Keringat mulia bercucuran di kening Dika. Napas juga tertahan. Nasya yang menyadari kalau pasangan suami istri itu adalah keluarga Dika, yang kemungkinan dari keluarga Risma, segera menarik diri dari Chris. "Bude, lagi ke Jakarta?" tanya Dika buka mulut. Tidak terpikirkan lagi harus berkata apa. "Iya, ada undangan pernikahan teman sekantor pakde mu. Jawab dulu, kenapa istrimu tadi digandeng oleh pria ini?" tatapan bude begitu tajam, jelas menguliti Nasya dan Chris meski terhalang kaca mata. "Nasya sedang hamil, tadi kesulitan berjalan, jadi meminta Om Chris membantunya," terang Dika asal menjawab. Mau bagaiman lagi? Hanya itu yang bisa dipikirkan sebagai jawaban. "Kenapa tidak kamu yang jaga?" susul bude kurang puas dengan jawaban ponakannya. "Tadi sakit perut, Bude. Kalau begitu kami permisi dulu." Dika mengangguk hormat pada keduanya lalu menarik tangan Nasya untuk segera berlalu. Chris yang sejak tadi sabar menahan lidah beracun nya mengikuti langkah Dika dan Nasya.
"Selamat sayang, mami dan papi juga kedua abangmu sangat bangga padamu. Meski lagi hamil, tetap menyelesaikan kuliah," puji Anisa memeluk putri kesayangannya. Hari ini Nasya wisuda. 15 menit lalu, dia sudah sah menyandang gelarnya. Semua keluarga berkumpul. Baik darinya atau dari Dika, meski raut wajah kedua orang tua Dika tampak tidak segembira keluarga Nasya. Tapi paling tidak mereka datang. Setelah kedatangan saudara Risma, dan menjelaskan semua yang mereka lihat di bandara, Risma memilih untuk menyimpan kecurigaannya. Tidak ingin menyidang Dika dan Nasya di depan keluarganya. Kalau pun kecurigaan mereka benar, biarlah itu menjadi rahasia keluarga mereka saja. Risma akan membahas setelah mbak dan juga abang iparnya pergi keesokan harinya. Namun, sebelum itu terjadi, mereka baru sadar kalau hari ini adalah hari bahagia Nasya. Dia akan wisuda, jadi Risma tidak ingin mempertanyakannya. Itu juga atas saran Anton. Sedikit dia salah bicara, maka yang dihadapinya bukan hanya keluarg
"Bukannya itu Dika?" tanya Anton menunjuk ke arah jarum jam dua belas. Semua mata pun melihat ke arah yang ditunjuk. Tubuh Dika membeku. Dia sedang menggendong Gwen tepat di sebelah Gina. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang sedang membawa anak berobat ke rumah sakit. Keadaan yang sebenarnya memang seperti itu. Hanya saja tidak berdua, tapi Bima juga ada bersama mereka. Hanya saja, saat ini Bima sedang membayar biaya periksa Gwen di kasir. "Sedang apa kamu di sini? Anak siapa yang kamu gendong itu? Siapa wanita ini?" tanya Anton membabi-buta. Dalam pikirannya sudah menerka beberapa kemungkinan sebagai penjelasan yang akan diberikan Dika. "Ayah ... aku..." Dika kehilangan kata-kata. Dilihat satu per satu orang yang berdiri di sisi ayahnya. Kedua orang tua Nasya yang juga tampak menunggu penjelasan, Radit dan juga pasangannya yang menunjukkan rasa ingin tahu juga. Hanya Chris yang santai, tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia sudah bisa menebak siapa mereka. "Jawa
Airin datang bersama Chris. Hanya pria itu yang berlari begitu diberitahu kalau Nasya telah lahiran. Sementara yang lain sibuk mengurus Risma yang harus dirawat. Wanita itu pingsan, tidak sanggup mendengar penjelasan Dika lebih banyak lagi. "Kalau sampai ibumu meninggal, maka aku akan membunuhmu!" umpat Anton penuh emosi. Kini hanya ada dia dan Dika yang menunggui Risma sadar. Sementara Radit, Dinar dan juga Dirga segera menyusul Chris menuju ruangan Nasya. Sekarang yang jadi beban pikiran Dirga dan semua yang mendengar keterangan Dika panjang lebar, anak siapa yang ada dikandung Nasya? Kalau benar adanya Dika menyukai Bima dan tidak menginginkan wanita, mengapa saat ini Nasya bisa hamil? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak Dirga, dan jadi alasan mengapa dia tidak jadi menghakimi Dika, karena bisa saja Nasya pun melakukan kesalahan yang sama. "Bagaimana Nasya?" tanya Dirga pada Anisa yang duduk di kursi tunggu di luar bersama Airin yang tengah memeluknya. Pintu kamar N
"Lucu banget cucu Oma." Anisa mencium gemas pipi gembul bayi lucu itu. Nasya sudah diperbolehkan pulang, dan dengan tegas Dirga meminta agar putrinya dibawa ke rumah saja. Memangnya mau kemana lagi? Sudah tidak pantas rasanya jika kembali ke rumah Anton. Perseteruan panas terjadi di malam pasca Nasya melahirkan. Dirga bersikeras memaksa Chris menjatuhkan talak pada Nasya malam itu juga, tapi tentu saja Chris tidak mau. Dua pukulan keras menghantam rahangnya, dia tetap berdiri tegak di depan Dirga. Menolak permintaan Dirga meski nyawa taruhannya. Cintanya terlalu besar pada Nasya. Tidak mungkin sanggup hidup tanpa Nasya, terlebih setelah ada putra mereka hadir ditengah-tengah keluarga. Begitu melihat bayi kecil itu, perselisihan dan amarah untuk sementara waktu bisa dikesampingkan. Dan Chris harus setuju kalau anak istrinya dibawa ke rumah mertua. "Mi, sampai kapan papi marah? Masa mas Chris gak dikasih masuk ke rumah? Dia 'kan kangen sama anak istrinya!" tegas Nasya meminta bal
Teriakan Dirga membuat semua penghuni rumah tanpa terkecuali berhamburan keluar. Ingin tahu apa yang membuat pemilik rumah berteriak histeris. Yadi yang baru akan menutup pintu kamar Nasya setelah meletakkan semua barang di sana, segera berlari ke bawah, begitupun dengan Nasya dan juga Anisa yang menggendong cucunya. "Mas Chris," pekik Nasya mendekat, tapi sejurus kemudian, Dirga sudah menarik tangannya, agar menjauh dari Chris. "Papi," rengek Nasya memohon agar pria itu melepaskan pergelangan tangannya. "Papi masih marah sama kamu! Berani sekali kamu turun untuk menemui pria brengsek itu!" tegas Dirga tidak ingin mengalah. Meski sayang pada Nasya tapi dia sudah terlanjur tidak suka pada mantunya, jadi hatinya sudah mengeras meski Nasya merengsek hingga menangis kejer sekalipun. Chris yang belum sempat menyentuh jemari Nasya hanya bisa menarik napas. Diperhatikannya wajah Nasya, begitu pucat dan terlihat lebih tirus. Hati sedih dengan kenyataan Nasya yang menolak banyak makan den
"Ada apa mencari ku?" tanya Raka sedikitpun tidak ada ramah-ramahnya. Dari dulu abang beradik itu memang tidak pernah akur. Radit melempar tatapan kesal. Dia sudah capek, meninggalkan banyak pekerjaan di kantor hanya demi mencari keberadaan Raka atas permintaan Anisa. Begitu bertemu, sikap Raka justru sangat menyebalkan. "Nasya akan menikah ulang. Mami ingin kau datang!" "Bilang aja sama mami gue udah mati!" Raka bangkit dan segera menarik kerah almamater yang dikenakan Raka. Tangannya sudah terangkat ingin meninju wajah Raka, tapi Radit menahan, ingat pesan ibunya yang mengatakan harus sabar dan bijaksana menjadi anak sulung, mampu merangkul adik-adiknya. Perlahan dia pun menurunkan tangannya. "Nasya sedih kalau kau tidak bisa hadir pada upacara pernikahan kali ini. Bukankah kau yang menikahkannya waktu itu?" Selain karena permohonan ibunya, Radit terpaksa mau mencari Raka karena Nasya merengek, memohon padanya agar pernikahannya kali ini sempurna dihadiri oleh semua ang
Begitu mendengar penuturan Airin, amarah Radit membara. Emosi menguasai pikirannya. Dia segera memutar balik arah mobil menuju tempat pria yang sudah melecehkan Airin. "Aku gak mau ke sana!" Airin meremas tangannya. Rasa takutnya belum hilang, dia harus dihadapkan kembali pada pria yang sudah membuat trauma itu. Radit tidak mau mendengar. Dia tetap ingin bertemu dengan pria asing itu dan memberikan kenang-kenangan yang akan dia ingat selama hidupnya. "Katakan dimana alamatnya. Meski tidak kamu katakan, aku akan tetap bisa menemukannya, tapi akan sangat menghemat waktuku jika kamu mau kerja sama!" Airin tidak bisa berkelit lagi. Terpaksa mengikuti keinginan Radit. Rasa takutnya masih belum hilang, kini Radit justru membawanya kembali. Begitu diberikan alamat pria asing itu, Radit membelah jalan dengan begitu cepat. Waktu yang seharusnya diperlukan setengah jam pada akhirnya ditempuh hanya 15 menit. Rasa takut mulai menyerang, tubuh Airin gemetar hingga keringat sebesar biji j
Elena tidak bisa menolak. Bukan hanya sekedar karena Raka akan membantu keluarganya, tapi jauh dari itu, dia juga menyimpan rasa pada Raka. Tidak dibuat-buat, mengalir begitu saja. Elena yakin, kalau Raka mampu membahagiakan dirinya. Pernikahan putra bungsu Dirga digelar di ballroom hotel dengan banyak tamu undangan dari kalangan pebisnis, publik figur, sampai semua karyawan perusahaan diundang. Banyak yang terkejut, tidak menyangka kalau atasan dan bawahan itu akhirnya dipersatukan dalam mahligai rumah tangga. "Kamu terlihat gugup," bisik Raka memandang lembut istrinya. Elena tersipu malu. Kini sudah resmi jadi suami istri, tapi rasa gugup dan deg-degan di dalam hatinya belum juga surut. Ada kalanya Elena mencubit tangannya, demi memastikan kalau dia sedang tidak bermimpi. Raka putra Dirgantara kini sudah jadi suaminya. "Sedikit," jawabnya pelan, hanya sekali mengangkat kepala lalu kembali menunduk tak tahan dengan tatapan mesra Raka. Raka menarik tangan Elena, menyelipkan j
"Bagaimana permintaan papi?" Dirga sudah muncul dan duduk di samping Raka yang tengah duduk di teras rumah menikmati kesunyian berteman secangkir kopi. Ayahnya kembali mendesak, tidak mungkin terus menghindar. Tapi, kalau dituruti juga dia tidak punya kandidat. Puas pacaran selama kuliah, menjadi sosok badboy, membuat Raka tidak lagi minat pada pernikahan. Ambisinya sudah terikat dengan urusan kantor. Ada kalanya dia menerima tawaran dari beberapa temannya untuk kumpul di sebuah bar, minum dan menikmati dunia malam. "Hei, kau dengar tidak? Diajak ngobrol kok, malah diam?" "Dengar, Pi. Tapi untuk saat ini aku masih belum ada jawaban untuk pertanyaan papi." Lebih baik pembicaraan ini langsung diputus, jangan lagi ada perpanjangan. "Kalau begitu kamu menerima putusan dari papi. Biar papi jodohkan pada anak teman papi aja," sambar Dirga tidak memberi celah. Terlalu lama bersabar dengan putra bungsunya ini, kalau tidak gerak cepat, bisa-bisa, dia tidak jadi menikah. "Jangan
"Wajah kamu kenapa?" Raka memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas ke arah pipi Elena yang dia temui pagi ini di lift. "Gak papa, Pak," jawabnya singkat. Rambut panjangnya dibiarkan menutup pipi sebelah kanan, agar memar bekas tampar ibu tirinya tidak terlihat. Kalau bukan karena demi ayahnya, dia pasti sudah kabur lagi dari rumah.Elena mengutuk keberadaan ibu tirinya ada dalam hidup mereka, bukan memberi kebanggaan bagi ayahnya, justru derita. Elena harus menerima kekejaman dan penyiksaan ibu tirinya karena sudah menolak pernikahan dengan Edgar. Mau bagaimana lagi, dia tidak menyukai pria yang sombong dan sok berkuasa itu. Kalau dari hikayat Edgar yang dia dengar dari orang tuanya, harusnya pria yatim piatu itu berbudi pekerti dan bersikap baik, bukan justru sebaliknya. Dia juga tidak merasa perlu dinikahi Edgar karena permintaan terakhir Jason. Bahkan dengan Jason sendiri pun dia belum terlalu yakin, semua ini juga karena keluarganya yang memaksa dia harus menikah deng
Rasa penasaran Nasya menggerogoti pikirannya hingga tidak bisa tidur malam itu. Tidak sabar menunggu datangnya pagi agar dia bisa mencari Chris. Jelas kalau suara wanita yang dia dengar tadi milik Helen. Pertanyaan, mengapa malam selarut itu Chris ada bersama Helen? Memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi, membuat Nasya tak kuasa menahan air matanya. Apakah dia akan kehilangan Chris lagi? Apakah hati pria itu sudah berubah, kembali pada Helen? Segala tanya dia simpan hingga esok. Penantian Nasya berakhir. Langit sudah terang, begitu cerah, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan cemas di hatinya. "Pagi sekali, mau kemana?" tanya Anisa mendapati Nasya di anak tangga terakhir. Dia sudah bersiap, terlihat cantik meski kantong mata tetap menunjukkan kebenaran kalau dia semalaman tidak tidur. "Mau mencari Chris!" jawabnya tegas. Dia tidak perlu melirik ke arah Dirga yang saat itu juga ada mendengar obrolan mereka, karena dia yakin kalau ayahnya pasti saat ini tengah
Helen tidak tahu bagaimana lagi menyembunyikan wajah malunya. Di tengah semua tatapan menghakimi orang di kafe itu, dia mencoba untuk tetap bisa berdiri. Kalaupun mau mundur lagi, sudah kepalang tanggung. "Bagaimana, Bu, kita tetap melanjutkan tujuan kita kemari?" teguran dari petugas menyadarkan dirinya. Dengan ragu, Helen mengangguk. Dia akan terus berjuang, menggunakan kesempatan terakhirnya. Siang itu, Nasya membuat sedang ada di ruangannya. Kristal ikut bersamanya ke kafe dan sedang mencoba membujuk putrinya itu untuk tidur siang, jadi huru-hara di luar sana tidak sampai ke telinganya. Namun, begitu mendapati pintu ruang kerjanya didobrak, Nasya mengalihkan pandangannya. "Bapak ada kepentingan apa masuk ke mari?" tanya Nasya sewot, pasalnya menidurkan Kristal, dia harus ikut berbaring dan gaunnya sedikit tersingkap menunjukkan paha mulusnya. "Itu orangnya, Pak, tangkap saja!" seru Helen yang ternyata sudah ada di belakang petugas. Secara paksa, petugas menyeret Nas
Acara pernikahan itu pada akhirnya batal. Keluarga Ferdi tetap tidak terima. Mereka menuntut keluarga Nasya dengan tuduhan penjebakan. Namun, Dirga sudah tidak mau mendengar apapun penjelasan keluarga Ferdi, disaat itu juga diminta untuk membatalkan pernikahan itu. Sekarang, setelah semua orang pamit pulang dengan tanda tanya besar dalam hati mereka, kini semua anggota keluarga duduk di saling berhadapan. Rapat keluarga dimulai. Dirga duduk berdampingan dengan Anisa, mengamati Chris dan Nasya yang duduk tepat di depan mereka. Di sisi lainnya ada Raka, dan pasangan suami istri, Radit dan Airin. "Jelaskan!" perintah Dirga, menatap lekat pada wajah Chris. Matanya memicing, tanda tidak suka karena Chris menggenggam tangan Nasya dengan erat. Mengapa putrinya bisa bersama Chris sementara waktu itu, pria yang disebut bernama Andrew ini justru diusir Nasya. "Papi," Nasya mulai angkat bicara. Dia ingin menjadi tameng bagi Chris atas interogasi ayahnya. Tatapan Dirga pada suaminya s
Nasya tidak perduli kalau air matanya akan menghancurkan hasil karya-karyas pengantin yang sudah lebih 2 jam memoles wajahnya tadi. Meski mencoba untuk menahan air matanya tetap saja turun setelah mendengar semua cerita Chris. "Jangan menangis lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu menderita dan menungguku terlalu lama," bisik Chris sembari terus mengusap punggung Nasya yang menangis dalam pelukannya. Tuhan begitu sayang kepadanya, di saat dia akan terperangkap dalam jebakan Ferdi, keajaiban datang dan membuatnya mengetahui sifat busuk pria itu dan kini kebahagiaan nya disempurnakan lagi oleh berita yang baru dia dengar dari Chris. "Sayang, jangan menangis lagi, aku semakin bersalah," bujuk Chris lembut. Nasya tidak terima, dia memukul dada bidang Chris, kesal, tapi juga sangat bahagia. Kesal karena harus melalui penderitaan yang panjang berpisah dengan pria itu, tapi senang karena mengetahui kalau suaminya belum meninggal dan dia kini bersamanya. "Ini seperti mimpi. Aku t
Lily batal tinggal di rumah orang tua Nasya. Dia menempatkan wanita itu di rumahnya bersama Bi Sumi yang selama ini mengurus rumah mereka yang sudah lama ditinggalkan setelah kepergian Chris. Ingin sekali rasanya menolak, takut merepotkan Nasya dan keluarganya, tapi Nasya tetap bersikeras meminta wanita itu tetap tinggal di rumahnya. Setelah selesai mengamankan Bu Lily, Nasya dan Airin meneruskan rencana mereka ke toko perhiasan, mengambil perhiasan milik Anisa. Sesaat Nasya berangkat mencari Lily, ibundanya menghubungi meminta anaknya singgah ke toko perhiasan. "Tunggu, itu bukannya-" Airin menghentikan ucapannya dan menarik tangan Nasya untuk mundur. Mata Nasya mengikuti telunjuk Airin. Benar, dia mengenal pria yang sedang memeluk pinggang wanita bertubuh sedikit berisi. "Itu mas Ferdi!" desisnya tidak percaya. Pria yang akan berubah status menjadi suaminya besok justru jalan berduaan dengan wanita lain. Jangan bilang wanita itu saudara, sepupu atau kerabat, tidak ada hubungan
Kejadian di salon itu menorehkan luka sekaligus trauma yang cukup besar. Kalau bukan Radit datang menjemput mereka, Nasya tidak akan berani keluar dari salon itu. Imbasnya, saat Ferdi menyarankan mempercepat pernikahan mereka, Nasya manut saja. Dia menyerahkan semua urusan pernikahannya yang kali ketiga ini pada Anisa dan ibu Ferdi, sementara dia hanya mengurung diri di kamar menangisi takdirnya. "Nay, kamu mau kemana? Gak baik keluar rumah lagi. Besok kamu menikah, sebaiknya jangan pergi," tegur Anisa yang mendapati putrinya itu sudah rapi dan bersiap pergi. "Sebentar aja, Mi. Cuma mau bertemu seseorang," balas Nasya. Baru saja dia mendapatkan pesan dari Airin. Orang suruhannya berhasil menemukan alamat Lily dan sekarang dia ingin mengunjungi wanita itu hanya sekedar ingin memastikan kalau Lily baik-baik saja. "Gak boleh! Nanti mami dimarahi papi kamu." "Mi, please." Nasya menyatukan telapak tangan di depan dada. Suaranya diusahakan pelan agar Kristal yang sedang tidur siang tid