“Aku tidak yakin kalau keluargamu benar-benar akan menerimaku, Marwah!” cicitnya terlihat putus asa.Marwah menatap ke arahku, menunggu jawaban yang keluar dari mulutku. Mamak memang terlanjur tidak suka dengan Ammar, apalagi ia memang sama sekali tidak mengetahui tentang yang sesungguhnya terjadi pada Marwah.“Maaf, ibu kami masih terbawa emosi, maklum dia sudah tua,” selaku sedikit tertawa. Meyakinkannya bahwa itu bukanlah hal yang pelik. Aku akan berusaha membujuk mamak nanti agar memberikan restunya pada mereka.“Nanti saya yang akan bicarakan padanya, yang penting kalian harus menikah secepatnya!” pintaku. Biarlah mamak akan menjadi urusanku, yang terpenting kini, kekasih Marwah sudah bersedia untuk bertanggung jawab. Itu sudah cukup melegakan hatiku.“Baiklah, Mbak. Secepatnya akan saya urus segala keperluan untuk pernikahan kami,” jelasnya penuh keyakinan. Perlahan, sesak yang selama ini bersarang di hati mulai melebur. Ribuan kerikil yang seolah menimpa pundak ini berangsur m
Assalamualaikum, terima kasih masih setia membaca cerita ini. Semoga kalian selalu terhibur 🙏Story Adik Iparku di Akad Nikah SuamikuMereka masuk menuju kamar masing-masing, dan walaupun anggota keluarga baru. Tentu Renita tak perlu dituntun lagi, ia sudah hapal betul seluk beluk rumah ini.Ibu keterlaluan sekali, ia malah membawa Renita ke tempat ini. Entah keributan apa yang mungkin akan terjadi nanti, karena kehadiran Renita memang bagai racun untuk kami."Sejak kapan kalian mulai merenovasi?" tanya Ibu saat kubantu membawa tasnya menuju gudang belakang."Baru hari ini, Bu," jawabku sambil mengamati para pekerja yang begitu cekatan. Ada sekitar sepuluh orang kuli yang bekerja di sini."Ayah dan Ibu silahkan istirahat, jika lapar sudah ada makanan di dapur. Aku mau mengurus Tabitha dulu, semoga betah, ya, Yah!" pamitku pada Ibu dan suami barunya. Aku langsung masuk kembali ke rumah, ekor mataku waspada ketika melewati kamar tamu, sekaligus mengamati gerak-gerik perempuan itu.Tak
Hatiku berubah nyeri, mempertanyakan hal apa yang hendak dibicarakan Ibu padaku. Tapi melihat binar matanya yang meneduhkan, sepertinya sebuah kabar baik untukku.Setelah sampai di gazebo yang sepi dan sejuk karena rindangnya pepohonan.Aku pun meletakkan bobot di sandaran, menunggu Ibu mengungkapkan apa yang hendak dibicarakan. Semoga saja kabar baik untukku."Zahira, ini berkas pengalihan aset seperti yang telah Ibu janjikan padamu," ucapnya mengambil sebuah map yang ternyata sudah di letakkannya di tengah gazebo ini. Mungkin sengaja diletakkan Ibu di sini sebelum tadi berencana untuk bicara padaku, dan malah berdebat dengan Mas Adnan.Ia membukakan lembar demi lembar kertas yang sudah dibubuhi tanda tangannya, menunjukkan padaku satu persatu isi surat tersebut. Walau aku percaya pada Ibu, tapi aku tetap mengamati secara seksama untuk melihat keasliannya. "Ibu percayakan semua ini padamu, menantu yang paling Ibu percayakan. Ibu harap kamu gunakan ini semua dengan sebaik-baiknya, ba
"Lalu apa? Kenapa menangis?" Aku mengangkat tubuhnya yang lunglai agar sejajar denganku, mencengkeram kedua bahunya dan menatap mata yang dipenuhi linangan kesedihan.Cukup lama, hingga akhirnya Marwah diam. Tapi ia masih tidak mau bicara. Ia malah meninggalkanku lalu beranjak ke kamar bersamaan datangnya Renita dengan penampilan dan rambut yang begitu berantakan. Kulihat mereka hanya saling tatap, lalu berjalan menuju kamar masing-masing. Renita ke kamar tamu, dan Marwah masuk ke kamar Tabitha.Aku pun bergegas untuk menyusul Marwah ke atas. Mungkin ia tidak mau bicara karena ada Mas Adnan. Tapi di mana Ammar? Entahlah, mobilnya juga tidak ada di depan.BrakAku urung menaiki anak tangga, mendengar kerasnya suara pintu kamar yang ditutup oleh Renita, tepatnya dibanting. Kalau saja tak terbuat dari kayu yang kokoh, mungkin daun pintu yang tidak bersalah itu akan terbelah dua. Kurasa ia mulai tak waras. Menumpang tapi tidak tahu diri."Ada apa, Sayang?" Mas Adnan yang tadinya di dapu
Aku lepaskan rambut itu dengan sekali hentakan. Hingga beberapa helainya jatuh ke lantai. Wanita itu ingin melawan, tapi terdengar teriakan seorang lelaki yang memanggil namanya."Non Renita, ayo, Non. Nyonya Friska sudah memanggil," ajak Pak Asad yang rupanya datang atas perintah Ibu. Tanpa melawan lagi, ia pun segera pergi ke luar. Menyusul Ibu di mobil untuk segera pergi ke rumah sakit.Aku tersenyum sinis, memandang kepergian wanita yang kesakitan karena rambutnya kutarik. Sebenarnya, aku ingin sekali melakukan yang lebih menyakitkan dari itu. Tapi, aku tidak ingin terlihat seperti monster di hadapan Tabitha, anakku. Masih ada waktu yang tersisa untuk melampiaskan sesak di dada ini.Sekarang, rumah terasa sepi. Karena hanya kami bertiga yang tersisa di rumah ini. Aku, Tabitha, dan Marwah yang masih betah di kamar. Sepertinya ia tidak tahu menahu tentang yang terjadi barusan.Dengan langkah gontai, aku naik ke lantai atas kamar ini dan mencoba mengetuk pintu kamar yang terletak di
"Iya, Kak. Gak papa, aku juga mau lanjut tidur. Masih ngantuk soalnya." Marwah menguap kembali, dari nada bicaranya ia sudah kembali tegar seperti sebelumnya. Ia juga berusaha tersenyum simpul walau terlihat begitu dipaksakan. Melihat keadaannya sesaat, cukup membuat rasa cemas yang sedari tadi mendominasi pikiranku jadi menghilang."Percayalah, semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai rencana kita," bujukku meletakkan sebelah tanganku di atas tangannya yang terulur di atas ranjangku. Mengalirkan sedikit ketegaran yang aku punya kepada wanita bermata sayu itu.Ia menjawab dengan guratan senyum seperti tadi, simpul dan dipaksakan."Makanlah dulu, Dek. Jangan biarkan perutmu terus-terusan kosong. Atau ... kamu mau kakak belikan nasi goreng, mie rebus atau pizza?" Aku tawarkan beberapa makanan favoritnya, barangkali selera makannya yang hilang akibat patah hati kembali bertandang."Emmm, nasi goreng aja, Kak. Sekalian jus martabenya, ya.""Oke." Kebetulan lidahku juga ingin sekali d
Wanita itu berdecak, lalu kembali untuk duduk di kursi roda yang dipegang Mas Adnan sambil menggembungkan pipi karena kesal.Aku dan Mas Adnan tersenyum. Aku senyum karena melihatnya berkali-kali kalah dariku. Kalau Mas Adnan entah karena apa."Terima kasih, Mas." Lagi-lagi Renita tersenyum saat ia baru saja turun dari kursi roda dan Mas Adnan membuka pintu penumpang untuknya. Ia naik terlebih dahulu lalu aku pun menyusul setelah Mas Adnan membuka pintu untukku. Lalu ia ke belakang untuk menyimpan stroller di bagasi.Lima menit dalam perjalanan, cicitan Renita terus yang terdengar di antara kami."Mas Adnan, maaf, ya. Aku gak enak ngerepotin kalian terus." Mas Adnan tertegun sejenak, namun matanya tetap lurus pada jalanan ramai di depannya. Malam ini suasana jalan raya memang begitu padat oleh banyak kendaraan."Hhmm," jawab Mas Adnan seadanya. Sementara aku lebih memilih memandang ke luar jendela. Menyaksikan hilir mudik pejalan kaki di pinggir keramaian kota.Wanita itu terus saja
