"Ini anakmu Yank, aku tak pernah melakukannya dengan orang lain selain kamu. Malam itu kamu mabuk dan memaksaku chexk in dan melakukan hal itu. Aku sudah melawan namun apalah daya aku kalah tenaga denganmu. Dan memang aku belum memberi tahumu kehamilan ini, rencananya baru nanti aku akan mengatakannya padamu Yank," kata Vania sambil menunduk, sepertinya dia pun tak berani menatap mata Adit."Aku minta orang tuamu secepatnya kesini Dit, dan benar apa kata istriku, kalau bisa besok mereka harus sudah kesini, lebih cepat lebih baik. Aku tahi kamu bukan tipe orang yang lari dari tanggung jawab kan?," kata Mas Ridwan."Tentu Mas, aku akan bertanggung jawab, secepatnya aku kan menikahi Vania. Aku juga memohon maaf pada kalian berdua, sudah mematahkan harapan kalian. Aku berjanji tak akan menyia nyiakan dia," kata Adit."Apakah keluargamu mau menerima Vania, seorang yatim piatu miskin seperti dia?" tanyaku.Perkataanku itu, sukses membuatnya langsung menoleh kepadaku, aku tahu dia pasti mer
Pov Raditya Rama AirlanggaGadis manis itu selalu menampakkan senyum manisnya dihadapanku, sambil menunjukkan deretan gigi putihnya. Dia adalah pelanggan tetap di salah satu coffeshop ku itu, hampir setiap hari dia nongkrong disana bersama teman temannya. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang, Siska, cinta sejatiku. Sungguh mereka sangat mirip dalam segala hal, hanya saja gadis ini lebih ceria dibanding Siska.Suatu malam, dia datang sendiri, dan duduk di pojok dihalaman coffe shop, hingga pukul dua belas malam, dia masih saja disana, sepertinya dia sedang ada masalah, dari tadi kuperhatikan dari jauh dia mengutak atik handphonenya dan terlihat kesal, kemudian dia meletakkan kepalanya diatas meja, lama sekali, aku takut dia ketiduran, lalu aku pun mencoba mendekati mejanya, saat karyawanku sedang beres beres. Karena memang sudah tidak ada pelanggan lain, dan usahaku ini juga tutup pada jam dua belas malam juga."Permisi Mbak," kataku saat melihat matanya terpejam waktu itu, sambil b
Pov RamaBetapa bahagia rasanya hatiku, aku berjanji akan menjaganya hingga saat aku menikahinya nanti, tak ingin aku membuat kesalahan lagi, seperti dulu saat bersama Siska. Tak pernah sekalipun aku berbuat kurang ajar padanya selama tiga bulan itu, hanya sekedar ciuman di pipi dan berpelukan. Meski ku akui dia sering memancingku untuk melakukan perbuatan terlarang itu, namun aku selalu berhasil menahan diriku.Hingga seminggu yang lalu, petaka itu terjadi setelah aku mengajaknya ke pesta pernikahan temanku, aku benar benar tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Dia hanya bilang kalau malam itu aku telah merenggut paksa kegadisannya, dan aku harus bertanggung jawab. Okelah aku akan bertanggung jawab kalau memang benar begitu adanya, dan lagi aku kan sangat mencintainya, jadi tak ada salahnya aku menikahinya sekarang juga. Tinggal minta restu Kakaknya, selesai. Kalau masalah keluargaku itu bisa kuatur nanti.Tiga hari yang lalu, saat aku mengajaknya liburan ke Malang, dia
Pov Rama Kembali ingatanku pada masalalu membumbung tentang seorang gadis cantik dan cerdas bernama Siska itu. Sejak OSPEK aku sudah jatuh hati melihatnya, namun aku baru berani mengungkapkan isi hatiku saat kami selesai ujian semester satu. Bak gayung bersambut, ternyata dia juga jatuh hati kepadaku. Dan kemudian kami pun resmi berpacaran. Aku adalah seorang laki laki yang sedikit introvent. Selalu patuh pada semua perkataan orang tuaku. Apalagi Mama ku adalah tipe orang tua yang suka mendikte dan memaksakan kehendak pada anak anaknya. Aku dan Kakakku Ratih, harus selalu menuruti semua keinginan Ibu, apapun titahnya mutlak dan wajib dilaksanakan.Berbeda sekali dengan Papa ku yang selalu memberi kebebasan dalam memilih apapun kepada anak anaknya. Namun kadang Papa pun manut saja apa kata Mama, karena kadang Mama akan merajuk dan mogok makan jika apa yang diinginkannya tidak tercapai. Papa adalah seorang penyabar dan sangat rendah hati pada siapapun, dia adalah pensiunan kepala seko
Pov Rama "Kamu ini apaan sih? Aku sungguh tak percaya kalau kamu tega menggugurkan buah cinta kita. Jangan seperti ini Yank, tolong katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Keluarga ku sudah setuju dengan pernikahan kita, kenapa kamu jadi seperti ini? Tolong jangan permainkan perasaan orang tuaku juga.""Terserah kamu mau percaya atau tidak, yang pasti bagiku kamu itu sudah mati, dan aku sudah tak ingin ketemu kamu lagi," katanya sambil masuk dan menutup pintu.Aku berusaha memanggilnya dan meminta penjelasan darinya namun percuma. Sejak saat itu juga, semua akses ku di blokir olehnya, dia sama sekali tak mau ku temui."Bagaimana si Siska? Sudah siap kan jadi bagian dari keluarga kita?" tanya Mama malam itu padaku yang sedang melamun di teras."Dia sepertinya berubah pikiran Ma. Dia malah memutuskanku dan tak mau lagi menemuiku,""Hah, kok bisa seperti itu sih. Kurang ajar banget tuh si Siska, sudah mempermainkanmu dan keluarga kita!" kata Kak Ratih yang duduk di sampingku."Hemmm
"Yuk Dek masuk, ngapain masih bengong sih. Sudahlah doakan saja mereka. Jangan mikir yang macam macam." kata suamiku sambil menggandengku masuk ke dalam rumah.Benar juga kata Mas Ridwan, tak ada yang perlu di sesali sekarang. Semoga saja Adit bisa benar benar bertanggung jawab pada Vania."Mas bagaimana kerjaanya hari ini? Masih belum dapat gajian juga kah?" tanyaku malam itu di kamar sebelum memejamkan mata.Seperti biasanya kami memang selalu menyempatkan ngobrol tentang apapun itu sebelum tidur, setelah Gita terlelap. Sejak satu tahun lalu, Gita sudah kami biasakan tidur sendiri, kebetulan juga di rumah ini terdapat tuga buah kamar, meskipun ukurannya kecil, jadi cukup juga untuk kami. Satu kamar untukku, satu Gita dan satu lagi untuk Vania. Rencananya juga malam ini aku akan menceritakan tentang Rama atau Adit padanya, agar tak ada ganjalan di kemudian hari.Aku bertemu dengan suamiku, Mas Ridwan ketika aku sudah bekerja di sebuah Bank, sebagai seorang teller saat itu. Tiga tahun
"Mas tolong janganlah maarah, aku sudah mengatakan sejujurnya. Katamu tadi kan, meski pahit kejujuran itu harus di utarakan. Ini juga untuk kebaikan semua Mas, jadi aku mengatakan semuanya sekarang kepadamu," kataku sambil memegang tanganya.Mas Ridwan masih saja diam, menatap kedepan tanpa memperhatikan ku. Aku tahu ini pasti berat baginya, tak mudah pula bagiku menerima jika aku berada di posisinya."Mas, tak ada yang lain lagi dalam hati ini selain namamu. Meski siapapun yang datang, tak akan pernah merubah perasaanku kepadamu. Adalah suatu hal yang bodoh, jika aku menduakanmu hanya untuk kembali kepada laki laki pengecut seperti dia. Percayalah kepadaku Mas." kataku sambil menangis dan mencium tangannya.Sesaat kemudian, dia merengkuh aku ke dalam pelukannya dan kembali menciumi pucuk kepalaku."Astaghfiruahaladzim. Maafkan aku ya Dek, yang tadi sempat terbawa emosi, karena jujur rasa cemburu dan takut kehilanganmu, itu seketika merasuki kepalaku. Sebenarnya sungguh sulit bagiku m
