Aku pun mengikutinya dari belakang. Dia masuk kamar mandi, dan seperti ingin muntah, namun tak bisa. Karena tak di tutup aku pun masuk kedalam dan memijat lehernya. Ada perasaan tak enak dan was was disini, kenapa dia mual saat mencium aroma martabak kesukaanya itu, apa jangan jangan dia hamil?.
"Kamu kenapa sih Van,?" tanyaku sambil masih memijit lehernya."Nggak tau nih Kak, rasanya mual dan pingin muntah karena bau martabak itu. Tolong jauhin makanan itu deh Kak. Mual banget aku karenanya,""Itukan makanan kesukaanmu, biasanya kamu kan langsung melahap habis saat masih hangat begitu. Kamu kenapa sih sebenarnya? Jangan jangan kamu hamil ya?""Apa apaan sih Kak, ngomong sembarangan deh. Aku hanya masuk angin saja kok." katanya sewot, sambil ingin pergi menjauh dariku."Tunggu, mau kemana kamu? Jawab jujur dulu pertanyaanku, kamu hamil apa tidak?" kataku sambil memegang kedua lengannya."Aku cuma masuk angin Kak. Cuma masuk angin biasa, telat makan saja tadi," katanya sambil menunduk, membuatku semakin tak percaya pada ucapanya."Jawab dengan jujur pertanyaanku. Kamu sudah pernah melakukan perbuatan haram itu kah? Jawab pertanyaanku Van!" kali ini aku tak bisa membendung air mataku.Vania hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan."Kenapa kamu lakukan itu Van. Bukankah aku sudah sering sekali mengingatkanmu, jangan pernah melakukan perbuatan itu sebelum menikah. Apakah kamu tahu kalau kamu saat ini hamil? Dan dengan siapa kamu melakukan itu?" tanyaku masih mencecarnya."Maaf Kak. Maaf kan aku, sudah membuat Kakak dan Mas Ridwan kecewa. Aku sudah kebablasan Kak. Aku melakukannya hanya dengan Adit Kak. Tadi pagi aku baru tahu kalau aku hamil, dan karena itulah aku meminta Adit untuk segera menikahiku sebelum perutku semakin membesar," katanya sambil memelukku.Astaghfirullahaladzim, seperti mengulang masa lalu, aku pun mengalami hal seperti ini dengan Rama dahulu. Tak ada waktu untuk menyesali semua yang telah terjadi. Sekarang yang pasti, Rama harus bertanggung jawab dengan kehamilan Vania ini. Aku kembali mengajak Vania ke ruang tamu. Dan menyuruh Gita membawa martabak telor itu masuk.Mas Ridwan dan Rama terlihat heran, karena melihatku dan Vania yang masih menangis. "Aku minta kamu secepatnya membawa orang tuamu kesini, dan melangsungkan pernikahan ini. Kalau bisa besok keluargamu sudah harus datang kemari meminang adikku," kataku sedikit ketus pada Adit alias Rama itu."Kenapa kamu jadi ketus seperti itu sih Dek sama Adit? Janganlah terlalu terburu buru." kata suamiku."Pernikahan ini harus dilaksanakan secepatnya Mas, karena sekarang Vania itu sedang hamil!" kataku sambil menangis.Mas Ridwan langsung menoleh kearahku, dan sepertinya dia sangat kaget. Vania yang di rawatnya dari kecil dengan penuh kasih sayang itu, telah menghianati kepercayaannya.Flashback"Yank, aku hamil," kataku pagi itu saat Rama menjemputku di tempat kost ku."Apa? Nggak salah kamu Yank? Bukanya kita sudah selalu berhati hati," jawab Rama terlihat sangat kaget."Aku tadi sudah coba pakai testpack Yank. Dan hasilnya positif. Aku juga tidak tau Yank. Terus kita harus gimana?" kataku makin cemas dan mulai menangis."Haduh bagaimana ya Yank, apa kita coba jatuhkan saja? Kan kita masih semester dua juga kan Yank, kita masih muda," katanya sambil memegang tanganku."Aku