaknya. Sedangkan Jenny sendiri, dia terbangun ketika Kevin berniat memindahkannya dari dalam batu bata. Jantung Aayara tak berhenti berdebar dengan kencang, tubuhnya terasa membeku dan tak berdaya. Dia sangat takut sekarang! Dia yakin sekali Maxim akan marah besar padanya setelah ini. "Aku tahu kau hanya berpura-pura tidur, Aya," bisik Maxim tiba-tiba dengan suara rendah dan sangat serak, kebetulan mereka berjalan di belakang dan itu membuat Aayara merasa semakin horor dan takut. Aayara hanya diam saat Maxim berbisik padanya, bahkan ketika pria itu sengaja mengigit daun telinganya, Aayara tetap diam. Yah, dia digendong oleh Maxim di depan, di mana kepala Aayara tertidur ke pundak Maxim. "Kali ini kau kelewatan batas, Aya. Kau akan tahu akibatnya dan bersiap-siaplah untuk hukumanmu," lanjut Maxim. Dia kembali berbisik tepat pada daun telinga Aayara. Cih, dia sangat yakin jika istrin
"Aayara," sapa Serena dengan langsung memeluk tubuh kecil Aayara sedikit erat–penuh perasaan lega dan senang juga. Aayara pulang kembali ke mansion dan dalam kondisi baik-baik saja. Tadi malam mereka semua panik ketika petang, Aayara belum pulang. Maxim juga belum pulang, jadi mereka berusaha berpikir positif. Siapa tahu Aayara memang bersama Maxim. Namun, tiba-tiba Maxim pulang dan tanpa Aayara. Seketika itu juga mereka panik, khawatir dengan kondisi Aayara– mengingat ucapan Aesya kemarin, jika pria bernama Hendra tersebut mengincar Aayara. Untungnya, Aayara baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja?" tanya Serena lembut, menggenggam tangan Aayara lalu mengajaknya berjalan bersama ke ruang makan untuk sarapan bersama. Aayara dengan kaku dsn canggung menganggukkan kepala. Jantungnya berdebar kencang, tengkuknya terasa panas serta terasa seperti ada paku yang menancap di sana. Jelas! Maxim berjalan tepat di belakangnya dan Aayara yakin sekali jika mata pria ini tak lepas dari nya. Huk
"Aayara, Jenny, tolong belikan saya ramen. Ini uangnya," titah Melinda sembari memberikan uang berwarna pink dua lembar. "Cepat sana, bentar lagi sudah mau jam makan siang. Dan … kembaliannya buat kalian aja nanti." Aayara menatap uang dua ratus ribu tersebut dengan tampang konyol dan sepat. Apanya kembalian? Ongkos naik taksi untuk membeli ramen ini saja sudah menghabiskan seperempat dari uang yang Melinda berikan pada mereka. Belum lagi harga ramen di restoran yang wanita ini maksud, mahalnya tak ketulungan. Kalau kata Aayara mah, mending makan Indomie rebus di warung depan kampusnya. Sepuluh ribu dah kenyang, gratis es teh manis dan satu telor rebus juga. Lagipula Aayara sudah tak bisa keluar. Dia sudah janji pada Maxim sebelumnya untuk tak datang terlambat ke ruangan pria itu. 'Bisa-bisa aku disemen kalau terlambat.' batin Aayara menoleh ke arah Melinda dengan raut pias. "Maaf sebelumnya, Kak. Tapi aku harus keruangan Pak Maxim, dan lima menit sebelum makan siang aku sudah har
Sembari mengancing kemejanya, Maxim terus memperhatikan istrinya yang duduk di ranjang sembari mengenakan kemeja blus licin berwarna putih dan memiliki bordir bunga sakura di bagian kerah kemeja tersebut. Meskipun tupai-nya ini masih terlihat polos dan naif, tetapi tak bisa Maxim pungkiri jika tubuh Aya-nya ini sangat seksi dan menggoda jika sedang …-Shit! Maxim tak akan melakukannya lagi bukan?! Bisa-bisa tupai-nya pingsan jika harus kerja paksa secara terus-terusan. Maxim mendekati Aayara, mengambil ahli untuk mengancing kemeja perempuan itu. Hal tersebut sontak membuat Aayara mendongak ke arah Maxim, dia sedikit kaget dengan langsung menolak perlakuan Maxim. "Aku bisa sendiri, Pak Maxim," ucap Aayara sembari menahan tangan Maxim yang berupaya mengancing kemeja Aayara. Masalahnya Aayara tak nyaman. Dia tak suka pria ini dekat-dekat dan terlalu intim padanya. Bagi Aayara hal seperti itu tidak cocok untuknya, walaupun Maxim dan dia sudah sering melakukan hubungan suami istrinya.