"Sejak kapan kamu punya tekevisi di kost?" tanyaku lagi."Eh itu Kak, maksudku di kamar kost nya Santi, temanku itu lo Kak, hehehhe. Lagi ngerjain tugas sambil nonton televisi," katanya yang kurasa sedikit janggal."Oooo. Mas Ridwan besok ingin bertemu dengan Adit, bisa kan kamu sampaikan kepadanya? Atau kamu ngomong sendiri saja sama Mas Ridwan?" Aku tak ingin tanya panjang lebar lagi kepada Vania, tentang dimana dia saat ini. Ada yang lebih penting saat ini, toh sebentar lagi dia kuga sudah menikah dan akan menjadi tanggung jawab orang lain."Ku kirim nomer teleponnya Mas Adit saja ya Kak. Biar Mas Ridwan bicara sama dia aja. Ku kirim lewat chat ya Kak. Teleponnya aku matiin ya," katanya sepertinya sedang tergesa gesa.Vania mematikan sambungan telepon kami, tanpa mengucapkan salam. Selang satu menit dia sudah mengirimkan nomer telepon Adit, dan aku pun meneruskan pesan itu kepada Mas Ridwan, dan dia pun langsung meneleponnya.Dan panggilan itu segera di jawab olehnya, dan Mas Ridw
Aku pun sebenarnya masih tak menyangka, jika Vania kini telah tiada. Aku tak tahu kenapa dia sampai menjadi gelap mata seperti ini, padahal kemarin-kemarin, dia sudah berusaha bertaubat.Jalan hidup yang di berikan Allah padaku, ternyata tak seperti yang kuinginkan. Sesungguhnya aku ingin sekali untuk ke depannya, bisa berkumpul dengan Ayah dan juga Vania. Namun ternyata, dengan membawa Ayah kembali, justru kemudian Allah mengambil Vania dariku.Pertanyaan dalam hatiku tentang hal apa yang membuat Vania tertekan hingga kemudian nekat memgakhiri hidupnya, masihlah menjadi teka-teki untukku. Namun kali ini aku menjadi ingat dengan seseorang, yang selalu mengancamku dan juga Vania, mungkin atau bahkan pasti, dialah yang telah menekan Vania sedemikian rupa. Sebaiknya aku sekarang meneleponnya, ya dia pasti Mbak Riska, kakak ipar Vania. Dua kali panggilanku tak dihiraukannya, tapi dipercobaan ketiga, akhirnya panggilanku di jawabnya."Assalamualaikum, Mbak Riska," ucapku tenang membuka per
Saat aku kembali membuka mata, ku lihat Gita duduk di sampingku dengan sesengukkan."Gita, kenapa nangis Nak?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepala putriku itu."Gita takut, Bun..." jawabnya sambil menggenggam tanganku erat."Takut kenapa, Sayang? " tanyaku lagi."Takut Bunda nggak bangun, kayak Tante Vania itu...huhuhu," ucapku.Seketika aku pun langsung bangun dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tahu, di usianya ini, masihlah sangat berat menyaksikan kejadian Vania tadi. Semoga nanti tak menjadi trauma ke depannya."Bunda, tak akan pergi kemana-mana Sayang. Bunda akan selalu ada di samping Dita. Sekarang mendingan Gita bobok di sini ya, pasti capek kan tadi habis perjalanan jauh?"Aku pun kemudian mengangkatnya dan menidurkannya di sampingku, kucium pucuk rambutnya dan kuelus, agar dia merasa tenang."Gita bobok ya, Bunda temenin di sini. Nanti kalau mau pulang, Bunda bangunin ya...," ucapku sambil tersenyum dan di jawab dengan anggukan kepala olehnya.Beberapa saat kemud
