“Jadi, istriku sedang hamil?” tanya Smith, suaranya serak seperti embusan angin yang membawa serpihan dingin dari masa lalu.Ia menatap dokter dengan mata yang menyiratkan badai—kemarahan, kebingungan, dan sedikit rasa bersalah yang tak ingin diakuinya.“Benar, Tuan,” jawab dokter dengan nada datar, seperti lembaran salju yang jatuh tanpa suara.“Usianya sudah menginjak dua belas minggu. Kondisi pasien dan bayinya dalam keadaan lemah. Dia harus dirawat beberapa hari di sini.”Kata-kata dokter itu seperti gemuruh petir di telinga Smith. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, seolah dengan itu ia bisa menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Rasa marah itu begitu pekat, seperti arus deras yang mengalir tak terhentikan. Laura—wanita yang telah menghilang dari hidupnya—ternyata membawa anaknya, darah dagingnya, tanpa sepatah kata pun.“Kau juga, Louis!” Smith menoleh tajam, suaranya kini meledak seperti lonceng peringatan di tengah malam kelam.Ia menunjuk wajah Louis dengan jari yang
“Dengan senang hati, Smith,” bisik Louis, suaranya mengalun seperti nada piano yang sengaja dimainkan dengan nada sumbang, penuh tantangan dan rasa percaya diri yang memancing amarah.Smith menatapnya dengan mata yang penuh tanda tanya. Kenapa Louis selalu senang mengambil miliknya? Stella—hanya Stella yang tidak pernah disentuh oleh pria itu. Sisanya, semua yang berharga baginya seperti menjadi trofi dalam permainan ego Louis.“Smith?”Sebuah suara lembut memecah lamunannya. Ia segera menoleh, menemukan Laura yang perlahan membuka matanya. Ada kelelahan di sana, tetapi juga kekuatan yang selalu membuat Smith takjub, meski ia tak mau mengakuinya.Tanpa berpikir panjang, Smith menghampirinya dan duduk di samping tempat tidur rumah sakit itu. “Apa yang kau lakukan di sini, Smith?” tanya Laura, suaranya hampir seperti bisikan.Ia menatapnya, tatapan yang mengandung kebingungan dan sedikit rasa tak percaya. “Dari mana kau tahu aku di sini?” tanyanya lagi, kini dengan nada yang sedikit leb
“Ya,” jawab Laura, suaranya setenang malam tanpa bintang, namun di dalamnya tersembunyi badai emosi yang enggan ia tunjukkan.Ia menatap wajah Smith, matanya menyusuri setiap lekuk ekspresi terkejut yang belum sepenuhnya hilang dari pria itu.“Aku bekerja di sana setelah pergi dari hidupmu. Dan aku juga tahu bahwa kau adalah teman kuliah Rafael. Tapi, aku tidak memberitahu Rafael bahwa kau adalah suamiku.”Kata-kata itu menggantung di udara, seperti awan gelap yang menutupi mentari pagi. Smith masih terpaku, seolah pikirannya sedang merajut potongan-potongan informasi yang baru ia dengar.Laura menunduk sejenak, sebelum kembali menatap Smith. Tatapannya lembut, tetapi ada kekuatan yang tak kasatmata di baliknya.“Namun, kedatangan Louis ke hotel itu dan menemukanku di sana, akhirnya membuat Rafael tahu bahwa kau telah menikah … denganku, bukan dengan Stella.”Smith menarik napas panjang, helaan itu seperti badai yang mencoba mereda, meski riak-riak kecil masih mengganggu kedamaian hat
“Tidak!” Smith menggelengkan kepalanya dengan tegas, suaranya meletup seperti petir di tengah badai, seraya menatap wajah Laura yang seolah dipahat dari batu pualam—dingin, namun rapuh di bawah permukaannya.“Aku sudah susah payah mencarimu, Laura. Dan kau memintaku untuk membiarkanmu pergi begitu saja?” Ada nada getir yang menyelinap di antara kata-katanya, ketegangan yang membuat udara di antara mereka terasa berat seperti kabut.“Atau kau sebenarnya mencintai Louis?” lanjut Smith, suaranya berubah rendah, tetapi penuh dengan tuduhan yang menusuk seperti belati tajam.Laura menoleh cepat, matanya melebar, sementara keningnya mengkerut seperti kain yang terlipat kasar.“Apa maksudmu, Smith? Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik, tetapi setiap kata mengandung kejutan.“Tinggal jawab saja apa susahnya, Laura?” Smith menimpali, nadanya datar, namun tatapannya seperti bara yang mengancam untuk membakar segalanya.Laura menghela napas panjang, kepalanya sedi
Sudah dua hari lamanya Laura terbaring di rumah sakit. Udara di ruangan itu terasa dingin, namun tak mampu menyejukkan pergolakan batin yang ia simpan di dalam hatinya.Langit di luar jendela tampak berawan, seperti ikut menyelimuti perasaannya yang tak menentu.Ketukan pelan di pintu memecah keheningan, diikuti oleh Rafael yang melangkah masuk dengan sebuah buket bunga dan keranjang buah di tangannya.Aroma mawar segar bercampur dengan jejak jeruk dari buah-buahan itu memenuhi udara, menciptakan suasana yang sedikit lebih ceria.“Hi, Laura?” sapa Rafael dengan suara lembut, nyaris seperti bisikan. Senyumnya hangat, seperti matahari yang malu-malu muncul di balik awan.“Tuan Rafael,” jawab Laura dengan ramah, suaranya sedikit serak namun tetap terdengar manis.Ia tersenyum, walau guratan lelah di wajahnya tidak bisa disembunyikan. “Maaf, aku belum mengabarimu karena ponselku tertinggal di kostan.”“It’s okay,” balas Rafael sembari meletakkan buket bunga dan keranjang buah di meja keci
“Apa kau mengusir Rafael?” tanya Laura, kedua alisnya bertaut saat ia memandang ruang kosong di mana Rafael sebelumnya duduk. Kekecewaan kecil terselip dalam suaranya, meskipun ia mencoba menyembunyikannya.Smith menghela napas pelan, seolah ucapan Laura baru saja menusuknya dengan sesuatu yang tak kasatmata.“Meskipun aku tahu Rafael menyukaimu, dia tetap temanku. Mana mungkin aku mengusirnya begitu saja?” jawabnya, nada suaranya datar, namun ada sedikit getar di dalamnya, seperti riak halus di permukaan air yang tenang.Laura menyipitkan matanya, mencari tanda-tanda kebohongan di wajah pria itu. “Lantas?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih tegas, seperti seorang detektif yang tak akan membiarkan satu detail pun terlewat.Smith menatapnya, matanya seperti kaca yang memantulkan kejujuran yang ia coba pertahankan. “Ada urusan yang harus dia selesaikan. Entah apa itu, tapi ketika selesai menerima panggilan, dia langsung bergegas pulang. Mungkin masalah di hotelnya.”Penuturan itu me
“Memangnya kau mengharapkan kehadirannya?” tanya Laura dengan pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang bercampur antara rasa ingin tahu dan keengganan untuk mendengar jawabannya.Smith menyunggingkan senyum kecil, tetapi senyum itu lebih mirip bayangan kabur dari sebuah perasaan yang tak terjelaskan.Tersenyum pasi, ia merasa pertanyaan itu seperti anak panah yang melesat tepat ke dalam pikirannya.“Ya. Aku sangat mengharapkan kehadirannya,” ucapnya dengan nada yang penuh keyakinan. “Justru pernah terbesit dalam otakku untuk menghamilimu agar kau tetap menjadi istriku.”“Huh?” Mata Laura melebar, wajahnya memancarkan kebingungan yang nyata. Ia menatap Smith seakan-akan pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang benar-benar gila.Smith menatapnya dalam-dalam, matanya seperti danau yang tenang namun menyimpan rahasia di bawah permukaannya.“Ya. Saat usia pernikahan kita hampir mendekati satu bulan. Saat makan malam di malam Valentine itu. Aku berniat akan bercinta denganmu sepulang d
