Nisa sudah lebih luwes mengurus Fadhil. Lelaki itu bukan tipe orang yang ribet, apa pun yang Nisa masak, ia makan. Pun dengan sang mertua, Bu Sri tentu tidak banyak protes selama itu bisa membuat anaknya tersenyum. Bu Sri bisa sedikit tenang sekarang, pasalnya ia tidak harus lagi menunggu Fadhil pulang dari kantor, karena kini sudah ada Nisa yang tentu saja dengan senang hati menggantikan posisi itu.Bu Sri kini bisa menikmati masa tuanya dengan melihat putra semata wayangnya itu bahagia. Jika pun nantinya ia akan segera mendapatkan cucu, itu adalah bonus dari Allah. Bagi Bu Sri saat ini adalah, Fadhil sudah hidup bahagia bersama wanita yang diidamkannya.Fadhil mengerjakan pekerjaan kantor yang tertunda di rumah, terlebih proyek untuk di Bali yang sebentar lagi akan dibuka. Tiga hari lagi, ia dan keluarganya akan terbang. Tentu saja Nisa manut atas apa keputusan Fadhil. Untuk rumah yang ditempati saat ini akan disewakan, bila perlu dijual.Fadhil sudah menyiapkan rumah di Bali. Berka
Nisa berusaha menetralkan gejolak hatinya, lalu dengan senyuman yang ramah ia mendekati Fadhil dan berdiri di sisinya. Nisa kembali mengulurkan tangannya dan kali ini, wanita itu menyambut uluran tangan Nisa.“Nah, gitu, dong. Keluarga kami itu kalo ada keluarga yang datang, atau tamu sekali pun, harus disambut. Jangan cuma bengong aja!” seru wanita itu sinis.Nisa yang merasa jadi kambing hitam hanya diam saja. Ia tersenyum kecut. Sementara Fadhil dan Bu Sri hanya diam tanpa berkomentar. Bi Sumi pun dibuat tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Sang majikan dibuat tidak memiliki muka oleh keluarganya sendiri. Jahat.Wanita itu lalu menyerahkan kunci rumah lalu bergegas pergi karena masih ada kepentingan lain. Fadhil menyerahkan kunci itu pada Bi Sumi agar membukanya, sementara Fadhil mengantarkan sang bibi sampai mobilnya terparkir.Nisa dan Bu Sri masuk ke dalam beristirahat, sementara Fadhil ditahan oleh sang bibi di sana.“Kamu nggak salah milih wanita yang bekas orang?” pertanya
Fadhil merasakan bahagia luar biasa. Hatinya terus mengucapkan syukur karena doa-doanya selama ini terjawab sudah. Allah memberikan apa yang diinginkannya dan kini ia harus menunaikan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Membahagiakan Nisa lahir batin.Sikap Nisa pun selalu membuat Fadhil merasa terbang. Terlebih Nisa tidak pernah lupa untuk mengatakan bahwa dirinya mencintai dan menyayangi Fadhil. Yah ... Nisa selalu mengatakan itu dan bisa bangkit secepat ini dari keterpurukan di masa lalu. Nisa sudah bisa melupakan Imran, ia pun tidak mau terus-menerus merasa berdosa karena sudah lalai sebagai seorang istri dengan memikirkan orang lain.Pembukaan proyek masih beberapa hari lagi, jadi selama Fadhil belum sibuk, ia sengaja mengajak Nisa serta sang ibu berjalan-jalan menikmati sunset di pantai Kuta.Namun, Bu Sri selalu menolak ajakan sang putra dengan alasan capek. Padahal Bu Sri sengaja enggan berangkat supaya Fadhil bisa lebih leluasa menikmati waktu berdua dengan Nisa.Sore itu la
Pagi ini Fadhil merasa lebih bugar. Pasalnya ia tadi malam bermimpi kakinya diusap dan dibersihkan menggunakan air hangat oleh Nisa. Kejadian di mimpi itu Fadhil ceritakan saat sarapan, didengar pula oleh Bu Sri. Nisa yang mendengar hal itu hanya diam tanpa berkomentar, wanita itu merasa sedikit malu jika harus mengatakan kalau itu semua bukan mimpi, melainkan dirinya yang melakukan itu secara nyata.Bu Sri pun tak mau ikut campur dalam obrolan keduanya, meski dirinya tahu jika Nisa benar-benar melakukan itu semalam. Wanita itu tidak berkata sepatah kata pun, ia justru menggigit bibir bawahnya menahan tawa. Sepolos ini putranya jika berhadapan dengan wanita.Allahu, Fadhil. Bu Sri dibuat heran saat Fadhil yang terlihat dewasa di hadapannya mendadak seperti anak kecil jika berhadapan dengan Nisa.Bu Sri geleng-geleng kepala dibuatnya.Usai sarapan, Nisa mengantarkan Fadhil sampai teras. Bekal makanan yang tersimpan di dalam kotak berwarna merah itu disimpannya di dalam mobil, lalu sete
Pemandangan selama perjalanan pun membius mata Keduanya. Hamparan pepohonan dan persawahan hijau yang begitu luas memanjakan mata. Berbeda dengan apa yang jarang mereka lihat selama di Jakarta, hanya gedung bertingkat juga bangunan yang berjejer rapat. Tapi di sini, semuanya tampak asri dan tenang.Sesampainya di tanah lot, Bu Sri dan Nisa berjalan bergandengan sambil menikmati pemandangan pantai yang ada di bawah. Pemandangan batu karang yang menjadi ciri khas tempat wisata itu mereka abadikan dalam kamera, keduanya berfoto bergantian, lalu meminta tolong pada seseorang yang melintas untuk mengambil poto keduanya.Banyak hal yang keduanya lalui hari ini. Bu Sri dan Nisa benar-benar menikmati waktu bersama. Nisa bersyukur memiliki mertua sebaik ibunya Fadhil. Pukul tiga sore Keduanya pun pulang dan sebelum magrib sudah tiba di rumah. Bu Sri pamit untuk langsung beristirahat dan tidak akan ikut makan malam dan meminta Nisa untuk tidak menunggunya. Nisa manut dan membiarkan sang mertua
Tujuh bulan kemudian ....Di sudut sebuah bar, tampak seorang lelaki berambut ikal duduk dengan beberapa botol minuman keras tersaji di meja. Wajah lelaki itu terlihat berantakan dengan garis bawah matanya yang menghitam. Kepalanya terus mengangguk saat musik DJ menggema di seluruh ruangan. Beberapa wanita berpakaian seksi melintas, tapi tidak ada seorang pun yang berani mendekat.Dua orang lelaki mengenakan pakaian serba hitam berdiri di pojok bar memperhatikan ke arah lelaki yang tengah asyik menenggak gelas beralkohol itu. Tangannya meraih ponsel dan menelepon seseorang. Usai menelepon, disimpannya lagi benda itu ke dalam jaket kulit hitam.“Hayuk,” ucap lelaki yang mengenakan jaket kulit hitam, lantas keduanya mendekati lelaki yang tengah asyik mabuk.Kedua lelaki bertubuh besar dan berlengan kekar itu berdiri di kedua sisi dan dengan segera mencekal lengan Imran. Imran yang sedang dalam pengaruh alkohol tentu tidak bisa melawan saat tubuhnya diseret paksa keluar dari tempatnya. T
Sebagai hukuman untuk diri sendiri, Imran memilih untuk tetap diam di dalam kamarnya. Ia tidak mau berbuat yang aneh-aneh dan malah merepotkan orang tuanya dan semakin khawatir atas sikapnya yang kekanak-kanakan. Sebagai balasan atas sikap orang tuanya yang masih peduli, Imran akan tetap berada di rumah itu sampai sang papa yang mengatakan padanya untuk kembali bekerja seperti biasa. Imran yang sedang menatap ke arah luar jendela menoleh saat pintu kamarnya diketuk, Bu Surya masuk dengan setelan pakaian yang sedikit rapi. Alis Imran bertautan.“Mama mau ke mana?”“Antar Mama, yuk, Im, ke tempat Alifah. Mama pengen liat cucu Mama.” Bu Surya berucap sambil tangannya merapikan rok gamis bagian bawah yang sedikit terlipat. Wajah senjanya terlihat teduh saat memakai jilbab berwarna maroon yang senada dengan pakaiannya.“Cucu?” tanya Imran heran.“Adikmu itu wes melahirkan, loh, Im,” ucap Bu Surya menjelaskan.“Kapan? Kok Imran nggak tahu?” Imran semakin bingung.Bu Surya menghentikan gera
Proyek di Bali sudah berjalan, kini lelaki itu tidak terlalu dibuat sibuk bahkan tidak perlu sampai lembur. Fadhil bisa pulang lebih cepat, atau malah tidak usah datang ke proyek karena bisa ditangani oleh asistennya.Pagi ini Nisa menyiapkan sarapan seperti biasa, akan tetapi saat masakannya siap dan tinggal menunggu Fadhil di meja makan, lelaki berkacamata itu tak kunjung datang. Tidak biasanya Fadhil terlambat datang untuk sarapan. Penasaran, Nisa menyusul Fadhil ke kamar.“Kak, sarapan udah siap!”“Huek ... huek ....”Nisa dibuat terkejut saat mendengar Fadhil muntah-muntah. Ia bergegas ke kamar mandi. Di sana Fadhil tengah membungkuk di depan wastafel, wajahnya pucat.“Astagfirullah. Kakak kenapa?” Nisa panik dengan tangan kanannya memijat tengkuk Fadhil.“Huek ....” Lelaki itu kembali muntah. Entah apa yang dimuntahkan. Hanya air yang keluar dari mulutnya.Nisa masih mengusap tengkuk Fadhil, raut wajah Nisa benar-benar khawatir.“Kakak salah makan, ya?” tanya Nisa. Fadhil mengge
“Fadhil, kok, kamu lain hari ini?” tanya Bu Sri saat menemani putra semata wayangnya itu makan siang. Bi Sumi, Nisa dan Syafira sedang pergi ke supermarket membeli es krim, karena Syafira rewel minta jajan. “Lain gimana, Bu? Fadhil masih ganteng ‘kan, meski mau punya anak dua?” tanya Fadhil sambil terkekeh. “Ish, kamu, nih!” Bu Sri urung melanjutkan perkataannya karena takut Fadhil akan kepikiran. Fadhil melanjutkan makannya, sementara Bu Sri terus memandangi putranya itu. Perasaan Bu Sri dipenuhi kekhawatiran yang membuatnya takut. Wajah Fadhil seolah membuat Bu Sri Dejavu. Bayangan masa lalu itu seolah kembali. Dulu ... sebelum atau Fadhil meninggal dunia, Bu Sri memiliki firasat seperti ini. Terlebih rona wajah Fadhil sama persis seperti mendiang suaminya dulu. Satu hari sebelum ayah Fadhil meninggal, rona wajahnya terlihat cerah, bersih dan seperti bercahaya. Tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun. Bahkan sangat sehat dan segar bugar. Masih teringat jelas saat Bu Sri
Kesedihan dan patah hati membuat Imran berubah menjadi sosok yang lebih kuat. Sikapnya terlihat jelas dengan ia lebih giat dalam bekerja. Tidak pernah sekali pun Imran menunjukkan gelagat sedih di hadapan orang tuanya atau pun orang lain. Karena Imran benar-benar sedang menerapkan ajaran dari Fadhil untuk bisa bersikap secukupnya.Keceriaan terpancar dari raut wajah Imran. Lelaki itu sudah membuang jauh-jauh rasa sedih dan iri terhadap kebahagiaan yang dimiliki Fadhil. Imran sudah ikhlas, lahir dan batin. Bu Surya pun bisa bernapas lega melihat putra sulungnya bisa mengambil hikmah dari perbuatannya itu.“Kalau Allah masih menyisakan jodoh untuk Imran. Pasti suatu saat nanti dipertemukan, kok, Ma. Mama nggak usah khawatir,” ucap Imran pada sang mama saat sore hari usai pulang dari kantor.“Mama cuma ....”“Mama nggak usah takut. Allah maha segalanya, serahkan pada-Nya,” ucap Imran bijak. Kali ini Bu Surya tidak lagi banyak membantah. Ia percaya pada putranya, bahwasanya Imran bisa mem
Sejak obrolannya dengan Fadhil waktu itu, Imran seolah menjadi sosok manusia yang baru. Tidak mudah uring-uringan atau pun marah karena hal sepele. Terlebih saat ia ditolak oleh orang tua Fitri, Imran dengan mudah bisa move on dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan. Meski tidak bisa dipungkiri, Imran masih sering memikirkan gadis itu.Beberapa bulan kemudian, saat sedang di kantor, salah seorang teman mengantarkan undangan pernikahan untuk Imran. Pada kertas undangan berwarna putih dengan ukiran batik itu tertulis nama Fitri dan Imran. Yah ... nama calon suami Fitri juga Imran, tapi bukan dirinya yang terpilih, melainkan orang lain.“Ikhlas itu memang tidak mudah, tapi saya pasti bisa melewati ini semua!” ujar Imran dalam hati. Lalu mengembuskan napasnya panjang.Dibukanya kertas undangan yang diikat dengan tali yang terbuat dari serabut kayu itu, lalu dibacanya kata demi kata acara yang tertulis di sana. Acara akad nikah Fitri bertepatan dengan acara tujuh bulanan kehamilan Ni
Imran masih duduk dengan di kursi restoran, tanpa ada niat untuk pergi atau mengurung diri seperti yang ia lakukan dulu jika menghadapi situasi ini. Lelaki itu justru mencoba menghabiskan makanannya yang masih tersisa, meski makanan itu terasa pahit di lidah. Teringat pesan sang mama agar tidak menyisakan makanan, karena banyak di luaran sana orang-orang yang sulit untuk mendapatkan makanan.Lelaki itu tidak menangis lagi, bahkan Imran merasa air matanya sudah kering. Yang ingin Imran lakukan sekarang adalah menghabiskan makanan itu dan pergi untuk segera pulang ke rumahnya. Imran tidak lagi menempati apartemennya sejak ia tertangkap basah oleh Pak Surya di saat sedang mabuk.Saat Imran hendak menyendok suapan terakhir, seseorang menepuk bahunya. Imran menoleh. “Fadhil!” Fadhil tersenyum lalu duduk di hadapan Imran. Kening Fadhil berkerut saat melihat piring bekas makan seseorang.Imran yang menyadari keanehan di wajah Fadhil berucap. “Tadi saya makan sama Fitri.”“Dia ke mana?” tany
Seperti kisah sinetron yang akan menuju ending yang bahagia dan tidak ada lagi air mata. Kisah cinta Nisa, Imran dan Fadhil pun seperti itu. Imran turut bahagia dan terharu kala mendengar kabar tentang kehamilan Nisa, pun dengan orang tua Imran, mereka tentu bahagia pula.Bu Surya sering mengunjungi Nisa di rumahnya. Bersama Alifah ia datang. Bu Sri tentu tidak keberatan dengan hal itu. Justru dengan seringnya Bu Surya datang berkunjung, hubungannya dengan ibu dari Fadhil pun terlihat semakin akrab, bahkan keduanya semakin kompak.Nisa bersyukur karena dua wanita yang paling disayanginya kini terlihat bak teman, semoga saja mereka akan terus menjalin hubungan baik ini.Imran doble bahagia, karena sebentar lagi Fitri akan pulang dan niatnya untuk melamar dan meminang gadis itu akan segera ia wujudkan di hadapan Semuanya. Tentunya Fitri sudah mengetahui latar belakang Imran dan gadis itu dengan hati terbuka menerima. Imran tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan ini dan akan mencintai Fi
Dua tahun kemudian ....“Unda ....” Syafira merengek pada Nisa minta digendong, sedangkan wanita itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Fadhil di dapur. Syafira bangun tidur tanpa sepengetahuan Fadhil, lelaki itu entah ke mana. Biasanya, bocah mungil itu akan digendong Fadhil jika ikut bangun subuh seperti ini.Syafira ... kini bocah itu mulai bisa berjalan dan mengoceh. Ia bisa membedakan mana bundanya dan orang lain. Syafira semakin manja dan enggan digendong orang lain, bahkan jika pun terpaksa, harus diiming-imingi hal lain. Ajak jajan, misalnya.Nisa mematikan kompor dan melap tangannya, lalu menggendong Syafira.“Kok anak bunda udah bangun, sih. Ayah, mana, nih? Bunda lagi bikin sarapan, Syafira sama ayah dulu, ya,” ucap Nisa sambil berjalan ke kamarnya. Di sana, ia melihat Fadhil baru ke luar dari kamar mandi.“Syafira udah bangun, Nis?”“Iya ... gendong bentar, ya, Kak. Nisa lagi buat sarapan buat Kak Fadhil.”Tanpa menunggu jawaban Fadhil, Nisa menyerahkan Syafira pada le
