Kali ini kucoba lagi menelepon Mas Ridwan, untuk membicarakan tawaran pekerjaan tadi. Semoga dia mau mengangkat panggilanku ini, dan ternyata panggilanku langsung di respon olehnya."Apaan lagi sih, Dek? Ya ampun kamu itu ganggu terus sih!" katanya sambil emosi."Maaf ya, Mas. Aku cuma mau tanya sesuatu. Bentar saja kok." jawabku.Tuh kan belum apa apa sudah di sembur saja oleh suamiku. Namun aku harus tetap bicara kepadanya."Ya sudah. Cepat, mau ngomong apa?" katanya ketus."Bolehkah aku bekerja lagi, Mas?" kataku takut takut."Terserah kamu sajalah." jawabnya."Berarti boleh kan, Mas? Tapi kalau aku bekerja, bagaimana dengan Gita?" kataku lagi."Iya boleh. Gita itu kan sudah besar, nanti pulangnya biar aku jemput dia, lalu biar dia nunggu kamu di rumah, atau main kerumah temannya. Lumayan juga sih kalau kamu kerja, gajimu bisa buat kebutuhan sehari hari. Dan aku bisa fokus untuk setoran ke Bank saja." jawabnya."Ya sudah lah Mas. Aku fikir fikir lagi, yang penting kamu kan sudah me
"Apa apaa sih, Mbak? Rama dan Vania sedang ke acara resepsi temanya. Mari masuk." kataku berusaha menampilkan senyum termanis."Nggak ah duduk disini saja, ademmm. Aku tahu kok kalau mereka sedang tak ada di rumah. Maka dari itu aku kesini, untuk menemui kamu. Sini duduk disini!" katanya.Aku pun duduk diseberangnya. Apa lagi yang akan dikatakannya kali ini, semoga aku tak tersulut emosi kali ini."Memangnya ada apa Mbak Ratih ingin ketemu dengan aku?" tanyaku."Emmmm. Begini Sis. Aku ingin kamu dan adikmu pergi dari kehidupan Ram, secepatnya!!!" katanya sambil melotot kepadaku."Maksudnya apa, Mbak?""Kemarin kan adikmu baru saja keguguran, jadi sudah tak ada lagi yang ditunggu. Orang tuaku ingin segera memiliki cucu, tau nggak? Mereka si Singapore sangat terpukul dengan berita itu, hanya karena adikmu yang tak pintar merawat kehamilannya itu. Aku ingin kamu menjauhkan mereka, karena aku ingin menjodohkan Rama dengan temanku. Tentunya yang sepadan dengan kami, yang baik, bibit , b
Setelah mendapat persetujuan si empunya rumah dan mereka bersedia mengantarkanku, maka aku pun kemarin langsung belanja dengan uang dari Mas Ridwan yang masih tersimpan rapi di rekeningku. Dan hari ini pun Vania serta Bik Sumi membantuku memasak pesanan.Sebenarnya ingin kuberitahu pada Mas Ridwan kepulangan kami besok, tapi kuurungkan, aku ingin membuat surprise untuknya. Rencananya sih setelah mengantar pesanan kami akan mampir ke tempat usaha Mas Ridwan, yang ternyata letaknya tak jauh dari rumah si pemesan ini.Kulihat jam didinding menunjukkan pukul dua belas siang, nasi bento dan snack box sudah siap dan telah masuk ke dalam mobil, sisa kue tartnya saja yang belum di hias, rencananya nanti kue ini akan kupangku selama dalam perjalanan. Satu jam waktu yang lebih dari cukup untuk menghias tart bertingkat ini. Eh tapi aku lupa kemarin menanyakan siapa nama anak yang ulang tahun ini.Segera ku kirimkan chat untuk menanyakannya.[Assalamualaikum, Mbak. Maaf kemarin lupa menanyakan si
