Pak Surya duduk di sebelah penghulu dan ia sebagai saksi, Imran lantas ikut duduk di sebelah sang papa, ikut juga sebagai saksi kedua.Dengan mahar seperangkat alat sholat juga perhiasan dua puluh gram, tak lupa uang tunai lima belas juta yang dihias dalam bingkai disiapkan Fadhil untuk Nisa.Sesuai permintaan Nisa, Fadhil tidak memberikan mahar yang besar. Jika pun Nisa menginginkan mahar yang lebih banyak, dengan senang hati ia akan penuhi. Tapi melihat mahar segini pun, Fadhil memiliki firasat akan kena marah Nisa, ini pasti dianggap berlebihan. Fadhil paham benar bagaimana Nisa, meski ia dari keluarga berada, wanita itu tetap sederhana dan rendah hati. Lelaki yang mengenakan jas hitam itu mulai berucap, mulai menjabarkan bagaimana hak juga tata cara pernikahan, lalu selanjutnya disambung dengan doa agar proses ijab qobul berjalan dengan lancar. Bapak penghulu mengulurkan tangan kanannya dan segera disambut Fadhil. Hanya dalam satu tarikan nafas Fadhil mengucapkan itu dan ... sah.
Imran menatap nanar ke arah mobil sport yang mengangkut pengantin dan keluarga besarnya dan kini bergerak menjauh rumah keluarga Surya. Kedua tangan Imran mengepal kuat menahan amarah yang memuncak di kepala. Celotehan yang didengarnya dari para tamu membuat Imran panas, bagaimana mungkin ia tidak tahu masa lalu Nisa dan Fadhil. Jika benar dulu Nisa lebih memilih lamarannya daripada Fadhil, lantas apa yang kini dilakukannya. Memberikan Nisa begitu saja pada Fadhil. Bodoh!Imran merutuki dirinya sendiri. Sifat bodohnya telah membuang keindahan rumah tangganya sendiri. Merobohkan mahligai cinta yang sudah susah payah dibangunnya dan malah memilih setia dengan kehampaan.Imran merasa frustrasi, lalu tanpa pamit pada keluarganya, Imran pergi begitu saja. Kembali ke apartemennya dan mengurung diri di sana. Setidaknya di sana tidak ada yang tahu bagaimana kacau hati dan pikirannya.Di dalam mobil, Nisa duduk di sebelah Fadhil dengan wajah menunduk. Dadanya berdebar sedikit kencang kala ia
Asisten rumah tangga membantu sang majikan memasukkan barang-barang milik Nisa yang dipacking dalam koper jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan. Barang-barang itu lantas dimasukkan ke dalam kamar Fadhil tentunya.Fadhil menuntun dan menggandeng tangan Nisa saat keduanya masuk rumah. Bu Sri mengikuti dari belakang, hatinya merasa bahagia saat melihat putra semata wayangnya kini menikah dengan wanita yang selama ini selalu disebut dalam doa.Entah seperti apa perasaan Nisa sekarang. Kini Fadhil adalah suaminya dan Bu Sri adalah mertuanya. Nisa sudah mengenal mereka jauh sebelum mengenal keluarga Imran. Bu Sri dan Fadhil adalah orang baik dan berhati mulia, tidak pernah sekali pun Nisa merasa asing dengan mereka.“Nisa ....” Bu Sri bersuara saat mereka sudah berada di dalam rumah.“Iya, Bu.”“Selamat datang Nisa. Rumah ini, rumah Nisa juga. Jangan sungkan.”“Iya, Bu. Makasih,” ucap Nisa seraya tersenyum.“Ibu masuk dulu.”Nisa membiarkan Bu Sri berlalu dan meninggalkan dirinya berdua de
Mobil yang dikendarai Fadhil berhenti di sebuah minimarket yang letaknya tidak jauh dari rumah, saat kakinya hendak keluar mobil, tiba-tiba ada hasrat ingin sedikit bercermin. Dan ternyata ... ia masih mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan peci berwarna putih.Astagfirullah!Fadhil kembali menutup pintu mobilnya. Batinnya merutuki dirinya sendiri karena terlalu ceroboh. Apa jadinya jika orang-orang yang sedang berbelanja di sana melihat dirinya dengan setelan seperti ini. Bisa-bisa dicap pengantin lari, atau malah lebih parah dicap orang gila.Bingung. Fadhil mencari sesuatu yang bisa menutupi badannya. Ia membutuhkan jaket yang tergeletak di jok belakang.Tangan Fadhil bergerak ke jok belakang, biasanya ia akan meletakkan jaket atau baju ganti di sana. Untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Untung saja, Fadhil pernah menyimpan kaus putih di sana yang ia simpan dalam paper bag.“Alhamdulillah,” ucap Fadhil. Ia bergegas melepas peci dan mengganti pakaian pengantin itu
“Astagfirullah, maaf, Kak.” Wajah Nisa tertunduk malu. Nisa sendiri lupa kapan terakhir ia tertawa seperti tadi, bahkan kejadian sepele seperti ini bisa membuatnya tertawa.“Kenapa harus minta maaf. Jangan kaku gitu, Nisa.” Fadhil merebahkan tubuhnya dekat Nisa yang dalam posisi duduk. Kepala Fadhil bahkan disengaja menyentuh lutut Nisa.Nisa membiarkan Fadhil rebahan dan secara perlahan kepala lelaki itu naik ke pangkuan Nisa. Rasa nyaman membuat Fadhil memejamkan matanya. Nisa membiarkan Fadhil, meski tangan lelaki itu kini memeluk pinggangnya. Jantung Nisa kini berdebar kencang, seolah merasakan cinta pertama.Aduh!“Kak ...,” panggil Nisa.“Iya, Nis.” Fadhil membuka matanya dan menatap wajah Nisa.“Mandi dulu, sana.”“Nggak mau!” seru Fadhil sambil tersenyum dan kembali memejamkan matanya.“Kok gitu!” seru Nisa. Sikap manja Fadhil membuat Nisa merasa seperti kembali ke masa lalu. Bersahabat dengan Fadhil tanpa melibatkan perasaan. Lalu kini ia kembali berada dalam jarak dekat den
Aaarrggghhhh ....Imran membanting segala apa yang ada di hadapannya. Apartemen miliknya yang biasa terlihat rapi kini seperti habis kena perang. Vas bunga, guci yang terletak di sudut ruangan pun ada yang pecah, hiasan meja yang terbuat dari kaca berserakan di lantai.Imran terduduk di sudut ruangan dengan memeluk lutut. Wajah lelaki itu terlihat kacau balau. Pandangan matanya kosong, karena memang kehidupannya benar-benar sudah berakhir sejak Nisa sah menjadi milik Fadhil. Imran benar-benar sendirian kini.Seharusnya Imran sudah bisa ikhlas melepas Nisa karena memang ini semua yang diinginkannya, tapi Imran tidak sadar jika ikhlas tidak semudah mengucapkan kata ‘ikhlas. Masih ada hati yang dipaksa untuk tulus, meski itu membuat hidupnya tidak fokus.Penyesalan tiada guna. Nasi sudah menjadi bubur, Nisa tidak akan pernah kembali padanya dan kini sudah ada lelaki penggantinya yang akan mengukir senyum di wajah wanita pujaannya.Di saat pikirannya yang masih berantakan, ocehan para tam
Mobil melaju, selama perjalanan, Bu Surya tetap mencoba menghubungi Imran, tapi hasilnya tetap sama seperti tadi. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa, berharap Imran tidak melakukan hal yang nekat.Pak Surya berusaha mengemudi dengan tenang, meski pada kenyataannya, lelaki itu pun sama khawatirnya. Tapi sebagai seorang lelaki, ia harus bisa mengendalikan suasana agar tetap tenang dan bisa menenangkan sekitarnya.Tidak berselang lama, mobil orang tua Imran sampai di apartemen. Bu Surya yang masih mengenakan setelan kebaya berlari ke arah lobi dan bergegas naik lift ke lantai 12. Disusul Alifah juga Pak Surya. Sampai pada akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar Imran, Bu Surya berulang kali menekan bel, tapi yang Imran tak kunjung membukanya.“Aduh, pake kode, lagi,” ucap Bu Surya kala melihat kunci apartemen yang hanya bisa dibuka menggunakan kode angka.“Kayaknya Alifah tahu kodenya, Ma. Tanggal pernikahan Mas Imran sama Mbak Nisa.” Kali ini Alifah maju dan menekan beberapa
Layaknya seperti pengantin baru, Nisa kini berada di dapur membantu Bi Sumi menyiapkan makan malam. Nisa tidak perlu banyak bertanya pada Bi Sumi soal kebiasaan Bu Sri atau pun Fadhil, karena dari dulu saat ia sering bermain atau belajar kelompok sudah sering diberitahu apa yang disukai Fadhil.“Bi ... mulai saat ini, keperluan bapak sama ibu biar saya yang siapkan, ya,” ucap Nisa kala meletakkan piring di meja. Bi Sumi yang sedang menuang sayur ke wadah pun mengangguk.Tak lama, muncul Bu Sri dan langsung mengambil posisi duduk di ujung meja. Lalu setelahnya Fadhil yang duduk di sebelah kanan sang ibu.Fadhil yang muncul setelah mandi terlibat lebih segar. Terlebih pakaian yang dipilihnya terlihat sangat pas dan serasi jika disandingkan dengan Nisa. Bu Sri tidak banyak komentar tentang keduanya, kini ia bisa sedikit lebih tenang tentang Fadhil, karena mulai saat ini, akan ada yang memperhatikannya secara detail.Nisa duduk di sebelah Fadhil, Bi Sumi pun berlalu dari dapur setelah izi
“Fadhil, kok, kamu lain hari ini?” tanya Bu Sri saat menemani putra semata wayangnya itu makan siang. Bi Sumi, Nisa dan Syafira sedang pergi ke supermarket membeli es krim, karena Syafira rewel minta jajan. “Lain gimana, Bu? Fadhil masih ganteng ‘kan, meski mau punya anak dua?” tanya Fadhil sambil terkekeh. “Ish, kamu, nih!” Bu Sri urung melanjutkan perkataannya karena takut Fadhil akan kepikiran. Fadhil melanjutkan makannya, sementara Bu Sri terus memandangi putranya itu. Perasaan Bu Sri dipenuhi kekhawatiran yang membuatnya takut. Wajah Fadhil seolah membuat Bu Sri Dejavu. Bayangan masa lalu itu seolah kembali. Dulu ... sebelum atau Fadhil meninggal dunia, Bu Sri memiliki firasat seperti ini. Terlebih rona wajah Fadhil sama persis seperti mendiang suaminya dulu. Satu hari sebelum ayah Fadhil meninggal, rona wajahnya terlihat cerah, bersih dan seperti bercahaya. Tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun. Bahkan sangat sehat dan segar bugar. Masih teringat jelas saat Bu Sri
Kesedihan dan patah hati membuat Imran berubah menjadi sosok yang lebih kuat. Sikapnya terlihat jelas dengan ia lebih giat dalam bekerja. Tidak pernah sekali pun Imran menunjukkan gelagat sedih di hadapan orang tuanya atau pun orang lain. Karena Imran benar-benar sedang menerapkan ajaran dari Fadhil untuk bisa bersikap secukupnya.Keceriaan terpancar dari raut wajah Imran. Lelaki itu sudah membuang jauh-jauh rasa sedih dan iri terhadap kebahagiaan yang dimiliki Fadhil. Imran sudah ikhlas, lahir dan batin. Bu Surya pun bisa bernapas lega melihat putra sulungnya bisa mengambil hikmah dari perbuatannya itu.“Kalau Allah masih menyisakan jodoh untuk Imran. Pasti suatu saat nanti dipertemukan, kok, Ma. Mama nggak usah khawatir,” ucap Imran pada sang mama saat sore hari usai pulang dari kantor.“Mama cuma ....”“Mama nggak usah takut. Allah maha segalanya, serahkan pada-Nya,” ucap Imran bijak. Kali ini Bu Surya tidak lagi banyak membantah. Ia percaya pada putranya, bahwasanya Imran bisa mem
Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni
Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany
Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi
Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le
Fadhil dan Nisa menjalani hari-harinya sebagai orang tua muda. Mereka banyak melakukan hal-hal yang biasa orang lain lakukan. Fadhil tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk bersama Syafira dan Nisa. Terlebih kini bocah mungil itu sedang gemas-gemasnya karena sudah mulai berceloteh meski usianya belum genap satu tahun.Seperti biasa, sore ini Fadhil pulang lebih awal. Saat kakinya melangkah masuk dan mengucapkan salam, Syafira dengan riangnya menyambut kedatangan sang ayah. Balita itu merangkak pelan mendekati Fadhil sambil tersenyum riang. Nisa di belakang Syafira menuntun.Nisa meraih tangan kanan Fadhil dan menciumnya lembut, Fadhil lalu meraih kepala Nisa dan mencium keningnya. Kepala Syafira mendongak menyaksikan adegan mesra orang tuanya itu sambil senyum dan memperhatikan.“Assalamualaikum anak ayah. Cantik banget hari ini,” ucap Fadhil sambil tangannya menggendong Syafira. Bocah itu tersenyum sambil tangannya mengusap wajah Fadhil dan mencoba membuka kacamatanya. Tapi Nisa k
Allah sudah menjamin kehidupan manusia di bumi. Tidak perlu khawatir akan kekurangan. Allah menyuruh kita untuk berusaha dan berdoa. Kedua hal itu tentunya harus dilakukan seimbang. Doa tanpa usaha, itu bohong. Sedangkan usaha tanpa doa, itu sombong. Begitulah pepatah yang ada.Kehadiran bayi di tengah-tengah kehidupan Fadhil dan Nisa membawa banyak perubahan. Fadhil yang semakin siaga menjaga Nisa dan memberikannya perhatian lebih agar tidak terkena syndrom baby blues. Bergantian menggendong bayinya jika terbangun malam hari dan Nisa bisa istirahat. Bu Sri terlihat antusias membantu Nisa merawat juga menjaga bayi mungil itu. Tidak seperti cerita menantu dan mertua yang sering terjadi, yang malah mertua yang membully menantu, atau mertua yang enggan membantu dan banyak lagi kisah negatif tentang itu semua. Sedangkan Bu Sri berbeda, ia justru membantu Nisa bahkan ia mengajari Nisa cara memandikan bayi dengan baik agar tidak menangis.Nisa merasa beruntung memiliki mertua selembut dan
Fadhil harus semakin hati-hati dalam melakukan sesuatu hal. Berbicara tentang apa pun Nisa sensitif. Terlebih jika hal yang dibicarakan ada kata wanita. Sudah bisa dipastikan jika sikapnya akan berubah, yang semula manis, ujungnya malahan menangis.Pernah suatu hari Nisa menyaksikan saat seorang tetangganya menyapa Fadhil yang sedang menyiram tanaman, serta merta Nisa langsung masuk ke dalam kamar dan langsung menangis. Fadhil dibuat keteteran dengan sikap istrinya. Bukan karena capek melihat tingkah Nisa yang seperti anak ABG yang memiliki over protective pada pasangannya, melainkan Fadhil khawatir pada bayi yang dikandungnya. Pun kesehatan Nisa bisa terganggu. Maka dari itu, demi menjaga suasana, Fadhil memilih untuk terus berada di rumah dan tidak melakukan aktivitas di luar.Kehamilan Nisa membuat banyak perubahan. Fadhil yang semakin sabar, juga Nisa yang sikap cemburunya bikin geleng-geleng kepala. Tapi Nisa dan Fadhil berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesal yang ada di hati