“Bos besar mencari sekretaris baru?” Itu adalah gonjang-ganjing di perusahaan Violet siang ini setelah ada bocoran dari HRD jika Rizal akan mengganti Vier sebagai sekretarisnya. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah Vier akan diangkat menjadi ‘bos’ atau bagaimana?Setelah berita itu menyebar di seluruh kantor, semua karyawan berdiskusi tentang masalah itu. Mereka terus menduga dan menduga apa yang sebenarnya terjadi. Tapi banyak dari mereka yang menganggap jika Vier akan mendapatkan jabatan tinggi di kantor tersebut. Mereka tentu tidak akan heran jika hal itu terjadi, karena Vier tentu saja mumpuni. Terlebih lagi, dia adalah menantu dari pemilik perusahaan. Violet tahu hari ini akan terjadi. Tapi entah kenapa hatinya masih terasa nyeri di setiap sisinya. Suaminya sebentar lagi akan pergi. Pergi dari hidupnya selamanya. Violet tidak diselingkuhi oleh lelaki itu, tidak juga diperlakukan buruk, tapi ganjalan terbesar mereka adalah sebuah restu. Restu yang tidak akan didapat oleh
Via sampai di rumah ketika Vier baru saja memarkirkan mobilnya di carport. Mereka tampak berbarengan meskipun Vier lebih dulu sampai.“Dari mana?” tanya Vier. Biasanya kalau Via menginap di rumahnya, gadis itu hanya akan berada di dalam rumah sambil memangku laptop seharian. Tapi tumben sekali dia keluar hari ini.“Aku habis ketemu sama Kakak.” Jawaban Via membuat Vier mengernyit. “Yang aku maksud bukan Kakak Hara, tapi Kakak Violet.” Padahal siang tadi, Violet tidak mengatakan apa pun tentang akan bertemu dengan adik Vier. “Habis itu aku mampir di toko buku dan betah di sana.” Violet mengangkat kantong plastik bertuliskan nama toko buku ternama. “Aku beli beberapa.” Suasana sore di rumah Vier terasa nyaman meskipun sinar matahari masih melumuri halaman rumah. Angin sepoi terasa menyejukkan. Kakak beradik itu bersandar di kap mobil tak langsung masuk ke dalam rumah. Mereka terdiam tanpa ada yang bersuara. “Apa yang kalian bicarakan?” Vier akhirnya membuka suaranya. “Aku nggak tahu k
“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Vier muncul setelah mereka berada di luar rumah. Vier tidak ingin apa pun yang akan dikatakan oleh Hara nanti ada ibunya yang ikut serta ‘mendorong’ agar ucapan itu disetujui olehnya. Keberpihakan itu benar-benar membuat Vier kesal setengah mati. “Aku minta maaf atas kejadian saat itu.” Violet menoleh pada Vier dan menatap lelaki di sampingnya itu dengan tatapan lembut. “Aku pasti sudah membuat kamu malu, kan?” “Itulah kenapa seseorang harus menggunakan otaknya sebelum melakukan sesuatu.” Vier menjawab dengan nada kaku. Tampak jelas raut wajah dinginnya. Jantung Hara tentulah terasa nyeri dengan ucapan Vier terhadapnya. Biasanya dia diperlakukan begitu baik oleh lelaki itu, tapi sekarang semuanya berubah. Ketakutan terasa merambat di hatinya. Dulu dia merasa angkuh karena merasa apa pun yang terjadi, Vier tidak akan meninggalkannya. Oleh karena itu dia dengan semena-mena memperlakukan Vier. “Sekarang mungkin kamu menang, Ra. Kamu berhas
Meskipun Violet sudah mengatakan jika dia akan segera cerai dengan Vier, tapi ketika sekarang Candy mendengar jika gugatan sudah diajukan, Candy tetap saja terkejut. Apakah itu artinya kedatangan Vier barusan untuk memberitahukan masalah itu kepada Violet tapi dia tak sanggup untuk mengatakannya, kemudian memilih untuk mengirimkan pesan. “Kamu dapat chat dari Vier?” Candy mendekati Violet untuk memastikannya. “Ya, dia baru saja menginformasikan kepadaku kalau dia sudah mengajukan gugatan perceraian.” Violet tanpa menoleh menjawab pertanyaan Candy. Kini tatapannya tampak kosong. Ibu Vier dan Hara pasti sangat bahagia mendengar ini. Candy bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghibur Violet. Candy pasti tahu jika Violet merasakan kesakitan luar biasa di dalam hatinya. Hanya saja dia tak mengatakan apa pun. Lebih memendamnya sendiri. Violet berdiri dari duduknya. “Aku akan bersiap-siap, aku traktir kalian makan.” Reaksi macam apa yang diberikan oleh Violet ini? Bagai
Untuk pertama kalinya Vier jatuh cinta. Untuk pertama kalinya dia menyatakan cintanya kepada wanita yang dicintainya. Dan untuk pertama kalinya, dia terluka karena cinta itu sendiri. “Seandainya aku bisa terlahir kembali di kehidupan yang selanjutnya, aku akan tetap memilih kamu menjadi perempuan yang aku cintai.”Kata demi kata yang dikeluarkan oleh Vier membuat ketukan di hati Violet. Vier sepertinya tidak mengharapkan sebuah jawaban karena yang dia butuhkan sekarang adalah dia mengatakan perasaannya kepada sang istri.Ironi sekali memang. Mencintai seorang istri adalah keharusan. Tapi ketika dia menyadari dia jatuh cinta, justru hubungan mereka harus diakhiri.Violet melepaskan pelukan Vier yang melingkupi tubuhnya. Dalam kegelapan ruangan, Violet tidak bisa melihat bagaimana raut wajah suaminya. Tapi itu bukan sebuah hambatan. Dia tetap berbalik dan dia hanya bisa menatap kegelapan di segala penjuru ruangan.“Abang membutuhkan jawaban dariku?” tanyanya setelah itu.“Aku tidak ingi
Hara tersenyum dengan riang setelah mengetahui jika Vier sudah menggugat cerai istrinya. Akhirnya, setelah dia merasakan penderitaan yang membuatnya hampir mati, hari kebahagiaan itu tiba. Habis gelap terbitlah terang, begitu kan kata pepatah. Maka setelah dia merasakan kepiluan karena ditinggalkan, sekarang dia bisa kembali mendapatkan kebahagiaannya kembali.“Sepertinya saya pernah melihat kamu.” Hara bertemu dengan seorang perempuan ketika dia berada di sebuah butik. Untuk merayakan kebahagiaannya, Hara berbelanja banyak barang untuk dirinya sendiri. Atau, dia juga harus membelikan untuk keluarga Vier sebagai tanda terima kasihnya sudah berada di pihaknya dan membantunya mewujudkan mimpinya.“Benarkah? Di mana?” tanya perempuan itu. “Itu mungkin di beberapa iklan?”“Benar, kamu adalah perempuan yang mengambil calon suami Violet.” Mendengar Hara mengatakan itu dengan gamblang, tentu saja Briana tampak kesal. Dia menoleh ke ruangan tersebut dan untungnya tidak ada yang memperhatikan
Violet menatap kaca spion untuk melihat Vier dan keluarganya yang masih berdiri di depan gedung pengadilan agama. Perempuan itu lantas menarik nafasnya panjang setelah mobilnya sudah berbelok dan meluncur cepat di jalanan. Tatapannya kini mengarah pada jalanan yang menikmati kesibukan kota Jakarta. “Aku puas banget lihat Hara yang wajahnya kayak pantat babi. Dia bener-bener tersiksa banget waktu lihat kamu pelukan sama Vier.” Candy yang sedang menyetir membuka suara lebih dulu. Mengingat perempuan yang selalu mencari keributan dengan sahabatnya itu rasa kesalnya menyeruak keluar. Benar yang dikatakan oleh Violet, Hara pasti sekarang sedang bertepuk tangan di belakangnya. Kemenangan ada di tangannya karena Vier dan Violet sudah bercerai. Bagi Hara, tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan melihat kehancuran hubungan kekasihnya dengan suaminya. Violet tidak menanggapi ucapan Candy. Pikirannya sibuk memikirkan hal yang lain. Kali ini dia benar-benar baru merasakan jika tidak ada
Hara bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutan karena ulah Vier yang diluar kendali. Selama sebelas tahun mereka bersama, dia tak pernah melihat Vier seperti itu. Dia pernah melihat Vier merokok saat mereka kuliah, tapi Vier menghentikan kebiasaan buruk itu. Hara bahkan mendukung keputusan Vier tersebut. Sekarang, karena Violet, lelaki itu bahkan mencoba sumber penyakit itu sekali lagi? Tidak, dia tak akan membiarkan itu terjadi.“Kamu mengajakku?” Hara membalas ucapan Vier. “Baiklah, ayo kita lakukan.” “Hara!” Ibu Vier panik ketika Hara sudah mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Vier menyeringai sedangkan Hara tampak ragu-ragu. Dulu dia pernah menggunakan cara itu. Hara yang berpura-pura merokok di depan Vier agar Vier menghentikan kebiasaan merokok tersebut. Dan karena itulahlah dia berusaha untuk tidak merokok di depan Hara. Tapi sekarang, ketika Hara akan melakukan itu, Vier sama sekali tak menahannya. Perasaan Hara kacau karena itu. Maka dengan tekadnya, Hara benar-b
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka