"Marta, kami tau. Kau bekerja di sini, sebenarnya memiliki tujuan khusus, kan?" Pertanyaan itu, membuat Marta mendongak tak percaya. Meski di tempat yang minim pencahayaan, ia dapat melihat dengan jelas. Sebuah senyuman seringai muncul dari sosok yang ia lihat, Bara. "Santai, Marta. Kenapa, kau kaget begitu, hm?" Pertanyaan juga terlontar dari Dirga. Marta menoleh ke sebelah kanan, tempat pria itu duduk. Senyum yang sama juga terlihat di wajahnya. "E, aku ... Apa maksud kalian tadi?" Tanya Marta. Tak bisa lagi menyembunyikan wajah gugupnya. Bagaimana tidak, selama ini sekuat tenaga ia simpan siapa ia sesungguhnya. Kenapa tiba-tiba orang asing ini mengetahuinya? "Tidak perlu mengelak begitu. Kami tau siapa kau sebenarnya, apa tujuanmu bekerja di sini. Hanya untuk membalaskan dendammu pada Raja Danar, bukan?""Apa?" Marta tersentak, mengamati sekeliling, khawatir ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Melihat tingkah menggelikan itu, dua orang pria tadi terkekeh. "Memangnya,
"Turun, dan hadapi aku," Pinta Bara tersenyum miring, seperti memang berencana untuk melakukan semua ini. "Tidak, nanti ada orang yang tau." "Aku memang berniat membongkar rahasiamu." Ucapan congkak itu membuat Marta terhenyak, secara spontan meluncur turun dari atas dahan pohon. Gadis itu menjejakkan kakinya, tepat di depan wajah Bara. Lalu mencengkeram erat-erat krah baju yang dipakai si pria. "Jangan berani-berani mengancamku, pemberontak tak punya hati!" Desis Marta menghadiahi pukulan kasar ke dada bara. Pria itu bukannya melawan, malah memasrahkan dirinya disertai senyuman licik. Marta mendengus merasa disepelekan, selanjutnya, serangan bertubi ia lancarkan untuk Bara. Pada bagian mana yang saja yang bisa ia jangkau, dan pria itu tetap berdiam diri. Marta memukul hingga tangannya merasa kebas dan lelah. Kemudian mendorong badan bara hingga mundur beberapa langkah. "Dasar, licik!" Desisnya tak bisa menahan amarah. Sementara senyuman mengejek terus saja tersungging menjengk
"Dimana?" Bibi pun bertanya, matanya telah layu, seperti mendapat kekuatan magic yang tak dapat dihindari. "Di kamar Bibi.""A, apa? Di kamarku?" "Hm, apa Bibi keberatan?" Kalimat pertanyaan bara terdengar makin rendah, mendayu-ndayu. Dan membuat Bibi tak bisa menolaknya sama sekali. Wanita yang tak pernah mendapatkan kehangatan seorang suami itupun mengangguk pasrah. Apalagi mata bara memang disengaja menatap lawan bicara dengan sangat intens. "Baiklah. Kalau begitu, bibi boleh pergi, dan tunggu aku nanti malam, ya."Sekali lagi Bibi mengangguk, kemudian pergi seperti yang dikatakan Bara. Belum lama wanita itu melangkah, di sebelah Bara, Marta tiba-tiba telah berdiri di sana, entah sejak kapan. "Kau ingin bertemu dengan Bibi Ratih nanti malam? Apa yang akan kau lakukan?" Gumam Marta, Bara terbanyak kaget. Namun pria itu segera memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Jika kau penasaran, boleh menemuiku setelah dari kamar Bibi Ratih." Bara tersenyum miring, membuat Marta membulatkan
Karena kaget, ia sampai menghentikan langkah, menatap ke arah dua orang yang dicurigai. "Marta, sedang apa, kau?" Pertanyaan bagas membuatnya tersentak. Marta kaget dan bingung bagaimana akan bersikap selanjutnya. "E, aku? Tidak," Jawabnya sambil menata hati yang terus menggerutu. Ia melirik bagas, pria itu ikut memandang ke arah yang dilihat Marta tadi. Ia mengernyit entah memikirkan apa, Marta kira, bagas akan berkomentar. Rupanya tidak. "Sudah, ayo jalan lagi." Ajaknya sambil berlalu. Marta mengikuti dari belakang, hatinya makin bimbang. Ingin sekali mengatakan siapa mereka sebenarnya, tapi, jika ia katakan itu, bukan tak mungkin bara pun akan membongkar rahasianya. Ah, sial! Benar-benar serba sulit. Marta merutuk dalam hatinya. "Marta, kau tadi ingin keluar dari kamar. Hendak kemana?" Tanya Bagas membuat Marta terhenyak karena tiba-tiba telah berhenti tepat di hadapan. "Hanya ingin keluar saja," Jawabnya memang tak pernah jujur. "Kau sendiri, untuk apa kemari?" Marta ikut b
"Ah, Bibi. Itu .... ""Aku tidak mau tau. Tugasmu adalah membongkar siapa mereka sebenarnya, pada Baginda dan pangeran." Bibi memerintahkan pada Marta, tak peduli meski setelahnya gadis itu terhenyak."Dan harus segera." Suara Bibi lagi, sementara Marta masih belum menanggapiarena kalau tidak, bisa-bisa istana ini akan hancur. Cepat atau lambat." Usai mengatakannya, wanita itu berakting layaknya anak kecil sedang menangis."Hu hu ... Aku tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang buruk pada tempat Indah ini," Ucapnya dengan kedua tangan bergantian mengusap mata yang tak keluar apapun."Aku yang seorang janda ini, di mana lagi akan mendapatkan pekerjaan enak dengan gaji besar seperti di sini. Oh, tidak .... "Marta membulatkan mulut, selanjutnya memutar bola mata jengah. Bosan dengan alasan Bibi yang baginya sangat klasik. Tak ada menariknya sama sekali bagi seorang pendekar seperti dia."Pokoknya, besok pagi kau harus bicarakan mereka pada Baginda. Agar mereka segera diberhenti
Gadis itu mendekat, tak lupa membungkukkan badan atas keterlambatannya. Sang Raja langsung menyodorkan kertas tadi ke depan Marta. Ia kaget bukan main, saat melihat isi surat yang membuat semua orang terdiam.Sebagai seorang pelayan, tak seharusnya ia membaca isi surat itu. Namun, baris teratas tetap saja terbaca meski sekilas. Akan ada penyerangan dalam waktu dekat. Apa? Tanya Marta dalam hati.Beberapa saat lamanya, suasana pertemuan ini hening. Tak ada satupun yang angkat bicara, entah kapan surat misterius itu datang, hingga membuat Baginda dan yang lain berkumpul di tempat ini, sebelum perut mereka terisi makanan."Maaf, Baginda." Seseorang berkata, sosok yang paling dituakan di tempat ini. Baginda menyilahkan sang penasehat istana untuk melanjutkan kalimatnya."Bermusyawarah dalam keadaan perut kosong seperti ini tak akan menemui solusinya, Baginda. Jadi, alangkah baiknya jika kita tunda dulu rapat kali ini. Kita makan pagi dulu, setelah itu bisa kita lanjutkan lagi.""Kau ini b
Bagas masih diam, saat melihat wajah lelah mereka semakin terlihat layu setelah mendengar pengumuman mendadak itu. Ia juga tak menyadari, ada dua orang tersenyum licik menatap ke arahnya. Bara dan Dirga yang berada di pojok halaman. Sedang mencabuti rumput liar, tetapi sejatinya mereka memperhatikan percakapan antara kedua pangeran tadi. Salah satu dari mereka mengacungkan jempol, pertanda semuanya akan berjalan sesuai rencana. Kemudian dibalas dengan pria yang satunya, juga mengacungkan jempol disertai senyuman lebar mengembang. Namun, di saat yang sama ternyata Bagas menyadari. Ia mengernyit melihat tukang kebun yang bersikap tak sewajarnya itu. Langkahnya kemudian terangkat tegas, mendekat, mengamati dua pria pegawai baru yang ia belum tau namanya. "Selamat siang, Pangeran," Ucap salah satu sambil tersenyum sungkan. "Apa kalian sedang membicarakan kami?" Tak ingin berbasa-basi, Bagas langsung bertanya pada inti permasalahannya. Dua orang berjongkok itu tak langsung menjawab, me
"Bukankah harusnya memang seperti itu?" Baginda menimpali."Mereka harus berlatih siang dan malam dengan sangat ketat." Pangeran melanjutkan, hal itu membuat Baginda dan Marta mengerjap tak mengerti."Siang dan malam?" Gumam Baginda. Marta yang berdiri di belakang sang Raja pun merasa cukup terwakili dengan pertanyaan itu. Ia ikut menatap serius ke arah Pangeran Mahesa, penasaran."Benar, Ayah. Karena kalau tidak, ketangkasan mereka tidak akan terasah," Jawaban Mahesa membuat Baginda makin memicing tak mengerti."Saat apa mereka bisa beristirahat?" Tanya Baginda lagi."Mereka hanya akan beristirahat di saat waktu makan saja, Ayah.""Saran dari mana itu? Apa kita tidak terlalu kejam dengan pasukan?""Justru tidak, Ayah. Bukannya semakin sering mereka berlatih, mereka akan semakin kuat?" Mahesa tetap mendesak, percaya bahwa usulan Bara yang paling benar."Bagaimana kalau mereka merasa tertekan dan kelelahan?""Tidak, Ayah. Mereka kan sudah ada waktu istirahatnya tersendiri. Jadi tidak m
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m