"Tolonglah Kak. Kali ini saja, aku mohon, aku tak akan lago berbohong kepadanya. Lagian aku nggak aneh aneh kok, cuma liburan saja sama teman kampus. Pliss Kak. Kak Siska sayang kan kepadaku? Kakak nggak ingin kan kalau aku berantem sama Mas Rama?" rengeknya."Oke baik, kali ini saja aku akan membantumu, tapi ingat jangan kamu ulangi lagi. Lain kali aku tak akan lagi menyelamatkanmu. Sekarang juga kamu cepat datang kesini, nanti sore biar Rama datang menjemputmu." kataku."Terima kasih banyak ya, Kak. Baik banget deh. Janji pokoknya aku nggak bakal ngulangin lagi. Aku langsung meluncur kesana nih sekarang." katanya riang."Iya, hati hati dijalan. Wassalamualaikum" kataku.Tanpa menjawab salamku, dia langsung mematikan teleponnya. Tak berapa lama, Rama kembali meneleponku, kali ini kujawab panggilan teleponnya."Iya, Ram." kataku membuka percakapan."Kak Siska, nggak apa apa kan?" katanya sepertinya khawatir."Eh, lha memangnya kenapa?." kataku pura pura sok polos."Tadi kan panggilan
Belum sempat Vania menjawab, mobil Rama sudah terlihat di depan rumah. Kami pun langsung menaruh barang barang bawaan Vania tadi ke dapur, lalu kembali duduk di ruang tamu."Assalamualaikum." kata Rama diambang pintu."Waallaikumsalam, masuk Ram. Ini Vania sudah nunggu dari tadi, sudah kangen kayaknya." kataku basa basi."Iya nih, Mas. Kangen banget malam." kata Vania sambil melirik suaminya yang duduk di sampingnya."Ku buatin teh hangat sebentar ya." kataku dan mereka pun mengangguk.Di dapur sambil menunggu air mendidih kubuka barang bawaan Vania tadi. Dua tas besar itu berisi sepatu untuk Gita dan baju untukku dan juga Gita. Sementara dua plastik besarnya, berisi strawberry dan apel, oleh oleh khas kota Malang. Pasti nanti Gita akan suka sekali dengan semua ini. Aku kembali ke ruang tamu, seperti biasa mereka pasti curi curi waktu untuk bermesraan. Aku pun pura pura tak melihat."Ayo diminum dulu, mumpung masih hangat." kataku sambil menaruh gelas teh di meja."Kami langsung balik
Sudah sebulan lamanya, Mas Ridwan tidak bekerja. Sepertinya dia sudah berusaha mencari pekerjaan, tapi hasilnya masih nihil. Setiap hari dia keluar, pagi pulang sore atau bahkan malam. Katanya untuk cari kerja. Uang pegangan hasil penjualan cincin minggu lalu sudah habis tak bersisa, itu pun aku sudah punya hutang banyaj di toko sembako Bu Nisa. Minggu kemarin juga aku menjual mixer, oven dan blender, lumayan lah uangnya bisa untuk menyambung hidup.Entah mengapa di saat seperti ini, tak ada satupun orderan kue yang masuk. Bingung harus bagaimana lagi aku, haruskah aku jual cincin kawin ini? Sedangkan besok harus membayar tagihan BPJS juga, dan Gita pun meminta di belikan seragam pramuka yang baru, karena kemarin dia sempat jatuh di sekolah saat bermain dan menyebabkan rok nya sobek.Pun dengan stok beras dan sembako lain pun, hanya tinggal untuk di masak hari ini."Mas, apa aku jual saja ya cincin kawin kita ini?" tanyaku pagi itu sebelum memasak."Cincin itu cuma laku berapa memangn