Waktu telah merangkak menuju angka tujuh pagi, membawa serta sinar matahari lembut yang merambat masuk melalui celah tirai.Laura membuka matanya perlahan, membiarkan dunia nyata kembali mengisi kesadarannya. Ia menoleh ke arah sofa tempat Smith biasanya beristirahat, namun hanya menemukan kekosongan di sana.“Ke mana dia? Bukankah semalam dia baru tidur pukul dua pagi?” gumamnya pelan, sambil mengucek matanya yang masih terasa berat.Belum sempat ia menebak lebih jauh, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Smith yang keluar dengan rambut basah dan wajah segar.Ia duduk di samping Laura, menyuguhkan senyum kecil yang menghangatkan udara di antara mereka.“Selamat pagi,” sapanya, suaranya serak namun menenangkan, seperti melodi pagi yang akrab.Laura menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Pagi. Apa kau sudah sarapan?” tanyanya lembut, pandangannya menelusuri garis-garis kelelahan samar di wajah pria itu.Smith menggeleng sambil menyisir rambutnya dengan jari. “Kau ingin keluar s
Fajar baru saja merekah, tapi Stella sudah terjaga. Ia duduk di tepi ranjang dengan ponselnya tergenggam erat, tatapan matanya melekat pada layar yang menampilkan sebuah pesan tak dikenal.“Berhenti mengganggu hidup Smith. Atau kau akan merasakan neraka di dunia.”Alih-alih merasa takut, Stella justru tersenyum sinis. Tawa kecilnya menggema di kamar yang sunyi, serupa bisikan iblis yang tengah bersiap memainkan permainannya sendiri.“Peneror murahan,” gumamnya, membuang ponsel itu ke atas meja rias. Seberapa banyak pun ancaman yang datang, ia tidak akan mundur. Tidak akan pernah.Dengan gerakan anggun, Stella berdiri dan berjalan ke depan cermin besar yang terpajang di sudut ruangan.Jemarinya yang ramping mengambil lipstik merah dari meja rias, lalu perlahan menggoreskannya ke bibirnya yang penuh.Warna merah darah itu menyala tajam, seperti simbol dari ambisi dan obsesi yang tak pernah padam.Ia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit, mengamati bayangan dirinya yang terpantul di
Malam menyelimuti kota dengan gelap yang pekat, hanya diterangi oleh kelip lampu jalan yang berpendar samar.Di sudut sebuah gudang tua yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kehidupan, Smith berdiri dengan sorot mata dingin, menatap sosok di hadapannya.Bobby, pria berbadan kekar dengan rahang keras bak batu dan mata yang tajam seperti pisau, menyeringai tipis.Tangan kasarnya menyulut sebatang rokok, asapnya mengepul ke udara, menambah suasana kelam di antara mereka."Jadi, kau ingin aku meneror wanita itu?" suara Bobby berat dan kasar, penuh nada ketertarikan yang berbahaya.Smith tidak menunjukkan ekspresi gentar sedikit pun. Ia hanya mengangguk, suaranya terdengar tegas dan dingin."Stella sudah semakin menggila. Aku ingin dia berhenti mengganggu rumah tanggaku. Apa pun yang kau lakukan untuk membuatnya jera, aku serahkan padamu."Bobby tertawa kecil, rokoknya hampir habis di antara jemarinya yang kekar. "Lucu sekali. Seorang Smith Alexander, pria yang begitu berkuasa, memilih menyele
Pintu rumah terbuka dengan bunyi klik pelan, menandakan kepulangan Smith setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan.Rambutnya sedikit berantakan, dasinya sudah longgar, dan ekspresi wajahnya menunjukkan betapa lelahnya ia setelah kembali ke rutinitas kantornya.Bahkan, waktu istirahatnya tadi hanya cukup untuk makan siang bersama Louis.Laura yang tengah duduk di sofa langsung bangkit begitu melihat suaminya memasuki ruangan. Dengan senyum lembut, ia melangkah mendekat dan langsung mencium pipi Smith."Selamat datang di rumah, Sayang," bisiknya lembut, berharap bisa sedikit mengusir penat di wajah pria itu.Smith mendesah pelan, lalu tanpa ragu menarik Laura ke dalam pelukannya. Ia mencium kening wanita itu dengan penuh kasih sebelum mengubur wajahnya di bahu Laura."Astaga, Laura... Aku benar-benar lelah hari ini. Pekerjaan menumpuk setelah satu minggu penuh kita liburan. Rasanya seperti dihukum karena bersenang-senang."Laura terkekeh mendengar keluhan suaminya. Ia mengusap p
Setelah satu minggu penuh menikmati keindahan New Zealand, Laura dan Smith akhirnya kembali ke New York.Begitu menginjakkan kaki di kantornya, Smith langsung disambut oleh tumpukan berkas yang menggunung di meja kerjanya.Vincent dan Louis sudah menunggunya dengan ekspresi yang sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan.Smith menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri ke kursi dengan lemas. "Kalian serius? Aku baru sampai dan langsung disuguhi ini semua?" keluhnya sambil menunjuk setumpuk dokumen yang sudah tertata rapi menunggunya.Vincent menyeringai. "Apa boleh buat? Ada banyak hal yang harus kau urus, bos besar."Louis menepuk bahu saudara kembarnya dan menahan tawa. "Selamat datang kembali di dunia nyata, Smith."Smith menggerutu sambil membuka salah satu berkas. "Sumpah, ini benar-benar menyebalkan. Aku masih ingin bersantai, menikmati waktu dengan Laura, bukannya terjebak dalam tumpukan laporan keuangan dan pengecekan proyek!"Louis tak bisa menahan tawa kali ini. "Kau
Pagi di New Zealand terasa begitu segar. Cahaya matahari menyelinap di antara dedaunan, angin sepoi-sepoi berembus lembut membawa aroma laut yang khas.Laura dan Smith berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar kota kecil yang ramai.Hari ini mereka memutuskan untuk pergi ke pasar swalayan dan berbelanja beberapa barang, termasuk oleh-oleh dan, tentu saja, perlengkapan untuk calon bayi mereka.Sesampainya di pasar swalayan, mata Laura berbinar melihat deretan baju bayi yang menggemaskan tersusun rapi di rak-rak kayu.Berbagai warna pastel yang lembut dengan motif hewan-hewan khas New Zealand seperti domba dan burung kiwi terpajang begitu cantik.“Lihat ini, Smith!” seru Laura antusias sambil mengambil dua setelan baju bayi berwarna putih dengan motif domba kecil. “Bukankah ini lucu sekali?”Smith yang tengah memperhatikan rak sepatu bayi menoleh dan tersenyum. “Lucu sekali. Aku suka motifnya.”Laura mengelus kain baju itu dengan jemarinya, membayangkan kedua bayi kecil mereka meng
Malam telah menyelimuti New Zealand dengan kehangatan cahaya bulan dan gemerlap bintang-bintang yang bertaburan di langit.Angin lembut berbisik di antara dedaunan, membawa aroma laut yang segar ke udara.Di sebuah restoran mewah dengan pemandangan laut yang luas, Laura dan Smith duduk berdua di meja yang telah disiapkan secara eksklusif untuk mereka.Lilin-lilin kecil menerangi meja makan mereka, menciptakan suasana yang intim dan hangat.Gelas-gelas kristal yang berkilauan memantulkan cahaya temaram lilin, sementara hidangan istimewa tersaji di hadapan mereka—steak wagyu pilihan untuk Smith dan salmon panggang dengan saus lemon butter untuk Laura.Laura menatap sekeliling, merasa aneh dengan suasana yang begitu istimewa. Pelayan-pelayan terlihat tersenyum padanya dengan penuh arti, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak ketahui.Namun, pikirannya mengabaikannya. Yang terpenting, saat ini ia bersama Smith, menikmati momen berdua.“Terima kasih sudah membawaku ke sini,” ujar La
“Smith, ayo! Aku sudah siap menjelajahi pegunungan itu hari ini!” Laura menghampiri Smith yang masih menyesap kopinya.Ia terkekeh melihat tingkah Laura yang begitu antusias ingin menikmati pemandangan di sana.“Baiklah. Tunggu sebentar, aku menghabiskan kopiku terlebih dahulu.”Laura mengangguk. Ia akan bersabar menunggu Smith yang masih ingin menikmati kopinya itu.Hingga lima menit kemudian, Smith dan Laura keluar rumah dan siap menjelajahi keindangan alami di sana.Udara sejuk khas New Zealand membelai lembut kulit Laura saat ia berjalan di samping Smith, tangan mereka saling bertaut erat seolah enggan terpisah.Di hadapan mereka, hamparan perbukitan hijau membentang sejauh mata memandang, sementara jalan setapak yang mereka lalui diapit oleh padang rumput yang luas dan pepohonan yang menjulang gagah.Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna bagi perjalanan mereka hari ini. Burung-burung berkicau riang, seakan turut menyambut dua insan yang tengah menikmati kebersamaan
“Wow…” Bisikan itu lolos dari bibir Laura, terhempas bersama desir angin yang membelai lembut rambutnya.Matanya yang bening bagai kristal terpantul cahaya matahari senja, menangkap keindahan lanskap New Zealand yang terbentang di hadapannya—bukit-bukit hijau bergulung-gulung seperti ombak yang membeku, danau sebening kaca memantulkan warna langit yang keemasan, serta gunung-gunung kokoh yang berdiri gagah di kejauhan.Smith mendekat, kehangatan tubuhnya menyelimuti Laura saat ia melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan melindungi.Bibirnya menyentuh pucuk kepala Laura sebelum suaranya yang berat dan berlapis kelembutan berbisik di telinganya. “Kau menyukai tempat ini, hm?”Laura menoleh, mata mereka bertaut dalam sorot penuh cahaya senja. Bibirnya melengkung dalam senyum yang tak terbendung, seolah hatinya telah ditawan oleh keindahan tak hanya tempat ini, tapi juga pria yang kini berada di sampingnya.“Ya. Tempat ini sangat cantik. A
Louis mengerutkan kening, sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang pekat.Dalam ribuan kemungkinan yang pernah ia bayangkan, skenario ini tidak pernah menjadi salah satunya."Apa maksudmu, Smith? Kenapa Daddy melakukan itu padamu?" tanyanya, suaranya hampir tertelan kebisingan bar yang mulai surut seiring malam semakin larut.Smith menatap saudara kembarnya dengan mata yang penuh ketegangan, seolah setiap kata yang akan diucapkannya adalah serpihan kaca yang siap melukai siapa pun yang mendengarnya."Aku tahu kau pasti tidak akan percaya dengan tindakan Daddy padaku sampai menjebak Laura agar bisa menikah denganku," ujarnya, suaranya berat dengan emosi yang tertahan.Louis menelan ludahnya, mengamati ekspresi Smith yang jauh lebih serius daripada sebelumnya."Namun, inilah kenyataannya," lanjut Smith, menegakkan punggungnya seolah berusaha menahan beban yang terus menghantamnya dari berbagai sisi."Daddy sendiri yang memberitahuku bahwa dia sengaja melakukan itu. Alasannya? Per