"Makanlah, sebelum rajamu menjemput kalian dengan membawakan sejumlah uang dan emas pada kami." Sosok yang semalam mendatangi itu berucap congkak. Bagas membulatkan mata, menyadari ada sesuatu yang diinginkan penculik itu atas Baginda Raja. "Hey, apa maksudmu? Jangan coba-coba memeras Ayahku dengan ancaman macam ini!" Teriak Bagas, tak Terima setelah mengumpulkan maksud para penjahat itu. Namun, bukannya menanggapi, pria bengis itu hanya terkekeh dan membalikkan badan. Hendak meninggalkan tempat ini, tapi belas kasih sedikitpun. "Hey, tunggu!" Bagas kembali berteriak kesal, ia mendengus saat sosok tadi membalikkan badan. Menatap sinis ke arahnya. "Apa lagi, hm?" Tanyanya. "Bagaimana mungkin kami bisa makan dengan tangan terikat seperti ini?" Bagas berdecak, membuat pria tadi mengangkat sebelah alis dengan tersenyum miring. "Oh, iya? Bukannya kau ini memiliki ilmu yang tinggi? Masa iya, tak bisa melepaskan tali-tali sekecil itu?" Jawaban pria jahat sungguh meremehkan. Hal itu memb
"Hahaha, Baginda Raja. Yang mulia .... " Sosok jahat itu tersenyum jahat, sambil berpura-pura membungkukkan badannya di depan sang Raja. "Mereka akan aku lepaskan, setelah kau memberi apa yang kami inginkan.""Lepaskan mereka! Aku sudah membawa apa yang kau pesan," Titah Baginda dengan tegas. Di belakang Raja itu, ternyata beberapa pengawal maju membawa beberapa peti yang entah apa isinya. Melihat apa yang diinginkan terwujud, orang jahat tadi tersenyum menyeringai. Bagas dan Marta yang masih terikat itu mengerang lirih, tak bisa menerima begitu saja atas penghinaan terhadap Rajanya. "Hm! Ini belum cukup, yang mulia." Sosok tadi bicara dengan wajah tersenyum licik. Membuat bagas mendongak tak mengerti, mungkin hatinya bertanya. Apalagi yang diinginkan orang ini. "Apa lagi yang kau inginkan?" Tanya Baginda kemudian. "Baginda, tentunya anda tau, kenapa kami jadi pembangkang seperti ini, bukan?" Orang jahat maju mendekati Baginda. Mondar-mandir di depan sang Raja dengan bersedekap t
Kejab selanjutnya, yang mereka lihat adalah bulu mata putih terlihat dari balik topeng. Serta wajah berkerut halus. "Kakek?""Kakek guru?"Mendengar suara bergumam serentak dari bagas dan Marta, sosok serba putih itu hanya tersenyum sambil mendekati keduanya. Kedua tangan tua itu terulur, merangkul pundak cucu dan muridnya dengan memasang wajah kesal, sekaligus prihatin. "Kakek, maafkan kami," Lirih Marta harus malu, karena telah lama ia menerima pelajaran dari kakek tercinta, tetapi baru begitu saja sudah tak sanggup menghadapi. "Iya, guru. Saya juga minta maaf." Bagas menambahkan. Wajah mereka kini sama-sama memerah, menunduk dengan kedua tangan menyatu di depan dada. "Aku heran pada kalian berdua. Bagaimana bisa, tak menyadari ada orang asing di sekitar kalian, hm?" Kakek kini yang bergumam. Sementara yang ditanya hanya tersenyum nyengir, merasa yang ditanyakan Kakek ada benarnya. "Entahlah, guru. Kami semalam benar-benar tak merasakan ada orang lain di sana," Jawab Bagas tak
Bagas kemudian dengan sigap menarik badan Marta untuk bersembunyi di belakangnya. Tanpa senjata apapun, ia memasang kuda-kuda, bersiap melawan para penghadang itu. "Mau apalagi, kalian?" Sentak Bagas berputar kesana-kemari, melindungi Marta, karena orang tadi telah mengitari mereka. Tak segera menjawab, rombongan penjahat itu saling tertawa cekikikan. "Yang jelas, ada sesuatu yang kami inginkan," Celetuk salah satu yang mengambil posisi lebih dulu. Mencabut pedang dari sarungnya, membawa maju menyerang bahas. Tak hanya satu orang saja, sebab melihat temannya menyerang, yang lain pun segera menyusul. Selanjutnya, peperangan satu lawan sekian orang berkecamuk di tempat itu. Dengan gerakan bagas yang sigap, cepat, demi melindungi sang gadis kesayangan. Marta sebenarnya tak bisa menahan diri untuk diam saja seperti ini, melihat pengeroyokan itu, jiwa pendekar yang selalu disembunyikan semakin bergejolak. Maka ia berputar, menjauhkan diri dari tangan bagas yang sejak tadi berada di pin
Tengah hari telah berlalu, saat Marta tiba di tempat pelayan seperti biasa. Di sana, tempat pertama yang hendak ia datangi adalah dapur. Perut melilit perih membuatnya tak ingat akan apapun, selain makanan. Sebab baru tadi pagi ia makan, itupun hanya beberapa suapan menggunakan nasi kering di tempat penyekapan. Dapur itu masih sepi dari pelayan yang lain, sebab biasanya mereka masih beristirahat siang, sebelum nantinya kembali bekerja. Membuat menu makan malam. Beberapa bakul nasi yang ia buka rupanya kosong. Ternyata makan siang orang-orang istana tadi, tak menyisakan apapun selain kekosongan. Marta mendesah kecewa. "Marta, kau di sini juga? Ayo kita makan, aku lapar sekali." Itu suara Bagas, saat Marta menoleh, sosok yang baru datang masih dengan nafas terengah. Sepertinya, ia pun belum masuk ke ruang manapun selain tempat ini. Lagi-lagi Marta harus mendesah, ia memperlihatkan beberapa bakul nasi kosong. "Tidak ada makanan?" Gumamnya, seketika merubah raut wajah menjadi agak mur
"Mereka hanya orang sedang mencari pekerjaan, seperti saya dulu. Bi.""Kenapa kau yakin sekali?""Memang kalau bibi tau, siapa mereka?" Pertanyaan bernada kesal dari Marta, masih dijawab dengusan kecil dari Bibi. Namun tak lama, sebab setelahnya, wanita itu menatap serius wajah Marta. "Kita harus berhati-hati dengan orang asing. Apalagi dengan mereka yang tiba-tiba datang ke istana," Tegas Bibi, menanggapi kedatangan dua orang tadi adalah masalah serius. "Bibi curiga dengan mereka?" Gumam Marta ikut menyelidik. "Bukan, tapi kita harus berhati-hati saja.""Nah, kalau tidak curiga, ya sudah. Lagipula kedatangan mereka kemari tadi juga telah mendapat persetujuan dari Pangeran Mahendra kok, Bi."Tak ada jawaban, wanita itu nampak sedang berpikir keras. "Ya sudah," Katanya memutuskan. "Biarkan mereka bekerja di sini.""Di dapur?" Marta menebak, sebab di dapur juga ada beberapa pekerja yang meminta berhenti. "Bukan. Di belakang, jadi tukang bersih-bersih halaman dan kebun," Bibi memutu
"Marta, kami tau. Kau bekerja di sini, sebenarnya memiliki tujuan khusus, kan?" Pertanyaan itu, membuat Marta mendongak tak percaya. Meski di tempat yang minim pencahayaan, ia dapat melihat dengan jelas. Sebuah senyuman seringai muncul dari sosok yang ia lihat, Bara. "Santai, Marta. Kenapa, kau kaget begitu, hm?" Pertanyaan juga terlontar dari Dirga. Marta menoleh ke sebelah kanan, tempat pria itu duduk. Senyum yang sama juga terlihat di wajahnya. "E, aku ... Apa maksud kalian tadi?" Tanya Marta. Tak bisa lagi menyembunyikan wajah gugupnya. Bagaimana tidak, selama ini sekuat tenaga ia simpan siapa ia sesungguhnya. Kenapa tiba-tiba orang asing ini mengetahuinya? "Tidak perlu mengelak begitu. Kami tau siapa kau sebenarnya, apa tujuanmu bekerja di sini. Hanya untuk membalaskan dendammu pada Raja Danar, bukan?""Apa?" Marta tersentak, mengamati sekeliling, khawatir ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Melihat tingkah menggelikan itu, dua orang pria tadi terkekeh. "Memangnya,
"Turun, dan hadapi aku," Pinta Bara tersenyum miring, seperti memang berencana untuk melakukan semua ini. "Tidak, nanti ada orang yang tau." "Aku memang berniat membongkar rahasiamu." Ucapan congkak itu membuat Marta terhenyak, secara spontan meluncur turun dari atas dahan pohon. Gadis itu menjejakkan kakinya, tepat di depan wajah Bara. Lalu mencengkeram erat-erat krah baju yang dipakai si pria. "Jangan berani-berani mengancamku, pemberontak tak punya hati!" Desis Marta menghadiahi pukulan kasar ke dada bara. Pria itu bukannya melawan, malah memasrahkan dirinya disertai senyuman licik. Marta mendengus merasa disepelekan, selanjutnya, serangan bertubi ia lancarkan untuk Bara. Pada bagian mana yang saja yang bisa ia jangkau, dan pria itu tetap berdiam diri. Marta memukul hingga tangannya merasa kebas dan lelah. Kemudian mendorong badan bara hingga mundur beberapa langkah. "Dasar, licik!" Desisnya tak bisa menahan amarah. Sementara senyuman mengejek terus saja tersungging menjengk
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m