tak ingin menambah dosa lagi Yank. Sudah banyak sekali dosa yang kita lakukan,""Aku tahu itu Yank. Tapi apa lagi yang harus kita lakukan? Kalau sampai orang tua kita tahu, bisa gawat Yank. Mereka pasti tak akan menerima ini. Semua malah akan lebih runyam. Aku pun belum siap menjadi seorang ayah," katanya sambil mengacak rambutnya sendiri."Aku pun bingung Yank. Tapi satu yang pasti aku tak ingin menambah dosa lagi, dan aku minta kamu bertanggung jawab Yank, sebelum perutku ini semakin membesar
Keesokan harinya kembali kami bertemu, di kost, kebetulan hari itu adalah hari Sabtu, tak ada kuliah."Yank, maafin aku ya. Mama dan Papa tak setuju kalau kita menikah. Mereka malah memberiku uang untuk menjatuhkan janin itu," kata Rama, lesu."Apa kamu tak bisa memberi pengertian pada mereka? Apa kamu nggak sayang sama anak ini Yank?""Aku tak bisa lagi memaksa Yank, aku juga tak ingin menyakiti kedua orang tuaku. Lagi pula ternyata Mama sejak lama telah menjodohkanku dengan anak temanya, dan sebentar lagi kami akan bertunangan. Maafkan aku Yank. Sepertinya aku tak bisa menikahimu saat ini, sebesar apapun cintaku padamu, namun aku pun tak bisa menolak keinginan Mama dan Papaku," "Pengecut sekali kamu menjadi seorang laki laki. Kenapa tak dari dulu kau katakan kalau orang tuamu tak merestui hubungan kita, dan sudah menjodohkanmu?. Sekarang pergilah, dan jangan pernah temui aku lagi!!. Aku tak butuh laki laki sepertimu!!." teriakku sambil menangis."Maafkan aku Yank. Semua diluar perk
Aku pun langsung masuk dan berganti baju. Namun ada sedikit ragu, apakah benar yang di katakan Rama, secepat itukah mereka berubah pikiran? Dan bisa menerima ku dengan kehamilan ini, ah semoga saja memang benar begitu adanya. Aku pun memakai jeans dan tshirt, pakaian yang selalu ku gunakan sehari hari, karena aku tak pernah memakai gaun atau rok dan semacamnya, aku memang sedikit tomboy."Aku sudah siap. Tak apakah kalau aku berpakaian begini saja?""Tak apa Yank. Kamu itu sudah cantik apa adanya. Tak perlu jadi orang lain Yank. Ayok segera berangkat, mereka sudah menunggu kita dari tadi."Setelah menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit, tibalah kami di rumah Rama. Kami memasuki rumah dengan pagar tinggi, di halaman depan terdapat banyak pepohonan dan juga tanaman tanaman hias. Rumah dua lantai bercat putih itu tergolong mewah dari pada rumah rumah di sekitarnya.Keluarga Rama memang keluarga yang kaya dan terpandang di daerah ini, selain karena Papa nya seorang kepala sekolah s
"Aku sangat yakin sekali Ma, Kak, kalau anak ini adalah anakku. Aku tak pernah meragukan kesetiaan Siska Ma. Dia ini perempuan baik baik. Tolong jangan berkata seperti itu, kalian menyakiti perasaan Siska. Bukankah tadi Mama dan Papa sudah merestui pernikahan kami, mangkanya aku mengajaknya kemari." kata Rama membelaku."Kami kan hanya ingin memastikan bahwa itu anak mu Ram. Dia saja yang terlalu cengeng. Aku tuh nggak habis pikir sih Ram sama kamu, apa sih yang kamu lihat dari dia. Jauh banget loh sama si Feli, dia lebih baik dalam segala hal. Seleramu memang buruk banget!" kata Kak Ratih."Cukup Kak. Jangan menghina Siska. Bagiku dia udah yang terbaik untukku. Papa kemana sih Ma? Kok nggak ada. Tadi kan menyuruh kami kesini." kata Rama mulai kesal, sementara aku masih saja menunduk."Papa mu masih mandi, sana lihat di kamar mungkin sudah selesai," Rama pun segera naik ke lantai atas, sepertinnya akan menjemput Papanya."Pinter banget ya kamu menjebak anakku. Nggak punya malu kamu i
Aku dan Rama merasa sangat bahagia dengan semua keputusan itu, dan kami pun merancang berbagai hal setelah pernikahan kami, seakan semua ini sudah berjalan sesuai keinginan kami. Padahal, seperti yang Papanya Rama bilang tadi , kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok."Aku pulang dulu ya Yank, besok siang aku jemput ya, kita beli cincin buat pernikahan kita. Dimakan ya nasi nya sampai habis. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya, tanpa ada yang bisa memisahkan," aku pun hanya mengangguk, mendengar perkataan Rama barusan.Setelah kepergian Rama aku pun segera makan nasi padang yang barusan kami beli dalam perjalanan menuju kost ku. Kemudian seperti biasa aku akan rebahan sambil menengok akun media sosialku. Ponsel yang ku pegang berbunyi, terlihat panggilam dari nomer Ibuku, aku pun segera menjawab panggilan tersebut,"Assalamualaikum Buk. Maaf ya, hari ini aku nggak bisa pulang, soalnya banyak tugas yang harus ku kerjakan."Memang sudah dua tiga minggu ini aku tak pul
Tok tok tokkkTok tok tokkk Suara ketukan pintu itu membangunkanku, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul empat, siapa sih dini hari begini mengetuk pintu kamarku. Aku pun mengintip dari jendela, ternyata itu adalah Kak Ratih dan Tante Ratna, Mamanya Rama. Saat aku membuka pintu, tanpa mengucap salam atau apa, mereka langsung masuk kedalam kamar dan menutup kembali pintu itu dan menguncinya, ada apa ini."Hey, kamu. Cepat duduk sini," kata Tante Ratna menyuruhku duduk di kasurku, dengan tatapan tajamnya."Ada apa Tante? Apakah Rama baik baik saja?" tanyaku masih tak mengerti."Rama masih baik baik saja, dan akan tetap baik baik saja tanpa kehadiranmu," jawab Kak Ratih."Apa maksudnya ini Kak?""Jangan berlagak sok bodoh ya kamu. Kamu meminta pertanggung jawaban dari Rama hanya karena kamu mengincar harta kami kan? Berapa uang yang kamu inginkan? Katakan saja asal kamu tak menganggu kehidupan Rama!" kata Tante Ratna."Demi Allah aku tak menginginkan harta, aku hanya meminta pertan
"Pernikahan ini harus dilaksanakan secepatnya Mas, karena sekarang Vania itu sedang hamil!" kataku sambil menangis.Mas Ridwan langsung menoleh kearahku, dan sepertinya dia sangat kaget. Vania yang di rawatnya dari kecil dengan penuh kasih sayang itu, telah menghianati kepercayaannya. "Hamil? Apa benar yang di katakan Kakak mu itu Van?," meskipun kaget sepertinya Mas Ridwan masih berusaha bersabar.Vania masih tertunduk, sambil menangis, sambil menganggukan kepalanya pelan. Mas Ridwan mengusap wajahnya kasar, dan menghela nafas,"Astaghfirullahaladzim!!" katanya sambil membenarkan posisi duduknya."Maafkan aku Mas, aku kebablasan. Maafkan aku sudah menodai kepercayaan yang kalian berikan. Sekali lagi maaf," kata Vania sambil menangis. Rasa kecewa, marah dan sakit dihati bercampur menjadi satu, saat orang yang kami banggakan ternyata menorehkan arang di muka kami, aku dan Mas Ridwan hanya bisa terdiam. Mungkin jika dulu orang tuaku tau aku hamil saat masih semester dua, pasti keadaa
