***
Dengan memakai kaus kebesaran sampai menutupi paha yang hanya dilapisi hotpants pendek, Caitlin memanfaatkan kesendiriannya di rumah untuk menonton film China favorit sepanjang masa di ruang keluarga. Sudah terbiasa, maka takut akan hal horor bukanlah halangan.
Sesekali Caitlin mencomot popcorn homemade-nya sebagai cemilan ala bioskop. So I Married an Anti-fan, judulnya. Anggap saja Caitlin cuci mata melihat wajah tampan biasnya—Park Chanyeol—yang juga berbakat menjadi aktor.
Kurang lebih setengah dari adegan yang ditonton, lalu tiba-tiba ketukan di pintu utama terdengar. Caitlin melirik jam di dinding tepat di atas televisi. Pukul tujuh malam, bahkan suara orang beribadah di masjid terdekat menyeruak di keheningan komplek.
“Siapa, sih?” dumel Caitlin, ogah-ogahan beranjak sambil tetap mengemil. “Iya, sebentar!” jeritnya begitu bel kembali berdering.
Walaupun malas, Caitlin tidak berniat membiarkan tamu tak tahu diri itu membeku. Jadi, tanpa membayangkan yang aneh-aneh, ia membuka pelindung terakhir kediaman sebelum matanya sukses membelalak.
“Hai, selamat malam!”
“Kamu ... kamu kenapa ke sini?”
“Kan, sudah bilang.”
“Kapan?” Caitlin memejam dalih mengerang putus asa, mengingat pemaksaan laki-laki arogan di depannya kini saat di sekolah tadi. “Aku juga sudah bilang, aku enggak menerima tamu.”
“Wah, ada kupu-kupu keluar.” Efrain menyeringai menatap seekor hewan terbang melewatinya di atas kepala. “Kata orang, kupu-kupu mampir ke rumah, berarti ada yang bertamu. Dia baru pergi setelah sang tamu datang. So, I’m here.”
“But I don’t want you here,” jawab Caitlin terang-terangan. “Kamu enggak ada kerjaan ke rumahku di jam segini?”
“Aku, kan, juga sudah bilang. Aku ajak kamu jalan or something like that. Kamu enggak mau, makanya aku memutuskan buat dinner talk di rumahmu.”
“Aku enggak suka kamu kalau niatmu untuk pedekate. So, just stop it!”
“Waw.” Efrain terkekeh geli meratapi setiap mimik muka Caitlin yang anehnya terlihat imut. “Kamu menolakku.”
“Of course.”
Efrain menyengir. Dalam kasus ini, Caitlin memang berbeda, bahkan jauh dari tipenya jika menyangkut fisik. Kulit tak seputih para gebetan tanpa statusnya, tidak terlalu tinggi, mata hitam khas Indonesia, dan body standar. Tidak spesial sama sekali.
Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Maka dari itu, Caitlin memiliki kemampuan menarik lawan jenis dengan kepunyaannya. Hal-hal yang melekat seolah magnet—atau pelet—ampuh yang memikat semua pasang mata memperhatikan.
Bagi Efrain Reagan sendiri, ternyata tak sulit jatuh cinta pada gadis semanis—meski cuek bebek—bernama Caitlin Deborah Roland.
Sadar kesunyian sudah terlalu lama menyelimuti, Efrain membuat pergerakan provokatif dengan maju selangkah. Senyuman tertahan menghiasi wajahnya begitu Caitlin tertangkap mundur. “Mempersilakan aku masuk, Cait?”
“Eng-enggak.”
“Thank you, Honey.” Entah kerasukan apa, Efrain mengecup pipi Caitlin seringai bulu. Hanya di per sekian detik, tetapi ia menggeram tertahan sebab aroma bayi tubuh Caitlin menyebabkannya pening. “Hem, rumahmu cukup nyaman.”
Caitlin mengerjap, memungut kembali kewarasannya. Ia masih saja bergetar karena bekas kecupan basah yang diterimanya. “Untuk apa kamu kemari, Ef?”
“Merayakan ulang tahunmu bersama.” Dorongan kuat menghasut Efrain mengambil jemari lentik Caitlin yang terasa menegang. “Are you okay?”
“A-aku ... kamu enggak perlu begini. Ulang tahunku bukanlah sesuatu yang spesial untuk dirayakan.”
