"Seharusnya gue yang tanya sama loe mas. Ke mana aja?" Tangan keduanya terkepal kuat dan siap saling hajar satu sama lainnya, kemudian kedua lelaki sama-sama mendengar suara khas seseorang baru bangun tidur memanggil nama Jerome.
"Berhenti di sana atau loe masuk kuburan!" Desis sang suami yang menahan lengan sang adik lelakinya itu. Namun
Dirga menghela berat lalu melepaskan jasnya dan kemudian ia letakkan di mana saja, lelaki itu berpikir cukup lama untuk melakukan apa keputusan ini tepat atau tidak terlalu mudah bagi Jaeran menyakiti adiknya yang selalu memberikan kesempatan berulang kali pada pemuda tersebut, ... Namun seperti tidak akan ada kata jera dalam kamus si perempuan yang menjadi hambatan mereka. Dari awal hingga kini lelaki itu sudah duga jika permasalahan ini adalah tentang wanita lain, namun karena sang adik terlalu menutup masalah rumah tangganya serta kesehatannya yang mulai menurun. Dirga khawatir akan berdampak terhadap hubungan juga kehamilan sang adik, ... Pemuda itu memijat pelipisnya pening ketika mendengar berbagai macam cerita yang Jaeran katakan padanya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk mengatakan apapun yang ada di dalam benaknya, lagipula mereka berdua sudah terikat dalam pernikahan dan Dirga tau akan hal itu, lelaki yang kini menatap manik sang ipar tersebut tak bis
Bukan mau Jerome menetap dan berada disamping perempuan yang kini tengah memakan ice cream dengan gurat senang lelaki itu hanya menjaga sang putri sebentar sebelum pangerannya kembali dari arena pertempuran--- seperti itu singkatnya. Jerome menatap senyum manis tersebut dan membelai lembut wajah yang selalu menangisi sosok pemuda lain, ... dalam do’anya Jerome selalu meminta agar sang kakak iparnya aman dan damai di manapun mereka berada. Bahkan Jerome rela jika harus mengorbankan nyawanya, pemuda itu mengusapi lembut wajah Rosa yang tengah memandangnya penuh tanya. “Jangan sakit lagi ya,” jeda sesaat sebelum lelaki itu melanjutkan kata-katanya. “Aku sakit setiap liat kamu sakit,” lirih pemuda tersebut.“Jangan nangis,” pelan Rosa yang menangkup wajah tegas pemuda itu. “Aku bahagia kok sama kamu,” senyum itu terulas. Andai Rosa sadar siapa yang saat ini bersamanya mungkin perempuan tak akan mengatakannya dengan senyum yang begitu indahnya, Jerome merasakan per
Hanya perlu waktu sebentar baginya untuk memulihkan keadaan seperti sediakala dan saat itu tiba perempuan tersebut yakin jika dirinya sudah bisa datang menemuinya kembali sampai saat ini, ... Perempuan itu masih tetap memilih untuk menutup akses apapun dari sang suami, bukan karena dirinya tak mau menerima kehadiran suaminya kembali namun untuk waktu lama perempuan tersebut ingin sendirian terlebih dahulu, ... Masalah perihal pemeriksaan atau yang lainnya ia masih bisa memanggil dokternya secara pribadi untuk datang ke rumah. Senyum yang terpatri dalam ruangan itu membuat sang kakak menghela pelan, bahkan sang adik ipar pun ia larang datang menemuinya. Perempuan itu banyak melamun sendiri, dirinya terlalu banyak berpikir mengenai hubungannya dengan sang suami, sudah beberapa hari sang suami tak berusaha mengunjunginya atau hanya saling berbalas pesan singkat. Tak terasa air matanya meluruh mendadak sesak dalam dadanya sangat mempengaruhi kesehatan bayinya, Dirga semakin la
Perdebatan sengit keduanya masih belum berhenti, Jaeran dengan rasa tak percayanya akan ucapan Maria dan perempuan itu masih dengan sikap semena-mena terhadap pemuda tersebut, membuat sang lelaki mau tak mau memercayai bahwa itu benar adanya. Akan tetapi terlalu dini untuk pemuda itu memercayai bahwa kata-katanya adalah sebuah kebenaran yang nyata, Jaeran memandang wajah perempuan itu dengan tatap sulit sekali diartikan. Hey! Maria sudah merencanakannya! Itu jelas. Tak ada yang tak ia rencanakan, semua terlalu rapih dan tak ada bekasnya, membuat sang pemuda sulit untuk tidak percaya. Jaeran terduduk di pinggir ranjangnya dengan kemelud pikiran yang berkecamuk dalam dadanya, pemuda itu ragu untuk membuka surat keterangan dari rumah sakit, yang diberikan oleh Maria.Maria berjalan dengan anggunnya ke arah pintu rumah keluarga Minendra saat hendak mengetuk pintunya ia disambut dengan baik oleh Jena yang kebetulan hendak keluar rumah, perempuan paruh bay
Sudah sejak tadi malam pemuda itu mabuk dan minum wine tak ada hentinya, pikirannya kacau balau dan perasaannya kian buruk tiap harinya, ditambah lagi saat sang mama datang tak membuat sang pemuda merasa tenang. Saat ini pemuda tersebut sedang berada di kantor sahabat baiknya, yaitu Renjun, pemuda Cina itu mendengkus lelah ketika melihat kelakuan teman lamanya sendiri. Tak sedikit pula yang dilakukan oleh Renjun untuk menghentikan rasa mabuk dari Jaeran, bahkan ia sampai harus menghubungi adiknya agar bisa menghentikan aksi konyol temannya sendiri. Renjun mengusak surainya kasar padahal di jam makan siang nanti ia masih ada rapat yang harus dipimpinnya. “Jae, gue gak bisa lama-lama di sini, kalo mau mabuk pulang aja. Gue masih ada rapat.” Ujarnya demikian, saat Renjun hendak memutar langkahnya, tiba-tiba suara berat milik Jaeran menginterupsi dirinya.“Gue mau Rose, Jun.” Lirih pemuda itu seperti memohon kepada pemuda dihadapa
Rosa mengigit bibir bawahnya kemudian membasahinya ketika melihat betapa kacaunya rumahnya, saat hendak memutar langkahnya tiba-tiba seseorang dari belakang memeluknya dengan begitu eratnya syarat akan kerinduan yang mendalam tak pernah terbayangkan sebelumnya keduanya bertemu dengan cara seperti ini. Rosa tertegun lalu tanpa sadar air matanya mengalir menuruni wajahnya yang cantik, perempuan itu meremas tangan besar yang merengkuhnya, isakan itu semakin terdengar jelas ketika Rosa menatap sendu lengan besar Jaeran. Perempuan itu melepaskan rengkuhan tersebut lalu tersenyum manis pada sang suami dan melengos masuk ke dalam kamar mereka, Rosa bergurau guna mencairkan suasana yang begitu canggung. Akan tetapi sepertinya Jaeran masih terlalu emosional hingga tak dapat membendung air matanya kembali, pemuda itu mengulas senyum tipis dan kemudian memandang wajah sang istri, saat ini pemuda tersebut tak ingin membahas apapun yang membuat perempuannya meninggalkannya lagi.
Dirga mungkin sudah menunggu di dalam ruangan menyebalkan itu, namun tidak ada satu niat pun bagi Rosa meninggalkan kamar tersebut apalagi melangkahkan kakinya keluar dari pergumulan dibawah kasur bersama sang suami, perempuan itu semakin menarik selimutnya itu dan semakin tenggelam dalam dekapan prianya. Rosa tertegun ketika dengar penuturan suaminya yang begitu mendadak dan terkesan sekali menuntut, “kalo aku tanya sesuatu apa kamu bakal jawab?” Perempuan itu terdiam sejenak lalu mengulum bibir bawahnya tipis.“Tergantung,” perempuan itu menjawab seadanya. Akan tetapi pemuda tersebut tak langsung pada pertanyaan yang ingin ia tanyakan, karena ia sendiri tidak mau melakukan kesalahan yang akan memberikan dampak pada hubungan antara keduanya. Jaeran beringsut dari tidurnya lalu mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah sang istri, tatapan matanya yang dalam dan tak lepas tersebut membuat kening Rosa berkerut bingung. Agak
Hilda muak dengan semua alasan yang diberikan oleh Jerome lelaki tersebut jarang sekali menemuinya hanya untuk pergi melakukan aktivitas yang dapat menghindari pertemuan mereka tak hanya saat berada dilingkungan kampus saja, di apartemen pun kini pemuda itu jarang sekali ada di dalam ruangan tersebut. Perempuan itu menggeram lalu berjalan melewati beberapa pintu yang sedikit terbuka, belum lama teman sang tunangan Aisyah juga baru saja melakukan pindahan rumah di dekat apartemen Jerome dan memohon agar menjadi tetangga sebelah rumah. Masalahnya dengan Rosa sudah cukup rumit dan ditambah kedekatan Jerome dengan sahabatnya, Hilda Cuma bisa menghela panjang seraya tersenyum miris. Terlihat dari balik pintu itu jikalau pemuda tersebut merasa senang ketika bersama perempuan lain dan bukan bersamanya, Hilda menjadi lebih iri terhadap perlakuannya terhadap Aisyah. Aisyah menggerutu dalam hati pada saat pemuda enggan menyebutkan nama yang membuat sang pemuda kesal, lalu langkahnya terhenti
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.