Kedua mata pria itu membulat sempurna saat mendengar kabar bahwa Lintang meninggalkan ruangan tanpa sepengatahuan siapapun. "VIP kabur?!" pekiknya.
Apa lagi ini?
Kenapa mendadak wanita itu terus mengusik ketenangan milik Arthur?
Tidak bisakah sekali saja membiarkan dirinya tenang sebentar?
"Lokasi terakhir, bukankah Nona Lintang masuk ke dalam?" Arthur berujar serak. "Bahkan CCTV memperlihatkan VIP masuk ke kamarnya!"
"Benar, ta-tapi saat aku memberi makanan ini dan masuk, Nona sudah tidak ada," terang salah seorang pelayan, gemetar takut. "A-aku tidak tahu Nona pergi ke mana!"
"Kamar jendela terbuka, Kapt," ucap bawahan Arthur, mengatakan cara Lintang kabur. "Ada tali yang dibiarkan terurai sampai bawah," tambahnya, melampirkan bukti itu ke hadapan Arthur.
"Yang digunakannya kabur pergi dari sini," cicit Arthur. "Kemana sebenarnya Nona Lintang pergi?" bisik pria itu, mengusap dagunya tegang.
Tanpa ba-bi-bu, Kapten tim itu langsung segera pergi. mengikuti instingnya, menebak di mana keberadaan sang VIP dengan memusatkan pokus, mengibaratkan jadi Lintang seseorang yang baru saja dikabarkan menghilang.
"Bukan kemana Lintang pergi, tapi alasannya pergi. Pikirkan sesuatu, Arthur!" Tekannya pada diri sendiri, cemas, pria itu tak bisa menyia-nyiakan waktu jika tidak ingin hal yang buruk sampai terjadi.
Semakin lama Lintang menghilang, akan semakin berbahaya untuknya, nyawa wanita itu mungkin terancam.
Apalagi jika hilangnya VIP itu dikarenakan niat jahat seseorang.
"Tidak ada yang melihatnya pergi melewati gerbang utama, Kapten. VIP pergi lewat pintu belakang." Bram menjelaskan, wajahnya menegang.
"Pintu belakang?" ulang Arthur, menimpali pernyataan rekan setimnya. "Apa yang Nona cari di hutan belantara?"
Kediaman Adiwilaga memang unik. Rumah besar bagai istana itu diapit perbukitan, dimana wilayah belakangnya adalah hutan yang tembus langsung lautan lepas.
Arthur terdiam untuk beberapa saat, berpikir apa yang kali ini mungkin dipikirkan Lintang.
"Apa kita harus mencarinya ke dalam hutan, Kapt?" Bram memastikan sekali lagi, tak salah dengar ucapan yang baru Arthur lontarkan. "Perlu anggota tim tambahan?"
"Saya akan masuk untuk cari Nona Lintang. Tim Alfa akan berpencar sesuai instruksi."
Ini bukan pertama kalinya Lintang berulah. Akan tetapi, baru kali ini wanita itu pergi tanpa Arthur di sisinya. Membuat pria itu khawatir.
Sesuatu pasti terjadi.
"Kita harus segera menemukannya sebelum malam. Mengerti?!" Aba-aba Arthur sebelum benar-benar masuk, melakukan pencarian.
Tidak pergi dengan tangan kosong, pria itu memilah senjata yang bisa ia gunakan lebih dulu. Bahayanya bukan saja manusia, hewan buas juga bisa ditemui selama mencari Lintang di dalam sana.
"Nona!"
"Nona Lingtang, anda dengar saya?!"
Langkah kaki Arthur terus menyisiri hutan, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut. Barangkali bisa menemukan jejak atau petunjuk kecil yang berguna.
Earpiece miliknya kembali mengeluarkan suara, tanda bahwa anggota tim pencari mencoba menghubunginya.
"Apa sudah ada tanda-tanda Nona Lintang kalian temukan?"
"Belum, Kapt. Daerah utara, bersih."
Arthur memejamkan matanya, memijat pelipis. Tekanannya semakin besar, apalagi matahari mulai tenggelam. Cuaca akan berubah jadi gelap beberapa saat lagi.
Apa Lintang akan baik-baik saja?
Bagaimana jika wanita itu gagal ia temukan?
"Nona!"
"Hiks, hiks!"
Gerakan kaki Arthur terhenti, rerumputan kering yang ia injak menimbulkan suara gemerisik. "Saya salah dengar atau memang seperti ada yang menangis, ya?"
Di dekati, perlahan tapi pasti Arthur melihat sebuah bayang wanita bergaun di balik pohon rindang. Dekat tebing besar yang mengarah ke lautan.
"Nona Lintang?" panggil Arthur, kala tahu siapa yang ia temui diantara gurat senja.
Duduk di tebing dengan menyembunyikan tubuh mungilnya, meringkuk gemas. Mengais jejak tanah dengan tangisan kecil.
"Kapten! Kenapa lama sekali!" pekik wanita itu, terdengar lega. "Aku menunggumu sejak tadi."
"Astaga. Syukurlah! Syukurlah saya bisa melihat anda di sini." Arthur juga mengutarakan kegelisahan hatinya, ikut merapalkan sebuah kalimat syukur.
"Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Lintang bertanya, matanya masih menatap lurus hamparan rumput yang terlihat menyegarkan, sisi lain dari arah barat tebing.
Pemandangan cantik itu jadi penyelamatnya sebab tidak harus bersinggungan langsung dengan mata tajam Arthur.
Sang kapten mendekat, memposisikan diri di sebelah Lintang. "Yang terpenting, saya di sini sekarang," balasnya, datar.
"Anda harus kembali, Nona. Semua orang-"
"Bisakah bicara biasa saja denganku, Ar?" sela wanita itu, memotong cepat kalimat Arthur. "Aku sangat tidak nyaman dengan caramu bicara. Begitu formal," kata Lintang, tidak ragu sama sekali.
Ia terlihat jengah, sikap terlalu kaku dan formal yang ditunjukkan oleh Arthur begitu menegaskan jarak diantara mereka.
Lintang hanya ingin diperlakukan layaknya seorang teman, jika memang pria itu menolak memiliki hubungan yang lebih.
Sementara Arthur tidak bisa memberikan apa yang wanita itu pinta.
"Bagaimana Nona bisa sampai di sini?"
"Panggil aku dengan namaku, Arthur. Apa kamu tidak dengar apa kataku tadi? Kita sedang tidak berada di rumah."
"Lantas apa yang membuatmu bisa masuk ke hutan seperti ini?" Kali ini, Arthur mengoreksi kalimatnya dengan baik. "Bagaimana jika terjadi sesuatu. Ini bukan tempat yang bisa didatangi sembarang orang, seorang diri," lanjutnya, khawatir.
Jangan tanya bagaimana cara Arthur menatap Lintang, begitu sendu. Matanya sampai berlinang saat membayangkan tidak bisa melihat wanita itu lagi.
Persis seperti seseorang yang bahkan rela memberikan segalanya, bahkan berkorban nyawa, demi kebaikan dari wanita yang ia cintai.
"Aku yakin kamu bisa menemukanku jika aku menghilang. Lalu apa yang aku khawatirkan?" Lintang bergantung pada Arthur, mengandalkan pria itu dalam segala hal.
Entah itu hatinya, hidupnya.
Sementara pria yang masih memandang teduh wanita berkulit putih itu tidak mampu berkata-kata. "Tetapi tetap saja-"
"Kamu berjanji akan menemukanku, dimana pun. Bahkan di ujung dunia sekali pun, Ar," potong Lintang, tiba-tiba.
"Aku berpegang pada ucapanmu. Jadi kali ini mencoba membuktikannya," terangnya, penjelasan tak masuk akal itu hanya dibalas helaan napas panjang dari pria di hadapannya.
Senyuman melengkung di wajah indah itu membuat Arthur terpaku beberapa saat.
Lintang memiliki wajah yang mungil, namun begitu nyaman dilihat. Bibir ranumnya bergerak, melantunkan melodi dengan intonasi yang lembut.
"Terima kasih sudah menemukanku di sini," ucap VIP yang terus menyulitkan Arthur ini, tulus. "Aku mungkin akan bermalam sendirian jika tidak ditemukan."
"Apa terjadi sesuatu, Nona?"
"Wajahku terlihat sekali sedang bermasalah, ya?" tanya balik Lintang, terkekeh pelan. Memainkan jemarinya saat gugup, menghembuskan napas.
Arthur tidak membalas, hanya diam mendengarkan. Ia tahu butuh waktu bagi Lintang mengutarakan apa yang sebenarnya tengah membebani hatinya.
"Arthur?"
"Ya?"
"Kalau aku bilang aku menyukaimu, apa yang akan terjadi diantara kita?" Bersamaan suara hewan nokturnal yang sedang berpesta, pernyataan cinta itu dilontarkan dengan nada tenang oleh Lintang.
Wajahnya serius, "Apa aku bisa tetap memiliki perasaan ini padamu?"
Butuh sepersekian detik bagi Arthur mencerna kalimat tersebut. Baru berujar serak, "Te-tentu saja," jawabnya, dengan nada terputus-putus."Boleh?" tanya Lintang memastikan, maju mendorong pria itu ke belakang.Arthur mengangguk.Gemas sekali, sangat berbeda dengan aura kapten tim yang nampak menakutkan beberapa waktu yang lalu.Bertemu dengan bola mata indah wanita di hadapannya membuatnya salah tingkah, membuang pandangannya ke arah lain.Pria itu tidak bernyali saat menatap Lintang, jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari sebelumnya. "Kan Nona yang menyukai saya, sayanya tidak.""Dasar!" Lintang memukul dada bidang itu, mendorong jauh. "Kenapa ada orang semenyebalkan dirimu, sih?""Memang saya menyebalkan? Tapi kamu suka!" Arthur membela diri, diam-diam tersenyum tipis sebab berhasil menggoda Lintang dan membuat wajah manis itu seketika merona.Mereka saling diam dan tenggelam pada pikiran masing-masing. Membiarkan diri larut pada kehangatan sore yang terlihat menakjubkan, jau
Arthur meletakkan tubuh mungil Lintang ke atas kasur dengan hati-hati, merapihkannya dengan gerakan perlahan agar tidak membangunkan wanita yang tertidur akibat puas menangis tersebut."Saya masih bertanya-tanya, apakah tugas yang sebenarnya harus saya jalankan? Jadi pengawal atau pengasuh," bisik pria itu, gemas.Sebelum memutuskan pergi, Arthur mengamati sekali lagi wajah Lintang, menatapnya lama. "Cantik," pujinya, hampir tidak terdengar.Seseorang yang selalu membuatnya diliputi rasa penyesalan dan selalu ingin mengutarakan permohonan maaf tiap kali berada dekat dengannya, Lintang Candraningtyas Adiwilaga, Nona muda dari Keluarga Adiwilaga."Saya pastikan saat kamu terbangun nanti, semua rasa kesedihan ini sudah hilang. Tidak akan saya biarkan kamu menderita, Nona.""Ini akan jadi terakhir kalinya kamu menangis."Meski dengan begitu Arthur harus menanggung segalanya, demi Lintang dan kebahagiaan wanita itu, akan ia lakukan.Tidak ingin berlama-lama dan menimbulkan kesalahpahaman k
Hanya butuh waktu seminggu persiapan pertunangan selesai dirancang. Acara inti diberlangsungkan tepat setelah kedua keluarga sepakat, begitu cepat. Waktu berlalu bagai air yang mengalir, tak terasa.Baru pertunangan namun sudah sangat spektakuler, acara yang terjadi di keluarga Adiwilaga begitu menarik perhatian semua orang. Muncul di portal berita, sempat jadi kabar utama menyatunya dua keluarga terhormat yang diramalkan akan jadi kekuatan baru di dunia bisnis.Sementara di pesta, ribuan orang terlihat bahagia. Hanya Arthur yang menatap ke arah panggung dengan wajah dinginnya."Selamat untukmu, Nona Lintang," bisiknya, serak. Suara baritonnya tidak terdengar oleh siapapun.Menyedihkan.Harusnya Arthur bukan menjadi seseorang yang memberikan selamat di hari bahagia wanita itu, melainkan sosok yang bersama dengannya bertukar cincin pertunangan.Sungguh takdir yang kejam.Pujaan hati yang sudah benar-benar tidak bisa ia harapkan lagi, telah menjadi milik orang lain, yang bukan untuknya.
Arthur menatap tak berkedip pada Lintang, yang berdiri di ambang pintu dengan pakaian tidur tipis. Dan, entah kesialan atau anugerah baginya, karena angin berhembus membuat lekukan tubuh gadis itu semakin jelas dimatanya.Itu mengganggu jiwa kelelakiannya.Tapi Arthur masih cukup waras untuk mengerjap dan memalingkan pandangannya ke arah lain. Dan mengatur nafas."Nona, tolong kembali ke dalam, angin malam tidak bagus untuk kesehatan!" pintanya."Tidak bagus untuk kesehatan, apa tidak baik untuk jantungmu?"Arthur terpaku mendengar perkataan Lintang. Dengan memberanikan diri, ia pun menoleh melihat ke arah gadis itu. Dan alisnya pun terangkat tinggi saat melihat Lintang tengah mendongak, menenggak minuman langsung dari botolnya.Sontak saja Arthur melangkah lebar ke arah Lintang dan merebut botol itu dari tangannya. "Kembalikan! Jangan dibuang!" pekik Lintang meninggi saat melihat Arthur menuangkan semua isi botol ke dalam pot tanaman, lalu menjauhkan botol itu ke sudut balkon. "Apa
Arthur terbiasa bangun di pagi buta. Tubuhnya sudah terlatih untuk tetap siaga meski baru saja sedetik matanya terlelap memeluk perempuan tercintanya. Ia tersenyum menatap wajah cantik Lintang yang masih terlelap dalam tidurnya. Tak habis-habis ia mengagumi perempuan itu. Sosok lembut dan anggun yang mengguncang seluruh dunia, hati dan pikirannya. Tak sedikit pun ia tak memikirkan Lintang dalam di dalam benaknya. Meski sesibuk apapun dan berkecamuknya badai dalam pikirannya, Lintang akan selalu jadi penenang yang membuatnya menyerah. Seperti malam tadi, ia bahkan tak mampu melawan hasrat dan rasa ingin memiliki yang menggebu-gebu. Mengingat jika perempuan yang ia cintai harus menjadi milik orang lain, sejujurnya ia tak rela. Membayangkan Lintang bersanding di pelaminan seperti saat acara pertunangan kemarin saja hatinya memberontak marah, apalagi jika ...Arthur memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Menenangkan ego dan ambisi yang bergolak di dadanya. Dan saat membuka mata, di
Arthur segera membukakan pintu mobil ketika Lintang keluar dari rumah. Gadis itu tampak menahan tangis dan ketika sudah berada di dalam mobil, air matanya pun tumpah. Arthur sendiri segera masuk ke ruang kemudi, dan tanpa bertanya lagi segera membawa Lintang pergi dari situ. Sepertinya Lintang dan Yasmin sedikit beradu mulut di dalam.Arthur diam dan hanya memperhatikan Lintang dari spion. Membiarkannya menangis. "Apa kita langsung ke butik, Nona?" tanya Arthur.Lintang menghela nafas panjang, lalu menggeleng tanpa bicara. Arthur pun mengerti. Ia pun melajukan mobilnya lurus memasuki jalan tol, memperpanjang perjalanan mereka.Hening. Lintang menatap keluar jendela. "Ibu mengancamku," Lintang bersuara. Arthur meliriknya dari spion dan mendengarkan. Mata Lintang pun lalu menoleh pada Arthur, saling berpandangan melalui kaca spion."Aku tidak bisa, Arthur," ucap Lintang kembali terisak. Air Matanya kembali mengalir."Nyonya Yasmin melakukan apa yang diinginkan semua ibu, beliau tent
Arthur mengikuti mobil Wira, dengan hati cemas dan menahan amarah. Sekarang saja Wira berani berlaku kasar, Arthur tak bisa membayangkan jika laki-laki sombong itu menikahi Lintang. Dihelanya nafas dalam-dalam. Berusaha berpikir tenang dan lurus. Menenangkan diri jika semua akan baik-baik saja. dan berprasangka baik. Butik yang menjadi tujuan Wira tentunya adalah butik terkenal. Arthur buru-buru keluar ketika mobil mereka baru saja berhenti. Tak sabar ingin memastikan jika Lintang dalam keadaan baik-baik saja.Dan untuk kedua kalinya Arthur harus menahan amarah saat melihat Wira menarik Lintang keluar dari mobil. Gadis itu sempat terantuk kakinya sendiri ketika hendak berjalan. "Nona!" Arthur mendekat segera hendak membantu. Matanya menatap tajam ke arah Wira. "Aku tidak apa-apa, Kapten! Jangan khawatir!" ucap Lintang tersenyum, sekilas menatap Arthur.Wira hanya tersenyum miring. Melihat reaksi Arthur membuatnya ingin bermain-main dengan perasaan laki-laki itu, dia terkekeh dan m
Wira memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, membuat Arthur sempat kehilangan mereka untuk beberapa lama. Sampai akhirnya Arthur menelusuri GPS dari ponsel Lintang dan ketika melihat kemana arah tujuan Wira, dia pun emosi. Karena bukan menuju rumah kediaman keluarga Adiwilaga, melainkan ke rumah pria itu. "Mau apa dia?!" geram Arthur. Tanpa pikir panjang lagi ia pun segera mengarahkan mobilnya menuju rumah Wira. Arthur setengah melompat keluar saat mobilnya berhenti di sana. Dia langsung mengacungkan kartu identitasnya sebagai pengawal Lintang kepada penjaga gerbang dan mereka pun membiarkannya masuk. Wira menghempaskan Lintang ke kursi, membuat gadis itu memekik. "Apa-apaan kamu, Wira?!" teriak Lintang marah."Diam!" hardik Wira mengacungkan telunjuknya lurus pada Lintang."Kamu bermain mata dengan pengawal sialanmu itu, Lintang?! JAWAB!" Lintang mengerjap kaget sambil mengkerut takut di sofa. "Jangan asal menuduh, Wira!" tepis Lintang memberanikan diri. Wira merai
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari