Hara bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutan karena ulah Vier yang diluar kendali. Selama sebelas tahun mereka bersama, dia tak pernah melihat Vier seperti itu. Dia pernah melihat Vier merokok saat mereka kuliah, tapi Vier menghentikan kebiasaan buruk itu. Hara bahkan mendukung keputusan Vier tersebut. Sekarang, karena Violet, lelaki itu bahkan mencoba sumber penyakit itu sekali lagi? Tidak, dia tak akan membiarkan itu terjadi.“Kamu mengajakku?” Hara membalas ucapan Vier. “Baiklah, ayo kita lakukan.” “Hara!” Ibu Vier panik ketika Hara sudah mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Vier menyeringai sedangkan Hara tampak ragu-ragu. Dulu dia pernah menggunakan cara itu. Hara yang berpura-pura merokok di depan Vier agar Vier menghentikan kebiasaan merokok tersebut. Dan karena itulahlah dia berusaha untuk tidak merokok di depan Hara. Tapi sekarang, ketika Hara akan melakukan itu, Vier sama sekali tak menahannya. Perasaan Hara kacau karena itu. Maka dengan tekadnya, Hara benar-b
Evan mungkin beranggapan jika usaha yang kuat untuk mendapatkan Violet kembali, akan membuahkan hasil. Nyatanya dia ditolak mentah-mentah. Sekali dia mengkhianati Violet, maka dia hanya akan menjadi ‘musuh’ perempuan itu. Kini wajah Evan tak secerah seperti tadi, ucapan Violet menyentil hatinya dan kegelapan merambat pada ekspresinya. “Tolong lepaskan!” Violet kembali bersuara. “Dan sekali lagi, tolong jangan ganggu saya. Kita dulu memang memiliki hubungan yang sangat special, tapi itu dulu sebelum kamu menghancurkan semuanya. Jadi, jangan lagi mengejar sesuatu yang sudah pernah kamu rusak.” “Kamu masih sombong meskipun kamu sudah menjadi bekas orang lain?” Evan mencibir kesal. “Kita semua tahu bagaimana skandal yang terjadi padamu. Kamu berpikir akan ada laki-laki yang bersedia bersamamu? Berterima kasihlah karena aku masih menawarkan sesuatu yang baik.”“Terima kasih.” Violet bahkan sedikit menundukkan kepalanya dengan sopan saat mengatakan itu. Sayangnya itu terlihat sekali jika
Abang, aku mendengarkan berita kurang baik tentang keadaan Abang. Ada apa? Kenapa Abang melakukan sesuatu hal yang buruk untuk tubuh Abang? Kalau Abang ingin membalas orang-orang yang memperlakukan Abang tidak adil, Abang membutuhkan tubuh Abang tetap sehat dan baik. Ayolah, Abang harus bangkit dan tunjukkan kalau Abang bisa hidup dengan baik. kalau kita tidak bisa bersama di kehidupan sekarang, maka mungkin saja kita akan bersama di kehidupan selanjutnya.’ Vier tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bangkit dari duduknya dan mencari Bibi. Perempuan itu ada di dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. “Di mana Bibi bertemu dengan dia?” tanyanya dengan menggebu.“Di Supermarket, Pak.” Hanya ada satu supermarket tak jauh dari kompleks Vier. Dengan cepat, dia mengambil kunci motornya dan pergi keluar. Tidak peduli dengan teriakan ibunya, lelaki itu justru segera menyalakan motornya dan pergi dari rumah. Dia mengharapkan akan bertemu dengan Violet. Tapi apakah mungkin perempuan itu masih
Vier sekarang sungguh berbeda. Lelaki itu kini seolah memiliki kekuatan besar untuk melawan semua orang dalam satu pukulan. Dia menjadi lelaki dingin yang tidak tersentuh. Tatapannya menunjukkan perlawanan yang cukup kuat. Vier yang dulu selalu tunduk dan patuh, kini sudah tidak ada lagi. Digantikan dengan Vier yang sedikit kejam. Jika mereka melawan Vier tanpa strategi, maka itu hanya akan menghasilkan kekalahan. Hara pasti akan menyesal dan sakit hati jika pernikahan itu batal. Mereka sudah berjalan sejauh ini untuk membuat Vier dan Violet akhirnya berpisah.“Vier.” Itu adalah suara ibu Hara. “Pesta itu adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah pernikahan. Itu adalah sebuah kenangan untuk kalian saat kalian tua nanti. Lagi pula, itu adalah hari bahagia kalian.”“Itu kebahagian kalian, bukan kebahagiaan saya.” Vier segera menyergap ucapan ibu Hara. “Saya tidak sedang bernego sekarang. Itu adalah sebuah keputusan. Saya tidak akan memaksa untuk kalian menerimanya.” “Baiklah.” Hara akhir
