"Ya, aku yang akan melatih Pangeran, hingga benar-benar menjadi pria tangguh. Bukan begitu, pangeran?" Tanya Panglima itu."Benar. Agar aku bisa mempersunting gadis kuat sepertimu.""Apa?" Gumam Marta bingung. Mahesa terkekeh, sementara Panglima hanya menarik nafas berat. Seperti tak suka dengan cara Putra Mahkota itu berkelakar."Kenapa kau bingung?" Tanya Mahesa."Ah, tidak. Tapi, apa sepagi ini pangeran akan berlatih? Bahkan suasana masih sangat sepi, apalagi makan pagi juga belum siap.""Ini rumahku, kenapa kau melarangku begitu?" Mahesa malah bertanya, dan Marta tersenyum tipis. Merasa terpojok, ia memilih diam. Bahkan kedua pria di sana tak peduli meski Marta berbalik badan, lalu pergi dari sana."Pangeran," Panggilan Panglima menggerakkan wajah Mahesa yang masih menatap bekas kepergian Marta, pria itu menoleh. "Kenapa, pangeran tiba-tiba ingin berlatih beladiri?" Tanya Panglima keheranan.Yang ditanya pun memicing tak mengerti, "bukannya kau tadi telah mengatakan akan melatihk
"Kenapa kalian tiba-tiba kompak sekali?" Tanya Baginda, dan kedua Pangeran itu kemudian saling menatap aneh. Beberapa saat kedua saudara itu bersitatap, Bagas mendengkus lirih sambil memalingkan wajah. Begitu juga dengan Mahesa, pria itu Berdehem beberapa kali untuk menetralkan rasa hati yang kian tak menentu. "Kami kan bersaudara, Ayah. Sudah seharusnya kompak. Bukan begitu, Kakak?" Bagas yang merasa baik-baik saja itu masih bisa bertanya pada sang Kakak. Sementara yang ditanya mendadak bingung harus menjawab apa. Sebab dirinya terlanjur gugup."I, iya," Jawabnya dengan wajah tertunduk, yang mungkin saja rupa itu bisa dilihat perubahannya oleh semua yang ada di meja ini. Ah, sial! Rutuknya dalam hati. Sedongkol apapun hatinya saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah mengepalkan tangan di bawah meja. "Begini, yang aku herankan adalah, kenapa kalian penasaran sekali dengan pelayan muda itu?" Merasa tak mendapatkan jawaban sesuai harapan, Baginda kembali bertanya. Dua putranya kembal
Panglima jatuh, bersamaan dengan daun pintu kamar Marta terbuka. Pemiliknya menatap tak percaya. Tak hanya gadis itu saja yang kaget, Bagas, Mahesa dan Panglima pun sama. Panglima yang jatuh meringis itu spontan mengabaikan rasa sakit, lalu berdiri tegak. Mungkin malu memperlihatkan kekalahannya di depan seorang perempuan. Apalagi perempuan itu pernah menawan hatinya, meski pada akhirnya harus mengalah. "Ada apa ini?" Tanya Marta kebingungan. Bagas pun ikut bingung hendak menjawab apa. Ia mendekat, melihat wajah sang gadis yang agak pucat, seperti sedang sakit. "Marta," Panggil Mahendra yang berada di sana, di belakang Bagas. Gadis yang awalnya menatap Bagas itu terpaksa harus mengalihkan pandangan ke arah pangeran lain. "Kami tadi hendak menjengukmu, tapi, Tiba-tiba Bagas datang dan menendang Panglima. Kau tau sendiri kan, bagaimana kejadiannya tadi?" Mahesa yang menjawab, justru menimbulkan gurat kebingungan di wajah Marta. Karena baru tadi malam pria itu hampir berbuat jahat p
"Siapa itu?" "Seseorang yang ada di depanku. Ayolah, buka mulutmu." Marta tercengang, karena tiba-tiba di depan mulutnya telah siap sebuah sendok dari tangan Bagas. Ah, pria ini benar-benar romantis. Betapa bahagianya ia mendapatkan sosok seperti ini. Ia tak langsung menerima suapan dari sang pria, melainkan malah menerawang jauh. Diperlakukan seperti ini, siapalah yang tak senang. Namun, baginya hal itu cukup menyiksa. Karena tentu saja, sikap lembut Bagas akan menjadi penghambat bagi niat Marta. Dan ia benar-benar bingung, bagaimana harus bersikap. "Ayolah, kenapa malah melamun?""Eh, maaf. Aku, bisa sendiri," Ucap Marta kikuk, sambil merebut sendok dari tangan Bagas yang kemudian terkekeh. Marta menyuap cepat, kemudian merebut piring dari Bagas dan memakannya dengan tergesa-gesa. Sampai ia tersedak dan terbatuk-batuk. "Marta, Marta. Kau ini aneh sekali?" Bagas bergumam lirih. Tak habis pikir. Ia juga mendekatkan gelas ke depan wajah sang gadis. "Pelan-pelan saja makannya."Se
Menjelang makan malam. Sejak sore tadi hujan turun tak kunjung pergi. Malah sesekali disertai angin dan kilat. Entah kenapa, suasana seperti ini membuat Marta meyakinkan dirinya untuk menuntut balas orang tuanya. Malam hujan begini, jika sudah berada di kamar Baginda, mungkin saja saat yang tepat. Sebab jika malam datang, tak ada yang berani lewat di depan kamar petinggi negeri itu, selain pelayan pribadi dan dua orang penjaga malam. Marta telah memutuskan untuk melakukannya malam nanti. Yah, ia harus segera melakukannya, dan pergi dari tempat ini. Tak peduli dengan beberapa orang yang merebutkan namanya. Tak peduli dengan nama bagas maupun Mahesa, sebab tujuan utamanya di tempat ini adalah, membunuh Baginda Raja. Senyuman penuh rencana terukir pada wajah manis yang menjadi penarik setiap mata lelaki. Hingga ia tersadar, ada bibi Ratih yang memang biasa mengetuk pintu para pelayan yang belum bergerak. "Waktunya bekerja, Marta." Suara wanita itu terdengar nyaring di depan pintu. M
Pedang tajam telah terlihat sebagian, dan Marta tak sabar ingin segera menusuk badan itu dari belakang. Namun, sebelum pedang Marta benar-benar terlihat semuanya, ada seseorang mengetuk pintu kamar. Baginda menoleh ke belakang, ke arah pintu tentunya. Sementara posisi mereka yang memang membelakangi pintu, membuat Marta gelagapan bukan main. Sebab bisa saja Baginda melihat keanehan di tangannya. Memang sempat menatap aneh Marta, tetapi fokus Baginda segera ke arah pintu. "Siapa yang kemari, malam-malam begini?" Gumam Raja itu beranjak dari hadapan Marta, gadis yang kemudian menghembuskan nafas panjang. Ia mengelus dada beberapa kali, merasa sangat beruntung, Baginda tak melihat pedangnya tadi. Jika saja tadi ia tak cepat-cepat menyembunyikannya kembali, entah apa yang terjadi saat ini. Huh, ini semua karena tamu tak tau waktu itu! Marta menggerutu dalam hati. Kemudian menatap tak percaya, pada Baginda yang kembali bersama Bagas. Ia memicing. Beberapa pertanyaan aneh berseliweran d
"Memang, siapa orang yang sengaja melakukan itu?" Marta mendongak, menatap Bagas dengan tajam. Bingung antara ingin mengatakan yang sebenarnya, atau tetap menutupinya hingga dendam itu tertuntaskan. Ia masih belum menjawab, hanya memalingkan wajah ke arah lain. Kemana saja, yang penting bukan wajah Bagas. Marta masih belum siap, mengungkap siapa jati dirinya. Masih belum siap, bahwa sebenarnya kedatangan kemari hanya untuk membunuh sang Raja. "Marta," Panggil Bagas lagi, kini ia sadar gadis di depannya itu cukup terpukul dengan kematian keluarganya. "Aku tau, kau pasti sangat terpukul dengan kematian keluargamu itu. Tapi, setidaknya jangan dipikirkan terlalu berat. Nantinya kau sendiri yang malah tidak tenang. Atau lebih baik, maafkan saja orang yang sengaja menyelakai keluargamu itu."Saran Bagas barusan, membuat Marta kembali menatap tajam. Matanya yang berkaca-kaca, menampakkan bahwa gadis itu masih sangat sakit hati. "Memaafkan?" Gumamnya tersenyum getir. Marta kembali memaling
"Kakek?""Kapan kau pulang, nak? Kakek rindu sekali padamu, kakek sedang tidak enak badan.""Maafkan aku, kakek. Secepatnya aku akan mengunjungi Kakek.""Baiklah. Kalau begitu, Kakek akan menunggumu. Dan ingat selalu pesan Kakek, jangan pernah gunakan ilmu yang telah kamu kuasai itu untuk hal yang tidak baik. Karena keburukannya akan selalu kembali padamu."Tertegun. Itulah yang terjadi pada Marta saat ini. Ia heran saja, dengan jarak sejauh itu, kenapa Sang Kakek selalu tau apa yang akan dilakukannya?Ah, benar-benar. Memang semua tak ada yang memihak padanya sama sekali."Iya, Kek." Apa yang bisa dikatakan Marta, selain menurut? Meskipun dalam hati masih tetap membulatkan tekad. Tekad yang kata kakek adalah hal buruk.Namun, baginya tidak. Ia bukan melakukan tindak kejahatan, ia hanya sedang mencari keadilan untuk keluarga yang telah dihabisi dengan cara sadis. Jika dibandingkan, buruk mana, perbuatannya yang hanya akan membunuh sang Raja? Atau perintahnya waktu itu?"Ingat itu, ana
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
"Makanan masih ada, Gading.""Pasti perempuan tak diundang ini, yang telah menghabiskannya!" Mendengar suara sengit, Marta mendongak kesal."Maaf, tuan gading. Makanan masih ada. Jika anda belum kenyang dengan nasi ini, nanti akan saya buatkan untuk Anda," Marta menyahut. Gading tak menjawab, hanya mendengus kesal sambil menarik kasar bakul nasi yang berada di depan Marta.Dalam bakul itu, memang hanya tinggal seporsi nasi, dan pas untuk satu orang saja. Mungkin, bagi Gading yang baru saja pulang dari berburu, porsi itu masih kurang.Orang tua gading tak ikut bersuara, sebab mereka sibuk menyiapkan entah. Hanya saja si ibu kemudian duduk di dekat anaknya, dan bertanya. "Gading. Nanti, kau tidur di sini, ya. Biar Marta yang tidur di kamarmu.""Apa? Enak saja. Sudah numpang, masih mengganggu kamarku? Tidak, bu. Aku tidak mau!" Gading menjawab sengit. Nampaknya, pemuda itu memang angkuh dan egois. Terlihat sekali bahwa sosok itu susah diajak bekerjasama."Bu, tidak apa-apa. Biar saya yan
Bagas berhenti, menyandarkan punggung di tembok sambil memegangi keningnya. "Tuan bagas. Anda baik-baik saja?" Suara Bibi mendekat. Ia mengangguk lemah, ini pasti akibar dari perutnya yang kosong sejak pagi."Tidak apa-apa, Bibi. Aku hanya lapar," Jawabnya."Ya ampun, tuan. Kenapa tidak makan dulu, mari saya antar ke tempat makan." Bagas menurut, mengikuti langkah wanita itu di belakangnya.Hingga tiba di tempat biasa bagas makan bersama baginda, Mahesa dan semua penduduk istana. Kini, Bagas duduk di depan meja yang di atasnya terdapat banyak sekali menu makanan lezat.Ia membiarkan beberapa pelayan mengisi piring dan gelasnya, lalu memintanya makan seperti biasa. Namun, ada yang tak biasa sore ini. Bagas enggan makan, meski rasa perut keroncongan sejak tadi.Suasana sunyi, terasa lebih mencekam, apalagi di hatinya kehilangan dua orang sekaligus. Bukan segera makan, ia hanya memainkan nasi dengan jemarinya.Marta, nama itu masih berputar cepat dalam ingatan. Meski rasa benci, memaksan
Kini, ia kembali ke istana. Dan menghembus berat saat melihat semua orang istana berkumpul di tempat yang sama. Hatinya menyimpulkan sesuatu yang buruk tentang Baginda. Ia berlari mendekati Mahesa yang berada di pinggir, pria yang tersedu-sedu, dengan sesekali menyeka air mata. "Pangeran?" Teriaknya, menyentuh bahu sang Kakak yang kemudian menatap tajam. "Kemana saja kau?" Tanya Mahesa kesal, "lihatlah, Wyah kita telah tiada."Tak menjawab, Bagas menoleh ke arah yang ditunjukkan Mahesa. Nafasnya kemudian memberat. "Siapa yang telah melakukan semua ini, Bagas?" Pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Bagas malah menjauhi, berjalan mendekati jenazah Baginda yang telah selesai dimandikan. "Hey!" Mahesa menyusul, menyentuh kasar pundak Bagas yang mengabaikan pertanyaaia nnya. Ia menoleh, menatap lembut wajah Lakak yang penuh duka. "Kakak, untuk saat ini, kita urus dulu jenazah Ayah, ya. Baru setelah itu, kita bahas kejadiannya. Menurut, Mahesa mengangguk lemah. Menyusul Bagas berjalan m