Dirga mungkin sudah menunggu di dalam ruangan menyebalkan itu, namun tidak ada satu niat pun bagi Rosa meninggalkan kamar tersebut apalagi melangkahkan kakinya keluar dari pergumulan dibawah kasur bersama sang suami, perempuan itu semakin menarik selimutnya itu dan semakin tenggelam dalam dekapan prianya. Rosa tertegun ketika dengar penuturan suaminya yang begitu mendadak dan terkesan sekali menuntut, “kalo aku tanya sesuatu apa kamu bakal jawab?” Perempuan itu terdiam sejenak lalu mengulum bibir bawahnya tipis.
“Tergantung,” perempuan itu menjawab seadanya. Akan tetapi pemuda tersebut tak langsung pada pertanyaan yang ingin ia tanyakan, karena ia sendiri tidak mau melakukan kesalahan yang akan memberikan dampak pada hubungan antara keduanya. Jaeran beringsut dari tidurnya lalu mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah sang istri, tatapan matanya yang dalam dan tak lepas tersebut membuat kening Rosa berkerut bingung. Agak
Hilda muak dengan semua alasan yang diberikan oleh Jerome lelaki tersebut jarang sekali menemuinya hanya untuk pergi melakukan aktivitas yang dapat menghindari pertemuan mereka tak hanya saat berada dilingkungan kampus saja, di apartemen pun kini pemuda itu jarang sekali ada di dalam ruangan tersebut. Perempuan itu menggeram lalu berjalan melewati beberapa pintu yang sedikit terbuka, belum lama teman sang tunangan Aisyah juga baru saja melakukan pindahan rumah di dekat apartemen Jerome dan memohon agar menjadi tetangga sebelah rumah. Masalahnya dengan Rosa sudah cukup rumit dan ditambah kedekatan Jerome dengan sahabatnya, Hilda Cuma bisa menghela panjang seraya tersenyum miris. Terlihat dari balik pintu itu jikalau pemuda tersebut merasa senang ketika bersama perempuan lain dan bukan bersamanya, Hilda menjadi lebih iri terhadap perlakuannya terhadap Aisyah. Aisyah menggerutu dalam hati pada saat pemuda enggan menyebutkan nama yang membuat sang pemuda kesal, lalu langkahnya terhenti
“MANA BUKTINYA!!!?” Jerome mengusap wajahnya gusar kemudian menggeleng perlahan karena tidak mungkin itu terjadi, Jena terus mendesak agar pemuda itu mengaku apa yang telah dia lakukan pada sang kakak’ ipar. “TAPI BUKAN AKU MA?!!” seru lelaki tersebut yang melengos pergi. Ia terus berjalan tanpa memedulikan yang lain dan menarik lengan panjang Aisyah. Perempuan itu bingung apa yang telah terjadi selama ia berada di depan.Jaeran diam saja sampai di detik berikutnya, perempuan yang berada dibalik punggungnya itu mengulum bibir masam, pemuda itu memegang kuat telapak tangan istrinya itu. Kemudian mengusapnya seraya menyalurkan ketenangan, lelaki tersebut masih tetap diam meski tau kondisinya tak kondusif seperti ini, Jaeran mengajak Rosa masuk ke dalam rumah lalu mendudukkannya pada sofa single. Pemuda itu tersenyum begitu manis, Rosa turut tersenyum saat melihat sang suami mengulas senyum padanya, perempuan itu mengangguk sambil
Seharian penuh Jaeran hanya menatap wajah sang istri yang tengah memasak makanan untuknya, setelah beberapa hari diet atau lebih tepatnya tidak berselera makan karena sesungguhnya pemuda lebih suka masakan sang istri daripada masakan perempuan lain, Jaeran menatap sambil tersenyum manis pada Rosa yang memberikan kernyitan heran. Perempuan itu masih tetap fokus akan pekerjaannya sebagai seorang istri. Satu kecupan mesra berhasil ia dapatkan saat sedang menata ruang makan, perempuan tersebut terkejut ketika mendapat itu, namun si pelaku malah semakin membuat sang istri merasa tidak nyaman. Rosa menatap sendu wajah sang suami kemudian mengulas senyum manis pada lelaki tersebut, “kenapa gak sekalian aja dibibir!” Gerutu Rosa yang kontan saja di dengar oleh Jaeran.“Ouh boleh?” Rosa memutar bola matanya jengah dan menoyor kepala pemuda itu.“Ya gak bolehlah!” Seru perempuan tersebut geram. Pemuda itu tergelak b
Maria memanipulasi semuanya termasuk dalam data kandungan Rosa serta anak yang dikandungnya sendiri, perempuan itu sengaja melakukan langkah terakhirnya itu untuk mengambil lelaki yang tak sepantasnya dia perjuangankan selama ini, ini sudah di rencana terakhirnya dan gerakan terakhirnya juga. Perempuan itu berada di rumah sakit saat ini bersama seorang pemuda yang seharusnya melihat hasil perkembangan anaknya sendiri bersama Rosa- istrinya tercinta. Sedangkan Rosa terkurung dalam kamarnya dengan duduk termenung tanpa melakukan apapun di sana, terkunci rapat dalam ruangan yang amat sangat ia benci, perempuan itu tak berusaha keluar dari ruangan isolasi itu lagi karena sudah tidak asing baginya terkurung diruang terkutuk itu. Hey! Bahkan Dirga mengetahui semua itu, Rosa menatap jam dinding yang berdeting dengan cepatnya, ketika mendengar suara pintu terbuka lebar ia berharap agar sang suami mengeluarkannya dari sana dan membawanya pulang. Namun nyatanya tidak, dokter yang selalu membu
Jaeran menolak percaya dengan apa yang dikatakan oleh perempuan di depannya saat ini pemuda itu tersenyum sarkastik ketika Maria selalu berusaha menghasutnya dengan berbagai cara untuk membuat keretakan rumah tangganya itu semakin menarik paksa hatinya untuk jatuh terlalu dalam pada sang pemuda tersebut, Jaeran menatap wajah Maria yang terlihat tak ada kebohongan. Pemuda tersebut mengambil langkah tegas lalu menarik kenop pintu saat kemudian mengusap wajahnya tampak gusar, pemuda itu kini bingung harus percaya dengan siapa, pasalnya pemuda tersebut tak pernah bisa menaruh kepercayaan pada adiknya sendiri. Namun juga ia tidak harus memercayai kata-kata Maria, maniknya membelalak begitu melihat sang istri sedang berbaring di atas sofa panjang milik sang adik, tangannya terkepal kuat kemudian Jaeran menatap wajah sang Jerome dengan tatapan mata kebenciannya.Pemuda tersebut mengepalkan tangannya lalu berjalan melewati pintu apartemen maniknya mengerjap penuh kemu
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.