"Iya, penyusupnya adalah kamu, Marni!" tunjuk Revan ke arah Marni. Semua mata langsung tertuju pada Marni. "Apa? Den Revan bilang saya pelakunya?" Seketika mata Marni terbelalak, bahkan Marni tidak percaya dengan pendengarannya. "Marni? Penyusupnya?" Azila pun ikut terkejut mendengar perkataan Revan kalau Marni adalah pelaku pemukulan dirinya. Apalagi dari tadi Marni terlihat sangat ketakutan.Mbok Karsih hanya terdiam, dia belum memberikan respon apapun terkait tuduhan Revan pada anaknya. "Bu, tolong Marni! Ibu tahu sendiri dari tadi Marni menemani nyonya besar di kamarnya. Terus bagaimana bisa Marni yang dituduh telah memukul Non Azila?" bela Marni berharap ibunya mau bicara dan menolongnya. Mbok Karsih hanya terdiam, keringat dingin sudah mulai terlihat membasahi keningnya. "Kak, aku kira bukan Marni pelakunya. Walaupun sepertinya dari awal dia memang
Drrttt! Drrttt! Drrttt!Samar-samar kudengar suara ponsel yang terus bergetar. Dengan mata yang masih terpejam kucoba meraih benda pipih itu, yang kuletakkan di atas meja di samping tempat tidurku.Aku mengucek kedua bola mataku. Rasanya berat sekali mata ini terbuka. Badanku lemas, setelah hampir 8 kali aku harus bolak-balik ke toilet di kedai bakso itu. Kalau saja bukan karena aku kembali mengacaukan harinya, rasanya enggan aku menerima tawaran Azila untuk makan bakso di sana.Akan tetapi, entah kenapa, perasaanku yang tadi kacau karena bertemu Sofia, tiba-tiba hilang ketika bersama Azila. Aku jadi tertawa sendiri mengingat kekonyolanku saat tadi bersamanya. Apalagi ketika aku ditantang untuk makan bakso 2 porsi dengan level pedas yang sangat tidak wajar. Hahaha, alhasil aku harus berakhir bolak-balik ke toilet. Tapi, ketika melihat Azila tertawa lepas
Ternyata hampir satu jam aku tidak sadarkan diri. Saat kali pertama kubuka mata, aku sudah berada di sebuah ruangan serba putih dengan aroma obatnya yang khas."Ya ampyun, syukurlah akhirnya Bos Revan sadar juga. Eyke beneran panik tadi," cerocos Alex saat aku baru tersadar."Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku bisa ada di sini? Liana, gimana kondisi Liana?" cecarku pada Alex. Aku mencoba bangkit berdiri tapi tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan berputar, pandanganku sedikit kabur, hampir saja aku terjatuh. Untung ada Alex yang langsung sigap membantuku."Adu-duh, Bos! Tenang ya! Udah, lebih baik istirahat dulu di sini! Tadi dokter bilang Si Bos kurang darah, terus lambungnya kosong jadinya pingsan, deh. Emangnya Bos Revan belum makan dari kapan?" tanya Alex seraya membantuku duduk bersandar.Makan? Aku baru teringat kal
"Arahnya dari sekitar taman, Den," tunjuk Pak Darmin."Kita lihat ke sana sekarang, Pak!" Dengan setengah berlari kami bergegas mencari asal suara.Ya Tuhan apalagi ini? Aku pulang untuk menenangkan pikiran dan tubuhku. Tapi, baru saja aku memasuki gerbang sebuah teriakan minta tolong sudah menggema."Tolong! Tolong! Ada yang pingsan! Tolong!""Cepat, Pak!" seruku pada pak Darmin."I-ya, Den." Dengan terengah-engah pak Darmin mencoba menyusul langkahku.Setelah tiba di tempat teriakan berasal, kami berdua terperanjat. Seseorang sedang terkapar di tanah dengan masih menggenggam