Efrain menunduk, meratapi gadis sok tegar yang sejak kemarin menarik minatnya secara mendadak. Bayangkan, mendapati Caitlin tersenyum amat manis pada ojek online yang mengantarnya ke sekolah, Efrain yang saat itu berada di parkiran dan duduk menelaah sekeliling di jok motor menghadap pagar, langsung terkagum-kagum.
Tidak sampai di situ, perhatian Efrain berlanjut ketika Caitlin termenung di dekat jendela perpustakaan dan perlahan menangis tanpa suara. Kemudian, Efrain bertekad berada di samping Caitlin tatkala suruhannya mengungkapkan senahas apa hidup gadis itu.
Efrain menilik suara berbahasa asing di sudut ruangan, lalu kembali menatap teduh Caitlin. “Kalau kamu enggak mau ikut aku, aku saja yang ikut kamu.”
“Ya?”
“Ajak aku nonton bareng film yang lagi kamu putar.”
Caitlin memilin ujung kausnya yang turut memancing pandangan Efrain ke bagian bawahnya. “For your information, aku enggak membuat pesta ulang tahun. Ja—”
Tawa Efrain mengudara sesaat berhasil membungkam ocehan Caitlin dengan mencium lembut ujung hidung kecil itu. Syoknya Caitlin adalah pemandangan terindah. “Kamu akan merayakannya bersamaku. Berdua.”
***
“Jadi, sudah berapa lama kamu tinggal di sini sendirian?” tanya Efrain memulai pembicaraan walau Caitlin tetap membentang jarak tak kasat mata.
“Aku tinggal sama orang tuaku.”
“Ah, aku salah bertanya.” Efrain terkekeh, menghentikan sejenak kenikmatan sejumlah sate ayam yang dipesannya. “Maksudku, aku dari tadi tidak lihat orang tuamu, right. Jadi, aku menyimpulkan seperti tadi.”
“Mereka sedang pekerjaan di luar kota dan di luar negeri.” Caitlin tampak acuh memakan bagiannya, lalu mengernyit menangkap beberapa tusuk sate kembali memenuhi piringnya. “Kenapa?”
“Aku sudah kenyang. Kamu habiskan punyaku.” Sikap monoton Caitlin membuatnya sekadar mengangguk, Efrain sampai memutar kepala untuk melanjutkan perbincangan. “Kamu jarang makan malam, ya?”
“Makan sendiri enggak enak.”
Tenggorokan Efrain bergelombang, senantiasa ambisinya terhadap Caitlin makin menguat. “Kamu bisa ajak aku makan malam mulai sekarang, sesuai keinginanmu.”
Caitlin mengembuskan napas, sekejap melepaskan sendok dan garpu yang dipegangnya. “Setelah ini, anggap aja kita enggak saling kenal seperti kemarin-kemarin. Bisa?”
“Enggak.”
“Ef.”
“I love you at the first sight,” kata Efrain dalam satu tarikan napas. Matanya memancarkan keseriusan luar bisa.
Tentu respons Caitlin tak memuaskan. Seperti berpengalaman menolak laki-laki lain, tatapan datarnya bermain sementara. Namun, Caitlin pun sadar siapa yang sekarang dihadapinya. “No thanks.”
Efrain terkekeh geli. “Kamu memang tidak ada balasan lain, ya?”
“No thanks.”
“Be my girl, please?”
“Aku enggak suka kamu,” jawab Caitlin melakukan penekanan di saban katanya.
“Well, aku positive thinking. Bukan tidak, tapi belum.” Malam ini untuk sekurang-kurangnya belasan kali Efrain menyeringai. “I will try to make you love me.”
“It’s useless. Vain.”
“Oh, it’s so easy, Honey. Aku pastikan sebelum prom night kamu sudah membalas perasaanku.” Caitlin kian gelisah, pergerakannya yang tak lagi bernafsu makan memicu tidak enak hati di diri Efrain. “Kamu masih punya banyak waktu untuk berpikir.”
“Bolehkah kita berganti topik, atau kamu pulang sekarang juga?” Caitlin berpaling, jarum pendek yang terus dilihatnya sepanjang malam ini terasa melambat. Sudah kurang lebih seratus dua puluh menit rumah yang biasanya tenang bagi Caitlin, berubah panas sebab pertanyaan cinta. “Kedatanganmu mengganggu.”
“I always waiting you answer.”
“Aku kenyang.”
Efrain tidak menyerah. Ia menarik Caitlin mendekat padanya setelah gadis itu menyingkirkan peralatan yang dipakai makan ke atas meja, kembali menuntunnya menghadap televisi. Caitlin sempat memberontak, tetapi Efrain makin mengeratkan rengkuhan posesifnya. “I’m still here. Just sleep now.”
Anehnya, Caitlin tak menolak sedikit pun. Tontonannya tak lagi menarik, kekhawatirannya akan hari esok melebur, serta ketakutan akan dunia yang tidak menerimanya lenyap. Menakjubkan. Tersisa hanya bagaimana pelukan Efrain menjadi tempat ternyaman yang selama ini Caitlin idam-idamkan.
“Mimpiku indah sekali. Terima kasih, Efrain.”
Sungging Efrain merekah mendengar kalimat tersebut walakin setengah sadar. Ia senang bisa ada di saat Caitlin seharusnya memeluk tubuh sendiri—atau mungkin juga ditambah menangis semalaman. Memikirkannya saja Efrain sudah sesak.
“Kamar.”
Berikut tujuan Efrain. Pelan-pelan ia membenarkan posisi Caitlin agar tidak membangunkan sang empu, lalu memapahnya di pangkuan. Merasa posisi itu tepat dan menenangkan, Efrain mengambil kesempatan memandang wajah memukau Caitlin yang hari per hari selalu judes. Satu kecupan mampir di dahi, Efrain belum berani bertindak lebih.
Setelah beberapa waktu dan kian larut, Efrain bangkit hati-hati dengan menggendong Caitlin. Langkahnya tertatih menaiki tangga yang terasa panjang nan curam, tetapi Efrain tetap semangat membawa gadisnya menuju tempat beristirahat.
Melihat huruf-huruf balok tertempel di sebuah pintu yang sedikit terbuka, menandakan kamar Caitlin di depan mata. Efrain mengusap lembut punggung Caitlin begitu membaringkannya di ranjang, serta merta mencari remote AC untuk mengatur suhu ruangan.
“Good night. Have a nice dream, Honey.” Selanjutnya, kening, ujung hidung, dan kedua pipi Caitlin dijadikan Efrain target bibirnya mampir. “Aku pulang.”
Oh, bagaimanapun Efrain bukan remsaja berengsek yang sembarang menginap dan tidur hingga pagi di bawah selimut bersama lawan jenis incarannya. Ia hanya memutuskan menghubungi seseorang guna meminta melakukan perintahnya.
Efrain menutup pintu kamar, mematikan televisi yang menganggur, meletakkan bekas santapan mereka ke dapur, terakhir merapatkan pintu utama dan memastikan tidak ada stranger yang mengincar rumah politikus terkenal seperti orang tua Caitlin.
***
*** Susah payah Caitlin menguatkan lahir dan batinnya atas rencana yang diusulkan Zara. Meski enggan, ia juga tahu sudah sebaiknya expressing gratitude dimanfaatkan. Setengah yakin Caitlin mengitari lantai jurusan IPS yang berisik oleh kehebohan di kelas masing-masing, sangat berbanding terbalik dengan wilayah IPA. “Cait, what are you doing here?” tanya salah satu anak yang cukup mengenal Caitlin sebab satu ekstrakurikuler. “Enggak apa-apa.” Untuk sedikit memasangkan sifat tidak sombong, Caitlin tersimpul sebentar dan terus melanjutkan langkahnya. “Lagi mencari Efrain bukan, nih?” Caitlin kenal orang itu. Anak buah Efrain yang selalu mengekorinya di lingkungan sekolah maupun luar. Sekarang Caitlin yang bingung, apa ia harus meminta bantuan Stefan atau berjalan sendiri ke kandang singa? “Efrain di kelasnya, lagi kumpul sama anak-anak lain.” Tidak dikode apa-apa, dan Stefan kembali terkekeh sebab kepekaannya benar.
*** Caitlin teramat muak berada di situasi ini. Ditatap seolah anak paling berdosa di muka, padahal sekadar menanggung setumpuk maksiat sepasang yang disebutnya Ayah dan Ibu. Malu ... tidak. Justru Caitlin tak peduli apa pun. Hanya saja, ia putus asa oleh pandangan cemooh orang-orang sekitar yang menyebabkannya ingin mengumpat setiap saat. Besok atau lusa kamu temui pengacara Ayah dan Ibu untuk menunjang kebutuhan kamu ke depan. Little gift for you, Sayang. Kamu harus tahu Ayah dan Ibu mencintaimu melebihi apa pun. Para pembohong! Bullshit! Penyesatan anak! Nyatanya, saban kekecewaan Caitlin cukup tertuang di lubuk hati terdalam tanpa pengungkapan lisan. Kebahagiannya malam itu terlalu singkat dan menyakitkan untuk diingat, tetapi kenangan terindah Caitlin selama delapan belas tahun terakhir walau ... walaupun ditutup dengan penangkapan paksa tersebut. “Aku sama sekali enggak menyangka orang
*** Sialan! Waktu terlalu cepat berlalu, di sisi lain kata ‘perubahan’ adalah momok ketakutan bagi Efrain. Nyaris dua minggu belakangan kedekatannya dan Caitlin terjalin, pun banyak hal mereka kerjakan bersama-sama. Caitlin yang berusaha membuka diri, serta Efrain menunjukkan bagaimana gadis itu begitu berharga. Setidaknya, Caitlin tahu jelas perasaan Efrain tidak sekadar permainan belaka. Tindakannya bahkan bernilai menggelikan jika dilakukan pada insan lain. Hanya pada Caitlin, maka lembutnya seorang Efrain Reagan akan muncul ke permukaan. Namun, saat ini pemandangan tak mengenakkan terpampang nyata. Efrain yang tidak satu kelas teramat berang ketika melongok keakraban pujaannya sedang tertawa puas dengan pria selain dirinya di sudut ruangan. Entah sejak kapan sifat posesif muncul, pastinya Efrain tahu tawa tersebut mengandung berjuta makna—khusus ditunjukkan laki-laki yang memiliki perasaan lebih pada lawan jenis. Sial, saingan Efr
*** Ini tepat dua minggu setelah kejadian di gudang, dan prom night masa putih abu-abu sebagai pergelaran menyimpan kenangan akhirnya tiba. Sebuah ajang memamerkan segala hal untuk sebagian siswa-siswi, tetapi tidak bagi beberapa yang menghindari malam mewah nan glamor ini, termasuk Caitlin. Efrain tahu, membawa Caitlin ke sini bukanlah ide bagus, bahkan dirinya terkadang jijik. Walaupun berasal dari keluarga yang cukup, tetapi Efrain yakin Caitlin tidak terbiasa akan dunia malam meski sekadar acara sekolah. Martabat Caitlin Deborah Roland tinggi laksana perempuan, dan ia amat beruntung bisa memilikinya. Caitlin milik Efrain, it’s his nice obsession. Satu jam lalu, Efrain terpaksa meninggalkan Caitlin di balkon saat didapuk pemenang king of the year. Di sudut hatinya terdalam, Efrain benar-benar bahagia, dan beberapa rencana tersimpan baik di kepala. Sebentar lagi memasuki perkuliahan, ia berniat membawa Caitlin ke mana pun
*** Sepuluh tahun kemudian .... Namanya Caitlin Deborah Roland, wanita dewasa dengan kulit eksotis, lesung pipi di sebelah kiri, dan tubuh semampai hingga dianggap idaman di ruangan sakral itu. Visual yang bisa menghapus jejak berita bahwa kedua orang tua Caitlin adalah politikus terkenal—setidaknya sepuluh tahun lalu, sebelum masalah korupsi yang mencuat. Berbagai masalah di lampu membuat kepribadian Caitlin lebih keras daripada perempuan lain, kata ‘berjuang sendiri’ adalah kunci kehidupannya. Di umur yang menginjak dua puluh delapan tahun, Caitlin masih belum—tidak ingin—dekat pria sembarang, tetapi bukan berarti enggan berumah tangga suatu hari. Menghadirkan senyuman di bibir seksinya dikatakan gampang-gampang susah. Berbahagia di depan Caitlin, maka wanita tersebut akan menyoraki kegembiraan yang menopang dari bawah. Sesimpleks itu mengerti seorang Caitlin. “Thank you, Cait. Kamu benar, pernikahan tidak seburuk bayanganku. Aku se
*** Di detik pertama terbangun dari tidur, Caitlin langsung terduduk sampai pening. Dilanda gelisah sebelum terlelap, dan akhirnya terpejam menjelang subuh. Untung sekali datang bulan membuat Caitlin memiliki waktu beristirahat beberapa jam untuk memulihkan fisik serta perasaannya yang berada di tahap lelah. Omong-omong, syukur tak ada kejadian menyeramkan semalam. Memang Caitlin sempat memberontak ke sekian kali ketika Efrain menyuruh supirnya membelah gemerlap kota Jakarta. Namun, Efrain balik membentaknya dan berjanji tak akan menyakiti, alih-alih membawa Caitlin selamat ke apartemennya. Tepat pukul delapan pagi dan belum sempat sarapan, Caitlin sudah nangkring di kantin perusahaan memesan nasi goreng seafood. Tak terasa seminggu berlalu ditugaskan di CloudSky Indonesia. Hampir segenap pegawai mengenal Caitlin Deborah sebab satu-satunya perempuan di tim programmer dari divisi development web. “Cait, pulang bersamaku?” “
*** “Kami dari tim Roderick mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan CloudSky. Semoga agenda kerja sama ini bisa terlaksana sesuai keinginan kami di lubuk hati terdalam. Selamat siang, Pak Efrain beserta tim!” Efrain berdeham, mengakhiri sesi tepuk tangan selepas presentasi virtual calon kolaborator menjelaskan secara garis besar rincian jika aliansi antar perusahan di bidang berbeda ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Sejujurnya, Efrain tak meragukan Roderick, tetapi argumen tetap diperlukan. “Silakan bagi para divisi atau setiap tim mengajukan pendapatnya sebagai pertimbangan apakah CloudSky pantas menjalin kerja sama dengan Roderick?” Rey, asisten pribadi Efrain yang juga merangkap sekretaris, menjalankan tugasnya sebagai juru bicara. “Divisi pemasaran sepenuhnya amat mensyukuri kerja sama ini, Pak Efrain. Game kedua Roderick benar-benar menjanjikan, prediksi target pasarnya pun tidak hanya terbatas pada gene
*** “Kamu membunuhku!” Caitlin tidak berusaha lebih dulu mengatur napas yang memburu, dan jari telunjuknya khusus terarah pada Efrain. Di pikiran Caitlin, pria dewasa di sebelahnya itu tidak ubah lintah darat dengan seringai panas yang mampu membakarnya bila diam saja. “Apa kamu enggak mengenal penolakan?” “Enggak.” “Argh!” Caitlin berteriak frustrasi, sementara Efrain masih setia tersenyum jemawa sambil melipat tangannya di depan dada. “Kamu … gila!” “Mengumpatlah sepuasmu, dan tanggung sendiri akibatnya. Aku menunggunya, Cait. Selalu,” “Me—” Oh my .... Efrain menarik tengkuk Caitlin dan memajukan tubuhnya sendiri. Tidak butuh satu detik kemudian, lidah Efrain langsung menerobos mulut Caitlin. Begitu dalam, intens, dan bergairah. Sejak dulu, rasanya tetap candu seperti pertama kali. Inilah yang dimaksud Efrain setoran per hari, sesuai harapannya. “Kamu memang menantikan ini, right?” gumam Efr
***Efrain tengah fokus dengan setumpuk file yang harus ditandanganinya ketika perasaan tidak enak mendadak menyerang. Ia melirik jam di dinding, dan mendesah saat menyadari masih banyak menit-menit yang mesti dilaluinya. Setidaknya, profesionalitas Efrain tinggi, dan tidak memaksa kehendak.Lima menit berlalu tanpa kemajuan berarti, Efrain mengacak-acak rambutnya frustrasi. Nama Caitlin terus terbayang di kepala, membuat Efrain tidak dapat menahan umpatan dari mulutnya. Ketimbang penasaran, ia dengan cepat mengambil ponselnya di meja, lalu menghubungi seseorang.“Caitlin-nya ada, Pak Yoga?”Kemudian, terdengar manager divisi tersebut berteriak menanyai para bawahannya yang kemungkinan besar di satu ruangan karena sekarang belum memasuki jam makan siang. Efrain menunggu sabar dalih harap-harap cemas. Tidak terelakkan jika yang kini dibayangkannya hanya Caitlin.“
*** “Apa kita benar-benar harus masuk ke sana barengan?” Efrain menoleh, mendapati Caitlin menggigit bibir bawah dan menatapnya sendu. Rasanya, ia ingin menggantikan gigi-gigi itu dan melumatnya. Efrain sampai mengerang hanya karena memikirkannya. “Don’t do it, Honey. Atau kamu ingin aku yang menciummu, hem?” “Jangan coba-coba!” Efrain terkekeh, lalu tangannya terulur mengelus lembut puncak kepala Caitlin. “Ayo, kita kerja, Honey.” “Kamu duluan aja.” “Hem?” “Aku enggak mau orang-orang melihat kita, Ef,” gumam Caitlin hati-hati, yang diyakini akan membuat Efrain kesal.Di luar, terlihat sejumlah pegawai CloudSky berpakaian formal memasuki gedung delapan tingkat tersebut. Para perempuan tampak cantik dengan rambut panjang yang terurai, diikat, ataupun berjilbab, sementara kaum Adam begitu gagah di balutan kemeja serta dasi, ada ju
*** Caitlin beristigfar di detik pertama kali matanya mengerjap oleh sinar mentari yang mengintip malu-malu di sekat tanpa tirai kamar. Sekali lagi wanita muda itu menguap, mengakhiri sesi tidur panjangnya. Ah, tidak terlalu puas karena bayangan lembur pada hari ini, dipastikan waktu beristirahat hanya angan. Menyadari belum beribadah, padahal waktu sudah menunjukkan lebih dari setengah jam keterlambatan … Caitlin bergegas melaksanakan. Sebelum itu, ia terlebih dulu membasuh wajah, menyikat gigi, dilanjut wudu dan salat. Caitlin berniat mandi total setelah memasak sarapan serta bekal. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering keras. Caitlin yang baru beranjak dari ranjang, seketika melihat gerangan dan lantas mendengus. Memang menyebalkan, pikirnya dramatis. Sejak Efrain berhasil mencuri data nomor teleponnya, hidup Caitlin pun tak tenang walau di apartemen. “Ya, halo,” seru Caitlin malas-malasan. “Apa begitu caramu mengangkat telepon atasan
*** Setiap minggu sesuai aturan perusahaan, CloudSky memang melakukan pertemuan antar divisi agar terciptanya kerja sama yang harmonis dan saling mengerti. Namun, hal tersebut justru dibenci Caitlin yang selalu diperintahkan ketua divisinya untuk hadir, padahal menghindari Efrain adalah tujuannya. Seperti saat ini, pria arogan itu duduk dengan berwibawa di kursi kebesaran di ruang rapat, tampak memindai para pegawai satu per satu sebelum memulai. Dia memerintahkan Rey lewat lirikan mata. “Baik, sudah semua. Tanpa berlama-lama, saya mengajak kalian berkumpul setelah divisi web development melakukan pengujian akhir. Bagaimana presentasinya … siapa yang bersedia—atau Pak Yoga?” “Saya membawa perwakilan tim programmer, Pak Efrain. Caitlin akan menjelaskan hasil pengujian yang kami lakukan dua hari belakangan.” Efrain menyeringai lebar di posisi, tidak sabar mendengarkan penerangan Caitlin yang selalu indah dan dan sayang dilewatk
*** “Kamu membunuhku!” Caitlin tidak berusaha lebih dulu mengatur napas yang memburu, dan jari telunjuknya khusus terarah pada Efrain. Di pikiran Caitlin, pria dewasa di sebelahnya itu tidak ubah lintah darat dengan seringai panas yang mampu membakarnya bila diam saja. “Apa kamu enggak mengenal penolakan?” “Enggak.” “Argh!” Caitlin berteriak frustrasi, sementara Efrain masih setia tersenyum jemawa sambil melipat tangannya di depan dada. “Kamu … gila!” “Mengumpatlah sepuasmu, dan tanggung sendiri akibatnya. Aku menunggunya, Cait. Selalu,” “Me—” Oh my .... Efrain menarik tengkuk Caitlin dan memajukan tubuhnya sendiri. Tidak butuh satu detik kemudian, lidah Efrain langsung menerobos mulut Caitlin. Begitu dalam, intens, dan bergairah. Sejak dulu, rasanya tetap candu seperti pertama kali. Inilah yang dimaksud Efrain setoran per hari, sesuai harapannya. “Kamu memang menantikan ini, right?” gumam Efr
*** “Kami dari tim Roderick mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan CloudSky. Semoga agenda kerja sama ini bisa terlaksana sesuai keinginan kami di lubuk hati terdalam. Selamat siang, Pak Efrain beserta tim!” Efrain berdeham, mengakhiri sesi tepuk tangan selepas presentasi virtual calon kolaborator menjelaskan secara garis besar rincian jika aliansi antar perusahan di bidang berbeda ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Sejujurnya, Efrain tak meragukan Roderick, tetapi argumen tetap diperlukan. “Silakan bagi para divisi atau setiap tim mengajukan pendapatnya sebagai pertimbangan apakah CloudSky pantas menjalin kerja sama dengan Roderick?” Rey, asisten pribadi Efrain yang juga merangkap sekretaris, menjalankan tugasnya sebagai juru bicara. “Divisi pemasaran sepenuhnya amat mensyukuri kerja sama ini, Pak Efrain. Game kedua Roderick benar-benar menjanjikan, prediksi target pasarnya pun tidak hanya terbatas pada gene
*** Di detik pertama terbangun dari tidur, Caitlin langsung terduduk sampai pening. Dilanda gelisah sebelum terlelap, dan akhirnya terpejam menjelang subuh. Untung sekali datang bulan membuat Caitlin memiliki waktu beristirahat beberapa jam untuk memulihkan fisik serta perasaannya yang berada di tahap lelah. Omong-omong, syukur tak ada kejadian menyeramkan semalam. Memang Caitlin sempat memberontak ke sekian kali ketika Efrain menyuruh supirnya membelah gemerlap kota Jakarta. Namun, Efrain balik membentaknya dan berjanji tak akan menyakiti, alih-alih membawa Caitlin selamat ke apartemennya. Tepat pukul delapan pagi dan belum sempat sarapan, Caitlin sudah nangkring di kantin perusahaan memesan nasi goreng seafood. Tak terasa seminggu berlalu ditugaskan di CloudSky Indonesia. Hampir segenap pegawai mengenal Caitlin Deborah sebab satu-satunya perempuan di tim programmer dari divisi development web. “Cait, pulang bersamaku?” “
*** Sepuluh tahun kemudian .... Namanya Caitlin Deborah Roland, wanita dewasa dengan kulit eksotis, lesung pipi di sebelah kiri, dan tubuh semampai hingga dianggap idaman di ruangan sakral itu. Visual yang bisa menghapus jejak berita bahwa kedua orang tua Caitlin adalah politikus terkenal—setidaknya sepuluh tahun lalu, sebelum masalah korupsi yang mencuat. Berbagai masalah di lampu membuat kepribadian Caitlin lebih keras daripada perempuan lain, kata ‘berjuang sendiri’ adalah kunci kehidupannya. Di umur yang menginjak dua puluh delapan tahun, Caitlin masih belum—tidak ingin—dekat pria sembarang, tetapi bukan berarti enggan berumah tangga suatu hari. Menghadirkan senyuman di bibir seksinya dikatakan gampang-gampang susah. Berbahagia di depan Caitlin, maka wanita tersebut akan menyoraki kegembiraan yang menopang dari bawah. Sesimpleks itu mengerti seorang Caitlin. “Thank you, Cait. Kamu benar, pernikahan tidak seburuk bayanganku. Aku se
*** Ini tepat dua minggu setelah kejadian di gudang, dan prom night masa putih abu-abu sebagai pergelaran menyimpan kenangan akhirnya tiba. Sebuah ajang memamerkan segala hal untuk sebagian siswa-siswi, tetapi tidak bagi beberapa yang menghindari malam mewah nan glamor ini, termasuk Caitlin. Efrain tahu, membawa Caitlin ke sini bukanlah ide bagus, bahkan dirinya terkadang jijik. Walaupun berasal dari keluarga yang cukup, tetapi Efrain yakin Caitlin tidak terbiasa akan dunia malam meski sekadar acara sekolah. Martabat Caitlin Deborah Roland tinggi laksana perempuan, dan ia amat beruntung bisa memilikinya. Caitlin milik Efrain, it’s his nice obsession. Satu jam lalu, Efrain terpaksa meninggalkan Caitlin di balkon saat didapuk pemenang king of the year. Di sudut hatinya terdalam, Efrain benar-benar bahagia, dan beberapa rencana tersimpan baik di kepala. Sebentar lagi memasuki perkuliahan, ia berniat membawa Caitlin ke mana pun