Sensasi panas dan asap dari api bakaran membuat Isa perlahan-lahan sadar. Ketika dia membuka mata, dia melihat api unggun menyala-nyala, tapi segera kesadarannya kembali dan dia tahu kalau dia tidak menginjak tanah, melainkan diikat di balok kayu bak Crux Decussata, salib berbentuk angka sepuluh romawi itu.Dia meronta, namun tambang yang mengikat tangan dan kakinya jauh lebih kuat dari tenaganya. Tak jauh dari tempatnya, Josiah dan Leo sedang menyantap makan malam berupa hewan yang dipanggang di api unggung yang menyala besar.“Lepaskan aku,” teriak Isa.Leo meliriknya sementara Josiah sama sekali tak acuh. Leo berdiri beberapa saat di depan Isa dan menepuk-nepuk wajah wanita itu dengan kasar. “Bukankah kamu sangat berkuasa dan memiliki banyak cara untuk melepaskan diri? Kenapa tidak kamu tunjukkan sekarang pada kami?”“Cuih!” Isa meludahi wajah Leo, membuat pria itu berdecak jijik lalu menampar wajah Isa keras-keras.“Jaga sikapmu atau kamu akan mati sekarang juga, Nona Isa!”“Perse
Sebuah tinju mendarat kembali di wajah dokter Richard dan pria itu tidak merespon sama sekali. Dia pasrah, bahkan untuk meringis pun dia tidak memiliki kekuatan lagi. Darah mengucur kembali dari dalam mulutnya akibat tinju Keenan yang luar biasa kencang.Keenan jatuh di tanah, air mata mulai menetes menyusuri wajahnya. Bodohnya dia! Selama ini, Emmy tak bisa melihat hanya karena dia memberikan kornea miliknya pada Keenan. Dan dia tidak peka sama sekali. Kenapa? Kenapa harus Emmy?Tawa Isa kembali terdengar. Keenan mendongak, mengernyit karena tawa itu seolah mengejeknya. Isa menyeringai rendah pada Keenan sambil berkata, “Tahu apa yang paling menyakitkan, Keenan?”Keenan berdiri perlahan-lahan, mendekati Isa dengan kedua bola mata yang bahkan tidak berkedip. Mereka berdiri berhadap-hadapan, dan Isa kembali tersenyum jahat. “Dialah anak kecil yang menyelamatkanmu puluhan tahun lalu!”Bak tersambar petir, tubuh Keenan mematung di sana. Matanya membulat, jantungnya merespon kenyataan itu
Ted mengintai bagai singa yang sedang mengunci mangsanya. Dia tahu malam ini seharusnya Diane akan keluar untuk bertemu keluarga Achilles membahas pernikahan Isa dan Keenan. Dan dia akan memanfaatkan momen itu untuk melakukan balas dendamnya.Dalam sedannya yang diparkir sedikit jauh dari gerbang kediaman keluarga Matilda, dia melihat sebuah mobil keluar dari sana. Ted menyalakan mesin, sangat yakin kalau itu adalah Diane. Dan dugaannya tepat. Saat sedan itu melintas dari sampingnya, Diane terlihat sedang berbicara lewat telepon di dalam mobil.Ted membuntuti sedan Diane dan menjaga kecepatannya agar tidak kehilangan wanita itu. Si supir tahu kalau kendaraan mereka diikuti oleh seseorang, jadi dia berkata pada Diane. “Nyonya, aku rasa sedan itu mengikuti kita dari tadi.”Diane menoleh ke belakang. Dia tidak bisa melihat siapa yang ada di dalam sedan di belakangnya, tapi karena kejadian akhir-akhir ini, dia harus benar-benar waspada. “Tambah kecepatannya,” perintah Diane.Si supir mene
Tubuh Isa perlahan lemah. Luka akibat cambuk yang mendesing di kulitnya mengucurkan banyak darah. Wajah wanita itu mulai pucat pasi, rambutnya menjuntai turun menutupi wajah pucatnya. Bukan seperti ini yang diinginkannya. Dia tidak mau mati, apalagi di tangan Keenan. Bukan! Bukan dirinya yang seharusnya mati saat ini.Seharusnya itu Emmy! Sejak dulu, wanita itu merebut segala sesuatu yang diharuskan menjadi milik Isa. Keluarga, cinta, teman. Semuanya diambil oleh Emmy. Isa hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan untuk membuat perasaannya membaik. Tapi kenapa malah dirinya yang dihukum?Dia mengerang saat untaian cambuk kembali melukai kulitnya. Isa menggigit bibirnya, menolak untuk menyerah. Aku tidak akan mati, atau kalau aku mati, itu lebih baik daripada harus memohon pada mereka.“Dia memang kuat,” ejek Leo, berkacak pinggang menatap Isa dari tempat yang agak jauh. “Lihat dirinya. Dia bahkan sanggup menahan cambukan yang jumlahnya tak terhitung itu. Hanya mendengar bunyi de
Tidak, ini tidak nyata! Kenapa aku bisa melihat Keenan? Kenapa dia berdiri? Kenapa dia ada di depan rumah?Lily menggosok matanya dan mengintip lagi. Tapi sayangnya, hasilnya tetap sama. Pria itu adalah Keenan dan sekarang Lily yakin kalau itu bukan bayangan. Dia memang Keenan yang datang entah dengan tujuan ap. Tapi dia bisa berdiri? Sejak kapan?Lily buru-buru kembali masuk ke dalam kamar. Sekarang wajah Emmy sudah sedikit tenang, tapi Lily tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Emmy kalau mantan suaminya yang datang mengunjunginya. Bagaimana kalau kedatangan Keenan untuk tujuan tertentu? Bagaimana kalau Isa yang memintanya datang?“Bagaimana? Siapa yang datang?” tanya Liz.Lily diam, mulutnya bak terkunci rapat. Sungguh, Lily sangat ingin memberitahu Emmy kalau yang datang adalah Keenan. Tapi dia tidak tahu tujuan Keenan, jadi dia sangat tidak bisa memberitahu Emmy. Tapi apa alasannya pada ketiganya?Tidak mungkin dia mengatakan seseorang yang sedang mencari alamat, atau kurir pe
Isa haus. Demi apa pun, dia merasakan tenggorokannya sekering gurun pasir sehingga untuk menelan ludah pun dia harus meringis kesakitan. Ludahnya kini seolah berubah menjadi gumpalan rumput berduri tajam yang akan melukai tenggorokannya.Semakin dalam malam yang dia lalui, semakin jauh pula suhu udara turun. Pakaiannya sudah compang-camping akibat bekas cambukan. Itu membuat rasa dingin langsung menusuk tubuhnya seketika. Aku bisa hipotermia kalau begini, pikir Isa.Tapi dia juga tidak mau memohon pada Josiah dan Leo yang tidur di sebuah tenda yang disediakan oleh anak buahnya. Di sekitarnya, empat orang pria besar itu terus berjalan berkeliling dan memeriksa. Josiah pasti berpesan pada mereka untuk terus mengawasi Isa di sana.Api sudah padam sejak Josiah dan Leo masuk ke tenda. Isa mencoba melirik dokter Richard yang masih tetap pada posisi seperti itu. Apakah dia sudah mati? Atau dia hanya pingsan? Saat ini, lebih baik dia mati. Jika Josiah tidak membunuhku, maka dia akan mengirimk
Emmy duduk sendirian di halaman belakang rumah Liz. Segelas teh tersaji di atas meja, roti panggang yang tadinya masih panas kini sudah mulai dingin. Emmy tahu ternyata Keenan sudah sadar tentang masalah yang melilit mereka. Dia juga mendengar teman-temannya membicarakan tentang kesehatannya, tentang Keenan yang kini bisa berjalan.Jika pria itu adalah Keenan, maka dia adalah orang yang bersamanya di makam Dorothy kemarin pagi. Kenapa Keenan tidak bicara saat itu? Dia tahu Emmy buta, tapi kenapa dia malah membiarkan Emmy begitu saja?Kenapa?Apakah dia sedang mempermainkan Emmy lagi?“Em.”Buliran bening yang sempat jatuh di wajah Emmy dihapus secepat kilat olehnya setelah mendengar suara Lily. Dia menegakkan punggung, meraba gelas teh di atas meja dan menyesapnya sedikit.“Keenan ingin bicara denganmu,” kata Lily lagi.Emmy menggenggam erat rok pendek yang dikenakannya. Untuk apa? Apakah masih ada yang mereka bicarakan?“Emmy!”Akhirnya, Emmy mendengar kembali suara yang selama ini d
Liz mengendus sesuatu yang membuatnya mual pagi ini. Ketika dia di dapur, rasanya semua aroma ruangan itu membuatnya menjeluah. Saat dia pergi ke kamar, sisa aroma parfum yang disemprotkan Ivy pun membuatnya pusing. Padahal, sebelumnya Liz dan Lily selalu berebut untuk memakai parfum Ivy karena aromanya memang sangat manis.Tapi kenapa pagi ini mendadak dia merasakan semua aroma begitu membuatnya pusing? Kepalanya berat, tubuhnya pun sama beratnya. Dia malas walau hanya sekedar turun dari tempat tidur, dan melakukannya hanya karena Lily meracau terus memanggilnya.Liz berusaha untuk menyemangati dirinya. Dia berjalan ke kulkas untuk mengeluarkan selai strawberry yang kemarin dibuat sendiri oleh mereka. Tapi begitu mencium aroma kulkas, Liz tak kuasa menahan mualnya lagi. Dia berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya ke dalam toilet.Seluruh tubuh Liz benar-benar lelah sekarang. Setelah membersihkan diri, dia kembali ke dapur untuk membalik roti panggangnya. Tapi begitu melihat
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany