"Apa kau yakin? Bagaimana dengan ini?" Kukeluarkan ponselku lalu menunjukkan gambar- gambar yang aku temukan dari tablet-nya. Wanita itu melotot marah dan ingin merebut ponselku."Lancang, dari mana kau dapatkan itu semua?" serangnya menatap ganas tatkala berusaha meraih ponsel yang kusembunyikan di balik punggung. Aku berusaha menahan emosi agar tak tersulut. Jujur, aku lelah terus berseteru dengan wanita ini.Renita mendengkus kesal setelah menyerah sebab tak berhasil mengambil benda yang ia inginkan."Pertanyaanmu itu tidak dibutuhkan sekarang. Yang kami butuhkan adalah jawabanmu, apakah kau yakin bahwa yang di perutmu itu anak Ammar?" tandasku tenang, lalu kutunjuk perut buncit itu dengan tatapan selidik."Tentu, ini anaknya!" tampiknya dengan intonasi yang mulai tinggi."Lalu, bagaimana dengan gambar- gambar di ponselku?" lanjutku menunjukkan kembali ponsel yang sempat kusembunyikan di balik punggungku. Meski layarnya tak lagi menyala, tapi kuyakin semua orang di sini masih ingat
"Jadi, Kamu menerima lamaran ini 'kan, Marwah?" ucap Bu Laras penuh harap, sepintas kulihat Renita mulai meremas ujung bajunya dengan kedua tangannya. Mungkin wanita itu sudah bersiap dan mengambil kuda-kuda untuk beraksi lagi."Maaf, Tante. Aku menolak lamaran Ammar," jawab Marwah lugas dan cepat.Saat itu, waktu seolah melambat dan bumi tak lagi berputar. Kutatap semua orang- orang yang berada di tempat ini. Semuanya menunjukkan ekspresi terkejut. Kecuali Renita, ia tersenyum puas. Ia lantas mengurai kedua tangannya. Kusutnya baju yang tadi diremas menandakan betapa hebat emosi yang telah ia tahan. Dan entah seperti apa jadinya jika Marwah malah menerima lamaran ini.Berbeda dengan Pak Husada yang kaget tapi tetap legowo, Ammar dan Ibunya jelas melotot tak percaya. Bu Laras bahkan mendekati Marwah hendak bersimpuh padanya. Namun Marwah bangkit dan langsung mencegah perbuatannya."Kenapa Marwah? Bukankah kalian saling mencintai? Apa kamu berubah karena wanita ini? Seharusnya kamu ja
Aku melanjutkan langkah dan menghentikan asumsi yang sempat melintas di kepala. Berjalan menuju ruangan di ujung koridor yang tadi dikatakan Masli melalui telepon. Aku datang untuk menjenguknya. Sahabatku itu terjatuh dari tangga hingga mengalami keguguran.***Di ujung sana, kulihat seorang laki-laki bekemeja putih sedang berdiri di depan pintu sebuah ruangan. Ia bersandar di dinding sambil menyilangkan salah satu kakinya. Tangan kanan pria itu membekap erat mulutnya, sambil menengadahkan wajahnya ke atas. Saat menyadari langkah kakiku yang semakin mendekat, lelaki itu langsung mengubah posisinya dan tersenyum ke arahku."Zahira, sama siapa?" Ia bertanya sembari celingukan mencari orang lain yang mungkin ikut denganku."Aku sendiri aja, Mas Adnan gak ikut. Biasalah, kalau weekend gini dia lebih suka santai di rumah sambil main sama Tabitha," jawabku setelah membalas senyumannya.Lelaki itu mengangguk lalu mengajakku untuk masuk ke ruangan di belakangnya. Ia adalah Riswan, suami Masl
Kepalaku sudah cukup pusing memikirkan perubahan sikapnya yang begitu asing pagi tadi. Aku tak ingin melihatnya bertambah asing padaku jika mengetahui aku tak mengindahkan ucapannya."Hati-hati, ya, Ra. Kalau ke sini jangan lupa bawa Tabitha, aku kangen banget sama dia. Kepingin nyubit pipi gembulnya," ucap Masli saat aku sudah berdiri di ambang pintu. Aku menoleh dan mengangguk untuk memberi respon atas permintaannya.Aku bimbang, pikiranku kembali melayang pada Ibu yang mungkin sedang bersedih hati melihat suaminya kembali terbaring di ranjang rumah sakit. Terkadang aku menyayangkan keputusannya dulu, menikahi lelaki tua yang rupanya penyakitan. Ditambah lagi anak perempuannya yang rupanya adalah Renita si pembawa masalah.Seharusnya, Ibu tinggal menikmati masa tuanya saja. Bukan lagi mengurus orang yang disebut sebagai cinta masa lalu dengan segala masalah kesehatan dan anak perempuannya. Ya, Renita pun masih belum kembali hingga sore ini. Entahlah ia sudah tahu atau belum jika aya