“Tolong jangan bertengkar di sini, Pak.” Karena suasana sudah tidak kondusif, akhirnya petugas KUA itu turun tangan. “Acara ijab qabul sudah selesai. Untuk selanjutnya, Bapak dan Ibu bisa menyelesaikan permasalahan kalian di rumah. “Surat-surat yang perlu tanda tangan juga selesai ditandatangani, jadi semua urusan sudah selesai.” Vier tampak puas dengan ucapan petugas KUA. Dengan peringatan yang diberikan oleh petugas, tidak ada dari mereka yang bersuara. Mereka tampak terkejut. Ingin sekali Vier meninggalkan tempat itu, namun dia masih tahu sopan santun. Maka mau tak mau dia tetap berada di kantor menyelesaikan sampai akhir. Empat saksi yang dibawa oleh pihak Vier dan Hara mungkin juga bingung dengan situasi yang kurang mengenakkan tersebut. Sayangnya, Vier sama sekali tak peduli. Hara yang masih terpukul dengan tindakan Vier yang ‘menolaknya’ itu hanya menampakkan wajah kusutnya. Tidak ada senyum sedikitpun di bibirnya. Cincin pernikahan yang akan dipasangkan di jari Vier masih a
Vier tidak diizinkan untuk keluar oleh Hara sampai malam hari. Pintu kamar itu tertutup rapat dengan Hara terus menyimpan kuncinya di tubuhnya. Dia pasti menyangka jika Vier berada di dalam ruangan yang sama dengannya, maka lelaki itu akan sedikit melunakkan pikirannya dan berdamai dengannya. Tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi. Vier justru merasa Hara sudah merencanakan semuanya untuk menjebak dirinya di sana. Hara baru saja keluar dari kamar mandi ketika dia mengenakan lingerie berwarna merah yang menerawang. Bahkan pakaian dalam yang dikenakan juga tercetak jelas di tubuhnya. Tubuh Hara yang sintal tampak cantik dan perempuan itu percaya diri jika tidak ada lelaki yang akan menolaknya. Pun, dengan Vier. Vier yang sedang menikmati rokoknya di balkon kamar tampak terkejut ketika Hara mendekatinya.“Malam ini, akan menjadi malam yang panjang untuk kita, Vier.” Hara memeluk lengan Vier dengan mesra.Dengan sedikit godaan, tangannya mengelus dada Vier dengan lembut. Vier men
Mendengar perintah Hara, dua pembantu itu saling pandang. Mereka tentu merasa aneh dengan kedua majikannya tersebut. Vier dan Hara adalah sepasang pengantin baru, tapi mereka seperti sudah menjalani bahtera rumah tangga berpuluh-puluh tahun dan sedang mengalami guncangan dalam rumah tangga mereka. “Bibi paham yang saya maksud, kan?” Hara meyakinkan kepada pembantunya.“Paham, Bu.” Tentu saja mereka akan melakukan perintah majikannya meskipun itu sesuatu yang tidak masuk akal. Hara mengangguk dan mengatakan terima kasih sebelum bangkit dan berlalu dari sana. Menuju kamarnya, dan dia kembali berbaring di kasurnya. Semua hal buruk ini membuatnya lelah. Hara memiliki butik yang sudah beroperasi dengan baik. Karena itu tak mengharuskan dia untuk berangkat bekerja. Di sisi lain, Vier masih sibuk di jalan untuk menuju restorannya. Meskipun perjalanannya lumayan jauh, tapi dia tidak mempermasalahkan. Dia harus tetap pergi dibandingkan harus di rumah dan bertengkar dengan Hara. Vier meliha
Ada jejak senyum di wajah Hara mendengar pertanyaan Vier. Obat yang sudah dicampurkan ke dalam minuman Vier tampaknya sudah bereaksi. Tentu saja ini akan menjadi sesuatu yang mengesankan. Vier sudah siap berangkat ke restoran dan menggenggam kunci mobilnya di sakunya ketika dia merasakan panas tubuhnya meningkat berkali lipat. Dia menjadi sedikit sensitif. Namun meskipun begitu, dia tak kehilangan kendali pikirannya. “Katakan, apa yang kamu campurkan di minumanku?” Wajah Vier sudah memerah. Matanya sedikit tidak fokus. “Itu adalah sesuatu yang akan membuatmu merasakan menginginkan sentuhan.” Hara mendekat tapi Vier buru-buru mundur. Kakinya lemas tak karuan. “Jangan mendekat,” peringat Vier. Hara mencoba menggapai lengan Vier dan Entah bagaimana, sentuhan kulit mereka terasa sangat mengesankan. Vier tidak pernah merasakan perasaan menggebu seperti ini dengan Hara. Tatapan mata Vier mengarah pada Hara. Sedikit memicing dan bahkan Hara tampak seperti Violet. Saat itu, dia segera ber
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka