"Hahaha, Baginda Raja. Yang mulia .... " Sosok jahat itu tersenyum jahat, sambil berpura-pura membungkukkan badannya di depan sang Raja. "Mereka akan aku lepaskan, setelah kau memberi apa yang kami inginkan.""Lepaskan mereka! Aku sudah membawa apa yang kau pesan," Titah Baginda dengan tegas. Di belakang Raja itu, ternyata beberapa pengawal maju membawa beberapa peti yang entah apa isinya. Melihat apa yang diinginkan terwujud, orang jahat tadi tersenyum menyeringai. Bagas dan Marta yang masih terikat itu mengerang lirih, tak bisa menerima begitu saja atas penghinaan terhadap Rajanya. "Hm! Ini belum cukup, yang mulia." Sosok tadi bicara dengan wajah tersenyum licik. Membuat bagas mendongak tak mengerti, mungkin hatinya bertanya. Apalagi yang diinginkan orang ini. "Apa lagi yang kau inginkan?" Tanya Baginda kemudian. "Baginda, tentunya anda tau, kenapa kami jadi pembangkang seperti ini, bukan?" Orang jahat maju mendekati Baginda. Mondar-mandir di depan sang Raja dengan bersedekap t
Kejab selanjutnya, yang mereka lihat adalah bulu mata putih terlihat dari balik topeng. Serta wajah berkerut halus. "Kakek?""Kakek guru?"Mendengar suara bergumam serentak dari bagas dan Marta, sosok serba putih itu hanya tersenyum sambil mendekati keduanya. Kedua tangan tua itu terulur, merangkul pundak cucu dan muridnya dengan memasang wajah kesal, sekaligus prihatin. "Kakek, maafkan kami," Lirih Marta harus malu, karena telah lama ia menerima pelajaran dari kakek tercinta, tetapi baru begitu saja sudah tak sanggup menghadapi. "Iya, guru. Saya juga minta maaf." Bagas menambahkan. Wajah mereka kini sama-sama memerah, menunduk dengan kedua tangan menyatu di depan dada. "Aku heran pada kalian berdua. Bagaimana bisa, tak menyadari ada orang asing di sekitar kalian, hm?" Kakek kini yang bergumam. Sementara yang ditanya hanya tersenyum nyengir, merasa yang ditanyakan Kakek ada benarnya. "Entahlah, guru. Kami semalam benar-benar tak merasakan ada orang lain di sana," Jawab Bagas tak
Bagas kemudian dengan sigap menarik badan Marta untuk bersembunyi di belakangnya. Tanpa senjata apapun, ia memasang kuda-kuda, bersiap melawan para penghadang itu. "Mau apalagi, kalian?" Sentak Bagas berputar kesana-kemari, melindungi Marta, karena orang tadi telah mengitari mereka. Tak segera menjawab, rombongan penjahat itu saling tertawa cekikikan. "Yang jelas, ada sesuatu yang kami inginkan," Celetuk salah satu yang mengambil posisi lebih dulu. Mencabut pedang dari sarungnya, membawa maju menyerang bahas. Tak hanya satu orang saja, sebab melihat temannya menyerang, yang lain pun segera menyusul. Selanjutnya, peperangan satu lawan sekian orang berkecamuk di tempat itu. Dengan gerakan bagas yang sigap, cepat, demi melindungi sang gadis kesayangan. Marta sebenarnya tak bisa menahan diri untuk diam saja seperti ini, melihat pengeroyokan itu, jiwa pendekar yang selalu disembunyikan semakin bergejolak. Maka ia berputar, menjauhkan diri dari tangan bagas yang sejak tadi berada di pin
Tengah hari telah berlalu, saat Marta tiba di tempat pelayan seperti biasa. Di sana, tempat pertama yang hendak ia datangi adalah dapur. Perut melilit perih membuatnya tak ingat akan apapun, selain makanan. Sebab baru tadi pagi ia makan, itupun hanya beberapa suapan menggunakan nasi kering di tempat penyekapan. Dapur itu masih sepi dari pelayan yang lain, sebab biasanya mereka masih beristirahat siang, sebelum nantinya kembali bekerja. Membuat menu makan malam. Beberapa bakul nasi yang ia buka rupanya kosong. Ternyata makan siang orang-orang istana tadi, tak menyisakan apapun selain kekosongan. Marta mendesah kecewa. "Marta, kau di sini juga? Ayo kita makan, aku lapar sekali." Itu suara Bagas, saat Marta menoleh, sosok yang baru datang masih dengan nafas terengah. Sepertinya, ia pun belum masuk ke ruang manapun selain tempat ini. Lagi-lagi Marta harus mendesah, ia memperlihatkan beberapa bakul nasi kosong. "Tidak ada makanan?" Gumamnya, seketika merubah raut wajah menjadi agak mur
"Mereka hanya orang sedang mencari pekerjaan, seperti saya dulu. Bi.""Kenapa kau yakin sekali?""Memang kalau bibi tau, siapa mereka?" Pertanyaan bernada kesal dari Marta, masih dijawab dengusan kecil dari Bibi. Namun tak lama, sebab setelahnya, wanita itu menatap serius wajah Marta. "Kita harus berhati-hati dengan orang asing. Apalagi dengan mereka yang tiba-tiba datang ke istana," Tegas Bibi, menanggapi kedatangan dua orang tadi adalah masalah serius. "Bibi curiga dengan mereka?" Gumam Marta ikut menyelidik. "Bukan, tapi kita harus berhati-hati saja.""Nah, kalau tidak curiga, ya sudah. Lagipula kedatangan mereka kemari tadi juga telah mendapat persetujuan dari Pangeran Mahendra kok, Bi."Tak ada jawaban, wanita itu nampak sedang berpikir keras. "Ya sudah," Katanya memutuskan. "Biarkan mereka bekerja di sini.""Di dapur?" Marta menebak, sebab di dapur juga ada beberapa pekerja yang meminta berhenti. "Bukan. Di belakang, jadi tukang bersih-bersih halaman dan kebun," Bibi memutu
"Marta, kami tau. Kau bekerja di sini, sebenarnya memiliki tujuan khusus, kan?" Pertanyaan itu, membuat Marta mendongak tak percaya. Meski di tempat yang minim pencahayaan, ia dapat melihat dengan jelas. Sebuah senyuman seringai muncul dari sosok yang ia lihat, Bara. "Santai, Marta. Kenapa, kau kaget begitu, hm?" Pertanyaan juga terlontar dari Dirga. Marta menoleh ke sebelah kanan, tempat pria itu duduk. Senyum yang sama juga terlihat di wajahnya. "E, aku ... Apa maksud kalian tadi?" Tanya Marta. Tak bisa lagi menyembunyikan wajah gugupnya. Bagaimana tidak, selama ini sekuat tenaga ia simpan siapa ia sesungguhnya. Kenapa tiba-tiba orang asing ini mengetahuinya? "Tidak perlu mengelak begitu. Kami tau siapa kau sebenarnya, apa tujuanmu bekerja di sini. Hanya untuk membalaskan dendammu pada Raja Danar, bukan?""Apa?" Marta tersentak, mengamati sekeliling, khawatir ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Melihat tingkah menggelikan itu, dua orang pria tadi terkekeh. "Memangnya,
"Turun, dan hadapi aku," Pinta Bara tersenyum miring, seperti memang berencana untuk melakukan semua ini. "Tidak, nanti ada orang yang tau." "Aku memang berniat membongkar rahasiamu." Ucapan congkak itu membuat Marta terhenyak, secara spontan meluncur turun dari atas dahan pohon. Gadis itu menjejakkan kakinya, tepat di depan wajah Bara. Lalu mencengkeram erat-erat krah baju yang dipakai si pria. "Jangan berani-berani mengancamku, pemberontak tak punya hati!" Desis Marta menghadiahi pukulan kasar ke dada bara. Pria itu bukannya melawan, malah memasrahkan dirinya disertai senyuman licik. Marta mendengus merasa disepelekan, selanjutnya, serangan bertubi ia lancarkan untuk Bara. Pada bagian mana yang saja yang bisa ia jangkau, dan pria itu tetap berdiam diri. Marta memukul hingga tangannya merasa kebas dan lelah. Kemudian mendorong badan bara hingga mundur beberapa langkah. "Dasar, licik!" Desisnya tak bisa menahan amarah. Sementara senyuman mengejek terus saja tersungging menjengk
"Dimana?" Bibi pun bertanya, matanya telah layu, seperti mendapat kekuatan magic yang tak dapat dihindari. "Di kamar Bibi.""A, apa? Di kamarku?" "Hm, apa Bibi keberatan?" Kalimat pertanyaan bara terdengar makin rendah, mendayu-ndayu. Dan membuat Bibi tak bisa menolaknya sama sekali. Wanita yang tak pernah mendapatkan kehangatan seorang suami itupun mengangguk pasrah. Apalagi mata bara memang disengaja menatap lawan bicara dengan sangat intens. "Baiklah. Kalau begitu, bibi boleh pergi, dan tunggu aku nanti malam, ya."Sekali lagi Bibi mengangguk, kemudian pergi seperti yang dikatakan Bara. Belum lama wanita itu melangkah, di sebelah Bara, Marta tiba-tiba telah berdiri di sana, entah sejak kapan. "Kau ingin bertemu dengan Bibi Ratih nanti malam? Apa yang akan kau lakukan?" Gumam Marta, Bara terbanyak kaget. Namun pria itu segera memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Jika kau penasaran, boleh menemuiku setelah dari kamar Bibi Ratih." Bara tersenyum miring, membuat Marta membulatkan