"Baiklah Mas, kalau begitu. Aku nurut saja sama kamu. Semoga apa yang direncanakan, hasilnya tidak mengecewakan. Tapi aku sekarang ini sudah tak pegang uang sama sekali, buat besok juga uang dari mana?" kataku."Ya sudah jual saja sekarang cincinmu itu. Lumayan kan buat bayar BPJS. Nanti langsung beliin rok seragamnya Gita, dan bayar BPJS sekalian lewat minimarket. Dan aku juga butuh uang transport. Nanti sore aku akan pinjam uang ke temanku, untuk pegangan sampai uang dari Bank itu cair." katanya."Tapi aku masih tak enak sama Vania, Mas. Kalu sampai nanti suatu saat ketahuan." kataku."Halah tak enak apalagi sih? Dia itu dari kecil sampai kuliah, aku yang membiayai semua kebutuhannya. Anggap saja itu balas budinya kepada kita. Bahkan seharusnya rumah itupun hanya menjadi milikmu mutlak. Ya itu tadi sebagai balas budi." jawabnya enteng.Tak kusangka Mas Ridwan akan berkata seperti itu. Ternyata dia tak ikhlas membiayai adikku selama ini."Kamu juga begitu, harusnya kamu banyak berter
"Assalamualaikum, Ram. Ada apa?." kataku pagi itu membuka percakapan lewat telepon."Waalaikumsalam. Kak, Vania masuk rumah sakit, pendarahan." kata Rama dari ujung telepon cemas."Astaghfirullahaladzim. Lalu sekarang bagaimana keadaan Vania?" jawabku khawatir."Alhamdulillah keadaanya sekarang baik ìbaik saja, tapi dia sedang istirahat setelah tadi minum obat. Sekarang kami ada di rumah sakit, menunggu dokter untuk USG. Tadi Vania meminta agar Kak Siska kesini, dia takut katanya. Mama sedang di singapura dari kemarin, mengantar Papa berobat.""Di Rumah Sakit mana?" tanyaku."Di Rumah Sakit Internasional, Kak. Kalau bisa sekarang ya Kak, soalnya nanti USG pukul sepuluh pagi, dia minta ditemani Kak Siska. Apa Kakak mau ku jemput?" tanya Rama."Tunggu sebentar ya, Ram. Aku pamit ke Mas Ridwan dulu. Nanti aku kabari lagi." jawabku."Baiklah, Kak. Kutunggu secepatnya ya Kak. Wassalamualaikum." katanya sambil menutup telepon.Aku akan meminta ijin terlebih dahulu pada Mas Ridwan. Tapi aku
"Hemmm, Vania masih saja kekanak kanakan.""Biarin lah, Kak. Semua butuh waktu, semoga saja dia bisa berubah. Yang penting dia bahagia, aku sudah ikut bahagia kok." jawabnya sambil tersenyum."Terima kasih ya, Ram. Sudah selalu sabar menghadapai Vania." kataku."Memang itu sudah kewajibanku, Kak. Usahanya Mas Ridwan sepertinya sukses ya, Kak.""Alhamduliah, semoga selalu ramai. Semoga bisa menjadi pengusaha sukses sperti kamu.""Amiiin. Lebih enak gitu kan, Kak. Wiraswasta, unagnya lebih banyak dan waktunya juga lebih banyak buat keluarga.""Iya, Ram." jawabku.Padahal sebenarnya, aku lebih suka jika Mas Ridwan bekerja seperti dulu, meski gajinya tak begitu banyak, tapi dia jarang uring uringan, dan saat tak bekerja, semua waktunya untuk keluarga. Sangat berbanding terbalik dengan Mas Ridwan yang sekarang.Akhirnya sampai juga di rumah sakit, Rama pun mengantar Gita pulang ke rumahnya, karena anak kecil tak boleh masuk ruang UGD, nanti setelah Vania di pindah ke ruang perawatan, baru
Tiga hari dirumah sakit, sore ini Vania sudah di perbolehkan pulang ke rumah. "Van, Kakak besok mau pulang dulu ya, kamu kan sudah sehat kembali." kataku saat kami makan malam bersama."Yah, jangan dulu dong Kak. Aku masih ingin di temani lho. Kita juga kan belum jalan jalan ya, Git." kata Vania yang dijawab anggukan oleh Gita."Iya, Kak. Gita juga kan masih libur sekolahnya. Vania juga kayakya masih kangen pingin di temani." kata Rama, sepertinya dia tahu kalau aku sungkan padanya."Tapi kan di rumah juga ada Mas Ridwan. Kasihan kan dia sendirian." kataku."Bilang saja kalau Kak Siska kangen sama Mas Ridwan gitu, heheheh." canda Vania, aku hanya tersenyum."Ya sudah kalau begitu, nanti aku pamit pada Mas Ridwan dulu ya, boleh apa nggak lebih lama disini." jawabku.Setelah makan malam, Rama pamit menengok salah satu coffeshopnya. Sementara kami bertiga menonton televisi. Aku akan menghubungi Mas Ridwan nanti saja, karena hape ku juga masih ku cas."Kak, nggak kangen kah sama Ayah dan
