Hai, Guys. Maaf atas keterlambatan update. Beberapa hari ini saya sedang merevisi novel baru supaya bisa segera keluar di aplikasi. Yuk, baca juga novel kedua saya. Langsung cek di akun saya ya. Judulnya : Dicampakkan Setelah Malam Pertama.
“Kamu yakin?” Vier kembali meyakinkan lagi ucapan istrinya karena dia merasa tujuan mereka terlalu jauh. Lelaki itu hanya tidak ingin membuat istrinya tidak nyaman dan tiba-tiba saja mengajaknya pulang ketika liburan mereka belum berakhir. Mereka membutuhkan waktu 28 jam lebih, hanya untuk berangkat. “Aku yakin.” Violet mengangguk dengan keyakinan tinggi. “Kita bisa di sana selama dua minggu.”“Yakin nggak akan ngajak pulang karena tangisan Semesta?” Pertanyaan itu membuat Violet sedikit ragu. Vier menunggu jawaban istrinya dengan sabar. Violet menarik nafasnya panjang sebelum memberikan jawaban.“Aku yakin. Aku nggak akan mengajak kamu pulang karena itu.” “Oke, kalau begitu. Pulang nanti kita bicarakan masalah ini dengan orang tua kita. Setelah itu, aku yang akan mengurus semuanya. Kamu tinggal bilang tujuan tempat wisatanya.” Violet mengangguk sedikit kurang yakin saat dia menatap ketiga anaknya. Selama ini dia tak pernah jauh dari mereka sejak mereka masih kecil. Meskipun itu
“Ayah, Bunda, jangan lupa Barbie yang besar.” Suara Semesta masih terdengar di telinga Violet bahkan saat dia baru saja bangun tidur. Dia dan sang suami sudah sampai di Swiss setelah melakukan perjalanan yang begitu panjang. Malam sekitar pukul satu malam dia sampai di kota tujuan. Masih melakukan perjalan lagi untuk sampai di sebuah pedesaan bernama Zermatt. Matahati belum keluar dari peraduannya dan Violet kembali mengeratkan selimutnya kemudian kembali menutup matanya. Rasa lelahnya membuat Violet mudah sekali tertidur. Bakan Vier saja tampak seperti orang mati tergeletak di samping Violet. Keesokan harinya, mereka mulai merencanakan jalan-jalan mereka. Namun alih-alih melakukan banyak hal, Violet dan Vier hanya berjalan di sekitar penginapan melihat keindahan di sekitar mereka. “Bang, kita harus mengajak anak-anak kalau mereka sudah lebih besar.” Vier dan Violet kini duduk disebuah kursi menghadap sungai kecil dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Ada sisa-sisa butiran
“Di mana Melody?” Samudra bertanya pada sekretarisnya dan mencari seorang gadis yang selalu bersamanya. Tapi kali ini gadis itu tak ada di tempatnya saat dia baru saja datang ke kantor. “Melody izin tidak masuk bekerja, Pak. Dia sedang sakit. Dia bilang semalam muntah-muntah dan dia benar-benar tidak bisa bekerja hari ini.” Samudra yang baru saja mendaratkan pantatnya di kursi kebesarannya itu harus kembali mendongak dan menatap lelaki yang ada di depannya. Tatapannya selalu seperti pisau tajam yang mampu menyayat tubuh manusia. “Kamu sudah memastikan dia baik-baik saja? Apa dia tidak perlu ke rumah sakit?” “Dia mengatakan tidak perlu, Pak. Melody hanya perlu istirahat.” Meskipun sedikit berat hati, tapi dia akhirnya mengangguk dan mulai membuka setiap berkas untuk dipelajari. Baru saja dia membuka sebuah map berwarna kuning dan membacanya sebentar, dia mengingat untuk menghubungi asisten pribadinya yang sedang izin kerja. Mengirimkan chat untuk menanyakan kabarnya, tapi di
“Kenapa saya harus menuruti ucapanmu?” Samudra menaikkan alisnya seolah ucapan Melody adalah sesuatu yang mengganggunya. “Karena ini rumah saya dan saya berhak menerima atau menolak seseorang untuk masuk. Dan untuk saat ini, saya menolak keberadaan Bapak di sini.”“Saya tidak mau.” Samudra menolak terang-terangan. “Saya datang ke sini bukan untuk merecoki kamu melainkan untuk membantumu.” “Saya tidak butuh bantuan, Bapak!” Melody sedikit berteriak di depan Samudra saking kesalnya. Seharusnya Samudra tak bisa melakukan ini kepadanya. Saat di kantor, Melody sudah tunduk dan patuh kepada lelaki itu tak peduli apa. Sekarang, saat dia ada di rumahnya, di wilayahnya, Samudra tak memiliki hak memaksanya juga. Samudra tampak menarik nafasnya panjang. Mengangkat tangan kanannya dan dia memegangi sekantong makanan. “Saya membawakan ini untukmu. Makan malam. Saya tahu kamu belum makan, jadi ayo kita makan dan jangan membantah lagi.” Samudra adalah lelaki yang suka seenaknya sendiri dan set
“Maaf, Pak?” Melody tidak ingin salah paham dengan ucapan bosnya itu kepadanya. “Bapak mengatakan kalau ….”“Baguslah kalau kamu sudah sehat. Artinya, kita bisa bekerja sekarang. Siapkan apa pun yang perlu saya kerjakan.” Samudra memotong ucapan Melody yang belum selesai dan dia segera mengatakan apa yang perlu dia katakan. Ketika Melody mengangguk dan pergi dari ruangannya, Samudra mengeluarkan nafasnya kasar.“Sial, kenapa aku harus mengatakan kalimat keramat itu? Peduli dengannya? Sejak kapan aku peduli dengan perempuan lain selain Bunda dan Semesta? Lelucon macam apa ini?” Untung saja dia bisa segera memutus ucapan Melody sehingga dia tidak terjebak dengan situasi yang canggung. Itu hanya akan membuatnya mengalami kesulitan. Berusaha mengeluarkan semua hal buruk di dalam kepalanya, Samudra segera melanjutkan pekerjaannya. Melupakan apa pun yang tidak berguna dan melemparkannya jauh-jauh.Di tempatnya, Melody sedikit linglung setelah mendengar ucapan Samudra kepadanya. Dia menden
“Kalau kamu bodoh, seharusnya kamu sekolah. Kenapa lagi-lagi kamu mengatakan kalimat ambigu seperti itu? Aku benar-benar bisa gila kalau begini.” Samudra benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ada hal aneh yang dirasakan ketika bersama dengan Melody. Dia tak suka melihat Melody yang murung karena seseorang. Selama gadis itu bekerja dengan Samudra, Melody hanya karyawan biasa yang cekatan dan Samudra suka dengan pekerjaannya. Meskipun terkadang Samudra ‘memarahinya’ tapi itu tak memengaruhi Melody. Dan Samudra menyukai perempuan yang kuat seperti itu.“Menyukai?” guman Samudra lagi. “Tidak, itu hanya sebuah simpati.” “Pak!” Tiba-tiba saja Melody mengejutkan Samudra. “Ini sudah sore, apa kita nggak kembali ke kantor saja?” Samudra melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan itu pukul tiga. Lalu dia mengangguk kemudian berbalik begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Diikuti Melody yang mendengus kesal karena suasana hati Samudra yang terus berubah-ubah. Namun dia tak
“Papa … yakin?” Meskipun inilah yang diinginkan oleh Melody, tapi gadis itu tentu masih tidak bisa menduga keputusan ayahnya akan secepat itu. Tapi, setelahnya dia segera tersenyum kecil dan mengangguk. “Terima kasih, Pa.” “Katakan, bagaimana kamu bisa membuktikan dia pernah melakukan kekerasan ke kamu. Itu akan kita tunjukkan pada orang tua Tama. Papa yang akan menolak mereka.” “Kenapa kamu hanya diam saja tanpa mengatakan itu kepada Mama atau Papa, Mel?” Kini ibunya menggenggam tangan Melody dengan lembut dan penuh penyesalan. Bagaimana bisa orang yang dipercaya bisa menjaga putrinya justru orang yang melukai putrinya. Ibu Melody tidak mengeluarkan air matanya, tapi penyesalannya menumpuk pada raut wajahnya. Perempuan itu tercekat di tenggorokannya berkali-kali tapi Melody segera menenangkan ibunya. “Ma, aku kira dia hanya akan melakukan itu sekali. Saat itu setelah melakukannya dia meminta maaf dan aku mencoba untuk memaafkannya. Tapi ternyata dia mengulanginya lagi. Jadi aku
“Ada noda di bajumu. Kamu tidak hati-hati saat makan.” Melody melirik pakaiannya dan dia menemukan noda kuning di bajunya dan mendesis kesal. “Gimana sih,” katanya dengan cemberut.“Ya kamu bersihkan.” Samudra menjawab dengan kening mengernyit aneh. “Kamu nggak sedang menyalahkan saya karena itu, kan?” Salah paham ini orang. Begitulah pikir Melody. Gadis itu lantas menggeleng dengan cepat. “Tentu saja tidak, Pak. Saya hanya kesal dengan kecerobohan saya.” Melody merasa tidak enak hati dengan Samudra karena dia mengeluh di depan bosnya karena kesalahannya sendiri. Dengan senyum terpaksa, Melody pamit pergi dari ruangan Samudra dan segera pergi ke toilet untuk membersihkan noda di pakaiannya sambil mengomeli dirinya sendiri.Gadis itu mendesah lelah karena merasa kesal dengan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari Tama yang membuat masalah dengannya dengan mendatangkan orang tuanya ke rumah, sampai pagi ini terjebak dengan bosnya. Entah sebuah kesialan apa yang akan didap
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka