Part 3
Deg. Liburan? Benar yang dikatakan Dinda.
"Eh, kamu ngacam aku? Please, jangan main-main gitu dong. Jangan bikin aku khawatir, Sayang."
Apa … Sayang? Ternyata ada panggilan "Sayang" lain selain aku. Tanganku mengepal kuat.
"Oke, oke, kita pergi liburan. Aku bisa alasan ke ada jadwal flight ke Seoul ke Nina."
Aku sudah tidak tahan lagi untuk terus bersembunyi di balik jendela dan mendengarkan kata-kata mesra suamiku dengan perempuan lain.
"Mas Thoriq!"
Mas Thoriq terlonjak dan nyaris ponsel di genggamannya terlempar karena terkejut.
_____
"Kenapa, Mas? Kok kagetnya kayak ngeliat hantu begitu sih?"
Dengan wajah pias, Mas Thoriq berusaha bersikap santai. Padahal aku tahu, dia begitu ketakutan dan khawatir aku mendengar pembicaraannya di telepon. Terlihat dari jakun yang naik turun, berkali-kali menelan salivanya.
"Ka-kamu udah lama di situ, Sayang?"
"Udah. Cukuplah untuk dengerin semua pembicaraan kamu tadi."
Wajahnya semakin pias. Dan mungkin saja keringat dingin tengah mengucur deras. Karena berkali-kali ia mengusap dahi dan tengkuknya.
"Serius kamu denger semua pembicaraan Mas tadi?" tanyanya ulang.
"Emangnya kenapa sih, Mas, kalau aku dengar semua pembicaraan kamu?" tanyaku penuh selidik.
"Yaa, eng-enggak papa sih."
Aku terbahak. "Hahaha … Kena prank kamu, Mas. Hahaha …."
Dahinya berkerut, penuh tanda tanya.
"Maksud kamu?"
"Iya, kena prank. Aku baru aja kok berdiri di sana. Jadi gak mungkin aku bisa dengar semua percakapan kamu, Mas."
Tampak ia menghela napas panjang. Mungkin ia merasa lega, karena aku bilang tidak mendengar pembicaraan apa pun. Padahal, setiap kata-kata rayuan menjijikkan sudah terekam di otakku.
"Lagian emangnya kenapa kalau aku denger pembicaraan kamu di telepon?"
Lelaki berhidung mancung itu tertawa janggal.
"Ah, eng-enggak papa kok. Malu dong kalau kamu denger percakapan pria. Kadang-kadang suka vulgar," kilahnya berbohong.
Entah sudah berapa banyak kebohongannya yang dicatat oleh malaikat. Astaghfirullah.
"Oh kirain …."
"Kirain apa sih, Sayang?" Mas Thoriq mengacau poniku.
"Kirain kamu lagi bicara sama selingkuhan kamu," sindirku tajam.
Deg.
Skak mat!
Wajah Mas Thoriq kembali pias. Sindiran telak yang kuhujamkan padanya.
"Hahaha …." Ia tertawa garing. "Kamu ini apaan sih ah? Ada-ada aja deh becandaannya."
"Ya aku kan cuma nebak. Aku tau kok, suamiku ini selain romantis, juga suami yang sangat baik dan setia. Mana mungkin Mas menduakan aku. Ya kan, Mas?"
Mas Thoriq semakin gelisah. Aku melihat jakunnya terus bergerak naik turun. Terlihat amat sangat banyak kebohongan yang ia sembunyikan dariku.
Lambat laun kebohongan itu akan aku ungkap, Mas. Lihat saja, apakah nanti kamu masih bisa mengelak lagi atau tidak.
"Ya-ya iya, dong. Mana mungkin aku tega mengkhianati istri Mas yang begitu baik dan setia. Cantik lagi," ujarnya sambil menjawil daguku. Dusta!
"Selain baik dan setia, Mas juga kan banyak hutang budi sama keluarga aku kan?"
Mimik mukanya semakin terlihat serba salah karena dentuman demi dentuman yang kulancarkan.
"Ya iya dong. Mas gak akan lupa itu. Mas gak akan jadi seperti ini, jika tanpa jasa besar Papi kamu."
Aku tersenyum sembari membingkai wajahnya dengan kedua tanganku.
"Tapi bukan karena alasan itu kan Mas mau menikahiku."
"Ya, enggaklah, Sayang. Mas benar-benar mencintai kamu tulus dari hati Mas yang paling dalam." Mas Thoriq membalas membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
Hatiku mencebik sinis. Cih! Munafik! Ingin rasanya tangan yang tengah berada di kedua pipi Mas Thoriq ini, kupindahkan ke lehernya, kemudian mencekiknya hingga tak bisa bernapas lagi.
"Ya udah. Sekarang kita makan yuk. Aku udah lapar nih," rengekku sambil merangkul lengan kekarnya.
"Kayaknya anak papa udah laper ya? Yuk, kita makan bareng Mama," ujarnya, berbicara dengan bayi dalam kandunganku.
Di meja makan, Mas Thoriq terlihat begitu tidak fokus dengan makanan di depannya. Sebentar-sebentar matanya tertuju pada ponsel di sisinya.
Jika ponsel itu berbunyi, cepat-cepat diraihnya. Sesekali ia tersenyum sendiri, kemudian kembali mengetik.
Ingin rasanya aku merampas ponsel itu. Lagi-lagi aku harus bisa menahan. Sebagai wanita berpendidikan, harus bisa bermain cantik. Akan aku coba mengimbangi sampai mana permainan mereka.
"Makan dulu deh, Mas. Handphone melulu," tegurku. "Terus sampe senyam-senyum sendiri begitu. Emang lagi chattingan sama siapa sih?"
"Oh, lagi chattingan di grup SMP dulu. Kalau ingat kekonyolan waktu sekolah dulu, rasanya lucu banget." Mas Thoriq terkekeh.
Selesai makan, Bik Irah membantuku meringkaskan peralatan makan yang kotor ke dapur.
Mami selalu mengajarkan, setinggi apa pun pendidikan seorang wanita, tetaplah harus kembali kepada kodratnya. Yaitu melayani suami dengan baik.
(Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi w* sallam bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya, disebabkan karena Allah telah menetapkan hak bagi para suami atas mereka (para istri). (HR Abu Dawud, Tirmidzi).
"Mas," panggilku setelah selesai membereskan meja makan. Saat ini, Bik Irah tinggal mencuci piring dan membersihkan dapur.
"Hu'um," sahutnya tanpa menoleh. Lagi-lagi matanya fokus pada layar pipih di depannya.
"Aku boleh minta sesuatu gak?" tanyaku, seraya menghempaskan pelan tubuh di sisi Mas Thoriq duduk.
"Boleh. Apa sih yang gak boleh untuk bidadari Mas yang satu ini?"
Aku merangkul manja lengan tegapnya. Kemudian meletakkan kepala di bahu pria yang sudah dua tahun ini menikahiku.
"Beneran ya?"
"Iya."
"Janji?"
"Janji, Sayang."
"Aku mau liburan dong besok."
Seketika ia menatapku heran. "Liburan?"
"Iya, liburan. Ke pantai aja, Mas. Aku bosen. Mumpung belum lahiran. Mas denger tadi apa kata Dokter Fitri kan? Aku gak boleh stress, bisa berpengaruh pada kandunganku. Mas mau anak kita kenapa-kenapa?"
"Ya … enggak sih. Tapi, Mas kan kerja. Besok Mas ada flight ke Seoul."
'Bohong! Jelas-jelas tadi aku dengar kamu bilang, kalau besok kamu mau liburan sama Hesti, selingkuhanmu,' jeritku membatin.
"Nanti biar aku yang ngomong sama Om Rahmat. Atau biar Papi aja deh yang ngomong sama dia. Kan Mas tau sendiri, kalau Om Rahmat itu sahabat Papi sejak SMP. Pasti dia ngizinin deh kalau udah Papi yang ngomong."
"Tapi … Mas kan tetap jadi gak enak sama Pak Rahmat. Nanti dia mengira, aku ngandelin mertua lagi," kilahnya terus mencari alasan.
"Udah deh. Gak usah baper begitu kamu, Mas. Lagian biasanya juga kan Mas selalu libur, setiap habis pulang dari terbang. Masa baru pulang kemaren udah berangkat lagi," rajukku dengan bibir mencucu.
Kulirik gelagat Mas Thoriq yang terlihat serba salah. Di satu sisi, gundiknya meminta liburan. Sedangkan di sisi lain, istri sah pun meminta liburan.
Tapi, kalau sudah membawa nama Papi, pasti ia tak mampu lagi berkutik. Karena ia tahu, direktur maskapai tempat ia bekerja, adalah sahabat Papiku sejak masih SMP dan SMA.
"Duh, lama deh. Gak sabar aku nunggu kamu mikir. Ya udah, aku ambil hp dulu ke kamar."
Baru hendak bangkit dari duduk, buru-buru Mas Thoriq menahanku.
"Kamu mau ngapain?"
"Mau ambil hp. Kan mau nelpon Papi."
Tampak Mas Thoriq menelan salivanya. Gugup.
"Oke, oke. Biar aku aja yang nelpon Pak Rahmat untuk minta izin untuk gak terbang besok." Mimik wajahnya tampak kesal. Masa bodoh!
"Kamu yakin?"
Ia mengangguk tanpa menjawab.
"Berarti kita jadi liburan dong, Sayang?"
"Iya, Sayang." Mas Thoriq tersenyum masam. Sungguh senyum yang sangat dipaksakan.
"Yeaay! Makasih ya, Sayang," sorakku kegirangan. "Ya udah, aku siap-siap dulu mau packing ya."
Aku berjalan pelan menapaki anak tangga. Sedangkan Mas Thoriq bergegas menuju teras belakang.
Ia tak menyadari aku masih berdiri di tengah tangga. Tampak ia tengah berbicara serius dengan seseorang di ponsel. Sesekali ia mengacau rambutnya, atau terkadang memijat dahinya.
Mungkin gundiknya itu tengah berdemo, karena rencananya gagal liburan bersama suamiku besok.
Perutku mendadak keram lagi. Tendangan dan gerakannya pun begitu kuat. Terasa sakit dan sesak. Kuputuskan untuk duduk sejenak di salah satu anak tangga kayu.
Pelan-pelan kuusap perut yang tengah kontraksi, sembari mendendangkan sebuah sholawat. Bulir hangat terasa mengalir dari sudut kedua netra, ketika lantunan sholawat itu berdesis lembut dari bibir.
Setegar apa pun aku mencoba berusaha, tetaplah kembali pada kodrat wanita yang lemah dan cengeng.
'Mama akan berusaha mempertahankan keutuhan keluarga kita semampu mama, Nak. Mama lakukan demi kebahagiaan kamu … dan kita.'
______
Teruntuk semua wanita yang pernah atau sedang mengalami pengkhianatan, tetaplah untuk kuat.
Bertahanlah sampai mana kalian mampu. Jika tidak, serahkan pada Sang Maha Pemilik Semesta semua kelemahanmu. Biarkan Dia yang bekerja.
Ingat! Kalian terlalu berharga untuk seorang pecundang🤗
Love you, Para Wanita Hebat❤
Part 4POV THORIQAku Ahmad Thoriq, seorang anak yatim piatu. Dulu Bapakku bekerja hanyalah sebagai seorang juru parkir di minimarket yang terletak tepat di seberang kantor Pak Jayadiningrat.Sedangkan Ibu sudah meninggal saat aku masih duduk di SMP kelas satu, karena serangan TBC akut.Hanya saja Bapak pun akhirnya ikut menyusul Ibu, setelah dua tahun kepergiaannya. Aku tengah bersekolah di kelas tiga SMP kala itu.Bapak meninggal karena ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Tubuh kurusnya terpental sejauh beberapa meter.Aku yang kala itu baru saja pulang sekolah, berteriak histeris, ketika melihat tubuh Bapak yang bersimbah darah. Setelah diusut, ternyata pengemudi tersebut tengah di bawah pengaruh alkohol.
Part : 5 Sembari mendendangkan sebuah sholawat. Bulir hangat terasa mengalir dari sudut kedua netra, ketika lantunan sholawat itu berdesis lembut dari bibir. Setegar apa pun aku mencoba berusaha, tetaplah kembali pada kodrat wanita yang lemah dan cengeng. 'Mama akan berusaha mempertahankan keutuhan keluarga kita semampu mama, Nak. Mama lakukan semua demi kebahagiaan kamu … dan kita.' ________ Dua hari setelah itu, rencana liburan kami berhasil juga. Tentu saja aku senang sekali. Bukan karena liburannya, tapi setidaknya menggagalkan rencana liburan Mas Thoriq dan Hesti adalah sesuatu kepuasan yang luar biasa. Setidaknya
Part :6 Aku beranjak menuju bagian luar restoran. Dan pandanganku tertuju pada pria yang duduk di meja dengan posisi membelakangi, tepat di pinggir pantai. Duduk berdampingan dengan seorang wanita berambut ikal berwarna coklat kemerahan. Benar-benar tidak asing bagiku. Bergegas kuhampiri pasangan yang tengah duduk berdampingan itu. "Mas!" panggilku dan lelaki itu menoleh. Benar Mas Thoriq dan wanita di sebelahnya … Astaga! "Elo …?" ________ "Eng, eh, hai, Nina. Apa kabar? Elo dari mana? Barusan tadi gue tanya sama Mas Thoriq. Katanya lo mual-mual gitu ya?" Dinda menghampiri dan langsung mencium pipi kana
PART 7 Mas Thoriq dan Hesti tengah duduk berpegangan tangan sambil tertawa. Di meja berhamburan kartu domino dan kulit kacang. Dinda ada di sana juga. Tumben, dia tidak memberi tahu soal kehadiran Hesti di sini. Bahagia sekali kelihatannya suamiku itu. Sementara ketika denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya. "Hesti!" Mas Thoriq dan Hesti terperanjat. Lalu keduanya refleks berdiri. Plaaak! ________ Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi mulus Hesti, hingga ia terhuyung ke belakang. N
PART 8 Selamat membaca, Zheyeenkk☺❤___________ "Kenapa, Nin?" tanya Dinda khawatir, ketika melihat aku mulai meringis menahan sakit, sembari mengelus-elus bagian bawah perut. Belum sempat aku menjawab, aku merasa seperti ada yang pecah dan air mengalir dari sela kedua paha. "Air apa itu?" Dinda menatap bingung melihat air yang keluar dari selangkanganku. "Lo ngompol, Nin?" "Enggak kok. Gue juga gak tau itu air apa, Din." ________
Selamat membaca 🤗PART 9Pria tiga puluh satu tahun itu hanya tersenyum kecut tanpa menjawab. Aku sangat mengenali seperti apa dirinya. Dia tak akan pernah berani berkutik sama sekali, jika aku sudah merengek dan merayu pada Papi. Karena tentu saja dia tidak memiliki daya sama sekali."Ya sudah, nanti biar Papi bicarakan masalah ini ke Rahmat ya. Yang penting kamu banyak istirahat, makan makanan yang bergizi, supaya kamu segera pulih."Kutarik bibir ke samping. Yes! Dengan begitu akan lebih mudah mengawasi seperti apa kelakuan suami dan sahabatku.Dengan ekor mata, bisa kulihat Mas Thoriq kembali menatapku._________Selama masa pemulihan setelah melahirkan di rumah sakit, aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Hanya saja Alissha, belum diizink
Part 10 Mobil bergerak mundur, lalu melesat pergi. Segera kuraih gawaiku. Lalu menghubungi seseorang yang bernama Farid. "Kamu di mana posisi, Rid?" "Saya sedang mengikuti mobil Alphard hitam milik Pak Thoriq. Sesuai yang Ibu perintahkan, saya sudah stand by di depan rumah Ibu sejak pukul setengah tujuh tadi," sahut orang bayaranku itu. "Bagus! Ikuti terus!" ________ "Siap, Bu. Posisi saya tidak jauh dari mobil Bapak." "Hati-hati kamu. Jangan sampai terlalu dekat. Takutnya nanti dia curiga."
Kuscroll lagi ke bawah. Aku penasaran dengan wajah laki-laki yang selalu saja diambil dari belakang. Kemudian sampai pada beberapa slide foto di bawah. Dan refleks kututup mulut ketika melihat slide akhir beberapa foto dari akun bernama Spongebob89 itu. Tanganku gemetar dan nyaris ponsel bergambar apel separuh itu terjatuh ke lantai. Foto Dinda dengan menggunakan bikini seksi, tengah bertemu bibir dengan seorang pria yang sangat aku kenal. Astagfirullah, Mas Thoriq! __________ Ingin rasanya aku menangis dan menjerit sekuatnya, tapi rasanya malu. Mami juga past
PART 41 Suara mesin detak pacu jantung terdengar. Di dalam para dokter dan perawat masih bekerja keras melaksanakan tanggung jawab atas tugasnya. Papi berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca ruang ICU. Rasa khawatir yang mendalam tergambar dalam mimik wajah dan gerak gerik tubuhnya. Sudah sama-sama tahu, kalau Papi memang begitu menyayangi Mas Thoriq. Meski dengan kelakuan buruknya sekali pun. Sedangkan aku? Hati ini benar-benar sudah mati dan teramat sangat membenci laki-laki itu. Luka yang ditanamkan di dalam hati ini, benar-benar mendarah daging. Jika ditanya apakah aku bisa memaafkannya atau tidak, entahlah … Rasanya jantung ini terus mendetakkan ka
"Mas Thoriiiiq," Aku berteriak dan menutup telinga karena suara dentuman tubuh mereka ke tanah, membuatku tak berani melihat. Aku menelan saliva. Kuberanikan diri melihat ke bawah dengan mata setengah tertutup. Astaga, Hesti terjatuh dalam keadaan telentang, sedangkan Mas Thoriq jatuh telungkup tak jauh dari posisi Hesti. Tampak darah mengalir dari belakang kepala Hesti. Bergegas aku mencari kunci di setiap sudut laci. Ya ampun, ngapain sih Mas Thoriq pakai sembunyiin kunci segala, rutukku membatin. Ketika nyaris putus asa, aku mendengar seseorang memutar knop pintu. "Mas Barry?" cetusku saat melihat sosok tinggi dan berjanggut tipis muncul dari balik pintu. "Ko
Tampak raut wajah lelaki itu terkejut dan ia berusaha merampas dari tangan Hesti. Tapi, wanita itu tak kalah sigap. Ia mengangkat bungkusan kecil itu ke udara. “Itu bukan apa-apa. “ “Bohong! Ini kond*m siapa?” Mas Thoriq hanya diam dan mengalihkan pandangan cuek ke arah lain, tanpa menjawab. Sementara Hesti terus mendesak sambil memukul-mukul dada Mas Thoriq. “Sudahlah, Hesti. Tidak usah kekanak-kanakan seperti itu. Kondom di kantongku kan belum tentu artinya aku selingkuh,” jawabnya santai tanpa merasa bersalah. “Lalu kond*m ini untuk apa kalau tidak untuk-” Ucapan Hesti terjeda karena mendengar suara ponsel Mas Thoriq berdering. “Siapa itu, Mas?” tanya Hesti penuh selidik. Tapi, Mas Thoriq berusaha m
Ronta kakiku mulai melamban, seiring tubuh yang semakin melemas. Aku sudah pasrah jikalau aku harus mati malam ini.“Hahaha … mam*us lo! Mati lo malam ini juga!”Meski di air, tapi suara itu sangat kukenal. Astaga … ternyata dia.***Aku tersadar dari entah apa namanya. Yang kuingat saat itu aku tengah dibenamkan di air dengan leher yang terjerat tali. Apakah aku sudah mati ataukah hidup? Atau sudah berada di alam kubur? Ketakutan membuatku menjadi takut untuk membuka mata. Takut menghadapi kenyataan.“Woi! Bangun! Aku tahu kamu sudah sadar,” bentak seseorang dan yang kutahu itu suara Hesti.Kubuka perlahan ke
Ya Allah … akan bagaimanakah nasib kami? Akankah pesawat ini akan mendarat selamat, kendati harus melakukan pendaratan darurat? Haruskan kami juga menyusul sahabat-sahabat kami yang kemarin jatuh di perairan juga, meski kami berada di perairan yang berbeda …? ______ Guncangan beberapa kali terjadi dan teriakan histeris terus menggema. Aku hanya bisa terus berdoa tiada henti untuk keselamatanku dan seluruh penumpang berserta awak kabin lainnya. Bayangan Alissha terus menerus menari di pelupuk mata. Tawanya, celotehannya manjanya, Allahu … haruskah semua berakhir di sini? Penderitaan, luka dan kecewa. Aku berdoa dan tersenyum getir. Bruuuk … bruuuk … bruuuk … hentakan hingga tiga kali menyebab
Part 36 Mataku membulat tak percaya dengan sosok wanita di dalam taksi. Kupicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Sosok wanita berkacamata hitam itu menoleh padaku. Pelan-pelan ia membuka kaca matanya, lalu melambai padaku. Astaga, Dinda! Glek. Aku meneguk ludah. Buronan itu mulai mencariku kah? *** Wanita itu menggunakan masker. Hanya dari tatapannya, aku sudah langsung bisa mengenalinya, sekali pun ia menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah. Mendadak tubuh ini menggigil takut. Inikah awal hidup mulai akan tak tenang lagi. Seandainya pun aku melapor pada pihak kepolisian, belum tentu mereka bisa
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is