Aku sungguh tak habis pikir kenapa Mas Ridwan bisa berubah seperti ini, apa salahku. Kemana dia yang dulu sabar dan sangat sayang padaku. Ucapanya selalu membuatku sakit hati. Tapi aku selalu mengalah dari pada nanti akhirnya kita jadi bertengkar. Mungkin dia memang sedang capek."Iya iya Mas, gitu saja marah. Aku mau minta ijin, untuk disini lebih lama lagi. Gita ingin liburan disini, dan Vania pun masih ingin ditemani sebentar. Bolehkah, Mas? Kalau nggak boleh, besok pagi kami akan langsung pulang." kataku hati hati."Ya sudah nggak apa apa, kamu disitu saja sampai liburan Gita usai. Kalau perlu uang lagi, bilang saja, nanti aku transfer. Kasihan juga kan Vania kalau ditinggal sekarang." katanya."Tapi, Mas Ridwan nggak apa apa kah kalau ku tinggal sendiri? Nggak marah kan?" tanyaku lagi meyakinkan."Aku ini sudah gede lho, nggak usah khawatir lagi. Biar Gita juga puas liburannya disana, kamu juga kan biar bisa refreshing gitu.""Mas nggak pingin gitu menemani Gita liburan?" tanyaku
Aku pun sebenarnya masih tak menyangka, jika Vania kini telah tiada. Aku tak tahu kenapa dia sampai menjadi gelap mata seperti ini, padahal kemarin-kemarin, dia sudah berusaha bertaubat.Jalan hidup yang di berikan Allah padaku, ternyata tak seperti yang kuinginkan. Sesungguhnya aku ingin sekali untuk ke depannya, bisa berkumpul dengan Ayah dan juga Vania. Namun ternyata, dengan membawa Ayah kembali, justru kemudian Allah mengambil Vania dariku.Pertanyaan dalam hatiku tentang hal apa yang membuat Vania tertekan hingga kemudian nekat memgakhiri hidupnya, masihlah menjadi teka-teki untukku. Namun kali ini aku menjadi ingat dengan seseorang, yang selalu mengancamku dan juga Vania, mungkin atau bahkan pasti, dialah yang telah menekan Vania sedemikian rupa. Sebaiknya aku sekarang meneleponnya, ya dia pasti Mbak Riska, kakak ipar Vania. Dua kali panggilanku tak dihiraukannya, tapi dipercobaan ketiga, akhirnya panggilanku di jawabnya."Assalamualaikum, Mbak Riska," ucapku tenang membuka per
Saat aku kembali membuka mata, ku lihat Gita duduk di sampingku dengan sesengukkan."Gita, kenapa nangis Nak?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepala putriku itu."Gita takut, Bun..." jawabnya sambil menggenggam tanganku erat."Takut kenapa, Sayang? " tanyaku lagi."Takut Bunda nggak bangun, kayak Tante Vania itu...huhuhu," ucapku.Seketika aku pun langsung bangun dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tahu, di usianya ini, masihlah sangat berat menyaksikan kejadian Vania tadi. Semoga nanti tak menjadi trauma ke depannya."Bunda, tak akan pergi kemana-mana Sayang. Bunda akan selalu ada di samping Dita. Sekarang mendingan Gita bobok di sini ya, pasti capek kan tadi habis perjalanan jauh?"Aku pun kemudian mengangkatnya dan menidurkannya di sampingku, kucium pucuk rambutnya dan kuelus, agar dia merasa tenang."Gita bobok ya, Bunda temenin di sini. Nanti kalau mau pulang, Bunda bangunin ya...," ucapku sambil tersenyum dan di jawab dengan anggukan kepala olehnya.Beberapa saat kemud
