"Ma!" ucap gadis itu lirih, rasanya tak tega melihat sang ibu menangis tersedu. "Sebaiknya kita cari tempat lain untuk mama bercerita, sepertinya siang ini mau turun hujan." Revan melihat ke arah langit yang kini tertutup awan kelabu. "Kak Revan benar, sebaiknya kita cari tempat untuk berteduh, langit sudah mendung sebentar lagi pasti turun hujan," ajak Azila pada sang ibu yang masih bersimpuh di pusara suami pertamanya. Wanita itu tidak menghiraukan ajakan kedua anaknya. Raihanah menghela napas panjang, lalu kembali berkata, "satu hal yang paling membuat mama menyesal adalah, ma-ma tidak a-ada di sisi ayahmu saat hembusan napas terakhirnya. Bahkan, sampai ayahmu dimakamkan di sini ... ma-ma, huhuhu ... ma-ma ti-dak bi-bisa melihat suami yang paling ma-ma cintai untuk terakhir kalinya. Huhuhuhu ...!" Raihanah semakin tersedu saat harus mengingat hal paling menyakitkan dalam hidupnya. Ia menutup matanya tak kuasa menahan kepedihan saat harus ditinggalkan orang terkasih. Azila lanta
Hari beranjak malam, tapi Revan masih belum beranjak dari ruang kerjanya. Setelah mengetahui kecurangan demi kecurangan yang telah dilakukan sang ayah--mengatasnamakan dirinya, membuat pria muda itu harus memutar otak menyelesaikan masalah yang tidak pernah ia lakukan. Belum lagi, kebakaran yang terjadi tempo hari di salah satu gudang logistik membuat perusahaannya harus menanggung kerugian yang sangat besar. "Bagaimana ini, bisa-bisa para investor asing itu angkat kaki dari perusahaan. Proyek pembangunan ini tidak boleh gagal. Aku harus bisa menyelamatkan perusahaan mama." Tok! Tok! Tok! "Masuk!" seru pria muda itu saat mendengar pintu ruangannya diketuk. "Ada apa?" "Tuan Yudistira sudah setuju untuk bertemu malam ini. Beliau bilang jam delapan ditunggu di Caffe Cassa The Lounge," tutur Panji seraya menyerahkan ponsel milik Revan yang tadi ia pakai untuk menelepon. "Ok!" Revan melirik arloji yang ia pakai di lengan kiri. "Setengah jam lagi. Aku harus bergegas." "Terima kasih,
"Ya Allah, ini teh beneran Neng Azila?" Dengan logat sundanya yang khas, wanita berhijab itu langsung berhambur memeluk gadis yang dulu pernah tinggal bersamanya.Awalnya Bi Nani sempat ragu saat mendengar suara mobil terparkir tepat di depan rumahnya. Wanita itu lantas mengintip di balik gorden. Dua orang wanita turun dari mobil mewah yang tadi terparkir. Yang satu nampak anggun dan berkelas dengan menenteng tas dari salah brand ternama, dan satu anak gadis dengan rambut panjang hitam lurus yang dibiarkan terurai dengan sedikit riasan di wajahnya. Namun, saat gadis muda itu mengucapkan salam, barulah Bi Nani mengenal dan langsung membukakan pintu."Iya, Bi. Ini Zila, Bibi apa kabar? Zila kangen banget," ujar gadis itu seraya membalas pelukan sang Bibi. Dengan senyum yang terus terkembang di raut wajah keduanya."Alhamdulillah, Neng. Kabar Bibi baik. Ya Allah, kamu tambah cantik aja, Bibi sampai pangling." Bi Nani menggenggam erat tangan Azila, seolah masih tidak percaya, gadis muda y
"Siapa di sana?" ucap Azila sekali lagi. Gadis itu mulai beranjak dari tempatnya duduk. Perlahan ia mulai mendekati pintu. Sebelumnya ia melarang kedua wanita yang bersamanya itu untuk bersuara dan tetap diam di tempat.Ceklek! Pintu itu perlahan mulai terbuka. Azila mengedarkan pandangannya melihat keadaan luar rumah. "Astaghfirullah, Danur? Kamu kenapa, Sayang?" teriak Gadis itu terkejut melihat keponakan kecilnya sedang terduduk sambil memegangi lututnya yang terlihat mengeluarkan darah."Bi, Danur jatuh, Bi!" teriak Azila memanggil Bi Nani.Seketika dua orang wanita yang berada di dalam rumah langsung ke luar saat mendengar teriakan gadis itu."Ya Allah, Nak? Kamu kenapa?" Gegas Bi Nani menghampiri anak lelakinya yang kini sedang menangis tersedu."Huhuhu ... huhuhu .., sakit Bu! Huhuhu ...!" ucap Danur
'Sepertinya wanita itu bos mereka,' gumam Azila dalam hati."Serahkan kotak hitam yang kalian bawa!" ucap salah satu pria bertopeng yang memiliki tato di lengan kanannya.'Ternyata benar, wanita itu yang tadi Danur lihat.'"Kotak hitam apa yang kalian maksud?" Azila pura-pura tidak mengerti dengan barang yang mereka incar."Alah, jangan pura-pura bodoh, gadis cantik!" Salah satu pria bertopeng tadi mulai terlihat kesal. Azila masih saja bungkam dan tidak mau bicara."Siapa yang sudah menyuruh kalian melakukan ini kepada kami?" tanya gadis yang sedang mengikat rambutnya itu, air mukanya kini berubah merah padam. Ia bisa saja langsung menghajar ketiga pria di depannya, hanya saja senjata tajam yang mereka bawa bukanlah tandingan gadis tomboy ini."Kau tidak perlu tahu, jangan banyak omong, cepat serahkan kotak hitam itu! Atau ... kami ambil paksa?" ucap pria bertato dengan kasar. Sedangkan salah satu pria menodongkan sebuah pisau belati ke arah dirinya."Ck, kalian semua laki-laki cemen
Semua mata langsung tertuju pada asal suara. "Bi Nani?" ucap Raihanah dan Revan bersamaan."Iya, Sus, ambil darah saya! Mungkin saja darah kami cocok," ujar wanita itu dengan tergopoh-gopoh menghampiri Raihanah dan Revan."Baik, kami akan memeriksa Anda semua. Silakan ikut kami ke ruang pemeriksaan!" seru perawat itu kepada mereka bertiga.Revan yang mendapat giliran pertama untuk diperiksa. Sambil menunggu giliran, Bi Nani dan Raihanah sempat berbincang."Saya langsung datang ke mari setelah Nak Revan mengabari soal Si Neng. Ya Allah, kenapa bisa begini, Bu?" tanya Bi Nani dengan terisak. Wanita itu tidak menyangka hal ini akan terjadi pada gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya itu."Saya minta maaf, Bi. Saya tidak bisa melindungi anak saya untuk kedua kalinya.
Pov Azila."Di mana ini? Semua nampak hampa dan kosong." Aku mengedarkan pandangan--putih tanpa cela, berharap bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa menjawab pertanyaanku."Mama ... Kak Revan ... Sus Reni ...? Kalian di mana?" Aku terus memanggil mereka. Tak ada yang mendengar dan menjawab teriakkanku."Ayah ... Bi Nani ... Danur ...! Kalian di mana?" teriakku sekali lagi.Aku terus berlari dan berlari menyusuri ruang hampa tak berujung. "Siapapun, tolong jawab! Aku di mana?" pekikku keras.Sunyi, hanya ada suaraku yang menggema. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas setiap hela napas yang keluar dari indera penciuman. Aku kembali berlari, berlari dan terus berlari. Sampai kaki ini lemas dan tak sanggup lagi untuk berpijak."Semua orang ... kalian di mana?" teriakk
Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberanian untuk menanyakan hal yang tak seharusnya kutanyakan sekarang."Apa kau mencintaiku, 'Kak?" Kutatap wajah teduhnya, ia nampak terkejut mendapatkan pertanyaan itu dariku.Satu menit, dua menit, lima menit, masih tidak ada satu kata pun yang terucap darinya. Aku masih menunggu jawaban dari pria yang waktu itu kudengar mengutarakan perasaannya.Mama menghampiri 'Kak Revan. "Jawablah, dia menunggu jawaban darimu!""Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?" tanyanya dengan ekspresi heran."Entahlah, hanya saja ketika aku belum tersadar rasa-rasanya aku mendengar seseorang mengucapkan kata itu. Aku hanya penasaran apa semua yang kudengar nyata atau hanya ilusiku saja," jawabku dengan pandangan yang lurus menghadap langit-langit kamar yang berwarna putih
Liana berusaha bangkit dan mengambil obat yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya. "Aku harus bisa!" Dengan napas yang mulai tersenggal-senggal. Hampir saja ia kembali terjatuh sebelum akhirnya ada seseorang yang berhasil menopang tubuhnya yang kurus."Ya ampuuuun, Non?" ucapnya saat berhasil menahan tubuh Liana agar tidak terjatuh. Ternyata itu Alexa dan perawat pribadi Liana yang datang.Dengan sigap sang perawat segera memberikan obat yang harus Liana minum. "Makasih," katanya dengan lemah."Untungnya kita datang tepat waktu, kalau nggak ya ampiun, Non, Non! Nanti kalau udah tenang Yey harus cerita sama Ekye pokoknya! Sekarang Yey istirahat, kita stand by di sini. Kita bakal jagain Yey dua puluh lima jam kalau perlu!" ucapan Alexa berhasil membuat Liana tersenyum."Sekali lagi terima kasih, kalian seperti malaikat yang Allah kirim untuk aku," ujar Liana lemas. Tidak lama kemudian dia terlihat terlelap
Rasa penasaran pada sosok anak kecil yang berada di samping Revan, sepertinya harus Azila tahan dulu. Dia tidak mau merusak suasana hati yang kini sedang berbunga-bunga. Penantiannya pada pria bertubuh tinggi itu tak lekang oleh waktu. Dan kini, saat sang pujaan berada tepat di hadapannya, rasanya tidak rela harus merusak segalanya. "Sebaiknya nanti saja aku tanyakan tentang anak ini. Tapi tunggu, kenapa wajahnya sangat tidak asing, ya?" gumamnya dalam hati. Menyadari tingkah Azila, Raihanah dan Liana mencoba kembali mencairkan suasana yang mulai sedikit kaku dan ada kecanggungan. Mereka juga tidak tahu kalau Revan akan mengajak serta putri dari adiknya-mendiang Shopia-untuk hadir di acara dadakan hari ini. Awalnya mereka akan memberi kejutan di sebuah hotel berbintang. Tetapi karena Azila tiba-tiba masuk rumah sakit, semua rencana dipindahkan secara mendadak. "Hmmm, kita potong kuenya dulu, ya! Kasian tuh yang lain pada nungguin," pinta Liana pada Azila. "Iya, nih, Teh,
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan. Perlahan Azila menutup kembali mata, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuh. Seakan-akan raga itu bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napas. "Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena seharian ini Azila belum makan. Rencananya ia ingin makan bersama dengan Bi Nani dan Danur. "Neng, Bibi udah nemuin payung--, Ya Allah, Neng? Kamu kenapa, Neng?" teriak Bi Nani terkejut. Ia berlari k
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan