Nana
Setapak menjadi pengingat jika setiap langkah harus dinikmati sebelum sampai ke tujuan. Jalanan tidak selamanya lurus dan mulus. Becek, berbatu, penuh dengan krikil bisa saja menghadang. Mungkin jalanan seperti ini lah yang bisa mendeskripsikan alur asmaraku.
Niatku mengikuti bakti sosial ini bukan hanya untuk berbagi pengalaman. Tapi untuk kabur sejenak dari tugas-tugas dan masalah yang terjadi. Sadar, jika aku tidak bisa selamanya berdiam diri. Semua ucapan Rani waktu itu menjadi cambuk tersendiri buatku. Sekarang, biarkan aku bernapas lega sejenak.
“Masuk sini suasana kota langsung lenyap,” komentar Agnes saat aku, dia, dan Maria baru berjalan beberapa langkah dari mobil rombongan.
Aku mengangguk setuju. “Masih banyak pohon rindangnya.”
“Aku jadi ingat kampungku di Papua sana,” timpal Maria.
“Na, sini gue yang bawain tasnya.” Anto tiba-tiba menghampiriku.<
NanaKembali ke realita itu rasanya enggan. Terlalu pelik masalah yang aku hadapi. Rasanya, aku ingin kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat hidupku damai meskipun tanpa pasangan.Mataku baru saja terjaga beberapa menit yang lalu. Setelah perjalanan cukup melelahkan dari Kecamatan Leuwidamar, sampai di kosan aku langsung tidur tanpa memikirkan mandi atau rasa lapar.“Nana!!!”Rani berteriak cukup lantang saat membuka pintu kamarku. Aku duduk bersandar pada dinding sambil memeluk guling.“Na, kok diam aja sih?” Rani duduk bersila menghadapku. Kedua tangannya bertumpu pada lututku yang ditekuk. “Lo marah ya sama gue gara-gara gue ngasih kesempatan dokter Galih buat ngirim VN sama lo.”“Ya udahlah, Ran. Udah kejadian ini,” balasku. “Harusnya dua hari kemarin gue matiin data seluler biar tenang.”Bibir Rani membentuk garis lurus. Dia merasa ber
NanaFatamorgana: Saya udah di parkiran depan kampusOh astaga. Cepat sekali dia bergerak.Sejak kejadian di kosan malam itu, hubunganku dan dokter Galih bisa dibilang membaik. Walaupun aku masih menutup diri.Aku menegakkan tubuh yang semula bersandar di kursi. Membereskan binderku yang masih terbuka di atas meja. “Ran, ini beneran Pak Windu nggak bakal masuk?” tanyaku pada Rani yang fokus bermain game.Tanpa menoleh ke arahku, Rani menjawab, “Nggak tahu, Na. Coba lo tanya yang lain.”Aku mencolek bahu Maria yang duduk di depanku. Si rambut kriting itu berbalik secara slow motion. “Mar, fix nih Pak Windu nggak masuk?”“Iya, Na. Pak Windu ada acara katanya. Bentar lagi aku pun pulang.”“Oh oke, thanks, Mar. Gue juga mau pulang nih.” Aku berdiri. Menyandang tas kuliahku.
NanaAku tidak punya alasan untuk tersenyum hari ini. Di saat pernikahan adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang, aku justru tidak excited menyambutnya. Seminggu sebelum digelar, aku sama sekali tidak nafsu makan. Bicara seirit mungkin, itupun kalau ada yang bertanya. Tapi keluargaku menilai itu sebagai satu hal yang wajar di alami calon pengantin menjelang pernikahan.Sesuai keinginanku, pernikahan ini hanya berlangsung di rumahku secara sederhana. Dia tidak sama sekali menyebar undangan, sementara aku hanya mengundang teman-teman terdekat. Orang tuaku yang lebih banyak menyebar undangan.Konsep pernikahan mengadopsi tradisi Jawa, aku dituntut untuk mengenakan kebaya hitam modern lengkap dengan paes, kembang goyang, dan untaian melati yang menjuntai dari kepala sampai dada sebelah kanan. Jangan lupakan sanggul besar yang menempel di kepala dengan hiasan tujuh cunduk. Ini berat sekali. Padahal al
GalihBego! Gue merasa jadi monster yang paling jahat di dunia. Gue pikir hari ini akan menjadi awal kisah baru gue. Melupakan masa lalu dan melangkah dengan masa depan. Tapi lagi-lagi gue melakukan kesalahan fatal untuk kedua kalinya.Apa yang harusnya gue lakukan? Satu bulan ini, gue berusaha berdamai dengan masa lalu. Melupakan rasa sakit yang menempatkan gue sebagai korban. Perlahan, gue mulai bisa menjauhkan Raina dari hati dan otak gue lalu mengisinya dengan Nana.Dan usaha gue itu hancur saat bibir gue tidak bisa dikompromi. Hampir saja gue menyebutkan nama Raina, untungnya gue langsung sadar. Apa yang gue lakukan itu lebih dari sekadar bego. Mengapa di saat genting, di saat momen krusial yang gue inginkan hanya terjadi sekali seumur hidup, gue malah melakukan kebodohan yang kampret?Gue yakin, kesalahan gue itu akan membuat rasa kepercayaan Nana buat gue semakin terkikis. Gue tidak yakin akan hidup tenang setelah ini. Bayangan Nan
NanaKeadaan seperti zombie kentara jelas di wajahku. Semalam aku langsung tidur sehabis salat isya karena terlampau lelah setelah menangis habis-habisan. Tanpa peduli lelaki yang berstatus suamiku itu tidur di mana. Tapi saat aku bangun tidur, aku tidak menemukannya ada di dalam kamar.Dia benar-benar menyebalkan. Di saat hatiku tidak kondusif, dia malah menambahnya dengan asal menciumku. Hingga tanpa sadar aku mengarahkan lututku ke kepunyaannya. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang sudah dia lakukan padaku.Memulai pagi dengan niat. Berharap apa yang aku lewati hari ini lebih baik dari kemarin. Memoles wajahku dengan bedak dan lip tint tipis. Sementara mata bengkakku tidak bisa kusembunyikan.Melangkah menuruni tangga. Mataku mengedar ke seluruh penjuru ruangan yang terjangkau pandangan. Tidak ada tanda-tanda batang hidungnya ada di dalan rumah. Rumah sepi seperti tak berpenghuni. Lalu aku mendengar gesekan wajan dan spatu
NanaRutinitas di Jakarta dengan status baru dimulai hari ini. Kemarin—Minggu pagi, kami sampai di Jakarta setelah seminggu di Solo. Karena memang kuliah sedang berjalan, aku tidak ingin ketinggalan materi terlalu banyak terlebih aku juga sudah izin selama seminggu untuk mudik bulan kemarin. Mas Galih pun mengambil cuti di hari yang sama denganku.Untuk sementara kami tinggal di apartemen yang biasanya menjadi tempat tinggal Mas Galih. Dia bilang rumah yang dia beli belum selesai direnovasi. Berbicara soal panggilan, itu tuntutan dari Ibu. Awalnya memang kaku dan geli. Lama-kelamaan akhirnya menjadi terbiasa.Kamar kami terpisah. Itu keinginanku. Dia tetap di kamarnya, sementara aku menempati kamar tamu. Pakaianku dari kosan sudah diangkut sebelum aku pulang ke Solo. Sementara peralatan yang tidak terpakai lagi seperti magic com, dispenser, dan yang lainnya aku bawa pulang ke Solo.Pola hidupku betul-betul berubah. Jika bia
NanaKampus sudah mulai ramai, begitu pun dengan mahasiswa penghuni kelasku. Kegiatan yang mereka lakukan bermacam-macam. Ada yang mengobrol di luar kelas, dan sebagian lagi berada di dalam kelas dengan kesibukan masing-masing.Berbicara soal teman-teman kuliahku, mereka tidak ada yang tahu kabar aku menikah kecuali Rani. Aku memang menutup rapat pernikahan ini dengan berbagai alasan, salah satunya takut gagal. Ketakutan yang terus memayungiku hingga detik ini.“Nana udah ingat lagi jalan ke kampus?” Sindiran datang dari Wawan yang duduk di bangku pojok kanan belakang ketika aku masuk kelas.“Nana sering izin deh. Nih, Anto kangen sama lo!” Bowo yang duduknya di tengah-tengah ikut menimpali, ia menepuk bahu Anto di sebelahnya.Aku menatap Anto yang kebetulan sedang menatapku. Yang benar saja. Tapi sorot matanya menafsirkan rasa kangen itu. Aku memutus kontak mata, memilih untuk duduk dan mengabaikan sorakan-
NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste
Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu
Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut
NanaMengalir dan deras. Perasaanku ibarat air sungai yang mengalir dengan arus yang sangat deras hingga menemukan pelabuhannya.Menikah dengan seorang lelaki yang berprofesi dokter itu impianku. Tapi, menikah dengan lelaki yang masih terlelap sambil menjadikanku guling hidupnya ini bukanlah satu ekspektasi yang besar. Bahkan, aku tak pernah punya bayangan akan hidup dengan dia seperti sekarang ini. Rasanya tiga bulan terlalu cepat berlalu. Kupikir pernikahan ini hanya akan berjalan dalam waktu yang singkat, sesingkat waktu saat kami memulainya. Namun takdir Tuhan itu sulit ditebak. Kami masih berbagi tempat tidur dalam satu atap yang sama. Bolehkah meminta untuk selamanya?Bibirku membiaskan senyum. Meneliti keindahan yang Tuhan ciptakan untuk sosok lelaki yang menjadi imamku ini. Tampan memang relatif, tapi tampan disertai menarik itu yang langka. Dan Mas Galih punya daya tarik yang pada akhirnya membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam
NanaAda yang hilang saat aku membuka mata. Tidak ada yang mengucapkan selamat pagi sebelum beranjak bangun. Tidurku menyamping, menatap bagian kosong yang ditinggalkan. Kamar ini menjadi saksi bisu bagaimana aku takluk akan bujukan dan sentuhannya malam itu. Seminggu yang lalu.Semalam kantukku hilang, mencoba memejamkan mata pun alam mimpi tidak kunjung menjemputku. Sering kali aku membuka ponsel, barang kali ada notifikasi dari Mas Galih. Nyatanya semalaman menunggu, tidak ada satu pesan yang masuk walaupun sekadar ucapan; selamat tidur.Capek memikirnya, aku beranjak dari ranjang dan memutuskan untuk mandi.Jika harus egois, kesalahanku kemarin tidak setara dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia pandai memanipulasi keadaan. Bersikap seolah-olah dia mengejarku dengan sungguh-sungguh, padahal hatinya masih menyangkut di masa lalu. Parahnya, aku percaya sebelum semua fakta terungkap.Saat dia mengambil first kiss-ku. Deng
NanaSejak perjalanan menuju unit apartemen, Mas Galih sama sekali tidak membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, raut wajahnya masih sedatar dan sedingin tadi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaanku.Dia mengambil langkah lebar saat keluar dari lift. Meninggalkanku yang tertinggal jauh di belakangnya. Aku berusaha mengejarnya dengan langkah pendekku semaksimal mungkin.“Mas?”Dia tidak mengacuhkanku, seolah aku makhluk tak kasat mata. Mas Galih terus berjalan menuju kamar, dan aku mengikutinya dari belakang.“Mas Galih?”Masih diam. Dia menyibukkan diri dengan membuka kemeja yang dipakainya. Lalu menaruhnya dengan sembarangan ke keranjang cucian. Lantas mengambil handuk dari lemari.“Mas, dengerin aku ngomong dulu dong!” Aku berteriak dengan sangat keras hingga suaraku memantul di penjuru kamar.Langkahnya menuju kamar mandi seketika terhent
NanaBerdamai dengan masa lalu, menyingkirkan setiap rasa sakit yang pernah hadir. Semua itu perlahan terkikis waktu seiring berjalannya kebersamaan. Di saat aku merencanakan apa yang terjadi setelah satu bulan ke depan, ternyata Tuhan punya jalannya sendiri untuk rumah tanggaku.Semuanya berubah setelah malam di mana aku menyerahkan hati dan harta yang paling berharga di hidupku pada sosok lelaki yang sekarang sedang menikmati sarapannya. Sebenarnya tak ada ekspektasi apa-apa jika aku akan segampang menyerah padanya dan mengingkari syarat yang kubuat sendiri. Semuanya berawal dari kejadian saat aku berdiri di pinggir kolam renang. Aku tidak bisa berenang, tapi melihat airnya yang jernih dan tenang aku jadi tertarik untuk menikmatinya. Sekadar menenggelamkan kakiku dan duduk di pinggir sungai. Namun kejadian tak terduga terjadi saat aku hendak duduk, dari arah belakang ada yang mendorongku hingga jatuh ke dalam kolam renang. Aku pasrah saat itu. Takut
GalihGue mendudukkan Nana di tepi ranjang. Sejak tadi dia sama sekali belum berbicara, hanya menangis sesenggukan. Kepalanya tertunduk dalam. Ya Tuhan, setakut ini dia sama kolam renang?Gue mengambil handuk bersih di lemari, membungkus tubuh basah Nana dengan handuk itu. Gue mengambil posisi jongkok di depannya, mengangkat dagunya agar dia menatap gue.“Jangan nangis,” kata gue lembut, mengusap air matanya. Lalu menggenggam jemari dinginnya.Tangisnya mulai mereda, matanya yang bengkak menatap sayu gue. “Waktu SMP, aku pernah hampir tenggelam karena dijorokin temen waktu praktik renang. Dari situ aku takut renang. Aku....,”“Ssttt!”Gue tahu Nana ingin cerita kejadian di masa lalunya itu. Tapi sepertinya emosinya meledak-ledak dan masih belum stabil.“Udah jangan dilanjutin,” cegah gue. “Mau ga
Galih Sebagai lelaki yang normal seratus persen, lo tahu apa yang buat gue frustasi setiap hari? Status gue sebagai suami. Tapi gue hanya dikasih bibir doang, paling banter gue bisa nyentuh dadanya. Itu juga dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Asli mau bilang nanggung, gue sudah terlanjur janji. Satu bulan, satu bulan terberat dalam hidup gue. Untung dia selalu memakai pakaian yang sopan, piyama tidur yang panjang. Dan itu berhasil sedikit meredam keinginan gue untuk menyentuhnya. Dan gue berharap, setelah delapan hari terlama dalam hidup gue itu, gue bukan hanya berhasil memanjakan ronaldo junior. Tapi gue harus berhasil meyakinkan Naditya Pramesti, kalau gue sayang, ah ralat mungkin sayang gue sudah ke tahap cinta. Hidup satu atap dengannya selama dua puluh dua hari, membawa perubahan signifikan dalam hidup gue. Gue lupa kapan tepatnya, tapi gadis kecil itu berhasil bikin gue uring-uringan lagi setelah tiga tahun lepas dari yang
NanaSeiring pergantian hari, banyak hal yang aku tahu tentang kebiasaannya. Di waktu malam, tidak pernah kami lupakan untuk bercengkerama dengan santai. Bercerita dengan asyik. Seperti malam ini. Situasinya sehabis makan malam--kira-kira pukul setengah delapan malam, di depan televisi yang menyala kami duduk berdua, bersebelahan dan berdekatan. Aku memakai piyama biru panjang bermotif doraemon. Sementara Mas Galih lebih santai dengan kaus putih pendek dan celana kolor hijau selutut. Dia tipe laki-laki yang tidak ingin ribet memakai baju untuk tidur sepertinya.Malam ini aku iseng mengambil salah satu dari sekian banyak buku tebal yang terpajang di rak buku milik Mas Galih. Membukanya lembar demi lembar. Otakku dipaksa untuk berpikir keras. Pusing. Aku tidak mengerti dengan berbagai istilah kedokteran.“Rhinitis alergi, angioedema, pankreatitis hepatitis, demensia, malnutrisi, inkontinensia urin, diabetes tipe 2, oste