"Kenapa nggak langsung ke makam saja? Setelah selesai ziarah baru kira istirahat sebentar di rumah," ucap Ayah."Nggak, Yah. Sebentar saja kita ke rumah. Tak tahu kenapa rasanya aku ingin ke rumah secepatnya," pungkasku, "agak cepat sedikit ya, Yah."Kemudian kami bertiga hanya berdiam saja sementara Gita sudah tidur sejak awal kami berangkat tadi. Hingga akhirnya kami sampai di depan rumah, akupun langsung turun, tak tahu kenapa setelah membuka pintu aku langsung menuju ke kamar Ibu.Namun kamar itu terkunci dari dalam, padahal seluruh kamar yang ada di rumah ini, tak pernah ku kunci. Aku pun meminta Ayah dan Koko untuk mendobraknya. Dua kali terjangan keras kaki Koko, telah mampu membukanya. Pemandangan yang ada di dalam kamar seketika membuatku shock, Vania sudah tergeletak di atas kasur dengan mulut mengeluarkan busa dan darah. Akupun langsung merengkuh tubuh Vania tersebut."Van, bangun Van! Mengapa sampai terjadi semua ini? Cepat bangun Van!" Aku menggoyang goyangkan tubuhnya
Sudah tiga hari sejak kepergian Vania dari rumah, tak lagi kudapat kabar darinya. Nomer handphonenya pun sudah tidak aktif. Aku pun jadi bingung harus cari kemana dia. Rama pun begitu, semua teman Vania sudah dihubungi namun tak ada yang tau dimana keberadaannya. Bahkan kemarin, Rama pun sudah melaporkan ke kantor polisi. Vania bagai hilang ditelan bumi begitu saja.Sejak semalam, entah kenapa perasaan hatiku terasa sedih, dan kangen juga rasanya pada almarhumah Ibu, rasanya aku ingi berziarah ke kampung. Semalam pun aku bermimpi, Vania menangis di sebuah tempat lapang seorang diri, dan terlihat pula Ibu dari jauh yang berdiri diam dengan menunjukkan ekspresi kesediha. Aku sangat yakin dia sekarang sedang kesusahan dan ingin menyelesaikan pergolakan batinnya sendiri. Sepulang kerja hari ini, aku dan Gita akan ke kampung halamanku di Kediri, bersama Ayah. Kebetulan Ayah sedang tidak ada pekerjaan, jadi kita bisa berziarah bersama ke makam Ibu."Sis, boleh nggak aku ikut berziarah ke m
Pov VaniaKetika rumah tanggaku mulai tenang dan aku sudah fokus hanya pada Rama. Rumah tangga Kak Siska mengalami kehancuran. Mas Ridwan telah menikah secara diam diam dan memiliki seorang putra dari perkawinannya itu. Setelah proses yang alot akhirnya mereka bisa bercerai dan Mas Ridwan masuk penjara. Kurasa itu adalah balasan yang setimpal untuk semua perbuatan jahatnya itu.Kini Alhamdulillah Kak Siska bisa bangkit dan memulai kehidupan baru dengan Gita. Semoga saja selamanya mereka bahagia tanp hadirnya lagi laki laki seperti Mas Ridwan itu.Saat syukuran rumah baru Kak Siska, aku pendarahan. Bukan pendarahan sih tepatnya, namun haid yang sangat berat dan sakit di perut yang amat sangat nyeri. Sebenarnya sudah tiga bulan terakhir aku mengalami ini, namun aku diam saja, takut jika akan membuat khawatir semua orang.Setelah kerumah sakit dan bertemu dengan dokter, dia mengharuskanku melakukan pengangkatan rahim total. Karena memang aku mengalami infeksi rahim yang parah dan fibroi
Pov VaniaMalam itu aku tertidur begitu larut, setelah tadi bermain bersama Gita di ruang keluarga, lalu akupun menonton marathon drakor yang kata teman teman kampusku sangat romantis itu. Baru saja beberapa saat tertidur, kurasakan sebuah tangan mengelus kedua paha bagian dalamku, aku pun berjingkat kaget dan segera bangun. Astaghfiruahaladzim ternyata itu Mas Ridwan.Aku pun langsung terduduk, dan berusaha teriak, namun dengan sigap dia membungkam mulutku."Sst jangan teriak!! Atau akan kubunuh kamu!" katanya.Tanganya berusaha masuk kedalam kaos yang kupakai, aku berusaha berontak sambil menangis."Layani aku malam ini, sebagai balas budimu karena hidupmu sudah kubiayai! Ingat jangab teriak atau akan kubunuh Kakak mu itu!!" ancamnya.Demi apapun juga, aku tak akan mau menyerahkan mahkota ku kepadanya. Kemudian aku meronta, dan mencoba menendangnya, dan Alhamdulillah tendangan kerasku kali ini mengenai senjatanya. Sontak dia melepaskanku dan kesakitan. Saat dia kesakitan kudorong t
"Kak, masih disana kan? Kok diam saja? Dia akhir akhir ini sering keluar, dan seperti menjauhiku." katanya."Ehmm, sudah dua minggu ini, aku tak pernah berhubungan dengan dia. Beberapa kali aku coba telepon, tapi tak pernah di angkatnya." kataku."Berarti dia tak bersama Kak Siska gitu?" tanyanya."Iya, Ram." kataku."Astaghfirullahaladzim. Lalu kira kira dia kemana ya Kak?" kata Rama cemas."Coba hubungi temannya, atau datangi ketempat temannya. Aku akan mencoba menghubungi nomernya. Apa kamu sudah coba menghunbunginya?" kataku tak kalah cemas."Dari kemarin nomernya tak bisa dihubungi, Kak. Tapi sekarang akan kucoba lagi, tolong Kak Siska juga." "Oke, pasti aku bantu. Apa kalian habis bertengkar?" tanyaku."Tidak, Kak. Tapi semingguan ini, dia seperti menjauhiku dan lebih banyak diam.""Baiklah kalau begitu, aku akan coba menghubungi Vania sekarang. Jangan lupa kabari aku jika dia sudah pulang, atau jika sudah ada kabar darinyaa. Wassallamuaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Rama,
Novi langsung pergi, sepertinya dia marah sekali mendengar apa yang baru dikatakan Koko barusan. Aku pun duduk di teras. Menoleh ternyata Gita belum juga siap. Alhamdulillah kalau dia tak tahu insiden yang baru saja terjadi."Kamu nggak apa apa kan, Sis?" kata Koko yang duduk disampingku."Nggak lah. Aku sudah biasa menghadapi keadaan seperti ini kok. Makasih ya sudah datang. Eh ngomong ngomong kamu tadi kapan sih datangnya?" kataku sambil mencoba tersenyum, meski hatiku sebenarnya terasa sedikit sesak."Kamu sih keasyikan tadi, sampai tak tahu aku memarkir sepeda disebelahmu." katanya sambil tersenyum."Hahaha iya bener kamu. Kok kamu tahu sih kalau aku akan bersepeda pagi ini?" tanyaku lagi."Feeling calon suami, hehehhe." katanya."Bunda, yuk aku sudah siap. Eh, ada Om Koko, jadi rame nih. Yuk berangkat, nanti maem bareng bareng ya." kata Gita yang baru keluar dari rumah."Yuk berangkat sekarang." kata Koko."Maaf ya, Bun. Tadi aku sakir perut jadi BAB dulu deh." kata Gita sambil
[Assalamualaikum, Nak. Maaf ya, hari ini Ayah belum bisa menemui adikmu itu. Ada sedikit keperluan di luar kota, kebetulan teman lama Ayah ada yang mengajak investasi proyek, jadi harus meninjau lokasinya. Nggak apa apa kan?]Isi chat dari Ayah, di hari minggu itu. Tak apalah toh masih banyak hari yang lain. Kebetulan aku juga belum bicara pada Vania tentang hal itu.[Waalaikumsalam. Iya nggak apa apa kok Yah. Bisa lain waktu. Hati hati ya Yah. ]Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat subuh pun, akhirnya membangunkan Gita dan mengajaknya bersepeda. "Asyikk, nanti kita beli soto daging Cak Kandar ya Bun." katanya."Boleh Sayang. Sudah sana sekarang shalat dulu, Bunda tunggu di depan ya." kataku.Aku pun menuju garasi mengeluarkan sepeda kamu berdua, sambil menunggu Gita akupun mengelap sepeda sepeda itu. Tiba tiba sebuah motor matic berhenti di depan gerbang rumahku. Seorang perempuan berambut merah turun, meski keadaan masih sedikit gelap, aku sangat tahu bahwa itu adalah No