Nana
Satu minggu bergulir dengan cepat rupanya. Rasanya baru kemarin aku sampai di Solo. Hari ini sudah jumat lagi. Itu artinya aku hanya punya waktu satu hari lagi untuk menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu sebelum kembali harus bertempur dengan banyaknya materi mata kuliah yang menanti.
Satu minggu di rumah benar-benar aku manfaatkan sebaik mungkin. Setiap pagi aku membantu Ibu membuat pesanan katering. Aku sangat bersyukur karena banyak yang percaya sama katering punya Ibu, apalagi di musim hajatan seperti sekarang ini, omset bisa naik sampai 50%. Sementara Ayah sudah mulai bekerja lagi.
Di sore hari, Kami bertiga biasanya menikmatinya dengan berjalan-jalan di sekitar rumah. Menyapa para tetangga. Atau sekadar ngobrol santai di rumah saja. Ah, mengapa waktu sangat cepat bergulirnya? Sabtu malam besok aku harus kembali lagi ke Jakarta.
Merasa dilematis itu ketika si mantan datang untuk mengajak jalan-jalan. Tap
NanaMasih berdiri di ambang pintu dan dokter Galih yang tepat berdiri di depanku. Aku tak lantas menyuruhnya masuk, sebelum masuk rumahku lebih dulu aku harus memastikan apa yang menjadi tujuannya ke sini. Sikapnya yang sering kali bercanda membuatku ragu dengan kenekatan yang dia ambil.“Dok, serius nih, tujuan Dokter sampai datang ke rumah saya itu apa?” tuntutku.“Mau nagih uang yang sudah saya keluarin buat mentraktir kamu. Kan lumayan tuh, kalau dijumlahin jadi banyak.”Walaupun didukung dengan ekspresi yang jenaka, buatku itu belum cukup lucu. Jujur, saat ini aku cemas. Dan sedang tidak ingin bercanda.“Serius, tujuan Dokter cuma itu?” tanyaku untuk lebih meyakinkan.“Kamu percaya?” Dia malah balik bertanya, disusul dengan suara tawa pelannya.Aku menggeleng. “Nggak, sih. Dokter kan uangnya banyak. Masa berbagi sedikit sama saya aja perhitungan,” balas
NanaSelalu saja ada momen di mana aku sadar kalau di setiap keindahan itu akan ada khayalan yang selalu tinggal. Terlalu berekspektasi, padahal kenyataannya semuanya semu. Fatamorgana.Masih di malam yang beberapa saat yang lalu menjadi saksi bagaimana aku menikmatinya, dan sekarang aku justru membenci malam ini.Masih dengan aku yang terpaku, logika seolah berontak jika apa yang aku dengar tadi hanya bualan mimpi. Tapi bisikan yang mengalun lembut di telinga itu begitu nyata. Telingaku tidak mungkin salah mendengar.Lama kami terdiam. Dia terlihat resah sementara aku menahan sesak yang menghimpit. Tuhan, aku salah karena sudah mempercayainya dengan begitu mudah. Padahal jelas tidak ada manusia yang sempurna seratus persen.“Na...”“Siapa sebenarnya Raina?” Aku memotong ucapannya.Dia mengusap wajahnya, pergerakan tangannya sampai ke atas kepala. Lalu menjambak rambutnya. Matanya membidikku ya
NanaWajah-wajah lelah sangat terlihat dari semua mahasiswa yang keluar dari kelasnya Pak Aristo. Dosen pemegang mata kuliah sanggar sastra itu sepertinya lupa melihat jam. Mata kuliah seharusnya selesai dari tiga puluh menit yang lalu, tapi Pak Aristo baru keluar dari kelas sekarang.Jelas saja itu mengundang umpatan dan gerutuan dari banyak mahasiswa. Termasuk Rani. Sejak keluar dari kelas, Rani terus mencak-mencak tidak keruan.“Laper banget, Tuhan.”“Sama. Gue juga laper,” balasku ketika kami keluar dari gerbang kampus.“Gila itu dosen. Padahal udah dikasih kebebasan cuy dengan 4 sks. Tapi masih aja korupsi waktu. Mana jadwalnya sore pula. Minggu depan gue kasih alarm dah biar dia nyadar diri,” cerocosnya.Di sela-sela mulutnya yang mencerocos, Rani mengecek jam tangannya. “Jam 5?! Pantesan cacing di perut gue udah disko lagu lagi syantik!” jeritnya heboh. Terlalu
NanaBerangkat kuliah sendiri karena Rani mendadak terserang penyakit malas. Waktu aku mengetuk pintu kamarnya, Rani masih belum mandi. Dia bilang mau absen sehari karena dosen yang masuk memiliki selera humor rendah, akibatnya mata mengantuk selama mata kuliah berlangsung.Kampus sudah cukup ramai dengan kicauan mahasiswa. Di depan ruangan kelas, aku melihat Damar Cakra Adrianto, alias Anto sedang duduk di bangku panjang. Matanya fokus menatap layar laptop.Aku duduk di sebelahnya. “To, tumben pagi-pagi udah mantengin laptop?”Anto mengangkat pandangannya. “Eh, Nana. Iya nih, gue lagi bikin jadwal. BEM mau ngadain acara baksos gitu. Baksosnya bukan soal materi sih. Tapi lebih ke pengetahuan.”“Gimana caranya tuh?” tanyaku, sedikit kurang paham dengan penjelasan Anto.“Jadi nanti kita ngajar di sekolah-sekolah selama satu hari. Terus malamnya kita kayak memberikan les p
GalihPetaka itu ketika otak dan bibir gue tidak sinkron. Gue sudah janji kalau tidak akan menyakiti wanita lagi. Tapi gue melanggar janji itu. Gue yang membangun pondasi, gue juga yang meruntuhkannya. Kurang bodoh apalagi gue?Gue sadar betul, Raina masih ada di hati gue. Tapi tidak sepenuhnya. Ada hati lain yang sudah mulai menggeser posisinya.Butuh keberanian yang besar, sebelum gue mengambil keputusan buat menyusul Nana sampai ke Solo. Apa yang gue utarakan di Monas itu, gue niatkan dari hati. Gue lebih tertantang ketika Nana bilang, laki-laki yang serius itu harus datangi orang tuanya. Dan gue berani mengambil risiko itu.Gue pikir, jalan gue tidak akan mulus di Solo. Ternyata orang tuanya menyambut baik kedatangan gue di sana. Gue sampai speechless ketika ayahnya meminta gue menikahinya dulu karena takut terjadi sesuatu yang negatif. Gue sendiri memang takut, beberapa kali gue hilang fokus memperhatikan gerak
NanaSetapak menjadi pengingat jika setiap langkah harus dinikmati sebelum sampai ke tujuan. Jalanan tidak selamanya lurus dan mulus. Becek, berbatu, penuh dengan krikil bisa saja menghadang. Mungkin jalanan seperti ini lah yang bisa mendeskripsikan alur asmaraku.Niatku mengikuti bakti sosial ini bukan hanya untuk berbagi pengalaman. Tapi untuk kabur sejenak dari tugas-tugas dan masalah yang terjadi. Sadar, jika aku tidak bisa selamanya berdiam diri. Semua ucapan Rani waktu itu menjadi cambuk tersendiri buatku. Sekarang, biarkan aku bernapas lega sejenak.“Masuk sini suasana kota langsung lenyap,” komentar Agnes saat aku, dia, dan Maria baru berjalan beberapa langkah dari mobil rombongan.Aku mengangguk setuju. “Masih banyak pohon rindangnya.”“Aku jadi ingat kampungku di Papua sana,” timpal Maria.“Na, sini gue yang bawain tasnya.” Anto tiba-tiba menghampiriku.
NanaKembali ke realita itu rasanya enggan. Terlalu pelik masalah yang aku hadapi. Rasanya, aku ingin kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat hidupku damai meskipun tanpa pasangan.Mataku baru saja terjaga beberapa menit yang lalu. Setelah perjalanan cukup melelahkan dari Kecamatan Leuwidamar, sampai di kosan aku langsung tidur tanpa memikirkan mandi atau rasa lapar.“Nana!!!”Rani berteriak cukup lantang saat membuka pintu kamarku. Aku duduk bersandar pada dinding sambil memeluk guling.“Na, kok diam aja sih?” Rani duduk bersila menghadapku. Kedua tangannya bertumpu pada lututku yang ditekuk. “Lo marah ya sama gue gara-gara gue ngasih kesempatan dokter Galih buat ngirim VN sama lo.”“Ya udahlah, Ran. Udah kejadian ini,” balasku. “Harusnya dua hari kemarin gue matiin data seluler biar tenang.”Bibir Rani membentuk garis lurus. Dia merasa ber
NanaFatamorgana: Saya udah di parkiran depan kampusOh astaga. Cepat sekali dia bergerak.Sejak kejadian di kosan malam itu, hubunganku dan dokter Galih bisa dibilang membaik. Walaupun aku masih menutup diri.Aku menegakkan tubuh yang semula bersandar di kursi. Membereskan binderku yang masih terbuka di atas meja. “Ran, ini beneran Pak Windu nggak bakal masuk?” tanyaku pada Rani yang fokus bermain game.Tanpa menoleh ke arahku, Rani menjawab, “Nggak tahu, Na. Coba lo tanya yang lain.”Aku mencolek bahu Maria yang duduk di depanku. Si rambut kriting itu berbalik secara slow motion. “Mar, fix nih Pak Windu nggak masuk?”“Iya, Na. Pak Windu ada acara katanya. Bentar lagi aku pun pulang.”“Oh oke, thanks, Mar. Gue juga mau pulang nih.” Aku berdiri. Menyandang tas kuliahku.
Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu
Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut
NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam
NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng
NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent
NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut
GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga
Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang
NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste