Part 4
POV THORIQ
Aku Ahmad Thoriq, seorang anak yatim piatu. Dulu Bapakku bekerja hanyalah sebagai seorang juru parkir di minimarket yang terletak tepat di seberang kantor Pak Jayadiningrat.
Sedangkan Ibu sudah meninggal saat aku masih duduk di SMP kelas satu, karena serangan TBC akut.
Hanya saja Bapak pun akhirnya ikut menyusul Ibu, setelah dua tahun kepergiaannya. Aku tengah bersekolah di kelas tiga SMP kala itu.
Bapak meninggal karena ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Tubuh kurusnya terpental sejauh beberapa meter.
Aku yang kala itu baru saja pulang sekolah, berteriak histeris, ketika melihat tubuh Bapak yang bersimbah darah. Setelah diusut, ternyata pengemudi tersebut tengah di bawah pengaruh alkohol.
Tak ada yang berani membawa Bapak ke rumah sakit, kendati aku sudah memohon pada orang-orang yang berkerumun. Mereka tak bergeming saat aku berlari menangis ke arah mereka, memohon agar membawa Bapak ke rumah sakit terdekat. Mungkin mereka takut berurusan dengan kepolisian.
Hingga akhirnya seseorang datang menerobos kerumunan, lalu dengan sigap menelepon polisi serta ambulance. Namun sayang, nyawa Bapak sudah tidak dapat tertolong lagi. Bapak meninggal karena kehabisan darah.
Aku berjongkok menangisi kayu nisan yang tertancap di pucuk gundukan tanah merah. Usiaku saat itu masih 14 tahun. Saudara-saudara dari Bapak dan Ibu tidak ada di Jakarta ini. Sedangkan di Jakarta ini, kami mengontrak sebuah rumah kecil, di daerah kawasan padat penduduk.
"Aku harus kemana, Pak? Aku nggak punya siapa-siapa di Jakarta. Aku mau tinggal di mana," rintihku saat itu. Terlintas dalam bayangan, mau tidak mau aku harus menjadi gembel di jalanan. Mau bagaimana lagi? Tidak ada sesiapun yang bisa untuk aku tumpangi hidup.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundakku. Ketika aku menoleh ke atas, ternyata Pak Jaya tengah tersenyum kepadaku. Di sampingnya seorang wanita berhijab modis dan seorang anak perempuan yang sepertinya di bawah usiaku.
"Kamu sebatang kara, Nak?" tanyanya lembut, kemudian ikut berjongkok di sebelahku.
Aku mengangguk. "Iya, Pak. Aku gak punya saudara atau kenalan siapa pun di sini. Aku gak tau harus ke mana setelah ini. Huhuhu," rintihku, tersedu-sedu.
"Bagaimana kalau kamu ikut bapak? Nanti akan bapak sekolahkan kamu sampai selesai. Soalnya, bapak gak punya anak laki-laki. Anak bapak cuma itu semata wayang." Bibirnya dimajukan, menunjuk ke arah gadis kecil yang berdiri tersipu.
Aku menimbang sejenak. Jika tidak kuterima, lalu aku harus ke mana? Tapi benarkah dia orang baik?
Tapi, aku teringat kata Bapak, ada orang baik bernama Pak Jayadiningrat. Pemilik perusahaan mebel besar dan ternama di depan minimarket tempat Bapak bekerja.
"Apakah Bapak yang bernama Pak Jayadiningrat?"
Dahinya berkerut. "Ya, benar saya Jayadiningrat. Kok kenal sama saya?"
"Almarhum Bapak saya banyak bercerita tentang Pak Jayadiningrat. Kata Almarhum Bapak, Pak Jayadiningrat itu orang baik."
Lelaki paruh baya itu terkekeh. "Almarhum Bapak kamu itu bisa saja. Padahal saya tidak pernah melakukan apa-apa padanya."
Aku tersenyum kecil mendengar penuturannya.
"Ya sudah, sekarang bagaimana? Kamu mau gak ikut dengan bapak? Bapak janji, akan memperlakukan kamu sama seperti Karenina, anak kandung bapak itu."
Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
"Baiklah kalau begitu." Pak Jaya menepuk lembut bahuku. "Kita pulang sekarang."
______
Waktu dan tahun demi tahun berlalu. Papi (demikian aku memanggil Pak Jaya) menawarkanku untuk sekolah penerbangan dan menjadi pilot. Tentu saja aku sangat senang. Itu sudah menjadi cita-cita sejak kecil. Namun karena kehidupanku yang miskin, dulu aku hanya bisa memupus impian.
Lagi-lagi karena rekomendasi Papinya Karenina, aku bisa bekerja di sebuah maskapai penerbangan swasta milik Pak Rahmat Hidayat, sahabat Papi sejak SMP.
Berawal dari merintis karir sebagai Co-Pilot kemudian tidak sampai lima tahun, aku sudah bisa menjadi Captain Pilot. Karena menurut peraturan internasional, dengan memiliki pengalaman 1500 jam penerbangan dengan 200 jam terbang malam, sudah memenuhi syarat kenaikan jabatanku.
_______
Dan Karenina pun tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Ia pun sekolah penerbangan sama sepertiku. Hanya aku lebih senior tiga tahun darinya dan dia mengambil jurusan pramugari sedangkan aku pilot.
Kebersamaan dan canda tawa di pesawat, yang membuat benih cinta itu tumbuh. Sebenarnya bukan cinta pada lawan jenis, tapi cinta seorang abang kepada adiknya. Cintaku sudah terlanjur berlabuh di seorang wanita yang berprofesi sebagai pramugari juga. Dan merupakan sahabat dari Nina. Hanya saja aku belum berani menyatakan perasaan pada gadis itu.
Hingga pada akhirnya, Papi menyuruhku untuk melamar Karenina, yang sudah aku anggap seperti adik sendiri. Karena aku pun menangkap ada sinyal cinta Nina untukku.
Aku tidak memiliki kuasa untuk menolak, karena bayang-bayang hutang budi yang tetap akan kubawa sampai mati. Sehingga akhirnya aku harus tetap menikahi Karenina.
______
Namun perasaan tidak bisa dibohongi. Kebersamaan dengan sosok wanita yang kucintai itu membuatku tak bisa move on dari perasaan cinta yang terpendam selama ini.
Jadwal penerbangan yang selalu sama, membuat intensitas waktu kebersamaan kami pun semakin sering.
Ditambah Nina hamil di usia pernikahan kami yang kedua tahun. Tentu ia harus istirahat dari dunia penerbangan. Tak kusangka, Nina mengambil keputusan untuk resign, dengan alasan ingin berbakti padaku dan mengurus anak-anak kami kelak.
Jujur aku merasa bersalah pada Nina dan keluarganya. Tapi, aku tidak bisa mangkir dari pesona gadis itu yang juga turut menggodaku di setiap kebersamaan kami.
Jiwa kelaki-lakianku seakan meronta-ronta, ketika bisikan cinta didesahkan lembut di telingaku.
________
Jika hasil riset saya tentang jam terbang seorang Co-Pilot salah, mohon bantu koreksi ya, Bosquee.
Terima kasih sudah mau mampir😘
Jangan lupa untuk :
REVIEW BINTANG 5
Biar Mak Embul makin cemungud up part baru🤗
Part : 5 Sembari mendendangkan sebuah sholawat. Bulir hangat terasa mengalir dari sudut kedua netra, ketika lantunan sholawat itu berdesis lembut dari bibir. Setegar apa pun aku mencoba berusaha, tetaplah kembali pada kodrat wanita yang lemah dan cengeng. 'Mama akan berusaha mempertahankan keutuhan keluarga kita semampu mama, Nak. Mama lakukan semua demi kebahagiaan kamu … dan kita.' ________ Dua hari setelah itu, rencana liburan kami berhasil juga. Tentu saja aku senang sekali. Bukan karena liburannya, tapi setidaknya menggagalkan rencana liburan Mas Thoriq dan Hesti adalah sesuatu kepuasan yang luar biasa. Setidaknya
Part :6 Aku beranjak menuju bagian luar restoran. Dan pandanganku tertuju pada pria yang duduk di meja dengan posisi membelakangi, tepat di pinggir pantai. Duduk berdampingan dengan seorang wanita berambut ikal berwarna coklat kemerahan. Benar-benar tidak asing bagiku. Bergegas kuhampiri pasangan yang tengah duduk berdampingan itu. "Mas!" panggilku dan lelaki itu menoleh. Benar Mas Thoriq dan wanita di sebelahnya … Astaga! "Elo …?" ________ "Eng, eh, hai, Nina. Apa kabar? Elo dari mana? Barusan tadi gue tanya sama Mas Thoriq. Katanya lo mual-mual gitu ya?" Dinda menghampiri dan langsung mencium pipi kana
PART 7 Mas Thoriq dan Hesti tengah duduk berpegangan tangan sambil tertawa. Di meja berhamburan kartu domino dan kulit kacang. Dinda ada di sana juga. Tumben, dia tidak memberi tahu soal kehadiran Hesti di sini. Bahagia sekali kelihatannya suamiku itu. Sementara ketika denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya. "Hesti!" Mas Thoriq dan Hesti terperanjat. Lalu keduanya refleks berdiri. Plaaak! ________ Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi mulus Hesti, hingga ia terhuyung ke belakang. N
PART 8 Selamat membaca, Zheyeenkk☺❤___________ "Kenapa, Nin?" tanya Dinda khawatir, ketika melihat aku mulai meringis menahan sakit, sembari mengelus-elus bagian bawah perut. Belum sempat aku menjawab, aku merasa seperti ada yang pecah dan air mengalir dari sela kedua paha. "Air apa itu?" Dinda menatap bingung melihat air yang keluar dari selangkanganku. "Lo ngompol, Nin?" "Enggak kok. Gue juga gak tau itu air apa, Din." ________
Selamat membaca 🤗PART 9Pria tiga puluh satu tahun itu hanya tersenyum kecut tanpa menjawab. Aku sangat mengenali seperti apa dirinya. Dia tak akan pernah berani berkutik sama sekali, jika aku sudah merengek dan merayu pada Papi. Karena tentu saja dia tidak memiliki daya sama sekali."Ya sudah, nanti biar Papi bicarakan masalah ini ke Rahmat ya. Yang penting kamu banyak istirahat, makan makanan yang bergizi, supaya kamu segera pulih."Kutarik bibir ke samping. Yes! Dengan begitu akan lebih mudah mengawasi seperti apa kelakuan suami dan sahabatku.Dengan ekor mata, bisa kulihat Mas Thoriq kembali menatapku._________Selama masa pemulihan setelah melahirkan di rumah sakit, aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Hanya saja Alissha, belum diizink
Part 10 Mobil bergerak mundur, lalu melesat pergi. Segera kuraih gawaiku. Lalu menghubungi seseorang yang bernama Farid. "Kamu di mana posisi, Rid?" "Saya sedang mengikuti mobil Alphard hitam milik Pak Thoriq. Sesuai yang Ibu perintahkan, saya sudah stand by di depan rumah Ibu sejak pukul setengah tujuh tadi," sahut orang bayaranku itu. "Bagus! Ikuti terus!" ________ "Siap, Bu. Posisi saya tidak jauh dari mobil Bapak." "Hati-hati kamu. Jangan sampai terlalu dekat. Takutnya nanti dia curiga."
Kuscroll lagi ke bawah. Aku penasaran dengan wajah laki-laki yang selalu saja diambil dari belakang. Kemudian sampai pada beberapa slide foto di bawah. Dan refleks kututup mulut ketika melihat slide akhir beberapa foto dari akun bernama Spongebob89 itu. Tanganku gemetar dan nyaris ponsel bergambar apel separuh itu terjatuh ke lantai. Foto Dinda dengan menggunakan bikini seksi, tengah bertemu bibir dengan seorang pria yang sangat aku kenal. Astagfirullah, Mas Thoriq! __________ Ingin rasanya aku menangis dan menjerit sekuatnya, tapi rasanya malu. Mami juga past
Part 12 "Mas sangat mencintai kamu dan gak mungkin menduakan kamu, Sayang," ujarnya lalu hendak mendekapku erat. Tak sengaja mataku menangkap banyak tanda merah di leher Mas Thoriq. "Tunggu, Mas!" Aku menahan tubuhnya. "Kenapa, Sayang?" "Kok di leher kamu banyak tanda merah," tanyaku tajam penuh selidik. Lelaki itu langsung bergegas menuju cermin. "Eng, ini … ini …." _________
PART 41 Suara mesin detak pacu jantung terdengar. Di dalam para dokter dan perawat masih bekerja keras melaksanakan tanggung jawab atas tugasnya. Papi berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca ruang ICU. Rasa khawatir yang mendalam tergambar dalam mimik wajah dan gerak gerik tubuhnya. Sudah sama-sama tahu, kalau Papi memang begitu menyayangi Mas Thoriq. Meski dengan kelakuan buruknya sekali pun. Sedangkan aku? Hati ini benar-benar sudah mati dan teramat sangat membenci laki-laki itu. Luka yang ditanamkan di dalam hati ini, benar-benar mendarah daging. Jika ditanya apakah aku bisa memaafkannya atau tidak, entahlah … Rasanya jantung ini terus mendetakkan ka
"Mas Thoriiiiq," Aku berteriak dan menutup telinga karena suara dentuman tubuh mereka ke tanah, membuatku tak berani melihat. Aku menelan saliva. Kuberanikan diri melihat ke bawah dengan mata setengah tertutup. Astaga, Hesti terjatuh dalam keadaan telentang, sedangkan Mas Thoriq jatuh telungkup tak jauh dari posisi Hesti. Tampak darah mengalir dari belakang kepala Hesti. Bergegas aku mencari kunci di setiap sudut laci. Ya ampun, ngapain sih Mas Thoriq pakai sembunyiin kunci segala, rutukku membatin. Ketika nyaris putus asa, aku mendengar seseorang memutar knop pintu. "Mas Barry?" cetusku saat melihat sosok tinggi dan berjanggut tipis muncul dari balik pintu. "Ko
Tampak raut wajah lelaki itu terkejut dan ia berusaha merampas dari tangan Hesti. Tapi, wanita itu tak kalah sigap. Ia mengangkat bungkusan kecil itu ke udara. “Itu bukan apa-apa. “ “Bohong! Ini kond*m siapa?” Mas Thoriq hanya diam dan mengalihkan pandangan cuek ke arah lain, tanpa menjawab. Sementara Hesti terus mendesak sambil memukul-mukul dada Mas Thoriq. “Sudahlah, Hesti. Tidak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kondom di kantongku kan belum tentu artinya aku selingkuh,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. “Lalu kond*m ini untuk apa kalau tidak untuk-” Ucapan Hesti terjeda karena mendengar suara ponsel Mas Thoriq berdering. “Siapa itu, Mas?” tanya Hesti penuh selidik. Tapi, Mas Thoriq berusaha m
Ronta kakiku mulai melamban, seiring tubuh yang semakin melemas. Aku sudah pasrah jikalau aku harus mati malam ini.“Hahaha … mam*us lo! Mati lo malam ini juga!”Meski di air, tapi suara itu sangat kukenal. Astaga … ternyata dia.***Aku tersadar dari entah apa namanya. Yang kuingat saat itu aku tengah dibenamkan di air dengan leher yang terjerat tali. Apakah aku sudah mati ataukah hidup? Atau sudah berada di alam kubur? Ketakutan membuatku menjadi takut untuk membuka mata. Takut menghadapi kenyataan.“Woi! Bangun! Aku tahu kamu sudah sadar,” bentak seseorang dan yang kutahu itu suara Hesti.Kubuka perlahan ke
Ya Allah … akan bagaimanakah nasib kami? Akankah pesawat ini akan mendarat selamat, kendati harus melakukan pendaratan darurat? Haruskan kami juga menyusul sahabat-sahabat kami yang kemarin jatuh di perairan juga, meski kami berada di perairan yang berbeda …? ______ Guncangan beberapa kali terjadi dan teriakan histeris terus menggema. Aku hanya bisa terus berdoa tiada henti untuk keselamatanku dan seluruh penumpang berserta awak kabin lainnya. Bayangan Alissha terus menerus menari di pelupuk mata. Tawanya, celotehannya manjanya, Allahu … haruskah semua berakhir di sini? Penderitaan, luka dan kecewa. Aku berdoa dan tersenyum getir. Bruuuk … bruuuk … bruuuk … hentakan hingga tiga kali menyebab
Part 36 Mataku membulat tak percaya dengan sosok wanita di dalam taksi. Kupicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Sosok wanita berkacamata hitam itu menoleh padaku. Pelan-pelan ia membuka kaca matanya, lalu melambai padaku. Astaga, Dinda! Glek. Aku meneguk ludah. Buronan itu mulai mencariku kah? *** Wanita itu menggunakan masker. Hanya dari tatapannya, aku sudah langsung bisa mengenalinya, sekali pun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah. Mendadak tubuh ini menggigil takut. Inikah awal hidup mulai akan tak tenang lagi. Seandainya pun aku melapor pada pihak kepolisian, belum tentu mereka bisa
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is