"Kenapa nggak langsung ke makam saja? Setelah selesai ziarah baru kira istirahat sebentar di rumah," ucap Ayah."Nggak, Yah. Sebentar saja kita ke rumah. Tak tahu kenapa rasanya aku ingin ke rumah secepatnya," pungkasku, "agak cepat sedikit ya, Yah."Kemudian kami bertiga hanya berdiam saja sementara Gita sudah tidur sejak awal kami berangkat tadi. Hingga akhirnya kami sampai di depan rumah, akupun langsung turun, tak tahu kenapa setelah membuka pintu aku langsung menuju ke kamar Ibu.Namun kamar itu terkunci dari dalam, padahal seluruh kamar yang ada di rumah ini, tak pernah ku kunci. Aku pun meminta Ayah dan Koko untuk mendobraknya. Dua kali terjangan keras kaki Koko, telah mampu membukanya. Pemandangan yang ada di dalam kamar seketika membuatku shock, Vania sudah tergeletak di atas kasur dengan mulut mengeluarkan busa dan darah. Akupun langsung merengkuh tubuh Vania tersebut."Van, bangun Van! Mengapa sampai terjadi semua ini? Cepat bangun Van!" Aku menggoyang goyangkan tubuhnya
Sudah tiga hari sejak kepergian Vania dari rumah, tak lagi kudapat kabar darinya. Nomer handphonenya pun sudah tidak aktif. Aku pun jadi bingung harus cari kemana dia. Rama pun begitu, semua teman Vania sudah dihubungi namun tak ada yang tau dimana keberadaannya. Bahkan kemarin, Rama pun sudah melaporkan ke kantor polisi. Vania bagai hilang ditelan bumi begitu saja.Sejak semalam, entah kenapa perasaan hatiku terasa sedih, dan kangen juga rasanya pada almarhumah Ibu, rasanya aku ingi berziarah ke kampung. Semalam pun aku bermimpi, Vania menangis di sebuah tempat lapang seorang diri, dan terlihat pula Ibu dari jauh yang berdiri diam dengan menunjukkan ekspresi kesediha. Aku sangat yakin dia sekarang sedang kesusahan dan ingin menyelesaikan pergolakan batinnya sendiri. Sepulang kerja hari ini, aku dan Gita akan ke kampung halamanku di Kediri, bersama Ayah. Kebetulan Ayah sedang tidak ada pekerjaan, jadi kita bisa berziarah bersama ke makam Ibu."Sis, boleh nggak aku ikut berziarah ke m
Pov VaniaKetika rumah tanggaku mulai tenang dan aku sudah fokus hanya pada Rama. Rumah tangga Kak Siska mengalami kehancuran. Mas Ridwan telah menikah secara diam diam dan memiliki seorang putra dari perkawinannya itu. Setelah proses yang alot akhirnya mereka bisa bercerai dan Mas Ridwan masuk penjara. Kurasa itu adalah balasan yang setimpal untuk semua perbuatan jahatnya itu.Kini Alhamdulillah Kak Siska bisa bangkit dan memulai kehidupan baru dengan Gita. Semoga saja selamanya mereka bahagia tanp hadirnya lagi laki laki seperti Mas Ridwan itu.Saat syukuran rumah baru Kak Siska, aku pendarahan. Bukan pendarahan sih tepatnya, namun haid yang sangat berat dan sakit di perut yang amat sangat nyeri. Sebenarnya sudah tiga bulan terakhir aku mengalami ini, namun aku diam saja, takut jika akan membuat khawatir semua orang.Setelah kerumah sakit dan bertemu dengan dokter, dia mengharuskanku melakukan pengangkatan rahim total. Karena memang aku mengalami infeksi rahim yang parah dan fibroi
Pov VaniaMalam itu aku tertidur begitu larut, setelah tadi bermain bersama Gita di ruang keluarga, lalu akupun menonton marathon drakor yang kata teman teman kampusku sangat romantis itu. Baru saja beberapa saat tertidur, kurasakan sebuah tangan mengelus kedua paha bagian dalamku, aku pun berjingkat kaget dan segera bangun. Astaghfiruahaladzim ternyata itu Mas Ridwan.Aku pun langsung terduduk, dan berusaha teriak, namun dengan sigap dia membungkam mulutku."Sst jangan teriak!! Atau akan kubunuh kamu!" katanya.Tanganya berusaha masuk kedalam kaos yang kupakai, aku berusaha berontak sambil menangis."Layani aku malam ini, sebagai balas budimu karena hidupmu sudah kubiayai! Ingat jangab teriak atau akan kubunuh Kakak mu itu!!" ancamnya.Demi apapun juga, aku tak akan mau menyerahkan mahkota ku kepadanya. Kemudian aku meronta, dan mencoba menendangnya, dan Alhamdulillah tendangan kerasku kali ini mengenai senjatanya. Sontak dia melepaskanku dan kesakitan. Saat dia kesakitan kudorong t