"Ini anakmu Yank, aku tak pernah melakukannya dengan orang lain selain kamu. Malam itu kamu mabuk dan memaksaku chexk in dan melakukan hal itu. Aku sudah melawan namun apalah daya aku kalah tenaga denganmu. Dan memang aku belum memberi tahumu kehamilan ini, rencananya baru nanti aku akan mengatakannya padamu Yank," kata Vania sambil menunduk, sepertinya dia pun tak berani menatap mata Adit."Aku minta orang tuamu secepatnya kesini Dit, dan benar apa kata istriku, kalau bisa besok mereka harus sudah kesini, lebih cepat lebih baik. Aku tahi kamu bukan tipe orang yang lari dari tanggung jawab kan?," kata Mas Ridwan."Tentu Mas, aku akan bertanggung jawab, secepatnya aku kan menikahi Vania. Aku juga memohon maaf pada kalian berdua, sudah mematahkan harapan kalian. Aku berjanji tak akan menyia nyiakan dia," kata Adit."Apakah keluargamu mau menerima Vania, seorang yatim piatu miskin seperti dia?" tanyaku.Perkataanku itu, sukses membuatnya langsung menoleh kepadaku, aku tahu dia pasti mer
Aku pun sebenarnya masih tak menyangka, jika Vania kini telah tiada. Aku tak tahu kenapa dia sampai menjadi gelap mata seperti ini, padahal kemarin-kemarin, dia sudah berusaha bertaubat.Jalan hidup yang di berikan Allah padaku, ternyata tak seperti yang kuinginkan. Sesungguhnya aku ingin sekali untuk ke depannya, bisa berkumpul dengan Ayah dan juga Vania. Namun ternyata, dengan membawa Ayah kembali, justru kemudian Allah mengambil Vania dariku.Pertanyaan dalam hatiku tentang hal apa yang membuat Vania tertekan hingga kemudian nekat memgakhiri hidupnya, masihlah menjadi teka-teki untukku. Namun kali ini aku menjadi ingat dengan seseorang, yang selalu mengancamku dan juga Vania, mungkin atau bahkan pasti, dialah yang telah menekan Vania sedemikian rupa. Sebaiknya aku sekarang meneleponnya, ya dia pasti Mbak Riska, kakak ipar Vania. Dua kali panggilanku tak dihiraukannya, tapi dipercobaan ketiga, akhirnya panggilanku di jawabnya."Assalamualaikum, Mbak Riska," ucapku tenang membuka per
Saat aku kembali membuka mata, ku lihat Gita duduk di sampingku dengan sesengukkan."Gita, kenapa nangis Nak?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepala putriku itu."Gita takut, Bun..." jawabnya sambil menggenggam tanganku erat."Takut kenapa, Sayang? " tanyaku lagi."Takut Bunda nggak bangun, kayak Tante Vania itu...huhuhu," ucapku.Seketika aku pun langsung bangun dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tahu, di usianya ini, masihlah sangat berat menyaksikan kejadian Vania tadi. Semoga nanti tak menjadi trauma ke depannya."Bunda, tak akan pergi kemana-mana Sayang. Bunda akan selalu ada di samping Dita. Sekarang mendingan Gita bobok di sini ya, pasti capek kan tadi habis perjalanan jauh?"Aku pun kemudian mengangkatnya dan menidurkannya di sampingku, kucium pucuk rambutnya dan kuelus, agar dia merasa tenang."Gita bobok ya, Bunda temenin di sini. Nanti kalau mau pulang, Bunda bangunin ya...," ucapku sambil tersenyum dan di jawab dengan anggukan kepala olehnya.Beberapa saat kemud
"Kenapa nggak langsung ke makam saja? Setelah selesai ziarah baru kira istirahat sebentar di rumah," ucap Ayah."Nggak, Yah. Sebentar saja kita ke rumah. Tak tahu kenapa rasanya aku ingin ke rumah secepatnya," pungkasku, "agak cepat sedikit ya, Yah."Kemudian kami bertiga hanya berdiam saja sementara Gita sudah tidur sejak awal kami berangkat tadi. Hingga akhirnya kami sampai di depan rumah, akupun langsung turun, tak tahu kenapa setelah membuka pintu aku langsung menuju ke kamar Ibu.Namun kamar itu terkunci dari dalam, padahal seluruh kamar yang ada di rumah ini, tak pernah ku kunci. Aku pun meminta Ayah dan Koko untuk mendobraknya. Dua kali terjangan keras kaki Koko, telah mampu membukanya. Pemandangan yang ada di dalam kamar seketika membuatku shock, Vania sudah tergeletak di atas kasur dengan mulut mengeluarkan busa dan darah. Akupun langsung merengkuh tubuh Vania tersebut."Van, bangun Van! Mengapa sampai terjadi semua ini? Cepat bangun Van!" Aku menggoyang goyangkan tubuhnya
Sudah tiga hari sejak kepergian Vania dari rumah, tak lagi kudapat kabar darinya. Nomer handphonenya pun sudah tidak aktif. Aku pun jadi bingung harus cari kemana dia. Rama pun begitu, semua teman Vania sudah dihubungi namun tak ada yang tau dimana keberadaannya. Bahkan kemarin, Rama pun sudah melaporkan ke kantor polisi. Vania bagai hilang ditelan bumi begitu saja.Sejak semalam, entah kenapa perasaan hatiku terasa sedih, dan kangen juga rasanya pada almarhumah Ibu, rasanya aku ingi berziarah ke kampung. Semalam pun aku bermimpi, Vania menangis di sebuah tempat lapang seorang diri, dan terlihat pula Ibu dari jauh yang berdiri diam dengan menunjukkan ekspresi kesediha. Aku sangat yakin dia sekarang sedang kesusahan dan ingin menyelesaikan pergolakan batinnya sendiri. Sepulang kerja hari ini, aku dan Gita akan ke kampung halamanku di Kediri, bersama Ayah. Kebetulan Ayah sedang tidak ada pekerjaan, jadi kita bisa berziarah bersama ke makam Ibu."Sis, boleh nggak aku ikut berziarah ke m
Pov VaniaKetika rumah tanggaku mulai tenang dan aku sudah fokus hanya pada Rama. Rumah tangga Kak Siska mengalami kehancuran. Mas Ridwan telah menikah secara diam diam dan memiliki seorang putra dari perkawinannya itu. Setelah proses yang alot akhirnya mereka bisa bercerai dan Mas Ridwan masuk penjara. Kurasa itu adalah balasan yang setimpal untuk semua perbuatan jahatnya itu.Kini Alhamdulillah Kak Siska bisa bangkit dan memulai kehidupan baru dengan Gita. Semoga saja selamanya mereka bahagia tanp hadirnya lagi laki laki seperti Mas Ridwan itu.Saat syukuran rumah baru Kak Siska, aku pendarahan. Bukan pendarahan sih tepatnya, namun haid yang sangat berat dan sakit di perut yang amat sangat nyeri. Sebenarnya sudah tiga bulan terakhir aku mengalami ini, namun aku diam saja, takut jika akan membuat khawatir semua orang.Setelah kerumah sakit dan bertemu dengan dokter, dia mengharuskanku melakukan pengangkatan rahim total. Karena memang aku mengalami infeksi rahim yang parah dan fibroi
Pov VaniaMalam itu aku tertidur begitu larut, setelah tadi bermain bersama Gita di ruang keluarga, lalu akupun menonton marathon drakor yang kata teman teman kampusku sangat romantis itu. Baru saja beberapa saat tertidur, kurasakan sebuah tangan mengelus kedua paha bagian dalamku, aku pun berjingkat kaget dan segera bangun. Astaghfiruahaladzim ternyata itu Mas Ridwan.Aku pun langsung terduduk, dan berusaha teriak, namun dengan sigap dia membungkam mulutku."Sst jangan teriak!! Atau akan kubunuh kamu!" katanya.Tanganya berusaha masuk kedalam kaos yang kupakai, aku berusaha berontak sambil menangis."Layani aku malam ini, sebagai balas budimu karena hidupmu sudah kubiayai! Ingat jangab teriak atau akan kubunuh Kakak mu itu!!" ancamnya.Demi apapun juga, aku tak akan mau menyerahkan mahkota ku kepadanya. Kemudian aku meronta, dan mencoba menendangnya, dan Alhamdulillah tendangan kerasku kali ini mengenai senjatanya. Sontak dia melepaskanku dan kesakitan. Saat dia kesakitan kudorong t
