“Naomi, jika dia pacaramu, apa sekarang kau sudah melupakan Jaden? Sepuluh tahun lebih kau mencoba mengejarnya, apa sekarang semudah itu kau berpaling?” tanya Cassandra memancing. Naomi tertunduk menelan salivanya dengan kesulitan, dia merasa sangat tidak nyaman karena Cassandra membahas Jaden dengan sengaja di hadapan Axel. “Itu bukan urusan Ibu,” jawab Naomi lebih berani. Sekilas Cassandra melirik Axel, memperhatikan kepercayaan diri Axel yang goyah begitu Cassandra membahas pria lain yang di cintai Naomi. Ekspresi Axel berubah menjadi terkejut, muram dan marah, hal ini membuat Cassandra curiga jika Axel memang sudah benar-benar tertarik kepada Naomi. “Kau benar, memang ini bukan urusan ibu. Ini masalah urusan pribadi asmaramu, lagipula sekarang kau bersama Tuan Axel. Ibu turut berbahagia,” ucap Cassandra. “Sebaiknya sekarang ibu pulang saja,” bisik Naomi terdengar memohon. Naomi sangat tidak suka Cassandra berbicara hal pribdi tentang Naomi di depan Axel, apalagi memberitahu A
“Selama kita bekerja sama, kau dilarang menyukai pria manapun Naomi,” titah Axel terdengar lebih menuntut dan sedikit tidak masuk akal. Naomi langsung menengok, gadis itu mengerjap bingung dengan perintah Axel. Belum sempat Naomi menjawab, Axel kembali berkata, “Kita harus mengubah isi surat perjanjian kita.” “Apa maksudmu? Kenapa mengubahnya?” tanya Naomi terlihat bingung. “Ini untuk kebaikan.” “Tapi Axel” “Jika kau benar-benar professional dan tidak memiliki niatan untuk melanggar sesuatu, seharusnya kau tidak protes Naomi,” sela Axel lagi tidak menerima protesan apapun dari Naomi. “Bukan itu masalahnya Axel. Tapi kau terlalu semena-mena, aku tidak terima kau mengubah isi perjanjian yang sudah kita sepakati, ini merugikanku!” teriak Naomi meluapkan kekesalannya. “Bilang saja kau tidak ingin di larang berhubungan dengan pria itu!” Axel membalasnya dengan tuduhan tidak berdasar. “Axel brengsek! Aku bukan wanita rendahan! Aku tidak akan berhubungan dengan pria yang akan menikah
Naomi terbaring gelisah dalam kesunyian, gadis itu tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari layar handpone, memperhatikan nomer telepon Magnus yang tertera. Naomi sangat ingin menghubungi Magnus, namun dia tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya karena takut. Naomi takut Magnus akan memarahinya jika Naomi bercerita ada seorang pria yang ingin bertunangan dengan Naomi. Lama Naomi terdiam dan terjebak dalam kebingungan yang tidak pasti, pada akhinya Naomi memutuskan untuk menghubungi Magnus. Dua deringan pertama terdengar, tidak berapa lama panggilan Naomi terangkat. “Hallo,” suara Magnus terdengar menyambut. Naomi menarik napasnya dalam-dalam, gadis itu menutup mulutnya dan berusaha mengatur napasnya. Suara Magnus yang begitu dia rindukan berhasil membuat Naomi tersentuh. “Ayah..” panggil Naomi dipenuhi oleh kerinduan. “Naomi, ini benar kau? Puteri ayah?” Naomi tertunduk dengan senyuman samar, tangan kecilnya yang gemetar meremas permukaan seprai. “Benar.” “Ya Tuhan.. akh
“Lama tidak bertemu, bagaimana kabar Anda?” tanya Jaden dengan ramah. “Keadaanku cukup baik,” jawab Magnus menggantung. “Aku belum sempat memberitahumu, Naomi sudah menghubungiku tadi malam,” kata Magnus dengan senyum lebarnya menyiratkan sebuah kelegaan. Jaden membuang napasnya dengan lega. “Syukurlah, bagaimana keadaannya?” Senyuman Magnus sedikit memudar, tanpa ragu Magnus berkata, “Naomi ada North Emit, dia baik-baik saja. Naomi, dia menjadi semakin dewasa.” Cara Magnus yang meceritakan Naomi dengan bangga berhasil membuat Jaden ikut tersenyum dengan bangga. Memang Naomi gadis yang cengeng dan manja, namun dia bukanlah sosok gadis yang mudah menyerah, justru Naomi selalu menjadi gadis yang penuh semangat dan selalu berpikir positif. Sisi itulah yang selalu membuat Jaden suka melihat Naomi. Magnus mengambil kartu undangan pesta pertunangan yang diberikan Jaden kepadanya. “Apa rencana pesta pertunanganmu berjalan lancar?” Jaden mengangguk pelan, pria itu tidak memiliki banyak
“Axel, kau tidak suka dengan penampilanku?” Axel mengalihkan pandangannya untuk melihat Naomi. “Aku suka,” jawab Axel singkat. Naomi menggeser posisi duduknya, mengikis jaraknya dengan Axel yang kini duduk di sisinya hingga bahu keduanya saling bersentuhan. Sejak tadi Axel tidak banyak berbicara, pria itu terus membuang muka dan hanya melihat keluar memperhatikan jalan. Naomi penasaran, jika Axel berkata dia suka penampilan Naomi, lantas apa yang membuat pria itu diam? “Axel, jika kau suka penampilanku, kenapa tidak memujiku?” tanya Naomi penuh harap. Kepala Axel bergerak kesisi, pria itu kembali melihat Naomi yang kini mendongkakan kepalanya, menatap Axel dengan mata berbinar menunggu Axel memujinya. Tangan Axel terkepal kuat menahan rasa gemas melihat ekspresi Naomi. Semakin Axel banyak berinteraksi dengan Naomi, entah mengapa Axel merasa harus semakin menguatkan hatinya yang terkadang menjadi gelisah tidak menentu. Naomi benar-benar tidak mengerti, sejak tadi Axel melihatny
Axel dan Naomi berjalan pelan mengikuti Teresia yang berada di hadapannya hendak membawa mereka pergi untuk berbicara lebih serius. Cukup jauh mereka berjalan, Naomi mulai tertatih-tatih melangkah lebih kecil dan tidak dapat menyembunyikan ringisannya begitu merasakan kakinya sangat sakit tidak mampu lagi berjalan lebih jauh. Naomi berhenti melangkah dan pelukannya pada lengan Axel menguat. “Axel,” Naomi meringis kesakitan. “Kakiku tidak kuat lagi berjalan,” bisik Naomi memberitahu. Langkah Axel ikut terhenti, pria itu sedikit membungkuk melihat kaki Naomi yang gemetar, dan wajahnya tidak berhenti meringis. Tanpa pertimbangan apapun, Axel segera menggendong Naomi. Naomi terpekik kaget, memeluk leher Axel dengan erat. “Apa yang kau lakukan?” tanya Naomi panik. “Aku akan membawamu, tinggal saja tongkatmu di sini.” “Kau serius? Bagaimana jika nenekmu marah?” bisik Naomi khawatir, Naomi tidak ingin karena kondisi kakinya, rencana Axel menjadi kacau. Axel menyeringai, menikmati kekh
“Kalian bertunangan karena saling jatuh cinta kan?” tanya Teresia lagi. Axel dan Naomi langsung terdiam saling melihat, di detik selanjutnya dengan kompak mereka berdua saling melemparkan senyuman dan tatapan hangat layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Sudut bibir Teresia terangkat memperhatikan semu merah di telinga Axel yang malu dan sedikit salah tingkah melihat senyuman cantik Naomi. Axel terbawa suasana dengan ketulusan acting Naomi. Diam-diam Teresia merasa terhibur karena ternyata cucunya bisa sepemalu itu hanya dengan melihat senyuman seorang gadis. “Kalian saling tersenyum tapi tidak menjawab pertanyaanku. Kalian bertunangan karena saling jatuh cinta kan?” tanya Teresia lagi terlihat senang menggoda. Axel mengalihkan pandangannya, pria itu menarik napasnya dalam-dalam melihat sepasang mata Teresia dengan serius, dalam satu tarikan napas panjang yang memberatkan akhirnya Axel berkata, “Aku jatuh cinta kepada Naomi,” jawab Axel dengan lantang. Pengkuan Axel berha
“Jangan memaksa Naomi, jika Nenek tidak percaya pada hubungan kami, cantumkan saja seribu nama panti asuhan dalam perjanjian, berikan saja sebagian harta nenek kepada anak-anak yang membutuhkan masa depan lebih baik.” Pupil mata Teresia melebar, betapa terkejutnya wanita itu melihat kepolosan Naomi dan betapa bijaknya Axel dalam mengambil keputusan. Permintaan Axel jauh lebih bijaksana dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Ini adalah sebuah kemajuan bagi Teresia. “Apa kau serius dengan perkataanmu Axel?” tanya Teresia, membutuhkan kepastian. Axel langsung mengangguk membenarkan tanda sebuah keraguan sedikitpun di matanya. Teresia membuang napasnya perlahan. “Baiklah jika itu pilihan kalian, aku tidak akan menuntut apapun lagi selain itu, persiapkan saja pertunangan kalian,” jawab Teresia sebagai final dari perbincangan kali ini. Naomi mengusap wajahnya yang basah dengan cepat, Naomi merasa lega karena perbincangan serius ini sudah berakhir dengan baik. *** “Axel,” Teresia