Brilliant School KindergartenSemesta menatap kedua kakaknya yang tengah bermain berdua di atas rumput taman sekolah. Bibir bocah kecil itu cemberut terlihat sekali kalau suasana hatinya sedang tidak baik. Ini sudah waktunya pulang dan beberapa temannya sudah kembali dengan jemputan. Melihat Samudra dan Sagara yang asyik dengan permainan mereka tanpa memedulikannya membuat kekesalannya semakin bertambah. “Mereka itu sangat bodoh sekali. Kenapa tidak memperhatikan adiknya dan memilih bermain hanya berdua saja,” gumamnya dengan raut wajah kesal luar biasa. “Aku juga bagian dari mereka, tapi kenapa mereka selalu mengabaikanku!” Semesta mendengus kesal dan kedua tangan kecilnya bersedekap di depan dada. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak-gerak karena tiupan angin. Matanya terus menatap ke arah kedua kakaknya. “Aku mau pulang!” Semesta berdiri lalu menghentakkan kakinya dengan kasar sehingga membuat Samudra dan Sagara menoleh ke arahnya. Matanya berkaca-kaca saat melihat kedua saudar
Semesta menepuk-nepuk bokongnya yang dipenuhi pasir. Seharian ini, dia bersama dengan kedua kakaknya sedang bermain-main di pantai. Weekend yang menyenangkan bagi si kembar karena sudah berbulan-bulan lamanya, orang tuanya kembali mengajaknya liburan. “Abang dua, aku akan mencari kepiting di sana untuk menghuni Istana Krabby. Wah, Abang dua hebat sudah membuat Istana pasir yang besar!” Mata bobanya membulat karena kekaguman yang begitu hebat. Dia begitu bahagia melihat kedua kakaknya yang berhasil dengan pembangunan mereka. “Abang dua, aku akan pergi sekarang mencari Tuan Crab.” “Ya, carilah yang banyak!” Samudra yang menjawab. Sedangkan Sagara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Sejurus kemudian, Semesta segera pergi meninggalkan kedua kakaknya. Tapi suara Sagara akhirnya keluar. “Semesta, jangan jauh-jauh. Berteriaklah kalau ada sesuatu yang mengganggumu!” “Siap, Abang Saga!” Semesta mengangguk-angguk kepalanya dengan kuat sebelum berbalik untuk mencari k
“Kamu yakin?” Vier kembali meyakinkan lagi ucapan istrinya karena dia merasa tujuan mereka terlalu jauh. Lelaki itu hanya tidak ingin membuat istrinya tidak nyaman dan tiba-tiba saja mengajaknya pulang ketika liburan mereka belum berakhir. Mereka membutuhkan waktu 28 jam lebih, hanya untuk berangkat. “Aku yakin.” Violet mengangguk dengan keyakinan tinggi. “Kita bisa di sana selama dua minggu.”“Yakin nggak akan ngajak pulang karena tangisan Semesta?” Pertanyaan itu membuat Violet sedikit ragu. Vier menunggu jawaban istrinya dengan sabar. Violet menarik nafasnya panjang sebelum memberikan jawaban.“Aku yakin. Aku nggak akan mengajak kamu pulang karena itu.” “Oke, kalau begitu. Pulang nanti kita bicarakan masalah ini dengan orang tua kita. Setelah itu, aku yang akan mengurus semuanya. Kamu tinggal bilang tujuan tempat wisatanya.” Violet mengangguk sedikit kurang yakin saat dia menatap ketiga anaknya. Selama ini dia tak pernah jauh dari mereka sejak mereka masih kecil. Meskipun itu
“Ayah, Bunda, jangan lupa Barbie yang besar.” Suara Semesta masih terdengar di telinga Violet bahkan saat dia baru saja bangun tidur. Dia dan sang suami sudah sampai di Swiss setelah melakukan perjalanan yang begitu panjang. Malam sekitar pukul satu malam dia sampai di kota tujuan. Masih melakukan perjalan lagi untuk sampai di sebuah pedesaan bernama Zermatt. Matahati belum keluar dari peraduannya dan Violet kembali mengeratkan selimutnya kemudian kembali menutup matanya. Rasa lelahnya membuat Violet mudah sekali tertidur. Bakan Vier saja tampak seperti orang mati tergeletak di samping Violet. Keesokan harinya, mereka mulai merencanakan jalan-jalan mereka. Namun alih-alih melakukan banyak hal, Violet dan Vier hanya berjalan di sekitar penginapan melihat keindahan di sekitar mereka. “Bang, kita harus mengajak anak-anak kalau mereka sudah lebih besar.” Vier dan Violet kini duduk disebuah kursi menghadap sungai kecil dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Ada sisa-sisa butiran
“Di mana Melody?” Samudra bertanya pada sekretarisnya dan mencari seorang gadis yang selalu bersamanya. Tapi kali ini gadis itu tak ada di tempatnya saat dia baru saja datang ke kantor. “Melody izin tidak masuk bekerja, Pak. Dia sedang sakit. Dia bilang semalam muntah-muntah dan dia benar-benar tidak bisa bekerja hari ini.” Samudra yang baru saja mendaratkan pantatnya di kursi kebesarannya itu harus kembali mendongak dan menatap lelaki yang ada di depannya. Tatapannya selalu seperti pisau tajam yang mampu menyayat tubuh manusia. “Kamu sudah memastikan dia baik-baik saja? Apa dia tidak perlu ke rumah sakit?” “Dia mengatakan tidak perlu, Pak. Melody hanya perlu istirahat.” Meskipun sedikit berat hati, tapi dia akhirnya mengangguk dan mulai membuka setiap berkas untuk dipelajari. Baru saja dia membuka sebuah map berwarna kuning dan membacanya sebentar, dia mengingat untuk menghubungi asisten pribadinya yang sedang izin kerja. Mengirimkan chat untuk menanyakan kabarnya, tapi di
“Kenapa saya harus menuruti ucapanmu?” Samudra menaikkan alisnya seolah ucapan Melody adalah sesuatu yang mengganggunya. “Karena ini rumah saya dan saya berhak menerima atau menolak seseorang untuk masuk. Dan untuk saat ini, saya menolak keberadaan Bapak di sini.”“Saya tidak mau.” Samudra menolak terang-terangan. “Saya datang ke sini bukan untuk merecoki kamu melainkan untuk membantumu.” “Saya tidak butuh bantuan, Bapak!” Melody sedikit berteriak di depan Samudra saking kesalnya. Seharusnya Samudra tak bisa melakukan ini kepadanya. Saat di kantor, Melody sudah tunduk dan patuh kepada lelaki itu tak peduli apa. Sekarang, saat dia ada di rumahnya, di wilayahnya, Samudra tak memiliki hak memaksanya juga. Samudra tampak menarik nafasnya panjang. Mengangkat tangan kanannya dan dia memegangi sekantong makanan. “Saya membawakan ini untukmu. Makan malam. Saya tahu kamu belum makan, jadi ayo kita makan dan jangan membantah lagi.” Samudra adalah lelaki yang suka seenaknya sendiri dan set
“Maaf, Pak?” Melody tidak ingin salah paham dengan ucapan bosnya itu kepadanya. “Bapak mengatakan kalau ….”“Baguslah kalau kamu sudah sehat. Artinya, kita bisa bekerja sekarang. Siapkan apa pun yang perlu saya kerjakan.” Samudra memotong ucapan Melody yang belum selesai dan dia segera mengatakan apa yang perlu dia katakan. Ketika Melody mengangguk dan pergi dari ruangannya, Samudra mengeluarkan nafasnya kasar.“Sial, kenapa aku harus mengatakan kalimat keramat itu? Peduli dengannya? Sejak kapan aku peduli dengan perempuan lain selain Bunda dan Semesta? Lelucon macam apa ini?” Untung saja dia bisa segera memutus ucapan Melody sehingga dia tidak terjebak dengan situasi yang canggung. Itu hanya akan membuatnya mengalami kesulitan. Berusaha mengeluarkan semua hal buruk di dalam kepalanya, Samudra segera melanjutkan pekerjaannya. Melupakan apa pun yang tidak berguna dan melemparkannya jauh-jauh.Di tempatnya, Melody sedikit linglung setelah mendengar ucapan Samudra kepadanya. Dia menden
“Kalau kamu bodoh, seharusnya kamu sekolah. Kenapa lagi-lagi kamu mengatakan kalimat ambigu seperti itu? Aku benar-benar bisa gila kalau begini.” Samudra benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ada hal aneh yang dirasakan ketika bersama dengan Melody. Dia tak suka melihat Melody yang murung karena seseorang. Selama gadis itu bekerja dengan Samudra, Melody hanya karyawan biasa yang cekatan dan Samudra suka dengan pekerjaannya. Meskipun terkadang Samudra ‘memarahinya’ tapi itu tak memengaruhi Melody. Dan Samudra menyukai perempuan yang kuat seperti itu.“Menyukai?” guman Samudra lagi. “Tidak, itu hanya sebuah simpati.” “Pak!” Tiba-tiba saja Melody mengejutkan Samudra. “Ini sudah sore, apa kita nggak kembali ke kantor saja?” Samudra melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan itu pukul tiga. Lalu dia mengangguk kemudian berbalik begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Diikuti Melody yang mendengus kesal karena suasana hati Samudra yang terus berubah-ubah. Namun dia tak