"Belum tidur juga?" ujar Mas Adnan saat ia kembali memeriksa wajahku yang sengaja kusembunyikan di balik selimut.Sudah satu jam sejak aku meletakkan bobot di tempat tidur namun mata ini terus menolak untuk terpejam. Seakan ada kekuatan magnet yang terus menarikku dari alam mimpi. Sehingga pikiran ini ingin terus berkelana sampai sejauh mungkin."Gak bisa, Mas!" Aku menghela napas berat, lalu memposisikan diri untuk tegak sembari bersandar di kepala ranjang."Apa lagi yang kamu pikirkan?" keluh suamiku dengan wajah yang mulai bosan. Ia pasti menganggap kalau aku wanita yang keras kepala karena masih tak yakin dengan ucapannya tadi sore."Aku kepikiran Renita, Mas!" Mas Adnan mendengkus kesal setelah telinganya mendengar nama wanita itu. Ia berdecak sembari mengacak-acak rambutnya yang tak gatal."Dia lagi dia lagi. Zahira ... kapan sih kamu berhenti memikirkan tentang orang-orang yang hanya membuat susah hidupmu?" keluh Mas Adnan jengah, ia merapatkan kedua telapak tangannya ke wajahk
"Bu, jangan, Bu!" Aku berusaha melerai perbuatan Ibu kepada anak sambungnya itu. Namun ia sama sekali tak menggubris ucapanku.Ibu terus mengguncang bahu Renita lalu keduanya sama-sama menangis. Tak nampak kemarahan untukku akan tetapi kebencian jelas tertuju pada Renita."Pergi kau anak durhaka!" bentak Ibu dalam tangis pilu dan uraian air mata."Maafkan aku, Bu. Aku ingin melihat Ayah, aku ke sini untuk menjenguknya!" Renita mengiba. Ia pun tak mengerti kenapa Ibu malah menyambut kehadirannya dengan emosi yang meluap-luap."Untuk apalagi kau ke sini. Percuma Renita, percuma." Ibu terus meracau marah tanpa kami tahu apa alasannya.Suamiku mencoba menenangkan Ibu, ia menarik Ibu dalam dekapan lalu merengkuh tubuhnya kuat seraya mengelus-elus bahunya. "Ibu kenapa? Jangan seperti ini, Bu?" Mas Adnan menasihati, sebab beberapa pasang mata telah menatap Ibu dengan pandangan menghakimi. Tentu mereka murka melihat wanita hamil diperlakukan sedemikian rupa.Ibu tampak nyaman dalam dekapan s
Renita baru saja tiba saat aku baru selesai mengantarkan roti untuk ibu. Ibu sedang istirahat di kamarnya dan memintaku untuk membangunkannya jika waktu Maghrib tiba. Wanita tua itu sepertinya sangat kelelahan.Renita menatap sekilas pada kami dan berlalu menuju kamarnya, tak lama ia kembali setelah mandi dan mengganti pakaiannya.Aku sedang bersandar di sofa sambil menyusui Tabitha ketikawl wanita itu mencoba memasang wajah ramah pada deretan orang yang berada di ruang keluarga. Akan tetapi, semua tetap dengan aktivitas masing-masing tanpa menghiraukan kehadiran wanita itu.Marwah, Lula dan Nazwa sedang sibuk dengan ponsel masing-masing. Dipo sedang berbaring asal di sofa dengan wajah yang ditutupi bantal. Beberapa kerabat Ibu yang masih tinggal di sini pun tampak asyik dengan obrolan mereka."Renita, kamu sudah makan?" tanya Mamak ketika matanya memindai pada wanita yang bersandar lesu di pojok ruangan. Wanita berambut pirang itu tampak kuyu dan rapuh. Butir-butir kristal kembali me
Semua mata menatapku tak sabar. Dan begitu pun hati mereka. Raut penasaran terpancar jelas dari wajah-wajah yang hampir serupa. Sepertinya, keputusan terakhir memang berada di tanganku. "Katakan Zahira, semua menunggu jawabanmu," urai Ibu tak sabar.Aku menarik napas dalam, membisikkan energi positif ke dalam diri dan menggunakan sedikit waktu untuk menimbang keputusan. "Apa kalian selama ini sudah menjalin hubungan?" tanyaku lagi. Dipo sedikit memundurkan posisinya ke belakang. Kini ia bersandar pada tiang gazebo di belakangnya."Maaf, Mbak. Mungkin aku sudah terlalu lancang, tapi aku sudah mengatakan ini sebelumnya pada Marwah dan dia belum memberi jawaban. Marwah ingin aku mengutarakan niatku terlebih dahulu pada Mbak Zahira, setelah itu dia akan memberi keputusan."Mataku memindai pada Dipo yang mengenakan kaos oblong berwarna hitam, setelah kuingat, Dipo memang terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari segi penampilan mau pun sikap, ia telah ber-metamorfosis menjadi sosok
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid