Nana
Wajah-wajah lelah sangat terlihat dari semua mahasiswa yang keluar dari kelasnya Pak Aristo. Dosen pemegang mata kuliah sanggar sastra itu sepertinya lupa melihat jam. Mata kuliah seharusnya selesai dari tiga puluh menit yang lalu, tapi Pak Aristo baru keluar dari kelas sekarang.
Jelas saja itu mengundang umpatan dan gerutuan dari banyak mahasiswa. Termasuk Rani. Sejak keluar dari kelas, Rani terus mencak-mencak tidak keruan.
“Laper banget, Tuhan.”
“Sama. Gue juga laper,” balasku ketika kami keluar dari gerbang kampus.
“Gila itu dosen. Padahal udah dikasih kebebasan cuy dengan 4 sks. Tapi masih aja korupsi waktu. Mana jadwalnya sore pula. Minggu depan gue kasih alarm dah biar dia nyadar diri,” cerocosnya.
Di sela-sela mulutnya yang mencerocos, Rani mengecek jam tangannya. “Jam 5?! Pantesan cacing di perut gue udah disko lagu lagi syantik!” jeritnya heboh. Terlalu
NanaBerangkat kuliah sendiri karena Rani mendadak terserang penyakit malas. Waktu aku mengetuk pintu kamarnya, Rani masih belum mandi. Dia bilang mau absen sehari karena dosen yang masuk memiliki selera humor rendah, akibatnya mata mengantuk selama mata kuliah berlangsung.Kampus sudah cukup ramai dengan kicauan mahasiswa. Di depan ruangan kelas, aku melihat Damar Cakra Adrianto, alias Anto sedang duduk di bangku panjang. Matanya fokus menatap layar laptop.Aku duduk di sebelahnya. “To, tumben pagi-pagi udah mantengin laptop?”Anto mengangkat pandangannya. “Eh, Nana. Iya nih, gue lagi bikin jadwal. BEM mau ngadain acara baksos gitu. Baksosnya bukan soal materi sih. Tapi lebih ke pengetahuan.”“Gimana caranya tuh?” tanyaku, sedikit kurang paham dengan penjelasan Anto.“Jadi nanti kita ngajar di sekolah-sekolah selama satu hari. Terus malamnya kita kayak memberikan les p
GalihPetaka itu ketika otak dan bibir gue tidak sinkron. Gue sudah janji kalau tidak akan menyakiti wanita lagi. Tapi gue melanggar janji itu. Gue yang membangun pondasi, gue juga yang meruntuhkannya. Kurang bodoh apalagi gue?Gue sadar betul, Raina masih ada di hati gue. Tapi tidak sepenuhnya. Ada hati lain yang sudah mulai menggeser posisinya.Butuh keberanian yang besar, sebelum gue mengambil keputusan buat menyusul Nana sampai ke Solo. Apa yang gue utarakan di Monas itu, gue niatkan dari hati. Gue lebih tertantang ketika Nana bilang, laki-laki yang serius itu harus datangi orang tuanya. Dan gue berani mengambil risiko itu.Gue pikir, jalan gue tidak akan mulus di Solo. Ternyata orang tuanya menyambut baik kedatangan gue di sana. Gue sampai speechless ketika ayahnya meminta gue menikahinya dulu karena takut terjadi sesuatu yang negatif. Gue sendiri memang takut, beberapa kali gue hilang fokus memperhatikan gerak
NanaSetapak menjadi pengingat jika setiap langkah harus dinikmati sebelum sampai ke tujuan. Jalanan tidak selamanya lurus dan mulus. Becek, berbatu, penuh dengan krikil bisa saja menghadang. Mungkin jalanan seperti ini lah yang bisa mendeskripsikan alur asmaraku.Niatku mengikuti bakti sosial ini bukan hanya untuk berbagi pengalaman. Tapi untuk kabur sejenak dari tugas-tugas dan masalah yang terjadi. Sadar, jika aku tidak bisa selamanya berdiam diri. Semua ucapan Rani waktu itu menjadi cambuk tersendiri buatku. Sekarang, biarkan aku bernapas lega sejenak.“Masuk sini suasana kota langsung lenyap,” komentar Agnes saat aku, dia, dan Maria baru berjalan beberapa langkah dari mobil rombongan.Aku mengangguk setuju. “Masih banyak pohon rindangnya.”“Aku jadi ingat kampungku di Papua sana,” timpal Maria.“Na, sini gue yang bawain tasnya.” Anto tiba-tiba menghampiriku.
NanaKembali ke realita itu rasanya enggan. Terlalu pelik masalah yang aku hadapi. Rasanya, aku ingin kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat hidupku damai meskipun tanpa pasangan.Mataku baru saja terjaga beberapa menit yang lalu. Setelah perjalanan cukup melelahkan dari Kecamatan Leuwidamar, sampai di kosan aku langsung tidur tanpa memikirkan mandi atau rasa lapar.“Nana!!!”Rani berteriak cukup lantang saat membuka pintu kamarku. Aku duduk bersandar pada dinding sambil memeluk guling.“Na, kok diam aja sih?” Rani duduk bersila menghadapku. Kedua tangannya bertumpu pada lututku yang ditekuk. “Lo marah ya sama gue gara-gara gue ngasih kesempatan dokter Galih buat ngirim VN sama lo.”“Ya udahlah, Ran. Udah kejadian ini,” balasku. “Harusnya dua hari kemarin gue matiin data seluler biar tenang.”Bibir Rani membentuk garis lurus. Dia merasa ber
NanaFatamorgana: Saya udah di parkiran depan kampusOh astaga. Cepat sekali dia bergerak.Sejak kejadian di kosan malam itu, hubunganku dan dokter Galih bisa dibilang membaik. Walaupun aku masih menutup diri.Aku menegakkan tubuh yang semula bersandar di kursi. Membereskan binderku yang masih terbuka di atas meja. “Ran, ini beneran Pak Windu nggak bakal masuk?” tanyaku pada Rani yang fokus bermain game.Tanpa menoleh ke arahku, Rani menjawab, “Nggak tahu, Na. Coba lo tanya yang lain.”Aku mencolek bahu Maria yang duduk di depanku. Si rambut kriting itu berbalik secara slow motion. “Mar, fix nih Pak Windu nggak masuk?”“Iya, Na. Pak Windu ada acara katanya. Bentar lagi aku pun pulang.”“Oh oke, thanks, Mar. Gue juga mau pulang nih.” Aku berdiri. Menyandang tas kuliahku.
NanaAku tidak punya alasan untuk tersenyum hari ini. Di saat pernikahan adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang, aku justru tidak excited menyambutnya. Seminggu sebelum digelar, aku sama sekali tidak nafsu makan. Bicara seirit mungkin, itupun kalau ada yang bertanya. Tapi keluargaku menilai itu sebagai satu hal yang wajar di alami calon pengantin menjelang pernikahan.Sesuai keinginanku, pernikahan ini hanya berlangsung di rumahku secara sederhana. Dia tidak sama sekali menyebar undangan, sementara aku hanya mengundang teman-teman terdekat. Orang tuaku yang lebih banyak menyebar undangan.Konsep pernikahan mengadopsi tradisi Jawa, aku dituntut untuk mengenakan kebaya hitam modern lengkap dengan paes, kembang goyang, dan untaian melati yang menjuntai dari kepala sampai dada sebelah kanan. Jangan lupakan sanggul besar yang menempel di kepala dengan hiasan tujuh cunduk. Ini berat sekali. Padahal al
GalihBego! Gue merasa jadi monster yang paling jahat di dunia. Gue pikir hari ini akan menjadi awal kisah baru gue. Melupakan masa lalu dan melangkah dengan masa depan. Tapi lagi-lagi gue melakukan kesalahan fatal untuk kedua kalinya.Apa yang harusnya gue lakukan? Satu bulan ini, gue berusaha berdamai dengan masa lalu. Melupakan rasa sakit yang menempatkan gue sebagai korban. Perlahan, gue mulai bisa menjauhkan Raina dari hati dan otak gue lalu mengisinya dengan Nana.Dan usaha gue itu hancur saat bibir gue tidak bisa dikompromi. Hampir saja gue menyebutkan nama Raina, untungnya gue langsung sadar. Apa yang gue lakukan itu lebih dari sekadar bego. Mengapa di saat genting, di saat momen krusial yang gue inginkan hanya terjadi sekali seumur hidup, gue malah melakukan kebodohan yang kampret?Gue yakin, kesalahan gue itu akan membuat rasa kepercayaan Nana buat gue semakin terkikis. Gue tidak yakin akan hidup tenang setelah ini. Bayangan Nan
NanaKeadaan seperti zombie kentara jelas di wajahku. Semalam aku langsung tidur sehabis salat isya karena terlampau lelah setelah menangis habis-habisan. Tanpa peduli lelaki yang berstatus suamiku itu tidur di mana. Tapi saat aku bangun tidur, aku tidak menemukannya ada di dalam kamar.Dia benar-benar menyebalkan. Di saat hatiku tidak kondusif, dia malah menambahnya dengan asal menciumku. Hingga tanpa sadar aku mengarahkan lututku ke kepunyaannya. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang sudah dia lakukan padaku.Memulai pagi dengan niat. Berharap apa yang aku lewati hari ini lebih baik dari kemarin. Memoles wajahku dengan bedak dan lip tint tipis. Sementara mata bengkakku tidak bisa kusembunyikan.Melangkah menuruni tangga. Mataku mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang terjangkau pandangan. Tidak ada tanda-tanda batang hidungnya ada di dalan rumah. Rumah sepi seperti tak berpenghuni. Lalu aku mendengar gesekan wajan dan spatu