Tentu saja, pikir Keenan. Neneknya sangat percaya pada Emmy, tentu saja Emmy mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui. Dan kalau Dorothy memerintahkannya untuk tutup mulut, maka Emmy juga akan melakukannya. Itu bukan hal yang mengejutkan, tapi Keenan tetap saja terkejut.“Tapi dokter, apakah diagnosa Mom benar-benar mati batang otak?” tanya Amy, mengabaikan keterkejutan keluarga Achilles yang lain begitu dokter Frans menyebut nama Emmy. “Maksudku, Mom juga bisa disebut koma, bukan?”“Tentu saja, Nyonya.” Dokter Frans mengangguk. “Ada beberapa ciri penting yang bisa diidentifikasi secara awal oleh tim dokter. Gejala-gejala penting ini akan dijadikan acuan sebagai pembeda antara mati batang otak dari kondisi medis lain seperti koma atau keadaan vegetatif pasien. Dokter Toby Odessa mungkin bisa menunjukkannya,” perintah dokter Frans pada salah satu rekannya.Dokter Toby melangkah mendekati Dorothy dan mengeluarkan penlight dari kantong snellinya.“Izinkan saya menjelaskan sedikit, Tu
“Emmy, ada sesuatu yang harus ku beritahu,” kata Josiah, malam setelah mereka selesai makan.Emmy menelengkan kepala ke arah Josiah, menemukan pria itu lewat suaranya. “Kabar apa?” tanya Emmy.Josiah tidak tahu bagaimana memberitahu gadis ini kalau Dorothy meninggal. Kabarnya sudah tersebar ke segala penjuru, namun di sini, Emmy tidak pernah mendengar radio atau mendengar suara dari televisi. Karena sinyal juga sedikit sulit, dia tidak banyak bersentuhan dengan benda pintar.Jadi, dia sama sekali tidak tahu kalau Dorothy meninggal.“Apakah ibuku mengalami sesuatu?” tanya Emmy lagi.“Tidak. Nyonya Nikky baik-baik saja. Hanya...”Josiah takut kabar itu akan mempengaruhi emosi Emmy. Karena bagaimana pun juga, Dorothy adalah sosok penting dalam kehidupannya. Dia mencintai Dorothy, dan sebaliknya, Dorothy juga mencintai Emmy. Tapi jika tidak memberitahunya, maka Josiah akan merasa sangat bersalah dan menyesal.Mungkin saja Emmy mau mengunjungi keluarga Achilles untuk melihat Dorothy terakh
Keenan bertemu Isa untuk pertama kalinya di pemakaman. Dia dituntun oleh Diane. Dia mengenakan gaun selutut berwarna hitam dan kaca mata warna senada. Tanpa tongkat, dia berdiri sedikit jauh dari keluarga Achilles, dugaan Keenan, Isa merasa jika dirinya belum mengetahui kalau Isa adalah pendonor untuk matanya.“Kamu mau menyapa Isa?” tanya Axel.Walau enggan, mustahil Keenan tidak datang untuk menyapa Isa. Dia sudah melakukan banyak hal untuk kehidupannya. Dan kehilangan Dorothy dan Emmy di saat yang bersamaan membuat Keenan bertanya-tanya, apa yang sedang dia alami dan kenapa harus Isa?Tapi walau dia terlalu kalut untuk menemukan jawabannya, Keenan mengetahui satu hal. Dia harus segera berdamai dengan keadaannya, dan berjalan lagi ke depan.“Tolong bawa aku ke sana,” ujar Keenan.Axel mengangguk. Dia mendorong kursi roda Keenan menuju tempat dimana Isa dan Diane berdiri. Diane, yang sudah melihat Keenan dari kejauhan berbisik. “Target datang, sesuai rencana,” katanya pelan.Isa hany
Keenan mengamati Isa, menangkap ketulusan dan rasa pasrah dalam setiap kalimat yang diucapkan gadis itu. Isa seperti seorang kakak yang menyerah atas sikap buruk adiknya. Alih-alih membenci Emmy untuk semua hal yang sudah dia lakukan pada Isa, Keenan malah merasa Isa sangat toleran pada Emmy dan tak pernah menjelekkan adiknya itu.“Aku bicara sekarang padamu bukan ingin membahas Emmy,” kata Keenan pada akhirnya, tidak tega melihat Isa menyalahkan diri atas semua kelakukan Emmy yang keterlaluan.“Tidak? Lalu kenapa kamu mengajakku bicara?” Isa menaikkan alis.“Kamu bodoh sekali.”“Bodoh?” Isa mengernyit. “Kamu mengatakan aku bodoh?”“Ya. Hanya kata itu yang tepat untuk diberikan padamu. Kamu tahu kenapa?”Isa menggeleng.“Karena kamu memberikan kehidupanmu padaku.”Oh ini manis sekali, pikir Isa, nyaris berteriak kegirangan. Bagus sekali Keenan sudah tahu jika dialah yang ‘mendonorkan’ korneanya pada Keenan. Ini memang sudah diprediksi oleh Isa karena dia tahu, si bodoh dan polos Axel
Dengan bantuan Josiah, Emmy berjalan menuju pemakaman ketika seluruh orang sudah meninggalkan pemakaman dan menyisakan keheningan yang terasa sangat dingin. Emmy menggenggam buket bunga Amarilis yang dipilihnya sendiri, membuat buket bunga itu menjadi asing diantara kelopak bunga mawar putih yang menghiasi makam.Emmy duduk, meraba tanah merah yang masih lengket di tangannya, dan berhenti di batu nisan yang berukirkan nama Dorothy. Dia mengelus ukiran potret Dorothy di batu tersebut dengan lembut dan air matanya mengalir lagi.“Granny,” bisik Emmy dalam suara yang tertahan. “Ini aku, Emmy. Maaf kalau aku datang dengan cara seperti ini. Maaf kalau aku sangat terlambat menemuimu, Granny,” isaknya.Tangisan Emmy seketika pecah dan dia tidak sanggup bicara selama beberapa menit. Dia hanya menangis sambil memeluk tanah, membiarkan air matanya mengalir di sana. Josiah menghela nafas, mengalihkan pandangannya ke langit yang perlahan mulai gelap untuk mencegah air matanya jatuh.Namun siapa y
Pemakaman bersisian langsung dengan hutan dan kebetulan makam Dorothy berada dideretan paling tepi, sesuai permintaannya ketika dia masih hidup. Tanah pemakaman itu masih milik keluarga Achilles, dan Dorothy dikubur bersebelahan dengan sang suami.Axel menyenter ke seluruh penjuru sementara Keenan juga melakukan hal yang sama. Keduanya mencari-cari sosok yang membawa buket bunga Amarilis ke makam Dorothy. Keenan sangat yakin, itu adalah Emmy karena beberapa kali dia melihat bunga Amarilis ada di dalam vas bunga di dalam kamarnya.Menuruti instingnya yang mengatakan sesuatu ada di balik rumpun bunga berdaun merah, Axel berjalan ke sana. Hutan di hadapannya terlihat mencekam di balik kegelapan malam dan pepohonan terasa hidup karena bergerak mengikuti arah angin. Semakin dekat menuju rumpun, dia bisa mencium aroma pekat kayu-kayu dan dedaunan yang membusuk di sana.Namun begitu tiba di balik rumpun, dia tidak menemukan apa pun. Tak ada seseorang seperti yang dia pikirkan. Axel menatap k
“Lalu siapa kalau bukan dia? Kamu?” Keenan menyeringai. “Jika kamu hendak menutupi hubungan gelapmu dengan Emmy, jangan membawa nama seseorang yang tidak bersalah. Sungguh, kamu tidak bersikap gentleman sama sekali.” Keenan berbalik mengejeknya.Josiah tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon yang dilontarkan Keenan, membuat Keenan tersinggung luar biasa. Dia hendak berdiri, namun Axel dengan cepat memegang pundaknya. Sungguh, di bawah penerangan lampu seadanya, Keenan yakin sekali kalau wajahnya sudah memerah karena marah.Pria itu mengejeknya dengan sengaja, melecehkan harga dirinya dengan terang-terangan dan itu adalah kekalahan telak bagi Keenan. Dan dia membenci kondisinya saat ini yang belum bisa menggerakkan kaki kanannya sama sekali. Dia tidak bisa berdiri di saat yang kurang tepat ini. Kalau tidak, dia sudah memberikan bogem mentah pada Josiah untuk menutup mulutnya.“Keenan, ingat saja perkataanku ini,” ucap Josiah, ekspresi wajahnya berubah serius dalam hitungan detik usai
“Aku haus!”Liz merasakan hembusan nafas yang semakin cepat hingga membuat tenggorokannya sekering gurun pasir. Gadis itu merasakan sensasi panas menjalar di tubuhnya, namun anehnya bukan rasa panas ketika musim panas tiba. Rasa panas ini membuat seluruh indranya bangkit dan dia membutuhkan sesuatu selain air dan kipas untuk mendinginkan tubuh.Dia membutuhkan sesuatu. Sesuatu yang terlarang.Ini pasti ulah Granny, batin Liz. Dia sengaja melakukannya. Dia tahu aku menyukai Josiah jadi dia memberikanku sup yang sudah dicampur dengan sesuatu. Astaga, aku harus apa?Liz merasakan seluruh sendi kakinya lemah dan tak bisa berdiri saat dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Josiah. Bagaimanapun juga, dia masih bisa mengumpulkan kesadarannya. Mereka berdua sama-sama minum, jadi artinya Josiah mengalami apa yang dia alami. Dia harus bisa menahan diri. Harus!“Kamu mau ke mana?” Josiah menarik tangan Liz, membuat gadis itu terjatuh tepat ke pangkuannya.Liz menelan ludahnya dengan susah payah