"Ack." Sedangkan Aayara, dia juga hampir terjungkal kebelakang saat Melinda melepas handphone tersebut secara tiba-tiba–tenaga berlebihan mengakibatkan dorongan kuat terjadi pada tubuh Aayara. Untungnya seseorang lebih dulu menangkap tubuhnya, menyelamatkan Aayara dari kerasnya lantai. Melihat siapa yang menangkap tubunnya dan menyelamatkannya, Aayara buru-buru memperbaiki posisi dan sedikit menjauh juga dari Maxim. Tuhan …, kenapa Aayara mendadak canggung begini? Semua orang menatapnya dan Maxim, itu membuat Aayara risih dan malu secara bersamaan. "Pak Maxim, mahasiswa magang itu sangat kasar. Dia mendorongku hanya karena aku mempertanyakan handphonenya, Pak," adu Melinda, memasang wajah cemberut dan kesakitan agar Maxim simpati padanya. 'Sialan! Dia memfitnahku di depan lakiku sendiri?! Benar-benar ampibi ini!' batin Aayara kalang kabut dan melongo konyol. "Apa …-" Sejujurnya Maxim sudah kesal dan marah ke ubun-ubun. Dia sudah mempersiapkan semua kosa kata makian yang tersimpa
"Nggak apa-apa yah kami ikut ke rumah Pak Maxim?" tanya Jenny dengan raut tak enak dan juga canggung. Setalah pulang dari kantor–di mana kebetulan mereka dibolehkan atau diizinkan bekerja setengah hari, khusus untuk hari ini. Aayara tersenyum manis, menggelengkan kepala sembari berjalan dengan riang di antara Jenny maupun Yusuf. Sesuai permintaan Serena, Aayara membawa kedua temannya kemari. Sayangnya, Kakaknya Arfita, tak bisa datang. Sebab, kakaknya tersebut demam, bawaan kondisinya yang tengah hamil. Mudah lelah dan sering sakit juga. "Tidak apa-apa dong. Kak Serena sangat ingin kalian datang," ucap Aayara dengan senyuman lebar. "Ru--rumahnya besar sekali. Kayak hotel," celutuk Jenny kembali sembari menoleh ke sana kemari."Bagaimana jika kita tersesat?" tambah Yusuf, tak yakin bisa tahu di mana tempat perkumpulan yang Aayara maksud. "Kan ada aku," celutuk Aayara. "Memangnya kamu tahu di mana tempat ngumpulnya, Yara?"Aayara menggelengkan kepala sembari menyengir lebar. "Aku
Pritttttt'Bunyi peluit terdengar melengking kuat dan jelas. Bola futsal yang keras langsung ditendang dan dioper, perlombaan dimulai– di mana para penonton terlihat serius menyaksikan pertandingan tersebut. 'Hais, besar-besar sekali lawannya. Aku sudah jadi kayak kurcaci di sini,' batin Aayara, sedikitnya panik ketika permainan dimulai. Dia tak tahu harus melakukan apa di sini. Ketika orang berlari mengejar bola, Aayara juga ikut-ikutan. Batinnya mengatakan, 'Yang penting lari dan main.'Bug'"Golll." Suara pekikan dan teriakan menggema. Lawan mereka berhasil mencetak gol pertama.Serena mencatat poin dan Nanda mengumumkan dipinggir lapangan. "Satu kosong," lantang Nanda. "Lawannya tidak sepadan," celutuk Arga dengan terkekeh pelan, menatap satu persatu lawannya dari team empat– tak lain adalah perempuan-perempuan yang sama sekali tak paham cara bermain futsal. "Harusnya kalian mengalah pada perempuan," ucap Aurora yang mendapat anggukan serta pembelaan dari Aesya. "Ini pertandi
Pertandingan selanjutnya dilaksanakan. Tim satu dan tim dua melaksanakan pertandingan bola basket, di mana tim satu atau tim ayahlah yang menang. Namun karena mereka sepakat men-deklarasikan cinta mereka pada tim Mama; yang terdiri dari masing-masing istri mereka, tim satu menyerahkan kemenangan pada tim dua. Pada permainan tenis lapangan; Aurora dan Aesya melawan Fathan dan Reigha, pertandingan dimenangkan oleh tim empat. Yah, lagi-lagi karena kecurangan juri. Perlombaan memancing ikan dimenangkan oleh Zayyan yang lebih dulu mendapat ikan, kemudian disusul oleh Serena dan Xena yang sama-sama dapat. Banyak permainan lainnya mereka lakukan hingga hari berubah gelap. Mereka sejenak makan malam bersama kemudian lanjut ke permainan terakhir, yaitu permainan tangkap belut. Di mana setiap tim ikut dan diwakili oleh dua orang pemain saja. "Jabier dan … siapa yang akan main?" tanya Nanda, selaku panitia serta pengawas dari permainan tangkap belut ini. "Jenny?" celutuk Aayara iseng. Eh