"Kak, masih disana kan? Kok diam saja? Dia akhir akhir ini sering keluar, dan seperti menjauhiku." katanya."Ehmm, sudah dua minggu ini, aku tak pernah berhubungan dengan dia. Beberapa kali aku coba telepon, tapi tak pernah di angkatnya." kataku."Berarti dia tak bersama Kak Siska gitu?" tanyanya."Iya, Ram." kataku."Astaghfirullahaladzim. Lalu kira kira dia kemana ya Kak?" kata Rama cemas."Coba hubungi temannya, atau datangi ketempat temannya. Aku akan mencoba menghubungi nomernya. Apa kamu sudah coba menghunbunginya?" kataku tak kalah cemas."Dari kemarin nomernya tak bisa dihubungi, Kak. Tapi sekarang akan kucoba lagi, tolong Kak Siska juga." "Oke, pasti aku bantu. Apa kalian habis bertengkar?" tanyaku."Tidak, Kak. Tapi semingguan ini, dia seperti menjauhiku dan lebih banyak diam.""Baiklah kalau begitu, aku akan coba menghubungi Vania sekarang. Jangan lupa kabari aku jika dia sudah pulang, atau jika sudah ada kabar darinyaa. Wassallamuaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Rama,
Novi langsung pergi, sepertinya dia marah sekali mendengar apa yang baru dikatakan Koko barusan. Aku pun duduk di teras. Menoleh ternyata Gita belum juga siap. Alhamdulillah kalau dia tak tahu insiden yang baru saja terjadi."Kamu nggak apa apa kan, Sis?" kata Koko yang duduk disampingku."Nggak lah. Aku sudah biasa menghadapi keadaan seperti ini kok. Makasih ya sudah datang. Eh ngomong ngomong kamu tadi kapan sih datangnya?" kataku sambil mencoba tersenyum, meski hatiku sebenarnya terasa sedikit sesak."Kamu sih keasyikan tadi, sampai tak tahu aku memarkir sepeda disebelahmu." katanya sambil tersenyum."Hahaha iya bener kamu. Kok kamu tahu sih kalau aku akan bersepeda pagi ini?" tanyaku lagi."Feeling calon suami, hehehhe." katanya."Bunda, yuk aku sudah siap. Eh, ada Om Koko, jadi rame nih. Yuk berangkat, nanti maem bareng bareng ya." kata Gita yang baru keluar dari rumah."Yuk berangkat sekarang." kata Koko."Maaf ya, Bun. Tadi aku sakir perut jadi BAB dulu deh." kata Gita sambil
[Assalamualaikum, Nak. Maaf ya, hari ini Ayah belum bisa menemui adikmu itu. Ada sedikit keperluan di luar kota, kebetulan teman lama Ayah ada yang mengajak investasi proyek, jadi harus meninjau lokasinya. Nggak apa apa kan?]Isi chat dari Ayah, di hari minggu itu. Tak apalah toh masih banyak hari yang lain. Kebetulan aku juga belum bicara pada Vania tentang hal itu.[Waalaikumsalam. Iya nggak apa apa kok Yah. Bisa lain waktu. Hati hati ya Yah. ]Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat subuh pun, akhirnya membangunkan Gita dan mengajaknya bersepeda. "Asyikk, nanti kita beli soto daging Cak Kandar ya Bun." katanya."Boleh Sayang. Sudah sana sekarang shalat dulu, Bunda tunggu di depan ya." kataku.Aku pun menuju garasi mengeluarkan sepeda kamu berdua, sambil menunggu Gita akupun mengelap sepeda sepeda itu. Tiba tiba sebuah motor matic berhenti di depan gerbang rumahku. Seorang perempuan berambut merah turun, meski keadaan masih sedikit gelap, aku sangat tahu bahwa itu adalah No