Tak bisa kujelaskan seperti apa perasaanku setelah mendengar ucapan Renita barusan. Lelaki itu, ah sangat menyebalkan sekali. Ammar menatap iba ke arahku, namun kubalas tatapannya dengan wajah sinis tak bersahabat."Benarkah?" Ibu terkejut, lalu beralih melihatku. Wajahnya menunjukkan gurat yang tidak bisa kujelaskan, antara haru dan juga menyesal. Karena Ibu memang sudah tahu bahwa Ammar juga adalah kekasih Marwah, jadi ia canggung untuk bersikap. Mendukung atau pun menolak, sebenarnya sama saja baginya. Tidak berpengaruh padanya.Kulihat Ammar mengangguk sambil tersenyum, lelaki itu urung mendekat. Lelaki berkemeja kotak-kotak itu hanya duduk di sofa dekat pintu. Tanpa berujar sepatah sekata pun. Meski pandangannya kosong, ia terus saja menyaksikan keharmonisan yang tercipta antara Renita dan kedua orang tuanya.Wanita itu sangat pandai menghibur hati orang yang sakit, merangkai kalimat manis sebagai obat bagi hati yang lara. Entah itu tulus atau hanya sandiwara. Aku tidak mampu men
"Cih ... tidak ada hakmu satu rupiah pun. Dan ingat, aku bukan lagi ibumu!" Nyonya Friska berjengit, ia jijik kembali berhadapan dengan anak sambung yang tak tahu diri itu.Renita berdecak, di pandangnya sekilas foto-foto yang terpampang di dinding rumah itu. Terdapat potret baru pernikahan Marwah dan Dipo, juga Friska bersama almarhum ayahnya dulu.Senyum ayahnya tampak nyata dari sana, namun mewariskan belati tajam di sanubarinya. Bagaimana bisa Friska tidak lagi mengakui tentang dirinya, namun masih setia memasang potret ayahnya."Wanita tua brengsek! Dulu, kau sendiri yang memintaku agar memanggilmu ibu. Sekarang kau membuang ku karena ayahku telah tiada. Wanita macam apa kau itu? Status sosialmu tinggi namun sebenarnya kau rendahan!"Renita mengumpat bekas ibu sambungnya dengan kata-kata kejam. Nyonya Friska terhenyak dengan bola mata yang hampir keluar."Kau ... keterlaluan. Aku tidak punya tanggung jawab apapun lagi padamu! Aku telah menawarimu rumah dan uang tapi kau malah men
Sepasang mata tajam itu kemudian menatap wajah Renita dari gambar yang ia ambil secara diam-diam dari ponsel canggihnya. Jemari tangannya bergerak untuk memperbesar tampilan layarnya."Kena kau, Renita. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Pria itu berucap dengan geram, bibirnya menampilkan seringai penuh dendam."Tinggal satu langkah lagi, kau akan mendekam di penjara!" lanjutnya, gemeretak giginya mengisyaratkan panasnya bongkahan bara yang menghuni di dada.Pria berjambang yang sejak tadi mengintai dari dalam mobil itu tak akan lagi kehilangan jejak Renita. Ia akan segera menuntaskan dendamnya. Renita harus membayar semua rasa sakit atas kehilangan aset dan nyawa ibunya. Juga wanita pujaannya. ***Pagi itu, Renita merasakan dirinya yang baru. Perlahan, ia membuka mata setelah semalaman begadang bak seorang lajang. Ia habiskan malam panjangnya dengan dentuman keras dari irama diskotik langganan.Sejak melahirkan, ia tak pernah lagi hadir ke
"Gak, Mas. Silahkan kau pulang bersama ibumu tapi aku tidak akan ikut!" ucap Renita menyanggah ucapan sang suami. Sudah setengah jam mereka berdiskusi dan Renita masih terus kekeh dengan jawaban yang sama.Saat keduanya terbangun tadi pagi, Riswan telah mendapat maaf dari Masli atas kelakuan kasarnya semalam. Mereka berdua kembali berbaikan dan sempat menghabiskan sarapan bersama di meja makan. Walaupun suasananya agak berbeda, karena ada Tata dan suaminya.Renita tidak tahu jika kakak iparnya sudah tiba sejak semalam. Ia tidur semalaman sambil melewati hukuman yang diberikan Riswan."Ini demi masa depan kita juga, aku berjanji ini tidak akan lama. Jika sudah sukses nanti, aku akan membeli rumah di kota lagi," bujuk Riswan lagi. Ia masih berusaha merayu Renita dengan memberikan iming-iming berbagai hal. "Gak, Mas. Tidak ada yang namanya masa depan kalau di kampung!""Ck, sadar, Renita. Kita tidak boleh memaksakan diri seperti ini. Roda kehidupan itu berputar, mana tau rezeki kita ada
"Masih belum diam juga?" ucap Riswan keheranan. Sudah cukup lama ia berada di luar, namun Renita masih belum bisa menenangkan putranya. Reisan masih terus menangis dalam dekapan sang ibu."Hhmmm, balik lagi, toh!" Bukannya merespon ucapan Riswan. Ia malah melirik tajam pada Bu Hayati dan menyindir kehadiran sang mertua.Ia bersyukur di dalam hati, sebab mertuanya masih ingin kembali. Ia jadi tak perlu repot, mengurus Reisan sendiri. Tanpa sungkan, ia berikan kembali Reisan pada neneknya. Lalu, memijit pelan bahunya bergantian akibat lelah menahan bayi dengan bobot enam kilogram tersebut."Gak konsisten, balik lagi, toh. Kenapa? Gak punya ongkos, atau takut tidur di pinggir jalan? Makanya kalau hidup masih numpang itu jangan sok-sokan!" gerutu Renita lagi. Wanita itu sudah melihat keduanya kembali melalui jendela kamarnya tadi. Lalu, bergegas turun untuk melontarkan kata-kata pedasnya pada sang mertua.Bu Hayati tak ingin menjawab, perasaannya masih kalut akibat pertemuan tidak sengaj
"Mau ke mana kamu, Mas? Jangan kamu kejar ibumu itu, biarkan saja!" sergah Renita sambil berusaha menghalangi kepergian Riswan. Sementara Reisan, ia biarkan di kamar sendirian."Kamu jangan halangi aku, aku akan mengantar ibu pulang. Urus saja Reisan, dia menangis sendirian," ucap Riswan sambil berlari menuju keluar rumah. Sayangnya, ia lupa jika kunci mobil masih dipegang Renita.Dengan terburu-buru, ia kembali ke kamar, menyusul Renita yang gusar karena mencoba menenangkan Reisan. Renita tak paham dengan keinginan bayi mungil di dekapannya, sebotol susu sudah ia sodorkan namun putranya masih tak ingin diam. Keadaan rumah yang kacau dan suara tangisan kencang memenuhi isi ruangan, membuatnya seketika merasa geram."Mana kunci mobilnya?" Riswan mengadahkan tangan, menunggu dengan perasaan risau."Gak ada!" Renita membuang pandang. Matanya memindai keluar jendela kamar, menyaksikan Bu Hayati berjalan sambil menyeret koper."Kok, gak ada? 'Kan kamu yang terakhir pakai mobilnya. Cepat b
"Aaaarggghh ... apa kamu gak punya cara lain lagi, sih, Mas? Masa' kita harus keluar juga dari rumah ini? Mau tinggal di mana lagi kita?" sergah Renita begitu marah. Baru tiga bulan ia menempati rumah mewah bertingkat dua ini, ia beserta keluarganya harus merelakan rumah itu disita pihak Bank."Mau gimana lagi, Ren? Uangku gak cukup untuk bayar tunggakan bank. Kamu 'kan tahu, gajiku yang sekarang cuma cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari aja. Sementara, tabungan sudah semakin menipis!" Riswan tertunduk lesu. Baru saja ia pulang bekerja, tapi malah disambut amukan oleh Renita. Mereka baru saja menerima surat peringatan untuk yang ketiga kalinya dari pihak bank. Mau tak mau, keluarga itu harus segera mengambil keputusan. Pergi mengosongkan rumah yang telah dianggunkan itu atau membayar semua tunggakan.Riswan sudah lama memikirkan hal ini. Keputusannya bulat untuk mengosongkan rumah ini saja dan membeli rumah sederhana di kampung halaman dengan uang yang masih ia punya. Akan tet
Entah kenapa, hati kecil kedua sahabat itu seperti bersorai gembira setiap kali melihat Renita tersakiti. Seakan ada kepuasan tersendiri dan juga rasa sakit yang terbalaskan. Sebagai manusia biasa, keduanya masih menyimpan dendam dan ingin terus membalasnya.Bu Hayati tampak begitu acuh. Ia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk membela wanita yang telah memberinya seorang cucu laki-laki itu. Wanita yang ia bela mati-matian kemarin, saat kesuksesan masih dalam genggaman putra semata wayangnya.Begitu pun Riswan. Ia lebih tertarik untuk mengamati barang bawaannya ketimbang melerai pertengkaran dua wanita yang pernah mengisi hari-harinya. "Itu becaknya, Wan?" tanya Bu Halimah ketika di saat bersamaan mendengar deru mesin dari dua buah becak motor yang datang. Ia benar-benar tidak ingin ikut campur pada urusan kedua wanita itu. Lalu, mengambil Reisan dari gendongan Renita.Bayi laki-laki yang wajahnya sangat mirip dengan Riswan itu menggeliat lucu, kelopak matanya yang tertutup be
Karena terus didesak, akhirnya Masli menuruti saran Zahira. Apalagi ini hari terakhir sahabat karibnya bisa pergi dengannya, setelah berjanji dengan sang mertua untuk tak lagi pergi keluar rumah. Selain itu, Zahira akan pulang kampung lusa, mereka akan berpisah lama sekitar sepekan lamanya."Iya, iya. Kita ke sana sekarang," ujar Masli meskipun sebenarnya ia tak lagi ingin melihat wajah Riswan. Cukuplah semalam itu yang terakhir baginya. Karena setiap kali menatap manik pria itu, kenangan manis mereka kembali muncul.Mereka berempat menuju mobil yang terparkir di halaman kantor Koh Yusuf, lalu melajukan kendaraan itu menuju perumahan Evergreen.Berbagai prasangka berputar seperti roda di dalam kepala Masli. Begitu pun tentang bayangan wajah Koh Yusuf, meskipun keberadaan mereka telah dikikis oleh jarak, namun raut rupawan itu seolah masih ada di hadapannya.Apakah ia salah jika memiliki setitik perasaan pada pria Tiong Hoa itu?Ataukah ia layak menaruh sedikit harapan pada pria mapan
Bukannya sombong atau pun memandang dengan sebelah mata, keduanya hanya tidak mengira jika orang yang dimaksud akan berpenampilan sesederhana ini. Apalagi bayangan yang sejak tadi menghantui pikiran Zahira selama diperjalanan. Mereke berdua menganggap jika Koh Aceng adalah sosok pria tua yang berpenampilan necis dan berkelas. Khas para pengusaha kakap di kota ini."Oh ... jadi Anda, Koh Aceng? Maafkan saya Koh, saya tidak menyangka jika Koh Aceng masih muda dan segagah ini," celetuk Masli. Meskipun ia dilanda rasa gugup dan bingung, namun wanita itu mencoba tetap tenang dan menetralisir degupan jantungnya yang seketika hendak melompat, ketika pria bersahaja yang ia abaikan kehadirannya adalah pria pemilik perusahaan ini.Apalagi, pria itu sempat mengatakan tentang kekacauan di perumahan Evergreen. Sontak membuat nyali kedua sahabat itu menciut sekaligus malu."Maaf, Koh! Saya juga tidak tahu kalau Anda adalah Koh Aceng. Mas Adnan banyak bercerita tentang Anda kepada saya, tapi dia tid