PAPA? Jadi papa adalah pimpinan rumah sakit ini? Rumah sakit Yudistira Persada Utama. Tempat Liana akan melakukan transplantasi jantungnya? Pantas saja aku seperti tidak asing dengan nama rumah sakit ini.Aku mengambil ponselku dan diam-diam merekam kegiatan papa di sini. Setelah dirasa cukup, kemudian aku mengirimkan pesan kepada Panji--asisten pribadiku di kantor.[Selidiki tentang Rumah Sakit Yudistira Persada Utama, apa benar papa adalah pimpinan rumah sakit ini?]Bagaimana ini? Kalau sampai papa tahu Liana masih hidup dan ada di rumah sakit ini, bisa-bisa operasi transplantasi jantungnya bisa dibatalkan, nyawa Liana sedang dalam bahaya. Aku sudah menunggu cukup lama untuk operasi ini. Jangan sampai operasinya gagal lagi!"Aku dengar akan ada operasi besar hari ini?" Samar-samar kudeng
"Nyonya, bolehkah aku turut memanggilmu, mama?" Azila menatap lekat wajah teduh yang kini tengah terlelap di sampingnya."Aku tidak pernah tahu rasanya mempunyai seorang ibu itu seperti apa, tidak pernah tahu rasanya belaian dan dekapan seorang ibu itu bagaimana. Walaupun tidak kupungkiri kasih sayang almarhum ayah sudah lebih dari cukup untuk menggantikan itu semua. Tapi, tetap saja rasanya ada yang berbeda." Azila menghela napasnya. Ia semakin lekat menatapnya lebih dalam, mencoba memahami perasaannya ketika bersama wanita yang ia harap adalah ibu kandungnya."Hanya karena aku mirip dengan putrimu yang telah tiada, anda mengira aku adalah putrimu. Bagaimana jikalau aku sebenarnya memang putrimu yang telah lama hilang, ma?" Azila menarik napasnya perlahan, berusaha mengendalikan emosi yang ada pada hatinya. Ia membelai lembut pipi
"Apa aku tidak salah dengar? Ibu kandung? Maksudnya apa? Bukankah nyonya Raihanah ibumu?" Azila terkejut mendengar pernyataan Revan. Kesedihan yang sedang ia rasakan seolah-olah teralihkan oleh perkataan Revan yang menyebutkan kalau Raihanah bukan ibu kandungnya. "Ya, mama ... hanya ibu sambung. Seorang ibu sambung yang kasih sayangnya bahkan melebihi ibu kandung. Bersamanya membuat diri ini tidak pernah ingin tahu dan peduli di mana ibuku berada," jawab Revan lirih. "Iya, aku bisa melihat itu. Kamu terlihat sangat menyayangi nyonya Raihanah. Pastinya beliau selalu mengajarkan hal-hal baik padamu, 'kan?Bolehkah aku tahu, apa alasan seorang pengusaha sepertimu tidak ingin mencari keberadaan ibu kandungnya?" ucap Azila menatap lekat pria yang beberapa minggu lalu membawanya dalam keluarga ini. "Aku hanya ingin meneruskan hidup tanpa harus dibayangi masa lalu," balas Revan balik menatap Azila. Tanpa Azila ketahui, sebenarnya itu adalah ungkapan hati Revan yang sejujurnya. Bukan kare
Cukup lama Yudistira memikirkan siapa kira-kira orang yang berada di belakang Sofia. Yang membuat mantan kekasih anaknya--Revan, mempunyai nyali yang besar untuk melawannya seorang sendiri. "Kurang ajar! Siapa orang yang sudah memberinya kekuatan untuk melawanku?" umpatnya penuh amarah. "Apa jangan-jangan orang itu Revan, anakku sendiri? Tapi, rasanya itu tidak mungkin." Yudistira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Revan bahkan tidak tahu kalau kekasihnya itu pernah menjadi sugar babyku. Papa minta maaf Revan. Papa tidak bermaksud mengkhianatimu. Semua karena ... wanita yang telah lama kusebut istri tidak pernah mau tersentuh. Hingga akhirnya papamu ini mencari kepuasan di luar. Dan Sofia ... dia gadis yang hebat." Yudistira mengangkat sebelah sudut bibirnya. Rasanya ingatannya kembali pada saat awal pertemuannya dengan Sofia, yang membuatnya bisa kembali merasakan gairah masa mudanya. Tok! Tok! Tok! Seketika pintu ruangan sang Presdir terbuka. Seorang wanita berperawakan sedang meng
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan.Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena A
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu
Semua rasa yang pernah tersimpan apik di dalam hati, sepertinya harus tersimpan rapat selamanya. Belum bisa terganti. Bahkan mungkin tidak akan pernah. Sepertinya, itu yang kini tengah dirasakan Azila. Lima tahun berlalu, namun sosok Revan tidak pernah lekang oleh waktu. Semakin Azila coba lupakan, bayang-bayang cinta pertamanya itu semakin kuat mengisi hati dan pikirannya."Jadi gimana, mau 'kan terima perjodohan ini?" rayu seorang gadis cantik berhijab yang duduk di samping Azila.Tidak ada respon dari Azila. Dia hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Liana."Ayo, dong, Sayang! Kamu harus mau terima perjodohan kali ini. Kamu tahu, kalau kamu nggak mau nikah, adik kamu, Liana, juga nggak mau nikah. T'rus kapan Mama bisa mamerin cucu Mama ke temen-temen arisan? Cuman Mama loh, yang nggak punya cucu." Wanita paruh baya itu mengerucutkan bibirnya. Ia pun turut menc
Azila sangat terkejut melihat foto yang diberikan sang ibu. Terlihat dengan jelas, ada yang telah membongkar makam Liana. Makam itu kini dalam keadaan terbuka dan hanya berisi peti kosong. Konon katanya, karena jasad Liana rusak mereka terpaksa memakaikan peti saat menguburkannya."Seseorang mengirimkan foto itu seminggu yang lalu. Mama juga kaget saat melihat foto-foto itu. Mama langsung datang memeriksa ke sana. Dan kamu tahu, setelah Mama tanya-tanya petugas di sana, ternyata makam itu ... kosong!""Apa? Ma-makam Liana, kosong?" Gadis itu dibuat menganga oleh pernyataan sang ibu."Mama serius? Kok, bisa?" Azila beranjak dari tempatnya duduk, berpindah posisi dan lebih dekat dengan sang ibu. Raut wajahnya terlihat lebih serius."Mama juga nggak ngerti, Sayang. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa jangan-jangan ... memang sebenarnya Liana itu tidak benar-benar meninggal?!" Sejenak Raihanah terdiam sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya. Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar yang b
"Ka-kalian se-semua harus i-ikut ma-ti di si-sini!" Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Sofia berhasil menyalakan pemantik api yang sedari tadi digenggam. Tak lama kemudian dia terkulai lemas dan tidak sadarkan diri.Kilatan api dengan cepat merembet ke arah kaki Azila yang masih terikat di kursi. "Arrrrgghhh! Api! Tolong!" pekik Azila panik."Astaghfirullah, Revan. Tolong Alina, cepat!" teriak Raihanah ikut panik melihat kejadian itu. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena tengah membantu sang adik yang tadi tertusuk.Dengan sigap, Revan segera membuka jaketnya dan mengibaskan api yang sempat menyentuh kaki gadis itu. Akhirnya pria muda itu berhasil membuka ikatan talinya dan membawa Azila ke tempat yang aman.Tidak berselang lama, para polisi datang membantu. Kobaran api semakin besar, dan mulai merobo
"Apa kalian pikir hanya kalian yang menderita di dunia ini? Lalu bagaimana dengan nasibku? Yang waktu bayi telah dibuang oleh ayahmu itu. Dari kecil aku pun sama tidak pernah merasakan kesenangan seperti yang kalian pikirkan. Aku pun sama sering dihina dan dikucilkan karena kemiskinan dan status yang tidak jelas. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menyimpan dendam seperti yang kalian rasakan. Karena aku sadar semua telah digariskan oleh Tuhan," seru gadis itu membuat Rihana tertohok. Plak! Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Azila. "Silakan, tampar aku sesukamu! Asal kalian tahu, setiap perbuatan itu ada balasannya. Sekecil apapun itu. Tuhan tidak pernah tidur, ingat itu!" "Hentikan semua ucapanmu itu! Kami tidak butuh ceramah darimu!" titah Sofia sambil menjambak kasar rambut gadis itu. "Bertobatlah, sebelum kalian menyesal
"Cukup! Dasar, wanita gila! Jangan pernah lagi kamu menyentuh ibuku, hah!" ucapnya penuh emosi. "Dua tahun ini, aku sengaja menyelinap masuk ke dalam keluarga barumu. Seperti yang kuduga kau sama sekali tidak mengenaliku. Aku berpura-pura menjadi suster pribadimu hanya untuk bisa mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Kau lihat ini?" Wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari kantung bajunya dan mengacungkannya ke udara. "Bagaimana kamu bisa menemukan stempel itu?" tanya Raihanah saat ia melihat benda yang diacungkan adiknya. "Bukan hal sulit bagiku. Tentunya aku dibantu oleh para pekerja yang ada di rumah mewahmu itu. Semua telah kubayar agar mereka tutup mulut dan mau bekerja sama. Termasuk saat kejadian saat gadis ini datang ke rumahmu." Wanita itu kini berpindah dan mencengkeram dagu Azila. "Lepaskan!" Gadis itu meronta sekuat tenaga. "Jadi, pelaku sebenarnya yang waktu itu memukulku adalah kamu, bukan Mbok Karsih?" ucapnya kaget seolah tidak percaya dengan
Suasana dini hari itu begitu sunyi. Hujan lebat yang baru saja berhenti menyisakan tetesan air yang merembes dari atas plafon gudang tua tempat Raihanah dan Azila disekap. Terasa dingin dan pengap. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seorang gadis muda tengah terbaring di sebuah dipan kayu yang mulai rusak. Perlahan gadis itu mulai terlihat sadar dan membuka matanya. Seketika itu pula, dia beringsut dari tempatnya terbaring. "Di mana ini?" Azila mencoba mengedarkan pandangannya. Terasa asing dan sedikit gelap. Hanya ada lampu gantung kecil yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. "Aw!" Tiba-tiba rasa sakit itu datang kembali saat ia mencoba untuk berdiri. Azila memegang erat kepalanya. Pandangannya sedikit kabur dan serasa berputar. Belum lagi rasa ngilu yang harus kembali ia rasakan di area sekitar punggungnya. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang untuk menahan semua rasa sakitnya. Pikirannya kembali teringat pada sang ibu. Sekuat tenaga dan tidak lagi memperdulikan r
"Sialan, kalian mau bawa aku ke mana?" umpat Yudistira saat tahu mobil polisi yang membawanya berbelok arah dan bukan menuju kantor polisi. "Hahaha ... jangan banyak bicara kau Tua Bangka!" pekik salah satu pria yang menyamar sebagai polisi tersebut. "Siapa kalian sebenarnya? Cepat, katakan!" teriak Yudistira lantang ke arah kedua pria itu. "Plak! Jangan banyak bicara aku bilang!" Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Yudistira. Seketika cairan berwarna merah keluar dari salah satu sudut bibirnya. "Kalian berurusan dengan orang yang salah. Anak buahku pasti akan segera menemukan keberadaanku," ucapnya sinis. Seketika salah satu oknum tersebut menutup kedua mata pria paruh baya itu dengan kain hitam. "Lepaskan! Kalian pasti akan mati! Lepaskan!" Sebuah lakban lantas berhasil menyumpal mulut Yudistira. Pria paruh baya itu kini tak bisa berkutik melawan dua orang pria yang tadi menyamar sebagai polisi dan berhasil menangkapnya. 'Kurang ajar, siapa mereka? Kenapa mereka berani memp