Fadhil dan Nisa menjalani hari-harinya sebagai orang tua muda. Mereka banyak melakukan hal-hal yang biasa orang lain lakukan. Fadhil tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk bersama Syafira dan Nisa. Terlebih kini bocah mungil itu sedang gemas-gemasnya karena sudah mulai berceloteh meski usianya belum genap satu tahun.Seperti biasa, sore ini Fadhil pulang lebih awal. Saat kakinya melangkah masuk dan mengucapkan salam, Syafira dengan riangnya menyambut kedatangan sang ayah. Balita itu merangkak pelan mendekati Fadhil sambil tersenyum riang. Nisa di belakang Syafira menuntun.Nisa meraih tangan kanan Fadhil dan menciumnya lembut, Fadhil lalu meraih kepala Nisa dan mencium keningnya. Kepala Syafira mendongak menyaksikan adegan mesra orang tuanya itu sambil senyum dan memperhatikan.“Assalamualaikum anak ayah. Cantik banget hari ini,” ucap Fadhil sambil tangannya menggendong Syafira. Bocah itu tersenyum sambil tangannya mengusap wajah Fadhil dan mencoba membuka kacamatanya. Tapi Nisa k
Allah sudah menjamin kehidupan manusia di bumi. Tidak perlu khawatir akan kekurangan. Allah menyuruh kita untuk berusaha dan berdoa. Kedua hal itu tentunya harus dilakukan seimbang. Doa tanpa usaha, itu bohong. Sedangkan usaha tanpa doa, itu sombong. Begitulah pepatah yang ada.Kehadiran bayi di tengah-tengah kehidupan Fadhil dan Nisa membawa banyak perubahan. Fadhil yang semakin siaga menjaga Nisa dan memberikannya perhatian lebih agar tidak terkena syndrom baby blues. Bergantian menggendong bayinya jika terbangun malam hari dan Nisa bisa istirahat. Bu Sri terlihat antusias membantu Nisa merawat juga menjaga bayi mungil itu. Tidak seperti cerita menantu dan mertua yang sering terjadi, yang malah mertua yang membully menantu, atau mertua yang enggan membantu dan banyak lagi kisah negatif tentang itu semua. Sedangkan Bu Sri berbeda, ia justru membantu Nisa bahkan ia mengajari Nisa cara memandikan bayi dengan baik agar tidak menangis.Nisa merasa beruntung memiliki mertua selembut dan
Fadhil harus semakin hati-hati dalam melakukan sesuatu hal. Berbicara tentang apa pun Nisa sensitif. Terlebih jika hal yang dibicarakan ada kata wanita. Sudah bisa dipastikan jika sikapnya akan berubah, yang semula manis, ujungnya malahan menangis.Pernah suatu hari Nisa menyaksikan saat seorang tetangganya menyapa Fadhil yang sedang menyiram tanaman, serta merta Nisa langsung masuk ke dalam kamar dan langsung menangis. Fadhil dibuat keteteran dengan sikap istrinya. Bukan karena capek melihat tingkah Nisa yang seperti anak ABG yang memiliki over protective pada pasangannya, melainkan Fadhil khawatir pada bayi yang dikandungnya. Pun kesehatan Nisa bisa terganggu. Maka dari itu, demi menjaga suasana, Fadhil memilih untuk terus berada di rumah dan tidak melakukan aktivitas di luar.Kehamilan Nisa membuat banyak perubahan. Fadhil yang semakin sabar, juga Nisa yang sikap cemburunya bikin geleng-geleng kepala. Tapi Nisa dan Fadhil berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesal yang ada di hati