"Maaf, Bu. Itu yang difoto suaminya Mbak Novi?" tanyaku."Oh itu. Iya Mbak, suaminya." jawabnya."Kerjanya dimana ya, Bu?""Kalau nggak salah sih dulu orang kantoran, Mbak. Tapi sekarang sudah punya usaha sendiri, warung kopi wifi 24 jam di jalan Soekarno yang ramai sekali itu lho." katanya.Aku hanya mengangguk, tak bisa berkata apa apa lagi, karena itu adalah tempat usaha suamiku. Aku ingin memberitahu Vania namun kuurungkan, aku takut dia akan langsung emosi. Aku ingin memastikan dulu, menunggu suami Mbak Novi ini keluar. Aku hanya beristighafar di dalam hati, semoga dugaanku salah."Ini Ma, uangnya." kata seorang laki laki yang keluar dari dalam memberikan uang pada Mbak Novi.Benar itu adalah suamiku, suami yang telah menikah denganku selama sembilan tahun, yang sepertinya selalu menyayangiku, dan sepertinya tak pernah berbuat macam macam diluaran.Sepertinya Mas Ridwan tak tahu keberadaanku, dia langsung duduk di samping anaknya. Vania dan Rama pun tahu itu. Mbak Novi datang kep
"Sudah, Kak. Yang sabar ya, istighfar Kak. Ikhlasin semuanya." kata Vania yang duduk disampingku.Sementara aku masih menangis, sambil memeluk Gita. Mulutku terus berucap Istighfar, namun hati kecilku belum menerima penghianatan yang dilakukan oleh Mas Ridwan.Sembilan tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi mengapa dia tega. Dia juga sangat pintar menyembunyikan semuanya, bak seorabg suami yang sempurna dan selalu sayang pada keluarganya. Hanya akhir akhir ini saja dia sedikit menunjukkan keanehannya."Sebenarnya, dulu saat masih SMP aku pernah memergoki Mas Ridwan dengan seorang wanita, Kak. Namun dia mengancamku tak akan membiayai lagi sekolahku dan akan menyakiti Kakak, jika aku mengadukannya pada Kak Siska. Maafkan aku ya, Kak." jujur Vania sambil menangis.Aku kaget mendengar ucapan Vania barusan, berarti Mas Ridwan memanglah sangat pintar sekali bersandiwara. Ada sedikit marah karena tak dari dulu dia mengatakan ini kepadaku, namun aku juga faham jalan pikiran Vania kecil saat
"Kalian jangan.khawatir aku bisa menjaga diri dan juga Gita. Aku sudah bisa mengikhlaskan semua, dan siap membuka lembaran baru. Antar aku ke rumahnya Mas Ridwan ya, aku ingin ambil motor dan barang barangku." kataku."Kami percaya Kak Siska, orang yang tegar. Tapi lebih baik untuk beberapa hari tinggal dulu di rumah kami, paling tidak sampai sekolah Gita masuk lagi." kata Rama."Iya, Kak. Benar banget apa yang Mas Rama katakan. Sekarang kita langsung saja kembali ke Surabaya, dua hari lagi baru cari kontrakan Kak. Aku juga belum puas nih jalan jalannya. Mas, besok kita jalan jalan ke Taman Safari Pasuruan, yuk." kata Vania."Siap nyonya besar." jawab Rama."Besok kita naik gajah ya Git," kata Vania."Oke, Tante. Sama Bunda juga ya." jawab Gita gembira.Kemudian aku pun ikut mereka ke Surabaya lagi. Untuk menenangkan fikiran dan juga untuk menyenangkan Gita lagi. Sungguh beruntung aku memiliki saudara seperti mereka, kalau tak ada mereka mungkin aku juga belum bisa menerima semua ini.
"Assalamualaikum, Van. Lagi dimana?" kataku membuka obrolan dengan Vania siang itu."Waalaikumsalam. Maaf Kak kami belum pulang. Soalnya ini masih dirumah mertua, trus setelah dari sini aku mau ajak Gita belanja." jawab Vania."Oke, tak apa Van. Aku cuma mau bilang, aku nitip Gita dulu ya. Aku ingin pulang ke Sidoarjo mengurus perceraianku dan juga sekalian mau cari kost. Aku akan pulang sekarang naik bis, soalnya kan di rumah sana aku ada motor.""Apa nggak lebih baik nunggu Mas Rama? Nanti kami antar.""Nggak, Van. Kakak ingin melakukan ini sendiri, nitip Vania saja, besok sore tolong kamu antar ke kost.""Okelah, terserah Kakak saja. Oh iya, Kak. Kemarin aku sempat merekam semua kejadian di rumah selingkuhanya Mas Ridwan, aku kirim ke Kakak ya, siapa tahu berguna.""Wah bagus itu Van, iya kirim sekarang juga. Pinter banget sih kamu. ""Iya Kak. Aku akan transfer juga uanh buat biaya kost dan pengangan Kak Siska ya?" "Ah, nggak usah Van. Aku masih ada simpanan, cukup untuk biaya ko
Ternyata hatiku belum puas seharian ini mengerjai Ridwan. Seluruh dunia harus tahu siapa sebenarnya dia, karena selama ini dia selalu menampakkan sikap baik pada semua orang, baik diluar busuk sekali didalam.Segera ku upload foto pernikahanku dengan Ridwan , kemudian kuberi caption,MULAI SEKARANG LAKI LAKI YANG ADA DI FOTO INI, BUKANLAH SUAMI SAYA. KARENA DIA SUDAH MENIKAH LAGI SECARA DIAM DIAM DENGAN SELINGKUHANYA. VIDEO LENGKAPNYA 👉👉Kemudian di status berikutnya, ku upload video yang dikirim Vania tadi. Setelah sukses, aku pun tidur dan mematikan handphoneku, biarlah besok aku akan melihat hasil dari statusku tadi.***** *****Setelah shalat subuh, akupun menyalakan handphone ku, begitu banyak chat dan panggilan tak terjawab. Namun tak kulihat dulu dari mana itu berasal. Aku lebih tertarik mengunjungi akun biru dan unguku, firasatku mengatakan disana akan heboh, karena pastilah sudah ada yang mengcopy dan membagikan statusku tadi malam. Dan benar sekali, sepertinya statusku itu
Aku pun sebenarnya masih tak menyangka, jika Vania kini telah tiada. Aku tak tahu kenapa dia sampai menjadi gelap mata seperti ini, padahal kemarin-kemarin, dia sudah berusaha bertaubat.Jalan hidup yang di berikan Allah padaku, ternyata tak seperti yang kuinginkan. Sesungguhnya aku ingin sekali untuk ke depannya, bisa berkumpul dengan Ayah dan juga Vania. Namun ternyata, dengan membawa Ayah kembali, justru kemudian Allah mengambil Vania dariku.Pertanyaan dalam hatiku tentang hal apa yang membuat Vania tertekan hingga kemudian nekat memgakhiri hidupnya, masihlah menjadi teka-teki untukku. Namun kali ini aku menjadi ingat dengan seseorang, yang selalu mengancamku dan juga Vania, mungkin atau bahkan pasti, dialah yang telah menekan Vania sedemikian rupa. Sebaiknya aku sekarang meneleponnya, ya dia pasti Mbak Riska, kakak ipar Vania. Dua kali panggilanku tak dihiraukannya, tapi dipercobaan ketiga, akhirnya panggilanku di jawabnya."Assalamualaikum, Mbak Riska," ucapku tenang membuka per
Saat aku kembali membuka mata, ku lihat Gita duduk di sampingku dengan sesengukkan."Gita, kenapa nangis Nak?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepala putriku itu."Gita takut, Bun..." jawabnya sambil menggenggam tanganku erat."Takut kenapa, Sayang? " tanyaku lagi."Takut Bunda nggak bangun, kayak Tante Vania itu...huhuhu," ucapku.Seketika aku pun langsung bangun dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tahu, di usianya ini, masihlah sangat berat menyaksikan kejadian Vania tadi. Semoga nanti tak menjadi trauma ke depannya."Bunda, tak akan pergi kemana-mana Sayang. Bunda akan selalu ada di samping Dita. Sekarang mendingan Gita bobok di sini ya, pasti capek kan tadi habis perjalanan jauh?"Aku pun kemudian mengangkatnya dan menidurkannya di sampingku, kucium pucuk rambutnya dan kuelus, agar dia merasa tenang."Gita bobok ya, Bunda temenin di sini. Nanti kalau mau pulang, Bunda bangunin ya...," ucapku sambil tersenyum dan di jawab dengan anggukan kepala olehnya.Beberapa saat kemud
"Kenapa nggak langsung ke makam saja? Setelah selesai ziarah baru kira istirahat sebentar di rumah," ucap Ayah."Nggak, Yah. Sebentar saja kita ke rumah. Tak tahu kenapa rasanya aku ingin ke rumah secepatnya," pungkasku, "agak cepat sedikit ya, Yah."Kemudian kami bertiga hanya berdiam saja sementara Gita sudah tidur sejak awal kami berangkat tadi. Hingga akhirnya kami sampai di depan rumah, akupun langsung turun, tak tahu kenapa setelah membuka pintu aku langsung menuju ke kamar Ibu.Namun kamar itu terkunci dari dalam, padahal seluruh kamar yang ada di rumah ini, tak pernah ku kunci. Aku pun meminta Ayah dan Koko untuk mendobraknya. Dua kali terjangan keras kaki Koko, telah mampu membukanya. Pemandangan yang ada di dalam kamar seketika membuatku shock, Vania sudah tergeletak di atas kasur dengan mulut mengeluarkan busa dan darah. Akupun langsung merengkuh tubuh Vania tersebut."Van, bangun Van! Mengapa sampai terjadi semua ini? Cepat bangun Van!" Aku menggoyang goyangkan tubuhnya
Sudah tiga hari sejak kepergian Vania dari rumah, tak lagi kudapat kabar darinya. Nomer handphonenya pun sudah tidak aktif. Aku pun jadi bingung harus cari kemana dia. Rama pun begitu, semua teman Vania sudah dihubungi namun tak ada yang tau dimana keberadaannya. Bahkan kemarin, Rama pun sudah melaporkan ke kantor polisi. Vania bagai hilang ditelan bumi begitu saja.Sejak semalam, entah kenapa perasaan hatiku terasa sedih, dan kangen juga rasanya pada almarhumah Ibu, rasanya aku ingi berziarah ke kampung. Semalam pun aku bermimpi, Vania menangis di sebuah tempat lapang seorang diri, dan terlihat pula Ibu dari jauh yang berdiri diam dengan menunjukkan ekspresi kesediha. Aku sangat yakin dia sekarang sedang kesusahan dan ingin menyelesaikan pergolakan batinnya sendiri. Sepulang kerja hari ini, aku dan Gita akan ke kampung halamanku di Kediri, bersama Ayah. Kebetulan Ayah sedang tidak ada pekerjaan, jadi kita bisa berziarah bersama ke makam Ibu."Sis, boleh nggak aku ikut berziarah ke m
Pov VaniaKetika rumah tanggaku mulai tenang dan aku sudah fokus hanya pada Rama. Rumah tangga Kak Siska mengalami kehancuran. Mas Ridwan telah menikah secara diam diam dan memiliki seorang putra dari perkawinannya itu. Setelah proses yang alot akhirnya mereka bisa bercerai dan Mas Ridwan masuk penjara. Kurasa itu adalah balasan yang setimpal untuk semua perbuatan jahatnya itu.Kini Alhamdulillah Kak Siska bisa bangkit dan memulai kehidupan baru dengan Gita. Semoga saja selamanya mereka bahagia tanp hadirnya lagi laki laki seperti Mas Ridwan itu.Saat syukuran rumah baru Kak Siska, aku pendarahan. Bukan pendarahan sih tepatnya, namun haid yang sangat berat dan sakit di perut yang amat sangat nyeri. Sebenarnya sudah tiga bulan terakhir aku mengalami ini, namun aku diam saja, takut jika akan membuat khawatir semua orang.Setelah kerumah sakit dan bertemu dengan dokter, dia mengharuskanku melakukan pengangkatan rahim total. Karena memang aku mengalami infeksi rahim yang parah dan fibroi
Pov VaniaMalam itu aku tertidur begitu larut, setelah tadi bermain bersama Gita di ruang keluarga, lalu akupun menonton marathon drakor yang kata teman teman kampusku sangat romantis itu. Baru saja beberapa saat tertidur, kurasakan sebuah tangan mengelus kedua paha bagian dalamku, aku pun berjingkat kaget dan segera bangun. Astaghfiruahaladzim ternyata itu Mas Ridwan.Aku pun langsung terduduk, dan berusaha teriak, namun dengan sigap dia membungkam mulutku."Sst jangan teriak!! Atau akan kubunuh kamu!" katanya.Tanganya berusaha masuk kedalam kaos yang kupakai, aku berusaha berontak sambil menangis."Layani aku malam ini, sebagai balas budimu karena hidupmu sudah kubiayai! Ingat jangab teriak atau akan kubunuh Kakak mu itu!!" ancamnya.Demi apapun juga, aku tak akan mau menyerahkan mahkota ku kepadanya. Kemudian aku meronta, dan mencoba menendangnya, dan Alhamdulillah tendangan kerasku kali ini mengenai senjatanya. Sontak dia melepaskanku dan kesakitan. Saat dia kesakitan kudorong t
"Kak, masih disana kan? Kok diam saja? Dia akhir akhir ini sering keluar, dan seperti menjauhiku." katanya."Ehmm, sudah dua minggu ini, aku tak pernah berhubungan dengan dia. Beberapa kali aku coba telepon, tapi tak pernah di angkatnya." kataku."Berarti dia tak bersama Kak Siska gitu?" tanyanya."Iya, Ram." kataku."Astaghfirullahaladzim. Lalu kira kira dia kemana ya Kak?" kata Rama cemas."Coba hubungi temannya, atau datangi ketempat temannya. Aku akan mencoba menghubungi nomernya. Apa kamu sudah coba menghunbunginya?" kataku tak kalah cemas."Dari kemarin nomernya tak bisa dihubungi, Kak. Tapi sekarang akan kucoba lagi, tolong Kak Siska juga." "Oke, pasti aku bantu. Apa kalian habis bertengkar?" tanyaku."Tidak, Kak. Tapi semingguan ini, dia seperti menjauhiku dan lebih banyak diam.""Baiklah kalau begitu, aku akan coba menghubungi Vania sekarang. Jangan lupa kabari aku jika dia sudah pulang, atau jika sudah ada kabar darinyaa. Wassallamuaikum."Tanpa menunggu jawaban dari Rama,
Novi langsung pergi, sepertinya dia marah sekali mendengar apa yang baru dikatakan Koko barusan. Aku pun duduk di teras. Menoleh ternyata Gita belum juga siap. Alhamdulillah kalau dia tak tahu insiden yang baru saja terjadi."Kamu nggak apa apa kan, Sis?" kata Koko yang duduk disampingku."Nggak lah. Aku sudah biasa menghadapi keadaan seperti ini kok. Makasih ya sudah datang. Eh ngomong ngomong kamu tadi kapan sih datangnya?" kataku sambil mencoba tersenyum, meski hatiku sebenarnya terasa sedikit sesak."Kamu sih keasyikan tadi, sampai tak tahu aku memarkir sepeda disebelahmu." katanya sambil tersenyum."Hahaha iya bener kamu. Kok kamu tahu sih kalau aku akan bersepeda pagi ini?" tanyaku lagi."Feeling calon suami, hehehhe." katanya."Bunda, yuk aku sudah siap. Eh, ada Om Koko, jadi rame nih. Yuk berangkat, nanti maem bareng bareng ya." kata Gita yang baru keluar dari rumah."Yuk berangkat sekarang." kata Koko."Maaf ya, Bun. Tadi aku sakir perut jadi BAB dulu deh." kata Gita sambil
[Assalamualaikum, Nak. Maaf ya, hari ini Ayah belum bisa menemui adikmu itu. Ada sedikit keperluan di luar kota, kebetulan teman lama Ayah ada yang mengajak investasi proyek, jadi harus meninjau lokasinya. Nggak apa apa kan?]Isi chat dari Ayah, di hari minggu itu. Tak apalah toh masih banyak hari yang lain. Kebetulan aku juga belum bicara pada Vania tentang hal itu.[Waalaikumsalam. Iya nggak apa apa kok Yah. Bisa lain waktu. Hati hati ya Yah. ]Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat subuh pun, akhirnya membangunkan Gita dan mengajaknya bersepeda. "Asyikk, nanti kita beli soto daging Cak Kandar ya Bun." katanya."Boleh Sayang. Sudah sana sekarang shalat dulu, Bunda tunggu di depan ya." kataku.Aku pun menuju garasi mengeluarkan sepeda kamu berdua, sambil menunggu Gita akupun mengelap sepeda sepeda itu. Tiba tiba sebuah motor matic berhenti di depan gerbang rumahku. Seorang perempuan berambut merah turun, meski keadaan masih sedikit gelap, aku sangat tahu bahwa itu adalah No