“Kenapa makanannya diaduk terus Sayang? Kurang enak?” tanya El, karena sejak pria ini datang ke salon menjemput Livy, wanitanya tampak murung dan tentu kesakitan.Paska tersiram coklat panas, perut Livy memerah, berungtugnya ia menggunakan pakaian berlapis hingga coklat itu hanya sedikit mengenai kulit. Meskipun telah diobati, tetap saja seisi salon panik, sebab terbayang betapa seram kemarahan Presdir Torres Inc.Livy sengaja mengiba pada Estefania dan Rea, supaya kecelakaan di salon tidak terdengar oleh El. Ia tidak mau suaminya khawatir, apa lagi belakangan ini El kelelahan dan sakit.Wanita ini juga merahasiakan sosok perempuan itu. Pengunjung salon dan adik iparnya hanya tahu orang itu tidak sengaja, tentu saja salah. Sonia seolah menghapal sudut CCTV dan merekayasa peristiwa.“Ayo pulang, sepertinya kamu perlu istirahat.” El menghapus noda makanan pada bibir lantas berdiri dan mengulurkan tangan.Sesaat, Livy tersadar dari lamunan, ia terkesiap melihat wajah kecewa pada suaminya.
“Apa yang Sonia katakan? Dia mengancammu?” El mendekat dan menatap lurus sang istri, ia ingat wanitanya ini masih memiliki trauma mendalam apa pun tentang Sonia.Sedangkan Livy, mendadak membeku, sekujur tubuhnya menggigil terasa dingin, padahal suhu kamar cukup hangat. Ia menelan saliva yang lengket, membuat tenggorokannya sakit.“Katakan Sayang, jangan takut.” El mengambil satu tangan Livy dari sisi tubuh, menggemgam erat di depan dada lantas berkata, “Ada aku, kamu tidak sendirian.”Livy menggigit bibir bawah dengan kuat, ia menghirup oksigen memenuhi rongga dadanya dengan udara. Mulutnya pun mulai terbuka dan menceritakan kejadian di salon.Jujur ia takut pada ancaman Sonia. Dulu saja wanita itu nekat menculik dan hampir menyebabkan keguguran, bagaimana dengan kali ini? “Aku … aku takut Kak, Al … Kak Sonia orangnya nekat—““Ada aku Sayang, di sini aman. Tidak ada yang berani menyentuh kamu dan Al. Sekarang tenangkan pikiran kamu, karena itu berpengaruh pada Al, Ok?”Ibu muda ini m
Livy menangis sesenggukan di pelukan ibu mertua. Hatinya kian tak tenang, selain Al belum ditemukan, meskipun telah mencari ke seluruh penjuru mansion.Saat ini Livy sedang menanti petugas memeriksa rekaman CCTV di mansion, ia berharap pelakunya segera ditemukan. Seandainya benar Sonia, ia tidak akan memaafkan kakak angkatnya itu, apa lagi sampai melukai Al.“Tenang Sayang, Al pasti baik baik-baik saja.” Nyonya Torres menepuk punggung Livy yang terkulai lemas.“Tapi Mom, bagaimana kalau … orang jahat itu …” Livy tak kuasa melanjutkan ucapannya, terlalu perih menyayat kerongkongan hingga lidah.Sungguh, sekarang Livy sangat membutuhkan El di sampingnya. Ia berharap lelaki itu segera kembali ke mansion, tidak pergi lama-lama. Ia juga mempertanyakan di mana keamanan yang dijanjikan oleh El? Buktinya Al menghilang.Di saat seluruh penghuni mansion gelisah, di waktu bersamaan seorang wanita cantik berwajah khas Asia bersenda gurau dengan seorang anak kecil. Sosok itu Emilia Anette Putri—is
[Lagi apa? Maaf aku belum bisa pulang.]Isi pesan singkat El malam hari yang selalu menemani Livy selama beberapa hari ini. Paska abuela ditemukan tidak sadarkan diri, Nyonya Torres, Dad Leon, dan anggota keluarga lainnya lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit, terkecuali Emilia dan Rea.Livy terbiasa, mulai dari sarapan hingga makan malam bersama istri adik iparnya itu. Lagi pula mereka tidak diizinkan ke rumah sakit karena memiliki anak kecil.“Menyusui Al seperti biasa. Al merindukan Daddy-nya, aku makan dulu ya Kak, lapar.”[Jadi hanya Al, kamu tidak? Heh, teganya.]“Kalau aku rindu berat Kak, makanya cepat pulang ya.”Seusai membalas pesan sang suami, Livy tersipu malu sembari menaruh telepon genggam di atas kasur, tubuhnya terasa pegal karena menggendong Al yang semakin berat. Ia membaringkan bayi bulatnya pada ranjang, lalu keluar kamar untuk mengisi perut.Baru saja menginjakkan kaki di lantai satu, ia mendengar tangis histeris dari dua perempuan lain yang saling berpel
“Sayang, apa sayap kamu patah?” tanya El sembari membantu Livy-nya memilah bahan makanan di minimarket terdekat.“Hah? Sayap apa? Ini maksud Kakak?” Polosnya lagi Livy menunjukkan sayap ayam dalam keranjang.El mendesah lelah menepuk keningnya. “Bukan itu! Tapi sayap kamu, aku rasa kamu ini bidadari yang jatuh ke bumi.” Mendengar celotehan random sang suami, Livy melongo, melebarkan kelopak dan geleng-geleng kepala. Lantas kembali berjalan mencari bahan makanan yang bisa disimpan dalam jangka waktu lama.“Kamu terlalu baik. Untuk apa repot melakukan ini? Ayahmu itu menolak kita, menghinamu dan sekongkol dengan Sonia untuk melenyapkan nyawa anak kita. Tapi kamu …” El mengangkat kedua tangan dan menengadahkannya.Bahkan pria ini berpindah posisi tepat di depan Livy, El berjalan mundur demi mengamati paras ayu sang istri. Sejenak, ia menahan langkah kaki, menatap lekat kedua manik coklat yang jernih nan meneduhkan.“Aku yakin, kamu bukan wanita biasa. Yah, aku menikahi bidadari. Pantas k
“Sayang, badanku pegal, bisa bantu pijat?!” seruan El terdengar cukup nyaring dari kamar mandi. “Bisa, sebentar ya,” sahut Livy, segera datang dan melepas seluruh pakaian.Setibanya di mansion, pasangan ini memilih ke kamar untuk membersihkan diri sekaligus istirahat. El sengaja masuk lebih dulu, mempersiapkan air hangat dalam jacuzzi.“Ayo masuk, kita sudah lama tidak melakukan ini, benar ‘kan?” Tangan lebar El terulur, siap membawa Livy berendam.“Hu’um.” Livy mengangguk, lantas turut berendam, ia duduk tepat menghadap sang suami, tangannya bergerak memijat pundak, lengan lalu dada bidang.Wanita ini tahu suaminya sedang menahan kesedihan, lihat saja El memejam mata dengan punggung menyandar. Seusai menerima kabar duka, lelaki ini segera pulang ke Madrid, pagi hari baru tiba, dan seharian belum istirahat, dapat dibayangkan rasa lelah bercampur asa.“Boleh aku minta sesuatu?” El menunduk memperhatikan air muka serius sang istri. “Jangan temui keluarga angkatmu, baik boleh tapi bukan
“Livy? Kamu tidak apa-apa, Nak? Astaga maaf karena Mommy terlalu lama di dalam.” Nyonya Torres sesenggukan sembari menggenggam kedua tangan menantunya. Tidak bisa dibayangkan jika kendaraan itu menabrak Livy dan Alessandro. Wanita paruh baya ini enggan kehilangan orang terkasih lagi.“Aku … baik-baik saja Mom, Al juga. Tapi …” Livy tampak menggigit bibir bawahnya.Ia melirik ruang operasi yang tertutup rapat. Pikirannya terfokus pada satu titik saja, yaitu Tuan Fabregas.Iris coklatnya menyaksikan secara langsung mobil yang melaju cepat menubruk raga ringkih nan rapuh. Hingga ayah angkatnya terjatuh dan tidak sadarkan diri. Bukannya menolong, ibu muda ini tegugu di tempat, napasnya terasa sesak bahkan ia tersungkur di atas jalan.Hasil peninjauan sementara petugas keamanan, Tuan Fabregas dinilai lalai. Sebab, setelah turun dari mobil tidak langsung menutup pintu dan menepi, malah diam sembari menatapi bangunan di seberangnya.“Ayahmu pasti baik-baik saja Nak, jangan cemas Ok?” Nyonya
“Anak itu pasti hanya cari muka, penjilat handal,” sinis Tuan Fabregas.Perawat seta dokter saling pandang mendengar ucapan pria yang baru saja siuman. Merasa tak enak hati, dan perlu menjelaskan lebih lanjut. Dokter menceritakan semuanya, termasuk keadaan Livy yang sedang menyusui memaksa untuk donor darah.Saat itu juga pria paruh baya mengetahui cucu dari anak angkatnya selamat. Apa pria ini senang? Tidak! Tuan Fabregas menganggap bayi yang dilahirkan Livy, sebuah kesialan hingga kondisi keluarganya hancur.“Kalau begitu kami pamit, permisi Tuan.” Dokter dan perawat bergegas keluar dari ICU.“Hem, terima kasih dokter.”Sedangkan di dalam ruangan, Tuan Fabregas nampak memikirkan deretan kalimat yang disampaikan dokter jaga. Ia tidak percaya, dirinya dan Livy memiliki golongan darah yang sama, padahal dengan Sonia saja berbeda. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri, sebab mengingat kejadian belakangan ini. Bahkan tujuannya gagal akibat kecelakaan, padahal ia berniat menemui pengurus p