"Kak, masih disana kan? Kok diam saja? Dia akhir akhir ini sering keluar, dan seperti menjauhiku." katanya."Ehmm, sudah dua minggu ini, aku tak pernah berhubungan dengan dia. Beberapa kali aku coba telepon, tapi tak pernah di angkatnya." kataku."Berarti dia tak bersama Kak Siska gitu?" tanyanya."Iya, Ram." kataku."Astaghfirullahaladzim. Lalu kira kira dia kemana ya Kak?" kata Rama cemas."Coba hubungi temannya, atau datangi ketempat temannya. Aku akan mencoba menghubungi nomernya. Apa kamu sudah coba menghunbunginya?" kataku tak kalah cemas."Dari kemarin nomernya tak bisa dihubungi, Kak. Tapi sekarang akan kucoba lagi, tolong Kak Siska juga." "Oke, pasti aku bantu. Apa kalian habis bertengkar?" tanyaku."Tidak, Kak. Tapi semingguan ini, dia seperti menjauhiku dan lebih banyak diam.""Baiklah kalau begitu, aku akan coba menghubungi Vania sekarang. Jangan lupa kabari aku jika dia sudah pulang, atau jika sudah ada kabar darinyaa. Wassallamuaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Rama,
Novi langsung pergi, sepertinya dia marah sekali mendengar apa yang baru dikatakan Koko barusan. Aku pun duduk di teras. Menoleh ternyata Gita belum juga siap. Alhamdulillah kalau dia tak tahu insiden yang baru saja terjadi."Kamu nggak apa apa kan, Sis?" kata Koko yang duduk disampingku."Nggak lah. Aku sudah biasa menghadapi keadaan seperti ini kok. Makasih ya sudah datang. Eh ngomong ngomong kamu tadi kapan sih datangnya?" kataku sambil mencoba tersenyum, meski hatiku sebenarnya terasa sedikit sesak."Kamu sih keasyikan tadi, sampai tak tahu aku memarkir sepeda disebelahmu." katanya sambil tersenyum."Hahaha iya bener kamu. Kok kamu tahu sih kalau aku akan bersepeda pagi ini?" tanyaku lagi."Feeling calon suami, hehehhe." katanya."Bunda, yuk aku sudah siap. Eh, ada Om Koko, jadi rame nih. Yuk berangkat, nanti maem bareng bareng ya." kata Gita yang baru keluar dari rumah."Yuk berangkat sekarang." kata Koko."Maaf ya, Bun. Tadi aku sakir perut jadi BAB dulu deh." kata Gita sambil
[Assalamualaikum, Nak. Maaf ya, hari ini Ayah belum bisa menemui adikmu itu. Ada sedikit keperluan di luar kota, kebetulan teman lama Ayah ada yang mengajak investasi proyek, jadi harus meninjau lokasinya. Nggak apa apa kan?]Isi chat dari Ayah, di hari minggu itu. Tak apalah toh masih banyak hari yang lain. Kebetulan aku juga belum bicara pada Vania tentang hal itu.[Waalaikumsalam. Iya nggak apa apa kok Yah. Bisa lain waktu. Hati hati ya Yah. ]Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat subuh pun, akhirnya membangunkan Gita dan mengajaknya bersepeda. "Asyikk, nanti kita beli soto daging Cak Kandar ya Bun." katanya."Boleh Sayang. Sudah sana sekarang shalat dulu, Bunda tunggu di depan ya." kataku.Aku pun menuju garasi mengeluarkan sepeda kamu berdua, sambil menunggu Gita akupun mengelap sepeda sepeda itu. Tiba tiba sebuah motor matic berhenti di depan gerbang rumahku. Seorang perempuan berambut merah turun, meski keadaan masih sedikit gelap, aku sangat tahu bahwa itu adalah No