Hari beranjak malam, tapi Revan masih belum beranjak dari ruang kerjanya. Setelah mengetahui kecurangan demi kecurangan yang telah dilakukan sang ayah--mengatasnamakan dirinya, membuat pria muda itu harus memutar otak menyelesaikan masalah yang tidak pernah ia lakukan. Belum lagi, kebakaran yang terjadi tempo hari di salah satu gudang logistik membuat perusahaannya harus menanggung kerugian yang sangat besar. "Bagaimana ini, bisa-bisa para investor asing itu angkat kaki dari perusahaan. Proyek pembangunan ini tidak boleh gagal. Aku harus bisa menyelamatkan perusahaan mama." Tok! Tok! Tok! "Masuk!" seru pria muda itu saat mendengar pintu ruangannya diketuk. "Ada apa?" "Tuan Yudistira sudah setuju untuk bertemu malam ini. Beliau bilang jam delapan ditunggu di Caffe Cassa The Lounge," tutur Panji seraya menyerahkan ponsel milik Revan yang tadi ia pakai untuk menelepon. "Ok!" Revan melirik arloji yang ia pakai di lengan kiri. "Setengah jam lagi. Aku harus bergegas." "Terima kasih,
"Ya Allah, ini teh beneran Neng Azila?" Dengan logat sundanya yang khas, wanita berhijab itu langsung berhambur memeluk gadis yang dulu pernah tinggal bersamanya.Awalnya Bi Nani sempat ragu saat mendengar suara mobil terparkir tepat di depan rumahnya. Wanita itu lantas mengintip di balik gorden. Dua orang wanita turun dari mobil mewah yang tadi terparkir. Yang satu nampak anggun dan berkelas dengan menenteng tas dari salah brand ternama, dan satu anak gadis dengan rambut panjang hitam lurus yang dibiarkan terurai dengan sedikit riasan di wajahnya. Namun, saat gadis muda itu mengucapkan salam, barulah Bi Nani mengenal dan langsung membukakan pintu."Iya, Bi. Ini Zila, Bibi apa kabar? Zila kangen banget," ujar gadis itu seraya membalas pelukan sang Bibi. Dengan senyum yang terus terkembang di raut wajah keduanya."Alhamdulillah, Neng. Kabar Bibi baik. Ya Allah, kamu tambah cantik aja, Bibi sampai pangling." Bi Nani menggenggam erat tangan Azila, seolah masih tidak percaya, gadis muda y
"Siapa di sana?" ucap Azila sekali lagi. Gadis itu mulai beranjak dari tempatnya duduk. Perlahan ia mulai mendekati pintu. Sebelumnya ia melarang kedua wanita yang bersamanya itu untuk bersuara dan tetap diam di tempat.Ceklek! Pintu itu perlahan mulai terbuka. Azila mengedarkan pandangannya melihat keadaan luar rumah. "Astaghfirullah, Danur? Kamu kenapa, Sayang?" teriak Gadis itu terkejut melihat keponakan kecilnya sedang terduduk sambil memegangi lututnya yang terlihat mengeluarkan darah."Bi, Danur jatuh, Bi!" teriak Azila memanggil Bi Nani.Seketika dua orang wanita yang berada di dalam rumah langsung ke luar saat mendengar teriakan gadis itu."Ya Allah, Nak? Kamu kenapa?" Gegas Bi Nani menghampiri anak lelakinya yang kini sedang menangis tersedu."Huhuhu ... huhuhu .., sakit Bu! Huhuhu ...!" ucap Danur
'Sepertinya wanita itu bos mereka,' gumam Azila dalam hati."Serahkan kotak hitam yang kalian bawa!" ucap salah satu pria bertopeng yang memiliki tato di lengan kanannya.'Ternyata benar, wanita itu yang tadi Danur lihat.'"Kotak hitam apa yang kalian maksud?" Azila pura-pura tidak mengerti dengan barang yang mereka incar."Alah, jangan pura-pura bodoh, gadis cantik!" Salah satu pria bertopeng tadi mulai terlihat kesal. Azila masih saja bungkam dan tidak mau bicara."Siapa yang sudah menyuruh kalian melakukan ini kepada kami?" tanya gadis yang sedang mengikat rambutnya itu, air mukanya kini berubah merah padam. Ia bisa saja langsung menghajar ketiga pria di depannya, hanya saja senjata tajam yang mereka bawa bukanlah tandingan gadis tomboy ini."Kau tidak perlu tahu, jangan banyak omong, cepat serahkan kotak hitam itu! Atau ... kami ambil paksa?" ucap pria bertato dengan kasar. Sedangkan salah satu pria menodongkan sebuah pisau belati ke arah dirinya."Ck, kalian semua laki-laki cemen
Semua mata langsung tertuju pada asal suara. "Bi Nani?" ucap Raihanah dan Revan bersamaan."Iya, Sus, ambil darah saya! Mungkin saja darah kami cocok," ujar wanita itu dengan tergopoh-gopoh menghampiri Raihanah dan Revan."Baik, kami akan memeriksa Anda semua. Silakan ikut kami ke ruang pemeriksaan!" seru perawat itu kepada mereka bertiga.Revan yang mendapat giliran pertama untuk diperiksa. Sambil menunggu giliran, Bi Nani dan Raihanah sempat berbincang."Saya langsung datang ke mari setelah Nak Revan mengabari soal Si Neng. Ya Allah, kenapa bisa begini, Bu?" tanya Bi Nani dengan terisak. Wanita itu tidak menyangka hal ini akan terjadi pada gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya itu."Saya minta maaf, Bi. Saya tidak bisa melindungi anak saya untuk kedua kalinya.
Pov Azila."Di mana ini? Semua nampak hampa dan kosong." Aku mengedarkan pandangan--putih tanpa cela, berharap bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa menjawab pertanyaanku."Mama ... Kak Revan ... Sus Reni ...? Kalian di mana?" Aku terus memanggil mereka. Tak ada yang mendengar dan menjawab teriakkanku."Ayah ... Bi Nani ... Danur ...! Kalian di mana?" teriakku sekali lagi.Aku terus berlari dan berlari menyusuri ruang hampa tak berujung. "Siapapun, tolong jawab! Aku di mana?" pekikku keras.Sunyi, hanya ada suaraku yang menggema. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas setiap hela napas yang keluar dari indera penciuman. Aku kembali berlari, berlari dan terus berlari. Sampai kaki ini lemas dan tak sanggup lagi untuk berpijak."Semua orang ... kalian di mana?" teriakk
Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberanian untuk menanyakan hal yang tak seharusnya kutanyakan sekarang."Apa kau mencintaiku, 'Kak?" Kutatap wajah teduhnya, ia nampak terkejut mendapatkan pertanyaan itu dariku.Satu menit, dua menit, lima menit, masih tidak ada satu kata pun yang terucap darinya. Aku masih menunggu jawaban dari pria yang waktu itu kudengar mengutarakan perasaannya.Mama menghampiri 'Kak Revan. "Jawablah, dia menunggu jawaban darimu!""Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?" tanyanya dengan ekspresi heran."Entahlah, hanya saja ketika aku belum tersadar rasa-rasanya aku mendengar seseorang mengucapkan kata itu. Aku hanya penasaran apa semua yang kudengar nyata atau hanya ilusiku saja," jawabku dengan pandangan yang lurus menghadap langit-langit kamar yang berwarna putih
Sementara itu, Yudistira sedang kewalahan dengan laporan yang telah dibuat oleh Raihanah dan Revan. Polisi sudah dua kali melayangkan panggilan dan belum ada tanggapan dari pihak dirinya terkait hal ini. Yudistira ditetapkan sebagai terdakwa untuk beberapa kasus yang dilaporkan Raihanah dan Revan."Sialan, apa-apaan ini? Mereka pikir aku takut dengan gertakan ini? AARRRGGGHHH!" Pria itu membanting surat panggilan tersebut. Tok! Tok! Tok! Seorang pria berjas hitam masuk dan menghampiri Yudistira, sambil mengangguk memberi hormat pada bosnya. "Bagaimana, Mr. Yukata sudah bersedia datang ke pertemuan nanti malam?" tanya Yudistira dengan wajah kesalnya. "Maaf, Tuan. Mr. Yukata harus segera kembali ke Jepang sore ini, sekitar pukul empat beliau akan take of dari Bandara Soetta," jelas pria berjas hitam itu. "Apa? Jadi benar Mr. Yukata
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan.Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena A
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan
Suasana dini hari itu begitu sunyi. Hujan lebat yang baru saja berhenti menyisakan tetesan air yang merembes dari atas plafon gudang tua tempat Raihanah dan Azila disekap. Terasa dingin dan pengap. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang gadis muda tengah terbaring di sebuah dipan kayu yang mulai rusak. Perlahan gadis itu mulai terlihat sadar dan membuka matanya. Seketika itu pula, dia beringsut dari tempatnya terbaring. "Di mana ini?" Azila mencoba mengedarkan pandangannya. Terasa asing dan sedikit gelap. Hanya ada lampu gantung kecil yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. "Aw!" Tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali saat ia mencoba untuk berdiri. Azila memegang erat kepalanya. Pandangannya sedikit kabur dan serasa berputar. Belum lagi rasa ngilu yang harus kembali ia rasakan di area sekitar punggungnya. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang untuk menahan semua rasa sakitnya. Pikirannya kembali teringat pada sang ibu. Sekuat tenaga dan tidak lagi memperdulikan r
"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp