"Memang, siapa orang yang sengaja melakukan itu?" Marta mendongak, menatap Bagas dengan tajam. Bingung antara ingin mengatakan yang sebenarnya, atau tetap menutupinya hingga dendam itu tertuntaskan. Ia masih belum menjawab, hanya memalingkan wajah ke arah lain. Kemana saja, yang penting bukan wajah Bagas. Marta masih belum siap, mengungkap siapa jati dirinya. Masih belum siap, bahwa sebenarnya kedatangan kemari hanya untuk membunuh sang Raja. "Marta," Panggil Bagas lagi, kini ia sadar gadis di depannya itu cukup terpukul dengan kematian keluarganya. "Aku tau, kau pasti sangat terpukul dengan kematian keluargamu itu. Tapi, setidaknya jangan dipikirkan terlalu berat. Nantinya kau sendiri yang malah tidak tenang. Atau lebih baik, maafkan saja orang yang sengaja menyelakai keluargamu itu."Saran Bagas barusan, membuat Marta kembali menatap tajam. Matanya yang berkaca-kaca, menampakkan bahwa gadis itu masih sangat sakit hati. "Memaafkan?" Gumamnya tersenyum getir. Marta kembali memaling
"Kakek?""Kapan kau pulang, nak? Kakek rindu sekali padamu, kakek sedang tidak enak badan.""Maafkan aku, kakek. Secepatnya aku akan mengunjungi Kakek.""Baiklah. Kalau begitu, Kakek akan menunggumu. Dan ingat selalu pesan Kakek, jangan pernah gunakan ilmu yang telah kamu kuasai itu untuk hal yang tidak baik. Karena keburukannya akan selalu kembali padamu."Tertegun. Itulah yang terjadi pada Marta saat ini. Ia heran saja, dengan jarak sejauh itu, kenapa Sang Kakek selalu tau apa yang akan dilakukannya?Ah, benar-benar. Memang semua tak ada yang memihak padanya sama sekali."Iya, Kek." Apa yang bisa dikatakan Marta, selain menurut? Meskipun dalam hati masih tetap membulatkan tekad. Tekad yang kata kakek adalah hal buruk.Namun, baginya tidak. Ia bukan melakukan tindak kejahatan, ia hanya sedang mencari keadilan untuk keluarga yang telah dihabisi dengan cara sadis. Jika dibandingkan, buruk mana, perbuatannya yang hanya akan membunuh sang Raja? Atau perintahnya waktu itu?"Ingat itu, ana
"Marta," Ia terhenyak, Tiba-tiba suara pria itu ada di depan pintu kamarnya. "Aku masuk, ya," Pinta suara itu lagi. "Ada apa?" Tanya Marta tak tau harus bertanya apa. Wajahnya mulai panik, kenapa lagi Bagas harus kemari. "Cuma mau tanya." Bagas masuk begitu saja, setelah membuka pintu kamar Marta. Tak peduli pada pemiliknya yang menatap aneh. "Tanya apa? Kenapa kau malah kemari?" Cecar Marta tak sabar. "Kau akan berangkat jam berapa, nanti? Agar aku bisa mempersiapkan diri.""Nanti siang saja. Oh, iya. Kenapa kau mau mengantarkan aku pulang? Aku bisa sendiri, dan ini tidak akan lama.""Memang tidak boleh, ya? Aku hanya ingin memastikan, kau akan baik-baik saja nantinya.""Aku bisa menjaga diri," Ujar Marta memalingkan wajahnya, masih kesal akan kegagalan kemarin, yang disebabkan oleh pria ini. Sekarang malah ditambah lagi. "Aku percaya. Tapi aku akan lebih tenang jika bisa memastikannya sendiri," Jawab Bagas. Serius, dan tampak tak ingin dibantah. Maka Marta tak bisa menjawab
"Tentu saja, cucuku. Bagas ini, adalah murid kesayangan Kakek." Kakek bahkan menepuk pundak Bagas dengan binar wajah bangga."Murid kakek?" Gumam Marta makin tak percaya, apalagi melihat dua wajah pria di depannya saling tersenyum dan terlihat sangat akrab."Yah, kakekmu ini adalah guruku. Dan aku juga baru tau semua itu, sekarang ini. Kau pasti kaget, kan? Sama. Aku juga," Celoteh Bagas."Sejak kapan, kalian saling kenal?" Tanya Marta mulai panik. Jika pada akhirnya kejadiannya seperti ini, bagaimana ia bisa melanjutkan rencananya untuk balas dendam?Ah, benar-benar! Rasanya semua tak ada yang mendukung tekad itu. Ia kini tertegun saja melihat keakraban mereka, yang saling mencurahkan rasa rindu. Juga saling menceritakan pengalaman masing-masing. Merasa diabaikan, Marta agak menjauh ke dekat tungku berbahan tanah yang masih menyisakan bara api di dalam sana."Srikandi," Suara Kakek terdengar memanggil, Marta menoleh kaget, lalu meletakkan telunjuk di depan mulutnya. Memberikan isyara
"Senja itu indah, tapi sayang hanya sebentar. Karena setelahnya akan ditutup dengan kegelapan mengerikan," Bisik Bagas tepat di telinga Marta. Gadis itu lantas mendongak sadar dengan posisinya saat ini. "Aku harap, cintamu padaku tidak seperti senja itu, ya."Ungkapan manis Bagas mungkin membuat Marta merasa tak nyaman. Ia malah tersenyum meringis dengan menjauhkan diri dari belitan tangan sang pria. "Kenapa, kau tidak suka?" Bagas bertanya heran. "Bukan begitu.""Lalu?""Aku risih saja, kita seperti ini.""Lalu bagaimana? Atau, harus bagaimana agar kau tidak risih lagi?" Percakapan berlangsung beberapa menit, hingga bayangan merah di barat sana tersisa sedikit sekali. Dan daerah di sekitar dua orang anak muda itu benar-benar berubah petang. "Sudah petang. Kita pulang saja. Kakek pasti menunggu di rumah," Ajak Marta setengah memaksa, juga mengalihkan pembicaraan yang jadi topik inti sore hari ini. Sementara Bagas, meskipun agak kecewa, ia bisa memaksakan kehendaknya untuk tetap m
Bersamaan dengan itu, muncul lima orang bersenjata lengkap dengan memakai tutup wajah. Langkah dan gerakan mereka sangat cepat, saling melempar tali dan beberapa menit kemudian, dua orang terikat itu dibawa lari kencang menembus kegelapan malam. Tanpa ada yang tau, bahkan sang Kakek sekalipun. Saat ini, Bagas dan Marta masih tak sadarkan diri. Mereka terikat kuat, menjadi satu dengan beradu punggung, dan berada di ruangan pengap seperti penjara. Marta yang tersadar lebih dulu. Ia kaget bukan main saat melihat dirinya yang tak bisa menggerakkan tangan dan kaki. Matanya mengamati sekeliling, hanya ada ruang beberapa meter. Sepi, tak ada siapapun. Matanya kemudian turun ke bawah kaki, ia duduk dengan kedua kaki terikat, di atas jerami kering. "Dimana ini?" Lirihnya, lantas menyadari sesuatu yang tak biasa. Ia terkesiap saat merasakan ada seseorang tak sadar di belakang. Kedua tangan terikat itu yang mampu merasakannya. Mencoba mengingat kejadian sebelum ini, ia membulatkan mata, mend
"Makanlah, sebelum rajamu menjemput kalian dengan membawakan sejumlah uang dan emas pada kami." Sosok yang semalam mendatangi itu berucap congkak. Bagas membulatkan mata, menyadari ada sesuatu yang diinginkan penculik itu atas Baginda Raja. "Hey, apa maksudmu? Jangan coba-coba memeras Ayahku dengan ancaman macam ini!" Teriak Bagas, tak Terima setelah mengumpulkan maksud para penjahat itu. Namun, bukannya menanggapi, pria bengis itu hanya terkekeh dan membalikkan badan. Hendak meninggalkan tempat ini, tapi belas kasih sedikitpun. "Hey, tunggu!" Bagas kembali berteriak kesal, ia mendengus saat sosok tadi membalikkan badan. Menatap sinis ke arahnya. "Apa lagi, hm?" Tanyanya. "Bagaimana mungkin kami bisa makan dengan tangan terikat seperti ini?" Bagas berdecak, membuat pria tadi mengangkat sebelah alis dengan tersenyum miring. "Oh, iya? Bukannya kau ini memiliki ilmu yang tinggi? Masa iya, tak bisa melepaskan tali-tali sekecil itu?" Jawaban pria jahat sungguh meremehkan. Hal itu memb
"Hahaha, Baginda Raja. Yang mulia .... " Sosok jahat itu tersenyum jahat, sambil berpura-pura membungkukkan badannya di depan sang Raja. "Mereka akan aku lepaskan, setelah kau memberi apa yang kami inginkan.""Lepaskan mereka! Aku sudah membawa apa yang kau pesan," Titah Baginda dengan tegas. Di belakang Raja itu, ternyata beberapa pengawal maju membawa beberapa peti yang entah apa isinya. Melihat apa yang diinginkan terwujud, orang jahat tadi tersenyum menyeringai. Bagas dan Marta yang masih terikat itu mengerang lirih, tak bisa menerima begitu saja atas penghinaan terhadap Rajanya. "Hm! Ini belum cukup, yang mulia." Sosok tadi bicara dengan wajah tersenyum licik. Membuat bagas mendongak tak mengerti, mungkin hatinya bertanya. Apalagi yang diinginkan orang ini. "Apa lagi yang kau inginkan?" Tanya Baginda kemudian. "Baginda, tentunya anda tau, kenapa kami jadi pembangkang seperti ini, bukan?" Orang jahat maju mendekati Baginda. Mondar-mandir di depan sang Raja dengan bersedekap t